Kedua rongga hidung adalah bagian teratas dari traktus respiratosrius dan mengandung
reseptor-reseptor penciuman. Rongga hidung adalah ruangan berbentuk baji yang
melebar di bagian inferior dan menyempit di bagian superior (apex)(1). Hidung terdiri dari
hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahannya serta
persarafannya(2). Setiap rongga hidung terdiri tiga regio umum, regio vestibulum nasal
yaitu ruang kecil yang melebar pada nares anterior yang memiliki folikel-folikel rambut
yang disebut vibrissae, yang kedua adalah regio pernafasan yang merupakan regio
terbesar yang sangat kaya akan pembuluh darah dan persarafan dan terdiri dari epitel
pernafasan dan menjalankan fungsi-fungsi tertentu berkenaan dengan proses respirasi.
Regio terakhir adalah regio penciuman yang mengandung reseptor penciuman yang
terletak di atap hidung, konka superior dan 1/3 atas septum.(1)
Hidung pada masa embriologi, selama minggu ke-6 lubang hidung semakin
bertambah dalam, sebagian karena tumbuhnya tonjol-tonjol hidung yang ada di
sekitarnya dan sebagian lagi karena lubang ini menembus ke dalam mesenkim
dibawahnya. Mula-mula membran oronasalis memisahkan kedua lubang hidung tadi dari
rongga mulut primitif, melalui foramina yang baru terbentuk, yakni koana primitif.
Koana ini terletak di sisi kanan dan kiri garis tengah dan tepat dibelakang palatum primer.
Selanjutnya, dengan terbentuknya palatum sekunder dan berkembangnya rongga-rongga
hidung primitif lebih lanjut, koana tetap terletak pada peralihan antara rongga hidung dan
faring. (3)
2.1.1 Hidung Luar (2,4)
Gambar 1 Anatomi Hidung Luar
Diunduh dari http://www.uptodate.com/online/content/images/alle_pix/Nose_external_anatomy.jpg pada
tanggal 21 Agustus 2009 pukul 23.30
Hidung luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas, yang
berbentuk piramid. struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian, bagian paling
atas, kubah tulang yang tidak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maksila
yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis
tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis
anterior merupakan bagian dari prosesusmaksilaris medial embrio yang meliputi
premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling
berfusi di garis tengah juga berfusi dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis.
Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago
lateralis inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh
kolumela, lateral oleh alae nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung.
2.1.2 Hidung Dalam(4)
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di
posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan
struktur tulang di garis tengah yang secara anatomi membagi organ menjadi dua rongga
hidung. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina.
Sedangkan di bagian tulang rawan tersusun oleh kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periostium pada bagian tulang, dan bagian luarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung.
a. Anatomi
1. Hidung (nasal)
Eksternal
1. Apex: bagian atas hidung tepatnya ujung hidung bagian
inferior
2. Radix: terletak pada ujung hidung bag superior dan melekat
pada dahi
3. Dorsum nasi
4. Nares: cuping hidung
5. Tulang rawan : cartilago nasi lateralis, cartilago alaris
major, cartilago alaris minores,
6. Tulang keras : os nasale, os maxilla,
Internal
Rongga hidung (cavum nasi) berbentuk terowongan dari depan
ke belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya
menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Batas rongga hidung (cavum
nasi) di dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang di
bentuk oleh os maxilla dan os palatum dan dinding superior atau
atap hidung sangat sempit dan di bentuk oleh lamina kribriformis
(lempeng tulang).
Sinus Paranasalis
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang
sulit di deskripsikan karena bentuknya bervariasi pada tiap
individu. Sinus paranasal adalah sinus (rongga) pada tulang yang
berada di sekitar nasal. Sinus paranasal dilapisi oleh epitel silindris
bertingkat yang lebih tipis bersilia dan mengandung sedikit sel
goblet di dalamnya.
Rongga-rongga pada tengkorak ini (sinus paranasal) berhubungan
dengan hidung melalui lubang-lubang kecil dan secara terus-
menerus sinus paranasal menghasilkan lendir (mukus) yang
dialirkan ke hidung sebagai akibat dari aktifitas sel epitel bersilia.
Ada empat pasang sinus pranasal mulai dari yang terbesar
1. sinus maxillaries
1. sinus frontalis
2. sinus ethmoidalis
3. sinus sphenoidale
Mukosa: jaringan yang membentuk dan menghasilkan mukus
berupa sekret atau cairan lendir.
