Anda di halaman 1dari 10

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang terjadi di saluran
pernafasan yang menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan
tersebut (Nelson, 2007). Sedangkan menurut The National Asthma
Education and Prevention Program (NAEPP) mendefinisikan bahwa asma
adalah gangguan inflamasi kronik dari saluran pernafasan dimana terdapat
banyak sel dan elemen selular yang berperan. Setiap individu dengan
asma, inflamasi merupakan penyebab episode berulang dari wheezing
(mengi), sesak, chest thigtness, dan batuk.
Asma menyerang ke seluruh bangsa, etnik, dan usia di seluruh
dunia, dengan prevalensi anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
anak perempuan dan setelah pubertas, asma lebih banyak menyerang
wanita dibandingkan dengan pria (NAEPP, 2007).
1. Gejala Klinis Asma
Gejala klinis asma dapat berupa wheezing (mengi), sesak nafas, dada
terasa berat, dan batuk-batuk yang keparahannya bervariasi dan
bersifat reversible secara spontan. Gejala tersebut berhubungan dengan
luasnya proses inflamasi yang sedang terjadi, yang memicu terjadinya
berbagai kondisi (edema, bronkokontriksi, hipersekresi kelenjar, dan
lain-lain). Kondisi tersebut yang menyebabkan pembatasan aliran
udara di saluran pernafasan yang akhirnya menimbulkan sesak nafas
sebagai manifestasi klinis utama yang sangat mengganggu aktivitas,
produktivitas dan kualitas hidup pasien asma (GINA, 2011).
2. Etiologi Asma
Faktor-faktor pencetus sering menyerang asma. Faktor pencetus
tersebut menyebabkan inflamasi pada jalan nafas, yang kemudian akan
menyebabkan gejala asma (Asthma Society of Canada, 2011).

4
Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015
5

Setiap orang memiliki faktor-faktor pencetus yang berbeda-beda, tetapi


dalam setiap kasus sangatlah penting untuk menghindari pencetus
asma untuk meminimalisir inflamasi jalan nafas dan mengurangi
gejala. Menurut Asthma Society of Canada (2011) faktor-faktor
pencetus tersebut diantaranya tungau debu, bulu binatang, kecoa,
tepung sari, asap rokok, latihan fisik, hawa dingin, uap kimia dan
substansi-substansi kimia lain dengan bau yang menyengat seperti
parfum, penyedap rasa serta emosi hebat.
3. Diagnosis Asma
Diagnosis asma berdasarkan :
a) Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit, riwayat keluarga, riwayat
alergi, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asma, dan gejala
klinis.
b) Pemeriksaan fisik
c) Pemeriksaan laboratorium : darah (terutama eosinofil, IgE total, IgE
spesifik), sputum (eosinofil, spiral Curshman, Kristal Cahrcot-
Leyden).
d) Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk
menentukan adanya obstruksi jalan nafas.
4. Penatalaksanaan Asma
Tujuan terapi asma yaitu :
a) Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma.
b) Mencegah kekambuhan.
c) Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin dan
mempertahankannya.
d) Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk
melakukan exercise.
e) Menghindari efek samping obat asma.
f) Mencegah obstruksi jalan nafas yang irreversible

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


6

5. Obat Asma
a. Obat pengontrol (Controllers)
Obat pengontrol merupakan obat asma yang digunakan dalam
jangka panjang untuk mengontrol asma, karena mempunyai
kemampuan mengatasi proses inflamasi yang merupakan
patogenesis dasar penyakit asma. Obat yang mempunyai sifat
sebagai pengontrol, yaitu :
1) Kortikosteroid inhalasi
2) Kortikosteroid sistemik
3) Sodium chromoglicate
4) Nedochromil sodium
5) Methylxanthine
6) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi
7) Leukotriene modifiers
8) Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua
b. Obat pelega (Reliever)
Obat pelega merupakan bronkodilator yang berfungsi
melebarkan saluran pernafasan melalui relaksasi otot polos, untuk
memperbaiki serta menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut asma seperti mengi, rasa berat pada dada dan
batuk. Obat yang mempunyai sifat sebagai pelega, yaitu :
1) Agonis β2 kerja singkat dan kerja lama
2) Anticholinergic (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium,
dan lain-lain)
3) Xanthine (aminophylline)
4) Simpatomimetik lainnya seperti adrenalin, ephedrine, dan lain-
lain.

