Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan1
Pneumonia hingga saat ini tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada

anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penebab utama morbiditas

dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita).Diperkirakan hampir

seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita,

meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan

Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian

bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem

respiratoiri, terutama pneumonia.

Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tinggi nya angka

mortalitas pneumonia pada anak balita di Negara berkembang. Faktor risiko

tersebut adalah pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah

(BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutris,

defiensi vitamin A, tinggi nya prevalens kolonisasi bakteri pathogen di

nasofaring, dan tinggi nya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industry atau

asap rokok).

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebaian besar

disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan

oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman,

menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari Pneumonia (virus atau bakteri).

Pneumonia seringkali dipercaya di awali oleh infeksi virus yang kemdian

mengalamai komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan

1
pneumonia bacterial dengan neumonia viral. Demikian pula pemeriksaan

radiologis dan laborayorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. Namun sebagai

pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bacterial awitannya cepat, batuk

roduktif, pasien tampak toksik, Leukositosis dan perubahan nyata pada

pemeriksaan radiologis.

Bronkopneumonia adalah radang paru-paru pada bagian lobularis yang

ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh agen

infeksius seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing, yang ditandai dengan gejala

demam tinggi, gelisah, dispnoe, napas cepat dan dangkal (terdengar adanya ronki

basah), muntah, diare.batuk kering dan produktif .Bronkopneumonia merupakan

penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah 5 tahun (balita).

Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta

anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di

Afrika dan Asia Tenggara. Insiden pneumonia di negara berkembang yaitu 30-

45% per 1000 anak di bawah usia 5 tahun, 16- 22% per 1000 anak pada usia 5-9

tahun, dan 7- 16% per 1000 anak pada yang lebih tua.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia1
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian

besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil

disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). Pada pneumonia yang disebabkan

oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari pneumonia (virus

atau bakteri). Pneumonia sering kali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang

kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit

membedakan pneumonia bacterial dengan pneumonia viral. Demikian pula

pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukan perbedaan nyata.

Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bacterial awitannya

cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahannya

nyata pada pemeriksaan radiologis.

Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan

distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam

pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza,

Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik, klamidia dan

mikoplasma. Walaupun pneumonia viral dapat ditatalaksana tanpa antibiotik, tapi

umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena infeksi bakteri sekunder

tidak dapat disingkirkan.

Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia

yaitu: 1) pneumonia masyarakat (community-acquired pneumonia) bila infeksinya

terjadi di masyarakat, dan 2) pneumonia-RS atau pneumonia nosocomial

3
(hospital-acquired pneumonia) bila infeksinya didapat di RS. Selain berbeda

dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua bentuk pneumonia ini juga berbeda

dalam spectrum etiologinya, gambaran klinis, penyakit dasar atau penyakit

peserta, dan prognosisnya. Pneumonia yang didapat di RS sering merupakan

infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga spectrum

etiologinya berbeda dengan infeksi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu,

gejala klinis, derajat beratnya penyakit, dan komplikasi yang timbul lebih

kompleks. Pneumonia yang didapat di RS memerlukan penanganan khusus sesuai

dengan penyakit dasarnya.

2.2 Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan

pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga

mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang

disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan

benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme,

tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan.

Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai

keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi

primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa (Bradley,

2008).

Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi

pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia lebih sering

dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya sering disebabkan oleh bakteri

streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada

4
dua pertiga dari hasil isolasi. Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia

di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20% pertahun.1

Anak dengan daya tahan atau imunitas terganggu akan menderita

bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu

mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, factor iatrogen

juga memicu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anastesia,

pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna.2

Bronkopneumonia merupakan masalah kesehatan yang mencolok

walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal ini disebakan oleh

munculnya organisme nosokomial yang resisten terhadap antibiotik. Adanya

organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired

Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spectrum dan derajat

kemungkinan terjadinya bronkopneumonia.1

2.3 Diagnosis

Diagnosis bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan pedoman diagnosis

klinis bronkopneumonia WHO, dimana gejala yang muncul adalah sesak nafas

dengan nafas cuping hidung, riwayat demam batuk pilek, sianosis, dan dari

auskultasi didapatkan suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus nyaring.

Diagnosis bronkhopneumonia ditegakkan berdasarkan pedoman diagnosis klinis

bronchopneumonia WHO, dimana gejala yang muncul pada pasien ini adalah

sesak nafas dengan nafas cuping hidung, riwayat demam batuk pilek, sianosis, dan

dari auskultasi didapatkan suara nafas tambahan berupa ronkhi basah halus

nyaring. Bronkhopneumonia adalah peradangan paru, biasanya dimulai di

bronkiolus terminalis. Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat

5
mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang

bersebelahan.4

Penyakit ini seringnya bersifat sekunder, mengikuti infeksi dari saluran

nafas atas, demam pada infeksi spesifik dan penyakit yang melemahkan sistem

pertahanan tubuh. Pada bayi dan orang-orang yang lemah, pneumonia dapat

muncul sebagai infeksi primer Insiden penyakit ini pada Negara berkembang

hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko kematian yang

tinggi. Sedangkan di Amerika, pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh

penyakit infeksi pada anak dibawah umur 2 tahun. Infeksi saluran napas bawah

masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara

yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.4

Penyebab pasti pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu

beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat

menyebabkan kematian bila tidak segera diobati. Sehingga penegakkan diagnosis

berdasarkan gejala klinis dan penatalaksanaan awal pneumonia diberikan

antibiotika secara empiris Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala

klinik. Gejala-gejala klinis tersebut antara lain3 :

a. Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal

b. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung

c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama

beberapa hari

d. Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare

e. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk,

beberapa hari yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif

6
f. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring

g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan

predominan PMN

h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial

dan infiltrat alveolar serta gambaran bronkopneumonia

WHO mengajukan pedoman diagnose dan tata laksana yang lebih

sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan

berdasarkan:

1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak

tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan

diberi antibiotik.

