Anda di halaman 1dari 17

JOURNAL READING

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

ENURESIS NOKTURNAL DAN GANGGUAN PERNAFASAN SAAT


TIDUR PADA ANAK SEKOLAH DASAR: POTENSI IMPLIKASI

Pembimbing:
dr. Irene Akasia Oktariana, Sp.A

Disusun oleh:
Daniel Kusnadi (01073170157)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 19 NOVEMBER – 26 JANUARI 2018
JAKARTA, 2018
PERKEMBANGAN SARAF PADA ANAK-ANAK USIA PRA-SEKOLAH
DENGAN PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

Hiroo Wada MD, PhD, Manami Kimura MD, Tomokazu Tajima MSc, Ryutaro Shirahama MD, PhD,
Yohei Suzuki MD, Yuka Suzuki MPH, Toshinari Hayashi MD, Koutatsu Maruyama PhD, Motoki Endo
MD, PhD, Naoko Sakamoto PhD, Ai Ikeda PhD, David Gozal MD, MBA, Takeshi Tanigawa MD, PhD
ABSTRAK

Pendahuluan :

Hubungan antara enuresis nokturnal (NE-Nocturnal Enuresis) dan kelainan bernafas saat tidur
(SDB – Sleep Disordered Breathing) sudah dilaporkan berulang, akan tetapi terutama terfokus
kohort klinis. Tujuan dari studi ini adalah untuk mempelajari apakah gejala seperti mengorok
dan tidur yang tidak pulas pada pagi hari diasosiasikan dengan enuresis nokturnal pada skala
besar komunitas sekolah.

Metode :

Sebuah studi cross sectional menggunakan kuisioner standar dilakukan pada 20000 anak
sekolah dasar (5-12 tahun) di Matsuyama, Jepang. Asosiasi antara enuresis nokturnal dan
frekuensi mendengkur dievaluasi menggunakan logistik multivariat dan analisis regresi.

Hasil :

Odds ratio (95 % confidence interval) yang disesuaikan dengan varibel multipel untuk enuresis
adalah 1.21 (1.04 -1.40) dan 1.36 (1.07- 1.73) pada laki-laki yang mendengkur 1 atau 2 malam
per minggu dan lebih dari sama dengan 3 malam per minggu, secara berurutan (P untuk tren
<0.0001). Asosiasi yang signifikan antara enuresis nokturnal dan mendengkur ditemukan pada
anak-anak yang tidak melaporkan tidur tidak nyenyak (P-tren untuk laki-laki dan perempuan
adalah <0.0001 dan <0.01, secara berurutan). Walaupun asosiasi signifikan antara enuresis
nokturnal dan frekuensi tidur tidak nyenyak dideteksi pada anak yang mendengkur >1 malam
per minggu (p untuk tren >0.1).

Kesimpulan :