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


7

B. Adverse Drug Reactions (ADRs)


1. Definisi Adverse Drug Reactions
World Health Organization (WHO) 1972 mendefinisikan ADR
merupakan respon dari suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan oleh manusia
dengan tujuan profilaksis, diagnosis, maupun terapi. Sedangkan
menurut Food and Drug Administration (FDA) ADR yaitu setiap
kejadian yang merugikan berkaitan dengan penggunaan obat pada
manusia.
2. Klasifikasi Adverse Drug Reactions (Edward et al., 2000
Adverse Drug Reactions (ADRs) diklasifikasikan menjadi:
a. Reaksi tipe A (Augmented)
Reaksi tipe A merupakan reaksi yang dapat diprediksi
sebelumnya dan tergantung pada dosis obat yang diberikan.
b. Reaksi tipe B (Bizzare)
Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi
sebelumnya dan tidak ada hubungannya dengan respon
farmakologi, kebanyakan terjadi karena faktor imunologi dan
farmakogenetik. Reaksi tipe B ini tidak tergantung pada dosis obat
yang diberikan walaupun kasus tipe B ini jarang terjadi, akan tetapi
dapat menyebabkan penyakit yang serius atau bahkan kematian.
c. Reaksi Tipe C (Chronic)
Terkait dengan dosis kumulatif.
d. Tipe D (Delayed)
1) Biasanya tergantung dosis.
2) Terjadi beberapa waktu setelah penggunaan obat.
e. Tipe E (End of use)
Terjadi setelah terapi dihentikan secara mendadak.
f. Tipe F (Failure)
1) Tergantung dosis.
2) Sering disebabkan oleh interaksi obat.

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


8

3. Penilaian dugaan terjadinya Adverse Drug Reactions (Edward et al.,


2000)
a. Certain : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium
abnormal, terjadinya berhubungan dengan jarak waktu pemberian
suatu jenis obat tertentu, tetapi efek yang terjadi tidak dapat ada
kaitannya dengan penyakit yang diderita atau dengan obat yang
lainnya. Efek yang diakibatkan obat tersebut dapat dibuktikan
secara farmakologi dan fenomenologi. Apabila pemberian obat
yang dicurigai dihentikan, akan terjadi respon.
b. Probable/likely : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil
laboratorium abnormal, diduga (kemungkinan besar) berhubungan
dengan waktu pemberian suatu obat, sangat kecil kemungkinan
kaitan dengan efek penyakit yang diderita atau dari jenis obat
lainnya, yang akan terjadi respon apabila pemberian obat itu
dihentikan.
c. Possible : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium
abnormal dengan dugaan berhubungan dengan pemberian suatu
jenis obat, tapi masih ada kemungkinan kaitan dengan efek
penyakit yang diderita.
d. Unlikely : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium
abnormal, hubungan antara pemberian obat tertentu bersifat
temporal sehingga dugaan kaitan dengan obat tersebut kecil, tapi
besar kemungkinan berkaitan dengan penyakit yang diderita.
e. Conditional / unclassified : Kejadian klinis termasuk gambaran
hasil laboratorium abnormal, namun belum ada data yang jelas
mengenai kaitan hubungan sebab-akibat dengan pemberian obat.
f. Unassesable / unclassifiable : Suatu laporan dugaan efek samping
obat, tapi tidak dapat dinilai kaitan hubungan sebab-akibat dari
pemberian suatu obat tersebut dikarenakan tidak cukupnya
informasi yang diperoleh atau kontradiksi, sehingga data tersebut
tidak dapat diverifikasi.

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


9

4. Faktor Resiko terjadinya Adverse Drug Reactions


a. Faktor usia, berhubungan dengan kondisi fisiologis organ tubuh
yang berperan dalam proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi obat terutama pada pasien pediatri dan geriatri (Lazarou,
1998).
b. Pasien dengan resep polifarmasi (pasien yang mendapat lebih dari
3 jenis obat). Polifarmasi ini mengakibatkan kemungkinan
terjadinya interaksi obat menjadi lebih besar.
c. Ketidakpatuhan pasien, faktor ini dapat timbul karena adanya efek
samping obat, sehingga pasien cenderung menolak mengkonsumsi
obat.
d. Faktor penyakit kronik, faktor ini biasanya berhubungan dengan
jumlah obat yang diperoleh dan kemungkinan terjadinya interaksi
obat (Lazarou, 1998).
C. Rumah Sakit
1. Definisi Rumah Sakit
Rumah Sakit merupakan suatu organisasi kompleks dengan
menggunakan gabungan ilmiah yang khusu dan rumit, difungsikan
oleh berbagai kesatuan tenaga kesehatan yang terlatih dan terdidik
dalam menghadapi dan menangani permasalahan medis modern, yang
dimaksudkan untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik
(Siregar dan Amalia, 2003).
2. Tugas Rumah Sakit
Tugas rumah sakit umum yaitu melaksanakan upaya kesehatan secara
berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan
dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara selaras dan terpadu dengan
upaya peningkatan dan upaya pencegahan serta melaksanakan rujukan
(KepMenKes RI No. 983/MENKES/SK/XI/1992).
3. Fungsi Rumah Sakit
a. Pelayanan dan asuhan keperawatan.
b. Pelayanan rujukan dalam upaya kesehatan.