2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih

sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi

antibiotik.

3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan

yang cepat yakni >60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan;

>50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1 tahun; >40 x/menit pada anak

usia 1-5 tahun.

4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda

seperti di atas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.

Diagnosis pasti dilakukan dengan idientifikasi kuman penyebab

pneumonia.

7
Identifikasi kuman penyebab dapat dilakukan melalui: (Depkes RI,2007)

a. Kultur sputum/bilasan cairan lambung

b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus

c. Deteksi antigen bakteri Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran

nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain inhalasi

langsung dari udara; aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring

dan orofaring; perluasan langsung dari tempat lain; dan penyebaran

secara hematogen.

Dalam keadaan sehat, pada paru tidak terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan

paru. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien

untuk mencegah infeksi dan terdiri dari:

1. Susunan anatomis rongga hidung

2. Jaringan limfoid di naso-oro-faring.

3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan

sekret liat yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.

4. Refleks batuk

5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang

terinfeksi

6. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.

7. Fagositosis, aksi enzimatik, dan respon immuno-humoral terutama dari

immunoglobilin A (IgA).

8
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap

ke paru perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema

yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman. Bronkhopneumonia

dalam perjalanan penyakitnya akan menjalani beberapa stadium, yaitu:

1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama).

Mengacu pada peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru

yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan

permeabilitas kapiler. Ini terjadi akibat pelepasan mediator peradangan

dari sel mast. Mediator tersebut mencakup histamin dan prostagladin.

Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama

dengan histamin dan prostagladin untuk melemaskan otot polos vaskuler

paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan

perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial sehingga terjadi

pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus, yang meningkatkan

jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka

perpindahan gas ini paling berpengaruh dan sering mengakibatkan

penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya)

Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat tidak mengandung udara,

warna menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam alveolus

didapatkan fibrin, leukosit netrofil, eksudat, dan banyak sekali eritrosit dan

kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.

9
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari).

Lobus masih tetap padat dan warna merah berubah menjadi pucat kelabu

terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang

terinfeksi. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus

terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler

tidak lagi kongestif.

4. Stadium resolusi (7-11 hari).

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan dan eksudasi lisis. Eksudat

berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami

nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses

kerusakan yang terjadi dapat di batasi dengan pemberian antibiotik sedini

mungkin agar system bronkopulmonal yang tidak terkena dapat

diselamatkan.

2.4 Etiologi1
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada

perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi,

gambaran klinisdan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab

pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi

pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar.

Etiologi pneumonia pada neonates dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B

dan bakteri Gram negative seperti Ecolli. Pseudomonas sp atau Klebsiella sp.

Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, Pneumonia sering disebabkan oleh

infeksi Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza tipe B, dan

10
Staphylococcus aureus sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain

bakteri tersebut sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumonia.

Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, dia

samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. Melakukan

penelitian pada pneumonia anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak

32% campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang

terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovinus, dan

virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae,

Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak

berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak

daripada anak berusia di bawah 2 tahun.

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan

penyakit, sehingga Stadium yang khas yang telah di uraikan sebelumnnya

sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentusering menimbulkan gambaran

patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streprococcus

pneuznoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak merata di seluruh

lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa

konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses- abses

kecil sering disebabkan oeh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil,

karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti

hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini

menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan

faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen

menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara

11
produksi koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak

menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel

dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi

lebih lanjut.

2.5 Patologi dan patogenesis1

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui

saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang

mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian

paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,

eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut

stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah,

terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang

cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah

makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,

kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. System

bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

2.6 Epidemiologi
Menurut WHO (2006), pneumonia merupakan penyebab utama kematian

pada anak usia di bawah 5 tahun (balita), yaitu sekitar 19% atau sekitar 1,8 juta

balita tiap tahunnya meninggal karena pneumonia. Angka ini melebihi jumlah

akumulasi kematian akibat malaria, AIDS, dan campak. Diperkirakan lebih dari

150 juta kasus pneumonia terjadi setiap tahunnya pada balita di negara

berkembang, yaitu sekitar 95% dari semua kasus baru pneumonia di dunia

(UNICEF/WHO, 2006).

12
2.7 Manifestasi Klinik1
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara

ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil

yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga

memerlukan perawatan di RS. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran

klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik,

mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas

terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi

noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Disamping itu,

kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan

karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam

tatalaksana pneumonia.

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-

ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

 .Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah

atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

 Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,

takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis,

Pada pemeriksaan fhsis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,

suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala

dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi

dan auskulrasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan (IDAI 2008).

13
2.7.1 Pneumonia pada Neonatus dan bayi kecil
Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu- anak

yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi

dengan sumber infeksi dari ibu. misalnya melalui aspirasi mekonium cairan

amnion. atau dari serviks ib. Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan

sumber infeksi dari RS (hospiml-acmimd pnewnonia), misalnya dari perawat,

dokter. atau pasien lain; atau dari alat kedokteran, misalnya penggunaan

ventilator. Di samping itu, infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi dengan sumber

infeksi dari masyarakat (community-acquired pnemnonia) .

Spektrum etiologi pneumonia neonatus meliputi Streptococc'us group B,

Chlamydia trachomatis dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E. colli,

Pseudomonas, atau Klebsiela; disamping bakteri utama penyebab pneumonia

yaitu Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza tipe B. dan Staphylloccus

aureus. Oleh karena itu, pengobatannya meliputi antibiotik yang sensitif terhadap

semua kelompok bakteri tersebut, misalnya kombinasi antibiotik beta-laktam dan

amikasin. kecuali bila dicurigai adanya infeksi Chlamydia trachomatis yang tidak

responsif terhadap antibotik beta-laktam.

Penularan transplasenta juga terjadi dengan mikroorganisme Toksopiasma.

Rubela, virus Sitomegalo, dan Virus Herpes simpleks (TORCH), Varisela-Zoster.