mekanisme patogenik yang menghubungkan mendengkur dan tidur tidak nyenyak dengan
peningkatan risiko enuresis nokturnal belum diketahui. Akan tetapi, pelapor gangguan bernafas
saat tidur diasosiasikan dengan peningkatan produksi urin, dantidur tidak nyenyak dapat
diakibatkan oleh peningkatan level kesadaran dan gangguan pada siklus tidur. Sehingga,
gangguan nafas saat tidur dan tidur yang tidak nyenyak merupakan faktor risiko independen
enuresis nokturnal pada anak umur sekolah.
1. PENDAHULUAN
Enuresis nokturnal pada anak adalah kondisi klinis yang signifikan dan sering
terjadi yang bukan hanya mengganggu pembentukan kepercayaan diri, akan tetapi
dapat juga mempengaruhi dinamika keluarga dan oleh karena itu, dapat menimbulkan
masalah psikologis saat masa kanak-kanak. Pendekatan terapetik pada enuresis
nokturnal termasuk intervensi sikap, dengan cara, penggunaan alarm, dan
farmakoterapi dengan desmopressin. Selain itu, faktor risiko enuresis nokturnal yang
dapat diobati adalah gangguan nafas saat tidur; memang, dalam observasi klinis
prevalensi NE lebih tinggi pada anak dengan SDB, dan secara resiprokal, SDB lebih
sering ditemukan pada pasien yang mengalami NE. Selain itu, beberapa studi
melaporkan bahwa adenotonsillectomi pada anak dengan SDB yang mengalami
hipertrofi adenotonsiler memperbaiki bukan hanya SDB, tetapi juga memperbaiki NE.
Temuan ini harus diperhatikan dengan seksama, karena penurunan NE tahunan terjadi
pada anak sekolah dasar, yang mengkontribusikan 14% dari kasus NE.
Secara patogenesis dari NE, ada teori “3 sistem”, dimana “3 sistem” ini
meliputi, produksi urin berlebih, gagal untuk bangun, dan hiperaktivitas kantung kemih
yang disugestikan sebagai proses patogenesis yang paling signifikan. Dari ketiga faktor
ini, proses patologis 2 yang pertama paling sering dihubungkan dengan SDB.
Menariknya, habitual snoring, walaupun dengan temuan klinis yang normal dan hasil
polysomnography (PSG) normal, akantetapi, ditemukan bahwa anak-anak ini memiliki
abnormalitas sikap dan kognisi, selain itu kelainan dari parameter kardiometabolik, dan
juga peningkatan risiko NE, dan secara resiprokal NE mempengaruhi peningkatan
kejadian SDB.
Oleh karena itu, tujuan dari studi ini adalah evaluasi asosiasi antara gejala yang
berhubungan dengan SDB dengan NE pada penelitian skala besar pada survey anak
sekolah.
2. METODE
2.1 Peserta dan desain studi
Penelitian ini adalah studi cross-sectional yang dilaksanakan hampir 20.000
anak sekolah dasar. Rincian penelitian sebelumnya dijelaskan di tempat lain. Secara
singkat, kuesioner terdiri dari nilai sekolah, tinggi dan berat badan, dan item yang
berfokus pada kecemasan dan hiperaktivitas perilaku, dan perilaku terkait tidur dan
gejala diberikan sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perilaku dan gejala
yang terkait tidur mencakup pertanyaan hal-hal berikut : "Apakah Anda pikir tidur
anak Anda cukup?", "Apakah anak Anda mengalami kesulitan bangun di pagi hari?
", “ apakah anak anda lambat saat bangun tidur dipagi hari?”, “ Apakah anak anda
terlihat lelah?”, “Apakah anak anda mengompol?”, “Ketika sedang aktif, apakah
anak anda tiba-tiba tertidur?”, “Apakah anda mengguncang anak anda agar anak
anda bernafas?”, “sudahkah anda menyaksikan periode apnea saat anak anda
bernafas?”, “apakah anak anda berjuang untuk bernafas saat tidur?”, “apakah anda
khawatir tentang pernafasan anak anda saat tidur?”, “seberapa kencang anak anda
mendengkur?”, “apakah anak anda mendengkur saat tidur?”. Kuisioner juga
mencakup riwayat medis yang signifikan seperti asma, hipertrofi adenotronsiler,
dan juga ansietas. Ansietas didefinisikan skor lebih dari sama dengan 4 pada
kuisioner strengths and difficulties questionnaire (SDQ).
Kuisioner diberikan pada pengasuh anak, yang pada akhir kegiatan, respon
diambil, malalui guru-guru di kelas masing-masing. Murid kelas 1 sekolah dasar
terdiri dari anak umur 6-7 tahun, kelas 2 umur 7-8 tahun, kelas 3 umur 8-9 tahun,
kelas 4 terdiri atas umur 9-10 tahun, kelas 5 termasuk anak umur 10-11 tahun, kelas