Pada keadaan normal hidung berfungsi untuk :
Jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah naso-
faring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Pada ekspirasi, udara masuk melalui choana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di
bagian depan aliran udara memecah, sebagian akan melalui nares
anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi, akan tetapi di bagian depan aliran
udara memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian akan kembali ke
belakang membentuk pusaran.(2)
Gambar 8 Perjalanan Udara dalam Rongga Hidung
Diunduh dari http://z.hubpages.com/u/933863_f248.jpg pada tanggal 21 Agustus 2009 pukul 23.35
Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi serta kerja mirip katup dari
jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan membentuk aliran udara. Beberapa
daerah hidung dimana jalan nafas menyempit dapat diibratkan sebagai katup. Pada bagian
vestibulum hidung, terdapat dua penyempitan. Penyempitan yang lebih anterior terletak
diantara aspek posterior kartilago lateralis superior dan septum nasi. Tiap deviasi septum
nasi pada daerah ini seringkali makin menyempitkan jalan nafas. Penyempitan kedua
terletak pada aperture piriformis tulang. Kedua daerah ini dapat dianggap sangat
bermakna secara klinis.(4)
Bila udara mengalir melalui hidung, ada 3 yang tertentu dikerjakan oleh rongga hidung
Mengatur udara
Udara dihangatkan oleh permukaan kontan dengan septum yang lurus, dengan
total area kira-kira 160 Cm2. Transfer panas dari darah ke udara di dalam
rongga hidung (konka), udara dingin berubah 36-37 0C
Udara dilembabkan sampai hampir lembab sempurna sebelum udara
meninggalkan hidung dengan penguapan sekret hidung
Udara disaring.
Ukuran partikel yang terjerat dalam saluran pernapasan berukuran kira-kira
antara 1-5 mikrometer, mungkin dikeluarkan dalam bronkiolus kecil sebagai
akibat presipitasi gaya berat
3) Refleks menelan
Menelan, dikenal secara ilmiah sebgai deglutisi, merupakan reflex
dalam tubuh manusia untuk mencegah masuknya makanan atau
cairan ke dalam saluran pernafasan. Kalau proses ini gagal dan
benda tersebut masuk trakea seseorang akan tersedak.
Mekanisme menelan dikendalikan oleh medulla oblongata dan
pons. Refleks ini diawali dengan reseptor sentuhan di faring ketika
bolus makanan di dorong ke belakang mulut oleh lidah.
Kemudian :
M. palatum mole tertarik ke atas, untuk mencegah makanan
masuk ke hidung dan lipatan palato faring di setiap sisi
faring mendekat bersama, agar hanya bolus yang berukuran
kecil saja yang bisa lewat.
Laring tertarik ke atas kepakan seperti epiglottis yang
secara pasif menutup jalan masuk untuk plika vokalis
tertarik mendekat bersama, mempersempit laluan di
antaranya.
Pusat pernafasan di medulla oleh pusat menelan dalam
waktu yang singkat agar proses menelan dapat berlangsung.
Hal ini disebut apne deglutisi.
M. sfingter esophagus superior berelaksasi untuk
memungkinkan makanan lewat, yang setelah itu sejumlah
otot konstriktor lurik di faring berkonstruksi secara
berurutan untuk mendorong bolus makanan turun ke
esophagus.
4) Elitrosi/Penyaringan hidung
Elitrosi merupakan mekanisme sistem pertahanan pada saluran
pernafasan yang berperan dalam proses penyaringan terhadap
benda-benda asing yang masuk. Kotoran atau sekumpulan partikel
yang berukuran besar >6 mikrometer maka akan di keluarkan oleh
bulu hidung (vibrisae), sedangkan kotoran yang kecil dengan
ukuran sekitar 1- 5 mikrometer akan ditangkap oleh mukus (hasil
ekskresi dari sel goblet dan kelenjar submkus) kemudian akan
dibawa ke faring untuk ditelan atau dibatukkan.
5) Air Conditioning
Air conditioning merupakan suatu bentuk pertahanan yang
bertujuan untuk menyesuaikan suhu udara yang masuk dengan
suhu tubuh seseorang.
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang berkesinambungan
dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada hidung dan mukosa sinus
terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sal basal
dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan
sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa olfaktorius terdapat pada permukaan atas
konka superior dan dibawahnya terletak mukosa respiratorius. Lapisan mukosa
respiratorius terdiri atas epitel,membran basalis dan lamina propia( Ballenger, 1994 ;
Hilger, 1997).