Dan Listeria monocytogenes. Selain itu, RSV. virus Adeno, virus Parainfluenzaa,

virus Rino. dan virus Entero dapat juga menimbulkan pneumonia. Suatu

penelitian melaporkan bahwa 25% infeksi virus Adena pada bayi terjadi

bersamaan dengan infeksi RSV dan virus Parainfluenza, dan 67% bersamaan

dengan infeksi bakteri Haemophillus influence, Streptococus pneumonia atau

14
Chlamydia trachomatis. Prognosis infeksi virus Adeno pada neonatus sangat

buruk karena sering terjadi sepsis.

Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas.

mencakup serangan apnea, sianosis. merintih, napas cuping hidung, takipnea,

letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta,

dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut

sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis. Sepsis pada Pneumonia neonatus

dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam. Angka mortalitas sangat tinggi

di negara maju, yaitu dilaporkan 20-50%. Angka kematian di Indonesia dan di

negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh karena itu. Sétiap

kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia di bawah 2

bulan harus segera dirawat di RS.

Infeksi oleh Chlamydia trachomatis merupakan infeksi perinatal dan

dapat menyebabkan pneumonia pada bayi berusia dibawah 2 bulan. Umumnya

bayi mendapat infeksi dari ibu pada masa persalinan. Port d' entree infeksi

meliputi mata, nasofaring, saluran reapiratori. dan vagina. Gejala baru timbul pada

usia 4-12 minggu, pada beberapa kasus dilaporkan terjadi pada usia 2 minggu,

tetapi jarang terjadi setelah usia 4 bulan. Awitan gejala timbul perlahanvlahan,

dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-minggu. Gejala

umumnya berupa gejala infeksi respirator ringan-sedang, ditandai dengan batuk

staccato (inspirasi diantara setiap satu kali batuk), kadang-kadang disertai muntah,

umumnya pasien tidak demam. Pada pasien seperti ini, panduan tatalaksana

adalah berobat jalan dengan terapi makrolid oral dan observasi yang ketat. Lebih

kurang 30% dari infeksi Chlamydia trachomatis berkembang menjadi pneumonia

15
berat, dikenal juga sebagai sindrom pneumonitis, dan memerlukan perawatan.

Gejala klinis meliputi ronki atau merugi. takipnea, dan sianosis. Gambaran foto

rontgen toraks tidak khas umumnya terlihat tanda tanda hiperinflasi bilateral

dengan berbagai bentuk infiltrate difus: seperti infiltrat intersisial,

retikulondduler, atelektasis. bronkopneumonia. dan gambaran milier. Antibiotik

pilihan adalah makrolid intravena.

2.7.2 Pneumonia pada Balita dan anak yang lebih besar

Spektrum etiologi pneumonia pada anak meliputi Streptococcus

pneumonia, Haemophilus infuenzae tipe B, Staphylococcus aureus,Mycoplasma

pneumonia. Chlamydia pneumonia. di samping berbagai virus respiratori. Pada

anak yang lebih besar dan remaja, Mycoplasma pneumonia: merupakan etiologi

pneumonia atipik yang cukup signifikan.

Keluhan meliputi demam, menggigil. batuk, sakit kepala, anoreksia. dan

kadang. kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis

ditemukan gejala respiratoti seperti takipnea, tetraksl subkosta (Chest indrawing).

napas cuping hidung, ronki dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan

dengan konjungtivitis, Otitis media, faringitis. dan laringiris. Anak besar dengan

pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena

nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveolar. Retraksi dan

takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila terjadi efusi

pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan

dada juga akan terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi

pleura bertambah. sesak napas akan semakin bertambah. tetapi nyeri pleura

semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul.

16
Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus

kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat

menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomen

mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi atau

ileus paralitik.Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau memang

membesar karena terjadi gagal jantung kongesrif sebagai komplikasi pneumonia.

2.7.3 Pneumonia atipik

Istilah pneumonia atipik pertama kali digunakan untuk membedakan

dengan gambaran pneumonia yang lazim dikenal. Mikroorganisme penyebabnya

adalah Mycoplasma pneumonia, Chlamydia spp. Legionnela pneuumofilla dan

Ureaplasma urealyticum. Chlamydia trachomatis sering ditemukan sebagai

penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui transmisi vertikal dari ibu

pada masa persalinan dan merupakan etiologi infeksi perinatal yang penting.

Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumonia merupakan penyebab

potensial infeksi respiratori dan pneumonia pada anak, terutama pada anak usia

sekolah dan remaia. Sedangkan legionella neumophila dan Ureaplasma

urealiticum jarang dilaporkan menyebabkan infeksi pada anak. Suatu penelitian

melaporkan pneumonia mikeplasma pada anak berusia >5 tahun mencapai 20 %

dan bersama dengan Chlamydia pneumonia diperkirakan prevalensnya mencapai

40%. Deteksi kedua mikroorganisme ini tulit dilakukan sehingga dahulu

prevalensnya tidak dapat dipalsukan. Dengan berkernbangnya metode deteksi

seperti micrommunofluorescence (MIF) dan polymerase chain reaction (PCR).

akhir-akhir ini banyak laporan tentang prevalens infeksi Mycoplasmma

pneumoniae yang dapat dipercaya.

17
Peningkatan kewaspadaan terhadap Mycoplasmma pneumoniae dan

Chlamydia pneumonia sebagai penyebab potensial pneumorria atipik pada anak

disertai dengan perkembangan deteksi yang lebih akurat diharamkan akan

menurunkan morbiditas penyakit. infeksi Mycoplasma pneumonia. biasanya

endemic dapat terjadi epidemik dengan interval 4-7 tahun.