6 termasuk anak umur 11-12 tahun.
Studi ini diresmikan oleh Human Research Ethics Committee, universitas
Juntendo (Protokol No. 2014085), dan informed consent disetujui oleh pengasuh
anak.
2.2 Kuisioner
Frekuensi mingguan dari gejala mendengkur dan mengompol dan juga
pertanyaan yang melingkupi ketidaknyenyakan tidur. Contoh dari pertanyaan nya
adalah , “mudah nya bangun tidur saat pagi hari”, yang di ukur dengan skala likert
“tidak pernah”, “sekali”, “dua kali”, “tiga sampai empat kali,” atau “empat kali atau
lebih” per minggu. Anak dengan NE didefinisikan sebagai anak yang melaporkan
paling tidak lebih dari sama dengan satu kali per minggu mengalami NE.
2.3 Analisa Statistik
Analisa logistik univariat dan multivariat dilakukan untuk mengevaluasi odd
ratio dan confidence intervals, dan analisis regresi multivariat dilakukan untuk
pemeriksaan atribut independen NE relatif dengan frekuensi mendengkur atau tidur
tidak nyenyak, dengan anak yang tidak mendengkur atau melaporkan
ketidaknyenyakan tidur sebagai pembanding.
Analisis multivariat disesuaikan untuk potensi faktor perancu termasuk index
Rhorer, kelamin, tingkat sekolah, riwayat asma, hipertrofi adenotonsilar, dan skor
SDQ (lebih dari sama dengan empat dianggap memiliki ansietas) sebagai indikator
ansietas, dan manifestasi terkait tidur, seperti, pernafasan terganggu, dan dengkuran
keras saat tidur. Stratifikasi dilakukan elalui frekuensi mendengkur dan
ketidaknyenyakan tidur, serta dengan tingkat sekolah. P Value kurang dari 0.05
dianggap sebagai tanda statistik bermakna. Semua analisa statistik dilakukan
dengan software SAS versi 9.4 (SAS Institute, Cary, NC).
3. HASIL
3.1 Demografi dari peserta penelitian
Tabel 1 menunjukan demografik dari peserta penelitian, dan mengindikasikan
bahwa prevalensi NE lebih tinggi pada anak laki-laki dan pada usia sekolah yang
lebih muda. Hal ini dibuktikan dengan prevalensi NE 17.2 % pada anak laki-laki
dan 13.7 % pada anak perempuan pada sekolah dasar tingkat pertama. Laki-laki
lebih banyak menderita riwayat penyakit yang diaggap signifikan dalam penelitan
ini termasuk, Asma (P<0.0001) dan hipertrofi adenotonsiler (P<0.0001) dari pada
anak perempuan. Anak perempuan pada tingkat sekolah yang lebih tinggi lebih
banyak menderita ansietas dari pada laki-laki (P=0.02).
Kurang dari 50% anak-anak melaporkan mendengkur. Prevalensi mendengkur
lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan, yang di mana variabel ini dipakai
sebagai univariat ataupun multivariat yang disesuaikan dengan odd ratio dan 95 %
CI. Memang mendengkur pada laki-laki merupakan salah satu gejala utama SDB,
1.76 kali lebih sering dari pada perempuan. Prevalensi dari ketidaknyenyaka tidur
hampir sama persis antar tingkat sekolah dan antar jenis kelamin (tabel 2).
Prevalensi gejala terkait tidur yang termasuk dengkuran keras, dan gangguan nafas
saat tidur ditunjukan pada tabel 2.
3.2 Asosiasi antara mendengkur dengan NE
Tabel 3 menunjukan prevalensi dari NE terkait frekuensi mendengkur. Semakin
sering nya mendengkur diasosiasikan dengan peningkatan prevalensi NE pada laki-
laki maupun pada perempuan dalam analisis terkait umur. Akan tetapi, pada
perempuan, asosiasi ini tidak signifikan secara statistik dalam analisis regresi
multivariat setelah stratifikasi menurut tingkat sekolah (tabel 3). Setelah stratifikasi
menurut ketidaknyenyakan tidur, asosiasi signifikan muncul pada anak yang tidak
melaporkan mendengkur.
3.3 Asosiasi antara sulit bangun pada pagi hari dan NE
Tabel 4 mempresentasikan OR(95% Ci) untuk NE menurut frekuensi dari
ketidaknyenyakan tidur, dimana prevalensi tidur tidak nyenyak, diasosiasikan
dengan peningkatan prevalensi NE. temuan yang sama terjadi pada sampel anak
perempuan. Setelah stratifikasi menurut frekuensi mendengkur, asosiasi antara NE
dan ketidaknyenyakan tidur tetap signifikan secara statistik pada anak yang tidak
pernah mendengkur, atau pada anak yang mendengkur satu sampai dua kali
seminggu pada kedua jenis kelamin, tetapi tidak pada anak yang mendengkur tiga