Mukosa respiratori terdapat pada sebagian besar rongga hidung yang bervariasi
sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat macam sel.
Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar epithelium) yang
mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria
yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan
sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Di antara sel-sel bersilia
terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai mikrovili). (Watelet, 2002).
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada daerah
vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang vestibulum. Epitel
yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan rambut yang disebut
vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan menjadi epitel pipih
berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan ujung septum nasi. Kemudian
pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan berbentuk torak, bersilia pendek dan
agak tidak teratur. Pada meatus media dan inferior yang terutama menangani udara
ekspirasi silianya panjang dan tersusun rapi. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997 ; Watelet ,
2002)
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili yang
berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing pada
permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya ± 1/3 silia dan
mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan fungsinya
mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan diantara sel-sel.
Disamping itu juga memperluas permukaan sel ( Ballenger;1994; Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-sel
goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi
sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu
basah karena dilapisi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. (Ballenger JJ,1994 ; Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
Mukosa pada sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung, hanya
lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia, bertumpu
pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat dengan periosteum
dibawahnya. Silia lebih banyak dekat dengan ostium, gerakannya akan mengalirkan
lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa juga banyak ditemukan didekat
ostium (Ballenger;1994; Waguespack,1995 ; Levine,2002).
Pada membran mukosa juga ditemukan sel neurosekretori dan beberapa macam
sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk kedalam
jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah kontrol saraf
parasimpatis. (Ballenger;1994)
Silia hidung
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia) memiliki
mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya yang
bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan struktur kecil
menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam membersihkan
kotoran dalam hidung . Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat
mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap selnya. Panjang silia antara 5-7
μm dengan diameter 0,3 μm. Denyut silia kira-kira 9-15 Hz pada manusia, dengan
beragam variasi pada mamalia. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral
tunggal yang dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing - masing
mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastik yang disebut dengan neksin
dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya di bawah
permukaan sel. Pada gambar 2.3 tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ;
Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger JJ,1994)
Silia bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan silia
kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi berupa
adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak maju dan
mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400 kali/menit. Silia ini
dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang
menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan oleh silia-silia yang
di belakangnya. Gerakan silia ini merupakan gerakan yang berkesinambungan bukan
gerakan sinkron.
Gerak silia, berdasarkan sejarahnya pertama kali diterangkan oleh Sharpey, pada
tahun 1835, dalam penelitiannya tentang konsep pembersihan mukosiliar secara aktif
dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal. Kemudian dilajutkan
oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada hewan anjing, terhadap
pembersihan mukosiliar pada sinus yang juga memperlihatkan perbaikan mukosa
hidung . Kemudian Sewall dan Boyden melanjutkan untuk mempelajari pentingnya
lapisan mukosa terhadap tulang hidung. Dan berikutnya , Messerklinger
memperkenalkan alat diagnostik, endoskopik nasal. Penemuannya ini adalah sebagai
pendekatan sistemik yang pertama dalam mendiagnosa dan mengobati penyakit sinus
yang mengalami inflamasi. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995 ;
Cohen NA, 2006)
Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring. Mukus
hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari udara
inspirasi, juga untuk memindahkan panas; normalnya mukus menghangatkan udara
inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta melembabkan udara inspirasi dengan
lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah uap demikian
seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat kering yang dapat
berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung. Derajat
kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa
pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara 10-20 kali permenit pada
temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. (Ballenger
JJ,1994 ; Cohen NA.2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ; Wilma T.2007 ; Ballenger
JJ,1994)
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar yang dikenal dengan konfigurasi 9+2. Maksudnya
adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan sebelah luarnya
dikelilingi oleh 9 pasang mikrotubulus(outer double microtubulus). Pada outer double
mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril B . Subfibril A
memiliki struktur dynein arms (lengan dynein) sedangkan subfibril B tidak. Pasangan
mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui radial spokes
(Lang,1989; Waguespack, 1995; McCaffrey,1997)
Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu sama lainnya.
Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan
mikrotubulus dengan pasangannya dan menimbulkan aksi-reaksi. Sedangkan antara
pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang disebut
neksin. (Ballenger;1994 ; Waguespack 1995 ; Cohen , 1996)
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active
stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan lapisan ini.
Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan tadi
(recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1: 3 . Dengan demikian
gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan seorang perenang. Silia ini tidak
bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti efek domino ( metachronical waves)
pada satu area arahnya sama. (Ballenger;1994)