2.7.4 Infeksi oleh Mycoplasmma pneumoniae

Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat, terutama terjadi di

asrama atau keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Masa inkubasi

lebih kurang 3 minggu. Penularan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam jangka

waktu berbulan-bulan. Meskipun umumnya gejala klinis ringan. tetapi kasus berat

yang fatal dan mengancam jiwa dapat terjadi. Gambaran klinis pneumonia atipik

didahului dengan gejala menyerupai influenza (influenza like syndrome) seperti

demam, malaise, sakit kepala. mialgia. tenggorokan gatal. dan batuk. Suhu tubuh

jarang mencapai lebih dari 38. 5 “C. Kadang-kadang dapat juga berlanjut menjadi

bronkitis. bronkolitis, dan pneumonia. Batuk terjadi 3-5 hari setelah awitan

penyakit. awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum

mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu-minggu.

Hasil pemeriksaan auskultasi paru bervariasi. Mengi ditemukan pada 30-40%

kasus pneumonia mikoplasrna dan lebih sering ditemukan pada anak yang lebih

besar. Oleh karena itu. diagnosis klinis pneumonia mikoplasma tanpa pemeriksaan

radiologis dapat dikacaukan dengan asma. Sering terjadi underdiagnosis pada

infeksi Mycoplasma pneumonia. Hal ini dikarenakan uji mikrobiologis tidak dapat

dipakai sebagai alat diagnoscik. oleh karena itu tidak dikerjakan secara rutin.

Kultur memerlukan waktu 2 minggu dan uji serologis hanya bermanfaat bila telah

18
terjadi pembentukan antibodi, yaitu ketika penyakit telah sangat berkembang.

Umumnya gejala klinis infeksi Mycaplasma pneumonia adalah ringan dan

kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing

pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah

dilaporkan.

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia mikoplasrna bervariasi. meliputi

gambaran infiltrat intersisial, retikuler. retikulonoduler. bercak konsolidasi.

pembesaran kelenjar hilus. dan kadang-kadang disertai efusi pleura.

2.7.5 Infeksi oleh Chlamydia pneumoniae

Chlamydia pneumonia merupakan penyebab tersering IRA-atas seperti

faringitis, rinosinusitis dan otitis. Akan tetapi, dapat juga menyebabkan bronkitis

dan pneumonia Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu. yaitu batuk kering,

mialgia, sakit kepala. malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada

pemeriksaan auskultasl dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori

umumnya tidak mencolok. leukosit darah tepi biasanya normal. Gambaran foto

rontgen toraks menunjukkan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal

yang jauh lebih berat daripada gejala klinis.

Pneumonia Klamidia dapat ditemukan di seluruh dunia. tetapi lebih sering

di daerah tropis. bersifat endemik dan epidemik dapat terjadi dengan interval 3-4

tahun. Umumnya perjalanan penyakit dan gejala klinis pneumonia Klamidia sulit

dibedakan dengan pneumonia mikoplasma

19
2.7.6 Peran makrolidona pada Pneumonia Apitik

Bakteri aripik seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia sp.

umumnya tidak responsif terhadap antibiotik golongan becaolakram. Hal ini

dikarenakan Mycoplasma pneumoniae tidak mempunyai dinding sel dan

Chlamydia spp merupakan bakteri intraselular Makrolid merupakan antibiotik

pilihan utama pada pneumonia acipik. baik pneumonia pada anak besar dan

remaja yang disebabkan oleh Mycoplasma pneumonia atau Chlamydia

pneumoniae, maupun pneumonia pada bayi kecil yang disebabkan oleh

Chlamydia trachomatis. Makrolid yang sering dipakai adalah eritromisin atau

makrolid baru seperti azitrromisin. klariromisin. dan toksicromisin. Eritromisin

mampu:-wai efektivitas klinis yang baik pada infeksi Mycoplasm pneumoniae.

terapi tidak efektif dalam mengeradikasi mikroorganisme dari jaringan.

Umumnya makrolid baru lebih unggul dalam hal bioavailabilitas dan

efektivitas antimikroba serta efek samping yang lebih minimal. Makrolid'baru

seperti klarirromisin menunjukkan efektivitas klinis yang baik, selain itu mampu

mengeradikaii mikroorganisme dari jaringan.

Dosis eritromisin untuk anak berkisar antara 30-50 mg/kgBB hari.

diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin dan roksitromisin

diberikan dua kali sehari dengan dosis 15 mg/kgBB untuk klarirromisin dan 5-10

mg/kgBB untuk roksitromisin.

2.8 Pemeriksaan penunjang1


2.8.1 Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus dan Juga pada pneumonia mikoplasmn umumnya

dikemumukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi.

20
pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-

40.000/mm’ dengan predominm PMN. Leukopenia ( <5.000/mm’) menunjukkan

prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (>3000/mn2) hampit selalu

menunjukkan adanya New bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteri. dan

risiko terjadinya komplikasi !ebih tinggi.

2.8.2 C-Reactive Protein (CRP)


C-Reactive Protein (CRP) adalah suatu protein fase akut yang disintesis

oleh hepatosit. Sebagai respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP

secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL) 6, IL 1, dan tumor

necrosis factor (TNP) Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat

mungkin berperan dalam mikroorganisme atau sel yang rusak.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan

antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri. atau infeksi bakteri

superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus

dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi bakteri profunda..

2.8.3 Uji serologis

Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri

tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis

infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi

seperti antistreptolisin O, streptozim. atau antiDnase B Peningkatan titer dapat

juga berarti edema infeksi terdahulu Untuk konlirmasi diperlukan serum fase akut

dan serum fase konvalesen (paired sera). Secara umum uji serologis tidak terlalu

bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi. untuk deteksi

infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia. serta beberapa virus

21
seperti RSV. Sitomegalo, campak Parainfiuenza 1.2 3, influenza A dan B, dan

Adena. peningkatan antibodi [GM dan lgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.

2.8.4 Pemeriksaan mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin

dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan

mikrobiologik spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,

bilasan bronkus, darah.

2.8.5 Pemeriksaan Rontgen toraks

Fate rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan. hanya

direkomendasikan pada Pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foro rontgen

toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.