kali per minggu atau lebih.
Untuk mengevaluasi lebih jauh tentang potensi hubungan antara NE dan gejala
terkait SDB dan mendengkur, penelitian ini menghitung prevalensi NE kasar
(Grafik 1A) dan OOR yang disesuaikan multivariat untuk NE menurut kategori
dibandingkan dengan sampel yang tidak pernah mendengkur atau yang tidak pernah
tidur tidak nyenyak (Grafik 1 B). Sebagian besar dari kelompok dengan manifestasi
terkait tidur, menunjukan peningkatan prevalensi NE, ketika persentasi kasar dari
NE dan OR pada kelompok anak yang sering mendengkur dan memiliki kesulitan
bangun tidur tiga kali seminggu atau lebih, lebih rendah dari pada kelompok didekat
nya.
4. DISKUSI
Pada grup besar kohort dari kominitas anak pada sekolah dasar, studi ini
menunjukan bahwa mendengkur atau ketidaknyenyakan tidur, diasosiasikan dengan
prevalensi NE yang lebih tinggi. Temuan dari penelitian ini menguatkan dari laporan
sebelumnya tentang NE dan SDB pada sampel klinis, juga temuan kohort berbasis
komunitas yang dilaporkan sampai hari ini, dan hal ini juga didukung oleh adanya bukti
bahwa adenotonsilektomi pada anak yang menderita SDB tidak hanya memperbaiki
gejala SDB, akan tetapi memperbaiki NE. lebih jauh lagi studi ini berpendapat bahwa
gejala yang sering pada tidur tidak nyanyak diasosiasikan dengan prevalensi NE yang
lebih tinggi.
Seperti yang ditunjukan pada tabel 1, temuan pada studi ini menunjukan ada
sebuah isu penting terkait dengan patogenesis enuresis. Tidur yang tidak nyenyak,
enuresis, dan frekuensi mendengkur terasosiasikan pada laki-laki, akan tetapi tidak
pada perempuan setelah stratifikasi menurut tingkat sekolah. Banyak faktor
tumbuhkembang yang memodulasi asosiasi SDB dan enuresis antara laki-laki dan
perempuan. Pertama, sensitivitas renal pada vasopresin berbeda pada laki-laki dan
perempuan, dan dapat mepengaruhi volume urin. Kedua, hormon sex memiliki efek
yang menguntungkan pada prevalensi SDB pada perempuan, dan bisa dibandingkan
dengan wanita premenopause. Ketiga, maturasi neural lebih dahulu terjadi pada
perempuan, sehingga kontrol kantung kemih lebih baik pada perempuan dari pada laki-
laki. Terakhir, perempuan lebih menunjukan kebutuhan mereka untuk evakuasi urin
lebih duu, mengakibatkan toilet training terjadi lebih dulu dibandingkan laki-laki.
Selain itu laki-laki lebih sering mendengkur, hal ini di tunukan risiko SDB yang lebih
tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi paralel dengan tinggi nya
prevalensi enuresis pada laki-laki. Semua faktor ini dapat mengubah perbedaan pada
kontrol kantung kemih dan enuresis antara anak laki-laki dan anak perempuan.
4.1 NE bisa timbul sebagai manifestasi dari kelainan kognisi/poor awakening
Survei berbasis komunitas pada 20 000 anak pada penelitian ini berpendapat
bahwa manifestasi terkait tidur, walaupun jarang terjadi, satu minggu sekali, dapat
meningkatkan risiko NE, dengan kata lain, apabila kita menganggap NE sebagai
konseuesi morbid dari SDB, maka wujud teringan dari SDB pun cukup dalam
meningkatkan risiko dari morbiditas tersebut. Temuan ini didasarkan oleh studi
terkini yang melaporkan bahwa mendengkur sekali seminggu diasosiasikan dengan
gangguan kognisi dan sikap. Selain itu smith melaporkan bahwa perubahan pada
sikap mencapai plateau pada anak yang mendengkur lebih dari sama dengan 2
malam per minggu, dan kognisi yang akan semakin terganggu seiring peningkatan
frekuensi mendengkur. Sehingga, walaupun inferensi kausal tidak dapat
disimpulkan dari hasil ini, tapi dapat disimpulkan NE merupakan morbiditas target
organ akhir yang signifikan dari SDB pada anak, yang memiliki dependensi dosis
akan SDB.
4.2 Peran mendengkur
Mendengkur dapat dilihat sebagai gejala yang mewakili sindrom SDB, anak
yang sering mendengkur kemungkinan mengalami peningkatan risiko untuk
peningkatan indeks AHI, yang merupakan index standar dari tingkat keparahan
SDB. Pada studi dari Sans Capdevila et al, nilai AHI yang lebih tinggi saat tidur
biasanya disertai dengan peningkatan level BNP pada darah pada anak dengan