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


10

c. Pelayanan penunjang medik dan nonmedik, pendidikan dan


pelatihan.
d. Penelitian dan pengembangan.
e. Pencegahan dari penyakit serta peningkatan pelayanan kesehatan
masyarakat (Siregar dan Amalia, 2003).
D. Rekam Medik
1. Definsi Rekam Medik
Rekam medik yaitu sejarah singkat, jelas, dan akurat mencakup
kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medis.
Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik rekam
medik merupakan suatu berkas yang berisi catatan dan dokumen
mengenai identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, dan
pengobatan serta pelayanan lainnya yang diberikan kepada seorang
pasien selama dirawat dirumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat
inap.
2. Fungsi Rekam Medik
a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan
penderita.
b. Merupakan suatu saran komunikasi antar dokter dan setiap
profesional yang berkontribusi pada perawatan penderita.
c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya / penyebab kesakitan
penderita dan penanganan / pengobatan selama tiap tinggal di
rumah sakit.
d. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi
perawatan yang diberikan kepada penderita.
e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah
sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.
f. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan
pendidikan.

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


11

g. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data dalam


rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya
pengobatan seorang penderita.
3. Isi Rekam Medik
Rekam medik yang lengkap mencakup (Siregar, 2003) :
a. Data identifikasi dalam rekam medik pada umumnya terdapat
dalam lembar penerimaan masuk rumah sakit. Lembaran ini pada
umumnya berisikan informasi yang mencakup nomor rekam
medik, nama, alamat penderita, nama suami / istri, nomor telepon
rumah dan kantor, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status
perkawinan, pekerjaan, nama dan alamat dokter keluarga,
diagnosis pada waktu penerimaan, tanggal dan watu masuk rumah
sakit, dan tempat di rumah sakit.
b. Lembar sejarah penerimaan merupakan lembar yang berisi tentang
keluhan utama dan kesakitan penderita yang sekarang.
c. Lembar pemeriksaan sejarah dan fisik menyediakan pada dokter
informasi masuk rumah sakit pada waktu yang telah lalu, dengan
diagnosis, bedah dan luka utama yang telah dialami penderita;
sejarah penyakit infeksi; jika ada kehamilan: tanggal, hasil
pemeriksaan, dan komplikasi; data imunisasi; sejarah transfusi:
tanggal, reaksi, dan komplikasi; pengobatan sekarang; dasar
sosiologi meliputi: kebiasaan minum alkohol, merokok, makanan,
tinggi dan bobot badan, sejarah pendidikan, sejarah pekerjaan,
status perkawinan, kesehatan istri / suami, dan sejarah keluarga.
d. Lembar pemeriksaan fisik meliputi pengkajian sistematik pada
kulit, kepala, leher, pernapasan, jantung, dada, saluran cerna,
uriner, genital dan sebagainya.
e. Lembar laboratorium meliputi kimia, hematologi, mikrobiologis,
serologis, patologi dan juga radiologi.
f. Catatan bedah meliputi uraian temuan, rincian teknik yang
digunakan, dan jaringan yang dikeluarkan.

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


12

E. Skala naranjo
Skala naranjo merupakan salah satu metode untuk menghitung
kemungkinan-kemungkinan terjadinya ADR. Ada beberapa pertanyaan
pada skala naranjo dengan skor lebih dari 9 maka pasti ADR (definite
ADR), antara 5-8 maka kemungkinan besar ADR (probable ADR), antara
1-4 maka kemungkinan ADR (possible ADR), dan jika 0 maka bukan
ADR (doubtful ADR). Skala naranjo tidak dapat memperhitungkan
interaksi obat dengan obat. Kelebihan dari skala naranjo obat dievaluasi
secara individual untuk kausalitas, dan poin dikurangi jika ada faktor lain
dan mengakibatkan efek samping.
Tabel. 1 Perhitungan Skala Naranjo
Perhitungan Score pada
No Pertanyaan Naranjo
Ya Tidak N/A
Apakah pasti telah ada laporan mengenai ADR
1. 1 0 0
tersebut sebelumnya?
Apakah ADR muncul setelah obat yang dicurigai
2. 2 -1 0
tersebut diberikan?
Apakah ADR membaik saat obat dihentikan / diberi
3. 1 0 0
antagonis spesifiknya?
Apakah ADR makin parah jika dosis dinaikkan /
4. 1 0 0
membaik jika dosis diturunkan?
Apakah ada penyebab ADR tersebut selain karena
5. -1 2 0
obat?
Apakah ADR tersebut muncul saat diberikan
6. -1 1 0
placebo?
Apakah kadar obat dalam darah termasuk kadar
7. 1 0 0
toksik?
Apakah ADR muncul lagi saat obat diberikan
8. 2 -1 0
kembali?
Apakah pasien pernah mengalami ADR sejenis saat
9. 1 0 0
menggunakan obat / golongan obat tertentu?
Apakah ADR tersebut didukung dengan bukti yang
10. 1 0 0
meyakinkan?

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015


13

F. Kerangka Konseptual

Penggunaan obat asma Kejadian ADR meliputi


Causality dan Preventablity

Gambar 1. Kerangka konseptual penelitian

Evaluasi Adverse Drug..., Nia Aulia Febrianty, Farmasi UMP, 2015

Anda mungkin juga menyukai