Kadang-kadang bercak. 'bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologi:

sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi. resolusi infiltrat sering memerlukan

waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan

pneumonia tanpa kemplikaai. ulangan foro rontgen toraks tidak diperlukan.

Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit

memburuk, atau untuk tindak lanjut.

Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis

pneumonia di Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi

AP. Lynch dkk, mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen

toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis

pneumonia pada anak. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada

pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti takipnea. batuk,

22
dan ronki, dengan atau tanpa suara .napas yang melemah. Secara umum gambaran

foto toraks terdiri dari:

 infiltrat interseisial, ditandai dengan peningkatan cetakan bronkovaskular,

peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.

 lnfiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air broncohogram.

Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris.

Atau erlihat sebagai . melesi tunggal yang biaranya cukup besar. berbentuk

Sferis. berbatas yang tidak terlalu tegas. dan menyerupai lesi rumor paru.

dikenal sebagai round pneumoni

 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua

paru. berupa bercak- bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah

perifer paru. disertai dengan. , peningkatan corakan peribronkial. .

Gambaran foto rontgen torak pneumonia pada anak meliputi ilfiltrat ringan

pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian

ditemukan bahwa lesi pneumoni pada anak terbanyak berada di paru kanan.

terutama: di lobus aras. Bila ditemukan di paru kiri dan terbanyak di lobus bawah.

maka hal itu merupakan predikmr perjalanan penyakit. yang lebih berat dengan

risiko terjadinya picun'ris lebih meningkat.

Beberapa faktor teknis radiologi: dan faktor noninfeksl dapat menyebabkan

gambaran yang menyerupai pneumonia pada foro rontgen toraks.

Faktor teknis radiologis;

 intensitas sinar rendah (underpenemnion)

 grid pada film tidak merana

 kurang inspirasi.

23
Fakta: noninfeksi:

 bayangngan timus

 bayangan payudara

 gambaran atelektasis.

Gambaran atelektasis Sulit dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto

rontgen toraks.Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi

ekstrinsik pada brankus (malformasi kongenital, limfadenopatl, tumor, penyakit

kardiovaskular; web. atau ring) dan obstruksi bronkial intrinsik (benda asing,

edema, inflamasi, bronkomalasia atau stenosis, tumor, dan sumbatan mukus). Di

samping itu. penyakit paru noninfeksi dapat juga menyebabkan atelektasis,

misalnya penyakit membran bialin atau edema paru.

Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan

etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata. dan

hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. lnfiltrat alveolar berupa

konsolidasi segmen atau lebar. bronkopneumonia. dan air bronchogram sangat

mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering ditemukan

abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran. .

Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi

Pada beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks

pneumonia virus Selain itu, dapat Juga ditemukan gambaran bronkopneumonia

terutama di lobus bawah, in ifiltrat intersisial reti etikulonodular bilateral, dan

yang jarang. adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya lesi foto

rontgen toraks lebih berat daripada gambaran klinisnya. Meskipun tidak terdapat

gambaran foto rotgen toraks yang khas, tetapi bila terdapat gambaran

24
retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung . disebabkan oleh infeksi

Mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground glass

consolidation, serta transient pseudoconsolidation karena iniiltrat intersisial yang

konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi Mikoplasma. Gambaran

radiologis pneumonia Klamidia sulit dibedakan dengan pneumonia Mikoplasma.

Meskipun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, secara

umum gambaran foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara pasti anata:

pneumonia virus. bakteri. Mikoplasma. atau campuran mikroorganisme tersebut.

1. Pneumonia berat :

 bila ada sesak napas

 harus dirawat dan diberikan antibiorik.

2. Pneumonia :

 bila tidak ada sesak napas

 ada napas cepat dengan laju napas:

 0 >50 x/tnenit untuk anak usia 2 bulan-!1tahun 0 >40 x/menit

untuk anak > l--5 tahun tidak perlu dirawat. diberikan antibiotik

oral.

3. Bukan pneumonia :

 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas

 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotic.

2.9 Tatalaksana1

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi

perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres

pernapasan, tidak mau makan/minum. atau ada penyakit dasar yang lain.

25
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi

kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan

antibiotik yang sesuai. serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi

pemberian cairan intravena. terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan

keseimbangan asamabasa, elektrolit. dan gula darah. Untuk nyeri dan demam

dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti

efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang

mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan

pengobatan. Terapi antibiorik harus segera diberikan pada anak dengan

pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini

mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uii

mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiorik dipilih berdasarkan pengalaman

empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan

etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta

faktor epidemiologis.

Tatalaksana Terapi Pneumonia :

a. Pneumonia Rawat Jalan

Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotic lini pertama

secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazole. Pada pneumonia ringan

berobat rawat jalan, dapat diberikan antibiotic tunggal oral dengan efektifitas

mencapai 90 %. Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada

pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari

26
mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah

25mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20mg/kgBB

sulfametoksazol.

Makrolida, baik eritromisin maupun makrolida baru, dapat digunakan sebagai

terapi alternative beta laktam untuk pengobatan inisial pneumonia dengan

pertimbangan adanya aktifitas ganda terhadap s.pneuminiaea dan bakteri atipik.

b. Pneumonia Rawat Inap

pilihan antibiotic lini pertama dapat menggunakan antibiotic golongan beta

laktam atau kloramfenikol. Dapat diberikan antibiotic lain seperti gentamisis,

amikasin atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan.

Terapi antibiotic diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia

tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi control mengenai lama terapi

antibiotic yang optimal.

Pada neonates dan bayi kecil terapi awal antibiotic intravena harus dimulai

sesegera mungkin. Oleh karena pada neonates dan bayi kecil sering terjadi sepsis

dan meningitis, antibiotic yang direkomendasikan adalah antibiotic spectrum luas

seperti kombinasi beta laktam/klavulanat dengan aminoglikosida, atau

sefalosporin generasi ke 3. Bila keadaan sudah stabil, antibiotic dapat diganti

dengan antibiotic oral selama 10 hari.

Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotic yang direkomendasikan

adalah antibiotic betalaktam dengan/atau tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih

berat diberikan betalaktam/klavulanat dikombinasi dengan makrolida baru

intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau

keadaan sydah stabil antibiotic diganti dengan antibiotic oral dan berobat jalan.

27
Pada pneumonia rawat inap, berbagai rumah sakit di Indonesia memberikan

antibiotic betalaktam, ampisislin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan

kloramfenikol. Feizullah dkk. Melaporkan hasil perbandingan pemberian

antibiotic pada anak dengan pneumonia berat berusia 2-24 bulan. Antibiotic yang

dibandingkan adalah gabungan penisisli G intravena (25.000U/kgBB setiap 4 jam)

dan kloramfenikol (15 mg/kgBB setiap 6 jam) dan seftriakson intravena (50

mg/kgBB setiap 12 jam). Keduanya diberikan selama 10 hari dan ternyata

memiliki efektifitas yang sama.

Terapi pendukung pada pneumonia meliputi :

 Pemberian oksigen pada pasien yang menunjukan tanda sesak, hipoksemia.

 Bronchodilator pada pasien dengan tanda bronkospasme.

 Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum

 Nutrisi.

 Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral.

 Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam.

 Nutrisi yang memadai.

2.10 Komplikasi1

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis. perikardiris

purulenta, pneumotoraks. atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis

purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi remi-ing yang terjadi pada

pneumonia bakteri.

llten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik

ventrikel kanan meningkat. kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang

cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena

28
miokarditis merupakan keadaan yang fatal. maka dianjurkan untuk melakukan

deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG, ekokardiografi dan pemeriksaan

enzim.

2.11 Anemia
2.11.1 Pengertian5
Anemia dapat didefenisikan secara kuantitatif atau fungsional (secara

fisiologis). Keberadaaan anemia biasanya ditentukan dengan membandingkan

kadar hemoglobin pasien dengan nilai normal spesifik menurut usia dan jenis

kelamin. Data yang disajikan pada tabel memberikan kisaran nilai normal, dan

nilai hemoglobin di bawah kisaran dapat membuat defenisi anemia dapat diterima

sepenuhnya pada kebanyakan keadaan. Anemia dapat terjadi bila kadar

hemoglobin berada dalam kisaran normal seperti pada penyakit jantung sianosis

atau paru bila terdapat hemoglobin dengan afinitas yang sangat tinggi terhadap

oksigen. Anemia bukan merupakan penyakit tetapi lebih merupakan manifestasi

beberapa proses primer. Anemia merupakan komplikasi umum yang dapat

menonjolkan disfungsi organ lain. Defenisi anemia kuantitatif yng paling mudah

adalah setiap nilai untuk hemoglobin atau hematokrit adalah dua SD dibawah

(confidence limit 95%) nilai rerata untuk usia dan jenis kelamin. Diagnosis pada

anak sering kali memerlukan rujukan pada tabel yang memberikan nilai normal

yang bergantung pada usia. Kadar hemoglobin normal lebih tinggi pada laki-laki

sesudah pubertas karena kadar androgen yang tinggi menyebabkan pertahanan

sintesis eritrosit.

29
2.11.2 Patofisiologi5

Konsekuensi fisiologi anemia dapat ditentukan dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Anemia akut sering terkompensasi dengan buruk dan

bermanifestasi sebagai peningkatan frekuensi nadi, bising aliran darah intoleransi

aktifitas, nyeri kepala, tidur berlebihan (terutama pada bayi), malas makan,

sinkrop. Anemia kronik sering di toleransi sangan baik pada anak karena

cadangan kardiovaskulernya,. Anemia yang akan merangsang terjadinya angina

pada orang dewasa dapat tidak menunjukan gejala pada anak kecil.

2.11.3 Etiologi5

Etiologi yang lazim dan mekanisme yang menyebabkan anemia dan

pendekatan pada organisasinya disajikan pada gambar. Penyebab anemia dapat

diperkirakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Bayi baru lahir

dengan adanya riwayat ikterus, pucat, saudara kandung yang sebelumnya terkena,

konsumsi obat oleh ibu, atau kehilangan darah yang berlebihan, pada waktu

kelahiran memberi petunjuk yang pentinguntuk diagnosis. Bila pasien merupakan

bayi yang sangat muda, anamnesis diet yang cermat sangat penting. Riwayat

ikterus, kehilangan darah, konsumsi obat, atau penyakit akut atau kronik juga

menunjukkan kemungkinan penyebabnya anemia. Pada anak yang lebih tua dan

remaja, adanya gejala-gejala dasar, diet yang tidak bisa, konsumsi obat, atau

kehilangan darah, terutama dari perdarahan menstruasi sering mengarah pada

suatu diagnosis. Kelainan eritrosit congenital (misalnya, defisiensi enzim dan

kelainan membran) sering ditemukan pada usia 6 bulan pertama sering

dihubungkan dengan ikterus neonatorum, walaupun gangguan ini sering tidak

terdiagnosis. Riwayat konsumsi obat yang teliti sangat penting untuk mendeteksi

30
kelainan yang mungkin timbul akibat obat (suspresi sum-sum tulang atau

hemolisis yang di perantai antibody) defesiensi besi karna diet murni jarang

terjadi kecuali pada masa bayi, bila intoleransi protein susu sapi menyebabkan

kehilangan darah dari saluran cerna dan berpengaruh pada ambilan besi yang tidak

cukup.

2.11.4 Manifestasi klinis5

Pemeriksaan fisik juga memberi petunjuk adanya anemia dan dapat

mengarah pada kemungkinan penyebab anemia. Hepatosplenomegali dan

adenopati memberi kesan kelainan infiltrative. Gagal tumbuh atau penambahan

berat badan yang buruk member kesan anemia karena penyakit kronik atau

kegagalan organ. Unsur yang esensial pada pemeriksaan fisik pasien dengan

anemia adalah pengamatan tinja untuk mengetahui adanya darah yang

tersembunyi. Evaluasi laboratorium awal untuk anemia melibatkan uji

hemoglobin atau hematokrit untuk menentukan keparahan anemia. Bila diagnosis

anemia ditegakkan, persiapan harus mencakup jumlah darah total denga hitung

jenis, jumlah trombosit, index, dan jumlah retikulosit.