SDB, bersama dengan penurunan level hormon anti-diuretik (vassopressin) seperti
yang dilaporkan pada studi kecil lainnya. Hormon yang meregulasi balans cairan
pada tubuh ini, apabila mengalami penurunan, akan mempromosikan peningkatan
produksi urin, akibatnya terjadi fasilitasi kejadian NE diantara anak yang
mendengkur yang dimana tidak melaporkan tidur yang tidak nyanyak. Uniknya,
asosiasi ini tidak ditemukan pada anak yang menunjukan ketidaknyenyakan tidur
dipagi hari, yang memberikan kesan ada sesuatu hal yang mengalami tumpang
tindih, dimana frekuensi dengkur yang tinggi dan SDB yang lebih parah, dapat
mempersulit membangunkan anak akibat penurunan kualitas tidur pada malam hari,
yang akan tetapi, diinterpretasikan bahwa anak tersebut tidak sulit tidur.
Sebaliknya, laporan dari tidur yang tidak nyenyak dapat refleksikan penyebab dasar
dari peningkatan ambang kesadaran independen terhadap SDB, atau dapat sebagai
manifestasi dari SDB akibat fragmentasi tidur.
Terdapat beberapa temuan pada studi lain, pada suatu penelitian kohort besar,
anak-anak dari tiap jenis kelamin across yang tersebar pada rentang umur yang
lebar, dapat menjelaskan hasil kontroversial pada studi epidemiologik di 597 anak
(diantara nya 215 anak perempuan), yang menjalankan PSG sebagai bagian dari
studi kohort termasuk >5000 anak, prevalensi dari NE tidak lebih banyak pada anak
dengan bukti OSA, akan tetapi meningkat seiring peningkatan tingkat keparahan
OSA pada perempuan, tapi tidak pada laki-laki. Terlebih lagi, NE diasosiasikan
dengan frekuensi dengkur yang tinggi pada studi di Turki, akan tetapi temuan
tersebut tidak ditemukan pada studi di Italy.
Asosiasi antara seringnya frekuensi tidur tidak pulas dan prevalensi NE yang
tinggi dapat di jelaskan dengan peningkatan ambang arousal putatif, yang
mengkonstitusikan 1 dari 3 pilar NE pada model 3 sistem. Hal ini memungkinkan
karena tidur tidak nyenyak dan kegagalan bangun tidur dapat terjadi akibat ritme
sirkardian yang imatur atau perubahan sleep-wake cycle pada anak yang dijelaskan
dengan sistem serotonin-melatonin dan/atau dengan respon kortisol saat proses
bangun tidur., anak dengan NE lebih mungkin ngantuk pada pagi hari, dan tidak
dapat dibangunkan secara mudah. Anak yang mengalami NE juga tidur nya
terfragmentasi, hal ini dijelaskan dengan peningkatan arousal index, dengan
pergeseran EEG yang sering terjadi dari stage N3 ke N1-N2, seperti yang
sebelumnya dijelaskan pada beberapa anak dengan NE.
4.3 Limitasi
Studi ini terdapat beberapa limitasi: pertama, informasi didapatkan berdasarkan
pengasuh anak yang menjawab kuisioner. Hal ini dapat mengakibatkan bias pelapor
karena pengasuh, yang dimana anaknya menderita NE dapat lebih khawatir melihat
sifat tidur. Kedua, studi ini memperlakukan analisis cross-sectional, yang dimana
hubungan antar kausal tidak memungkinkan. Ketiga, faktor risiko dari NE juga
termasuk riwayat keluarga, toilet training, medikasi, problem psikis, dan pola
minum, dan jumlah saudara, yang semua nya ini tidak diinvestigasikan pada studi
ini, tapi dapat mempengaruhi hasil dari penelitian studi ini. Terakhir, studi ini
didasarkan oleh gejala terkait tidur seperti mendengkur dan tidur yang tidak
nyenyak, dan tidak didasarkan dengan rekaman PSG, oleh karena itu pengukuran
obyektif dari SDB tidak memungkinkan. Akan tetapi, mulai terdapat bukti-bukti
bahwa gejala mendengkur tanpa abnormalitas pada PSG, merupakan prediktor yang
kuat untuk morbiditas target organ akhir, pada kasus ini adalah morbiditas sifat.
Oleh karena itu, penggunaan variabel mendengkur dan tidur tidak nyenyak saja,
tanpa adanya PSG harusnya dapat meningkatkan kecurigaan sebagai potensi nya
sebagai kontributor NE.
5. Kesimpulan
Studi ini menunjukan bahwa mendengkur dan ketidaknyenyakan tidur pada
pagihari diasosiasikan secara independen dengan NE pada anak usia sekolah. Kesulitan
membangunkan anak pada pagi hari harus dipertimbangkan sebagai faktor predisposisi
NE, atau dilihat sebagai gejala yang terkait SDB yang dapat mengakibatkan enuresis.
Daftar Tabel dan Grafik

TABEL 1-Karakteristik dmeografi peserta survei. Di Jepang, anak tingkat 1 adalah anak yang berumur 6-7 tahun, tingkat 2
berumur 7-8 tahun, tingkat 3 berumur 8-9 tahun, tingkat 4 berumur 9-10 tahun, tingkat 5 berumur 10-11 tahun, tingkat 6
berumur 11-12 tahun.

TABEL 2- Durasi tidur yang dilaporkan dan gejala terkait tidur pada peserta survei. Di Jepang, anak tingkat 1 adalah anak
yang berumur 6-7 tahun, tingkat 2 berumur 7-8 tahun, tingkat 3 berumur 8-9 tahun, tingkat 4 berumur 9-10 tahun, tingkat
5 berumur 10-11 tahun, tingkat 6 berumur 11-12 tahun.
Grafik 1- Prevalensi NE kasar pada anak (A), dan odd ratio
multivariat untuk NE (B), berdasarkan kategori grup dari frekuensi
dengkur (tidak pernah, 1-2 malam/minggu, ≥3 malam/ minggu dan
tidur tidak nyenyak (tidak pernah, 1-2 malam/minggu, ≥3
malam/minggu) dibandingkan dengan orang yang tidak pernah
mendengkur dan tidur tidak nyenyak.