2.11.5 Klasifikasi5

1. Anemia mikrositik hipokromik

Anemia mikrositik hipokromik disebabkan oleh produksi hemoglobin

yang tidak adekuat.

 Anemia defisiensi-besi

Anemia defesiensi besi akibat diet paling lazim terjadi pada bayi

yang mengkonsumsi susu sapi dalam jumlah besar dalam botol

31
susu. Mereka hanya memakan sedikit bahan-bahan yang

mengandung besi tinggi, seperti daging dan sayuran hijau. Selain

manifestasi anemia, kelainan system saraf pusat (SSP) (misalnya,

apatis, iritabilitas, dan gangguan konsentrasi) telah dikaitkan

dengan defesiensi besi, yang agaknya timbul akibat perubahan

enzim yang mengandung besi (misalnya, monoamine oksidase) dan

sitokrom. Daya tahan otot yang kurang, disfungsi saluran cerna,

dan gangguan fungsi leukosit dan sel-T juga telah dicatat dalam

kaitannya dengan defesiensi besi. Beberapa penelitian member

kesan bahwa defesiensi besi pada masa bayi dapat menimbulkan

defisit kognitif dikemudian hari. Dosis terapeutik standar dengan

elemen besi sebanyak 3-6 mg/hari akan merangsang peningkatan

hemoglobin sebesar 0,25-0,4 g/dL/hari (kenaikan hematokrit 1%

per hari). Jika kadar hemoglobin tidak meningkat dalam 2 minggu

sesudah pengobatan dengan besi, klinis mengevaluasi pasien

kembali secara cermat untuk mengetahui kemungkinan kehilangan

darah yang terus-menerus, perkembangan infeksi, ketaatan buruk,

atau penyebab lain anemia mikrositik.

 Talasemia minor

Sindrom talasemia minor ditandai dengan anemia mikrositik,

hipokromik ringan dengan IPR rendah. Talasemia alfa merupakan

penyebab mikrositosis yang lazim, tanpa anemia atau dengan

anemia mikrositik hipokromik ringan. Talasemia alfa homozigot

yang menyebabkan hidrops dengan semua hemoglobin bart pada

32
neonates (tetrameter γ4) atau dengan hemoglobin H (tetrameter β4)

pada anak yang lebih tua. Apusan darah tetap normal pada individu

dengan cirri talasemia alfa, kecuali untuk mikrositosis. Tidak ada

bintik basofil (basophilic stippling). Di luar periode neonates, bila

hemoglobin Bart dapat dideteksi, elektroforesis hemoglobin

biasanya normal pada talasemia alfa minor. Talasemia beta minor

biasa dijumpai di seluruh daerah Mediterania, Timur Tengah,

India, dan Asia Tenggara. Apus darah tepi menunjukkan eritrosit

mikrositik hipokromik; sel target dan eritrosit basofil berbintik

dapat juga ditemukan. Bintik ini didebabkan oleh presipitasi

tetramer rantai alfa. Diagnosis didasarkan pada peningkatan kadar

hemoglobin A2 dan F.

 Keracunan timah hitam

Keracunan timah hitam dapat menyebabkan anemia mikrositik

hipokromik walaupun kebanyakan pasien menderita defisiensibesi

secara bersamaan. Bintik-bintik basofil pada apusan darah biasa

ditemukan. Deteksi dengan skrining rutin, menghindari pemajanan,

terapi khelasi, dan koreksi defisiensi besi sangat penting untuk

perkembangan anak yang terkena. Intoksikasi timah hitam

mungkin kadang-kadang dapat juga menyebabkan anemia

hemolitik

2. Anemia normositik

Anemia normositik adalah variasi umunm gangguan eritrosit; hal ini

terjadi karena sumsum tulang gagal menyintesis eritrosit dalam jumlah

33
cukup akibat penyakit sistemis. Sintesis eritrosit tidak terjadi karena

fibrosis, tumor, sel penibun, kegagalan sumsum tulang sementara atau

lama (pada eritroblastopenia sementara masa anak atau anemia aplastik),

atau kegagalan menyintesis eritropoietin (misalnya, gagal ginjal). Anemia

normositik juga terjadi pada kehilangan darah akut sebelum sumsum

tulang mempunyai waktu untuk berespons. Lokasi kehilangan darah

biasanya jelas, umumnya di saluran cerna.

3. Anemia makrositik

Defesiensi vitamin b12 dan asam folat meyebabkan anemia makrositik.

Sindrom pearson, anemia sideroblastik yang berkaitan dengan insufisiensi

pancreas, merupakan suatu kelainan mitokondria disertai anemia

makrositik progresif. Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan sel

precursor bervakuola dan cincin sideroblas.

4. Anemia hemolitik

Penyakit hemolitik diperantarai oleh kelainan intrinsic eritrosit atau oleh

kelainan ekstrinsik pada eritrosit itu sendiri. Indicator terbaik pada

keparahan hemolisis adalah kadar hemoglobin dan peningkatan jumlah

retikulosit.

 Anemia hemolitik yang disebabkan oleh kelainan intrinsik eritrosit

Kelainan membrane eritrosit yang paling lazim adalah sferositosis

herediter (SH) dan eliptositosis herediter (EH). Kelainan ini sering

dikaitkan dengan ikterus neonates, walaupun kelainan ini sering

tidak diagnosis pada masa neonatus. Pada kedua kelainan tersebut,

kelainan protein dalam sitoskeleton menyebabkan kelainan bentuk

34
dan fungsi eritrosit. Sferositosis herediter tingkat keparahan

sferositosis herediter sangat bervariasi, yang berkisar dari anemia

hemolitik berat dengan gagal tumbuh, splenomegali, dan

memerlukan tranfusi lama pada masa bayi yang memerlukan

splenektomi awal sampai kelainan yang tidak bergejala,

terkompensasi baik, anemia hemolitik ringan yang mungkin

ditemukan secara kebetulan. Diagnosis sferosis harus dicurigai

pada pasien yang hanya menunjukkan sedikit sferosit sekalipun

pada apus darahnya karena sferosit terutama disingkirkan oleh

limpa. Uji fragilitas osmotic yang diinkubasi memperkuat adanya

sferosit dan meningkatkan kemungkinan diagnosis sferositosis

herediter. Namun, hasil uji fragilitas osmotic akan abnormal pada

setiap penyakit hemolitik bila terdapat sferosit, terutama hemolisis

yang diperantarai antibody. Eliptositosis herediter merupakan

gangguan interaksi spektrin dimer yang terutama terjadi pada

individu keturunan Afrika. Varian yang paling lazim berupa

kelainan morfologis yang tidak bermakna secara klinis tanpa

pemendekan ketahanan hidup eritrosit. Varian yang kurang sering

disertai dengan sferodit, ovalosit serta eliptosit dan dengan

hemolisis moderat yang biasanya terkompensasi. Kedua varian

diturunkan sebagai cirri autosom dominan. Hemolisi yang jauh

lebih berarti terjadi pada sebagian kecil pasien dengan eliptosit,

sferosit, eritrosit terfragmentasi, dan mikrositosis yang mencolok.

Gangguan ini disebut piropoikilositosis herediter dan merupakan

35
akibat kelainan structural spektrin. Istilah “piropoikilositosis”

merujuk pada instabilitas eritrosit yang tidak biasa bila sel tersebut

terpajan dengan panas (45oc).

 Anemia hemolitik yang disebabkan oleh kelainan ekstrinsik

eritrosit

Hemolisis yang diperantai-imun mungkin dapat terjadi diluar

vascular bila eritrosit yang diselimuti dengan antibody atau

komplemen di fagositosis oleh system retikuloendotelial; hemolisis

dapat terjadi dalam vascular bila antibody yang melekat

menyebabkan fiksasi komplemen dan lisi eritrosit

2.11.6 Penatalaksanaan Anemia6

a. Suplementasi untuk bayi prematur/bayi berat lahir rendah (BBLR)

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan kelompok risiko tinggi mengalami

defisiensi besi. Menurut World Health Organization (WHO), suplementasi besi

dapat diberikan secara massal, mulai usia 2-23 bulan dengan dosis tunggal 2

mg/kgBB/hari. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki risiko 10 kali lipat lebih

tinggi mengalami defisiensi besi. Pada dua tahun pertama kehidupannya, saat

terjadi pacu tumbuh, kebutuhan besi akan meningkat.

Bayi prematur perlu mendapat suplementasi besi sekurangkurangnya 2

mg/kg/hari sampai usia 12 bulan. Suplementasi sebaiknya dimulai sejak usia 1

bulan dan diteruskan sampai bayi mendapat susu formula yang difortifikasi atau

mendapat makanan padat yang mengandung cukup besi.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika

merekomendasikan bayi-bayi yang lahir prematur atau BBLR diberikan

36
suplementasi besi 2-4 mg/kg/hari (maksimum 15 mg/hari) sejak usia 1 bulan,

diteruskan sampai usia 12 bulan.10 Pada bayi berat lahir sangat rendah (BBSLR),

direkomendasikan suplementasi besi diberikan lebih awal.

b. Suplementasi untuk bayi cukup bulan

Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi besi

diberikan jika prevalens anemia defisiensi besi tinggi (di atas 40%) atau tidak

mendapat makanan dengan fortifikasi. Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23

bulan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Hal tersebut atas pertimbangan bahwa

prevalens defisiensi besi pada bayi yang mendapat ASI usia 0-6 bulan hanya 6%,

namun meningkat pada usia 9-12 bulan yaitu sekitar 65%.

Bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan kemudian tidak

mendapat besi secara adekuat dari makanan, dianjurkan pemberian suplementasi

besi dengan dosis 1 mg/kg/hari. Untuk mencegah terjadinya defisiensi besi pada

tahun pertama kehidupan, pada bayi yang mendapatkan ASI perlu diberikan

suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan.

The American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian

suplementasi besi pada bayi yang mendapat ASI eksklusif mulai usia 4 bulan

dengan dosis 1 mg/ kg/hari dilanjutkan sampai bayi mendapat makanan tambahan

yang mengandung cukup besi. Bayi yang mendapat ASI parsial (>50% asupannya

adalah ASI) atau tidak mendapat ASI serta tidak mendapatkan makanan tambahan

yang mengandung besi, suplementasi besi juga diberikan mulai usia 4 bulan

dengan dosis 1 mg/kg/hari.

c. Suplementasi untuk balita dan anak usia sekolah

37
Pada anak usia balita dan usia sekolah, suplementasi besi tanpa skrining

diberikan jika prevalens anemia defisiensi besi lebih dari 40%. Suplementasi besi

dapat diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari (dapat sampai 30 mg/hari) selama 3

bulan.

d. Suplementasi untuk remaja

Suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempuan diberikan dengan dosis

60 mg/hari selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60 mg/hari,

secara intermiten (2 kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja perempuan

ternyata terbukti dapat meningkatkan feritin serum dan free erythrocyte

protoporphyrin (FEP). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan

AAP merekomendasikan suplementasi besi pada remaja lelaki hanya bila terdapat

riwayat anemia defisiensi besi sebelumnya, tetapi mengingat prevalens defisiensi

besi yang masih tinggi di Indonesia sebaiknya suplementasi besi pada remaja

lelaki tetap diberikan. Penambahan asam folat pada remaja perempuan dengan

pertimbangan pencegahan terjadinya neural tube defect pada bayi yang akan

dilahirkan dikemudian hari.

Dosis dan lama pemberian suplemen besi :

38
39

Anda mungkin juga menyukai