TABEL 3-Odd (95% CI) berdasarkan frekuensi


mendengkur. Telah disesuaikan dengan index
Rhorer, kelamin, tingkat sekolah, riwayat asma,
hipertrofi adenotonsilar, dan skor SDQ.
TABEL 4-Odd Ratio (95% CI) enuresis
berdasarkan tidur tidak nyenyak. berdasarkan
frekuensi mendengkur. Telah disesuaikan
dengan index Rhorer, kelamin, tingkat sekolah,
riwayat asma, hipertrofi adenotonsilar, dan skor
SDQ.
Daftar Pustaka
1. Van Herzeele C, De Bruyne P, De Bruyne E, Walle JV. Challenging
factors for enuresis treatment: psychological problems and nonadherence. J Pediatr Urol. 2015;11:308–
313.
2. Phung P, Kelsberg G, Safranek S. Clinical inquiry: does primary
nocturnal enuresis affect childrens' self-esteem? J Fam Pract. 2015;64:
250–259.
3. Vande Walle J, Rittig S, Bauer S, et al. Practical consensus
guidelines for the management of enuresis. Eur J Pediatr. 2012;
171:971–983.
4. Bascom A, Penney T, Metcalfe M, et al. High risk of sleep
disordered breathing in the enuresis population. J Urol. 2011;186:
1710–1713.
5. El-Mitwalli A, Bediwy AS, Zaher AA, Belal T, Saleh AB. Sleep apnea in
children with refractory monosymptomatic nocturnal enuresis. Nat Sci
Sleep. 2014;6:37–42.
6. Karabulut H, Acar B, Babademez MA, Acar M, Karaşen M. In reference
to effectiveness of adenotonsillectomy in the resolution of nocturnal
enuresis secondary to obstructive sleep apnea. Laryngoscope.
2007;117:2260.
7. Barone JG, Hanson C, DaJusta DG, Gioia K, England SJ, Schneider D.
Nocturnal enuresis and overweight are associated with obstructive
sleep apnea. Pediatrics. 2009;124:e53–e59.
8. Basha S, Bialowas C, Ende K, Szeremeta W. Effectiveness of
adenotonsillectomy in the resolution of nocturnal enuresis
secondary to obstructive sleep apnea. Laryngoscope. 2005;115:
1101–1103.
9. Park S, Lee JM, Sim CS, et al. Impact of adenotonsillectomy on
nocturnal enuresis in children with sleep-disordered breathing: a
prospective study. Laryngoscope. 2016;126:1241–1245.
10. Jeyakumar A, Rahman SI, Armbrecht ES, Mitchell R. The association
between sleep-disordered breathing and enuresis in children.
Laryngoscope. 2012;122:1873–1877.
11. Su MS, Li AM, So HK, Au CT, Ho C, Wing YK. Nocturnal enuresis in
children: prevalence, correlates, and relationship with obstructive
sleep apnea. J Pediatr. 2011;159:238–242.
12. Sakamoto N, Gozal D, Smith DL, et al. Sleep duration, snoring
prevalence, obesity, and behavioral problems in a large cohort of
primary school students in Japan. Sleep. 2017;40: https://doi.org/
10.1093/sleep/zsw082.
13. Caldwell PH, Deshpande AV, Von Gontard A. Management of
nocturnal enuresis. BMJ. 2013;347:f6259.
14. Nevéus T. The role of sleep and arousal in nocturnal enuresis. Acta
Paediatr. 2003;92:1118–1123.
15. Smith DL, Gozal D, Hunter SJ, Philby MF, Kaylegian J, Kheirandish-Gozal L. Impact of sleep
disordered breathing on behaviour
among elementary school-aged children: a cross-sectional analysis
of a large community-based sample. Eur Respir J. 2016;48:
1631–1639.
16. Barnes ME, Huss EA, Garrod KN, et al. Impairments in attention in
occasionally snoring children: an event-related potential study. Dev
Neuropsychol. 2009;34:629–649.
17. Khalyfa A, Gharib SA, Kim J, et al. Peripheral blood leukocyte gene
expression patterns and metabolic parameters in habitually snoring
and non-snoring children with normal polysomnographic findings.
Sleep. 2011;34:153–160.
18. Sans Capdevila O, Crabtree VM, Kheirandish-Gozal L, Gozal D.
Increased morning brain natriuretic peptide levels in children with
nocturnal enuresis and sleep-disordered breathing: a communitybased study. Pediatrics.
2008;121:e1208–e1214.
19. Stone J, Malone PS, Atwill D, McGrigor V, Hill CM. Symptoms of sleepdisordered breathing in
children with nocturnal enuresis. J Pediatr Urol.
2008;4:197–202.
20. Jönson Ring I, Markström A, Bazargani F, Nevéus T. Sleep disordered
breathing in enuretic children and controls. J Pediatr Urol. 2017;13:
620.e1–620.e6.
21. Alexopoulos EI, Malakasioti G, Varlami V, Miligkos M, Gourgoulianis K,
Kaditis AG. Nocturnal enuresis is associated with moderate-to-severe
obstructive sleep apnea in children with snoring. Pediatr Res.
2014;76:555–559.
22. Tsai JD, Chen HJ, Ku MS, et al. Association between allergic disease,
sleep-disordered breathing, and childhood nocturnal enuresis: a
population-based case-control study. Pediatr Nephrol. 2017;32:
2293–2301.
23. Waleed FE, Samia AF, Samar MF. Impact of sleep-disordered
breathing and its treatment on children with primary nocturnal
enuresis. Swiss Med Wkly. 2011;141:w13216.
24. Kovacevic L, Wolfe-Christensen C, Lu H, et al. Why does adenotonsillectomy not correct enuresis
in all children with sleep disordered
breathing? J Urol. 2014;191:1592–1596.
25. Schroeder MK, Juul KV, Mahler B, Nørgaard JP, Rittig S. Desmopressin
use in pediatric nocturnal enuresis patients: is there a sex difference in
prescription patterns? Eur J Pediatr. 2018;177:389–394.
26. Bixler EO, Vgontzas AN, Lin HM, et al. Prevalence of sleep-disordered
breathing in women: effects of gender. Am J Respir Crit Care Med.
2001;163:608–613.
27. Largo RH, Molinari L, von Siebenthal K, Wolfensberger U. Development of bladder and bowel
control: significance of prematurity,
perinatal risk factors, psychomotor development and gender. Eur J
Pediatr. 1999;158:115–122.
28. Sureshkumar P, Jones M, Caldwell PH, Craig JC. Risk factors for
nocturnal enuresis in school-age children. J Urol. 2009;182:
2893–2899.
29. Brockmann PE, Koren D, Kheirandish-Gozal L, Gozal D. Gender
dimorphism in pediatric OSA: is it for real? Respir Physiol Neurobiol.
2017;245:83–88.
30. Smith DL, Gozal D, Hunter SJ, Kheirandish-Gozal L. Frequency of
snoring, rather than apnea-hypopnea index, predicts both cognitive
and behavioral problems in young children. Sleep Med.
2017;34:170–178.
31. Rittig S, Knudsen UB, Nørgaard JP, Pedersen EB, Djurhuus JC.
Abnormal diurnal rhythm of plasma vasopressin and urinary output in
patients with enuresis. Am J Physiol. 1989;256:F664–F671.
32. Sogut A, Altin R, Uzun L, et al. Prevalence of obstructive sleep apnea
syndrome and associated symptoms in 3-11-year-old Turkish children.
Pediatr Pulmonol. 2005;39:251–256.
33. Brunetti L, Rana S, Lospalluti ML, et al. Prevalence of obstructive sleep
apnea syndrome in a cohort of 1207 children of southern Italy. Chest.
2001;120:1930–1935.
34. Lipford MC, Ramar K, Liang YJ, et al. Serotnin as a possible
biomarker in obstructive sleep apnea. Sleep Med Rev. 2016;28:
125–132.
35. Elder GJ, Wetherell MA, Barclay NL, Ellis JG. The cortisol awakening
response-applications and implications for sleep medicine. Sleep Med
Rev. 2014;18:215–224.
36. Cohen-Zrubavel V, Kushnir B, Kushnir J, Sadeh A. Sleep and sleepiness
in children with nocturnal enuresis. Sleep. 2011;34:191–194.
37. Dossche L, Walle JV, Van Herzeele C. The pathophysiology of
monosymptomatic nocturnal enuresis with special emphasis on the
circadian rhythm of renal physiology. Eur J Pediatr. 2016;175:
747–754.
38. Sakellaropoulou AV, Hatzistilianou MN, Emporiadou MN, et al.
Association between primary nocturnal enuresis and habitual
WADA ET AL. | 7
snoring in children with obstructive sleep apnoea-hypopnoea
syndrome. Arch Med Sci. 2012;8:521–527.
39. Dhondt K, Baert E, Van Herzeele C, et al. Sleep fragmentation and
increased periodic limb movements are more common in children with
nocturnal enuresis. Acta Paediatr. 2014;103:e272.
40. Thottam PJ, Kovacevic L, Madgy DN, Abdulhamid I. Sleep architecture
parameters that predict postoperative resolution of nocturnal
enuresis in children with obstructive sleep apnea. Ann Otol Rhinol
Laryngol. 2013;122:690–694.
41. Choudhary B, Patil R, Bhatt GC, et al. Association of sleep
disordered breathing with mono-symptomatic nocturnal enuresis:
a study among school children of central India. PLoS ONE. 2016;11:
e0155808.

Anda mungkin juga menyukai