Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) merupakan sekumpulan gangguan metabolisme
yang ditandai oleh kondisi hiperglikemia yang berhubungan dengan
abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM disebabkan
oleh gangguan sekresi insulin, sensitivitas reseptor insulin, atau keduanya.
Kondisi hiperglikemia pada pasien DM berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ penting, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.6

2.2 Gejala Diabetes Melitus


Tanda – tanda awal gejala DM adalah sebagai berikut:

a. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Selain mengalami tanda-tanda DM di atas, menurut American Diabetes

Association (ADA) kriteria lain pasien yang didiagnosa DM diantaranya


adalah:

a. HbA1C ≥ 6,5%. Tes dilakukan di laboratorium menggunakan metode yang


telah diakui oleh National Glycohemoglobin Standarization Program
(NGSP) dan telah distandarisasi oleh Diabetes Control and Complications
Trial (DCCT).
b. Glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L). Puasa dalam hal ini
didefinisikan sebagai tidak adanya asupan glukosa selama kurang lebih 8
jam sebelum dilakukan pemeriksaan.
c. Nilai glukosa darah setelah 2 jam ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) pada tes
toleransi glukosa oral (TTGO). TTGO dilakukan dengan cara memasukkan

5 Poltekkes Kemenkes Jakarta II


6

asupan glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrat 2 jam sebelum tes
dilakukan
d. Glukosa darah acak (GDA) ≥ 200 mg/dL. Pemeriksaan GDA dilakukan
sewaktu-waktu tanpa mempertimbangkan jangka waktu terakhir kali
masuknya asupan glukosa.7

2.3 Klasifikasi DM
DM diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu:

a. Diabetes Melitus tipe 1

DM tipe ini disebabkan karena rusaknya sel-β pada pancreas sehingga


mengakibatkan defisiensi insulin absolut.

b. Diabetes Melitus tipe 2.

DM tipe ini disebabkan karena ketidak-sempurnaan sekresi insulin sebagai


akibat dari adanya resistensi insulin.

c. Diabetes Melitus tipe spesifik

DM tipe ini disebabkan karena adanya penyebab lain, contohnya


kerusakan fungsi sel-β secara genetik, penyakit kelenjar eksokrin pada
pankreas, dan efek induksi obat-obatan atau bahan kimia.

d. Diabetes Melitus gestasional

DM gestasional yaitu tipe DM yang sering dijumpai pada wanita hamil.

2.4 Obat – obat Antidiabetes Oral

2.4.1 Tiazolidinedion

a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Glitazone diabsorpsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi
terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini.

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


7

Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi
pioglitazone

b. Mekanisme Kerja
Glitazone (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisome proliferator-
activated receptor gamma (PPARˠ) yang sangat selektif dan poten. Reseptor
PPARˠ terdapat dijaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet
dan hati. Glitazone merupakan regulator homeostasis, lipid, diferensiasi adiposit,
dan kerja insulin. Sama seperti metformin glitazone tidak menstimulasi produksi
insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar
daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid
glitazone dapat meningkatkan efisiensi dan respons sel beta pankreas dengan
menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas.

Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat


memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia seperti glucose
transporter-1(GLUT-1) GLUT 4, dan uncoupling protein-2 (UCP-2). Selain itu
juga dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin,
seperti TNF-α dan leptin.

c. Penggunaan dalm klinik dan efek hipoglikemik


Rosiglitazon dan Pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin

d. Efek samping dan kontraindikasi


Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna
sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan infeksi saluran nafas atas
(16%) sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb)
sekitar 1 gr/dL) juga dilaporkan. Insiden fraktur ekstremitas distal pada wanita
pasca menopause dilaporkan meningkat (Sugondo dkk 2014).
Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT
dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal. Pemakaiannya harus hati-hati
pada pasien dengan riwayat penyakit hati sebelumnya, gagal jantung kelas 3 dan 4
(Klasifikasi New York Heart Association) dan pada edema,7 contohnya:

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


8

Rosiglitazon dan Pioglitazon. Kedua senyawa tiazolidinedion yang tersedia


dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 di hati. Rosiglitazon dimetabolisme
oleh CYP2C8 dan Pioglitazon oleh CYP3A4 dan CYP2C8

2.4.2 Biguanid

a. Farmakokinetik dan farmakodinamik


Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin yang diberikan tunggal atau kombinasi dengan sulfonilurea
memperbaiki kontrol glikemia dan konsentrasi lipid pada pasien yang merespons
kurang baik terhadap diet atau sulfonilurea. Metformin terdapat konsentrasi yang
tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan
melalui ginjal. Metformin terutama diabsorpsi dari usus kecil. Obat ini stabil,
tidak terikat dengan protein plasma, dan dieksresikan dalam bentuk tidak berubah
didalam urin. Waktu-paruhnya sekitar 2 jam. Metformin diberikan dua sampai
tiga kali sehari, kecuali dalam bentuk extended release.

b. Mekanisme kerja
Metformin menurunkan kadar glukosa terutama dengan cara mengurangi produksi
glukosa di hati dan meningkatkan kerja insulin di otot dan lemak. Mekanisme
penurunan produksi glukosa di hati oleh metformin, banyak data yang
menunjukkan efek penurunan glukoneogenesis. Metformin juga dapat
menurunkan glukosa plasma dengan cara mengurangi absorpsi glukosa dari usus

c. Penggunaan dalam klinik dan efek hipoglikemik


Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi
dengan sulfonilurea (SU), repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glukosidase dan
glitazone. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah
sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun.
Mengingat keunggulan metformin dalam mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai
monoterapi pilihan utama pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk
dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Kombinasi sulfonilurea dengan
metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


9

kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih
banyak daripada pengobatan tunggal masing-masing. Kombinasi metformin dan
insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang
sukar dikendalikan

d. Efek samping dan kontraindikasi


Efek samping yang muncul meliputi diare, rasa tidak enak diperut, mual, rasa
logam dan anoreksia. Hal ini biasanya diminimalkan dengan cara meningkatkan
dosis obat secara perlahan dan dimakan bersama makanan. Absorpsi vitamin B12
dan asam folat dalam usus dapat menurunkan selama terapi metformin. Suplemen
kalsium membalikkan efek metformin terhadap absorpsi vitamin B12.6 Efek
samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat sehingga obat ini tidak
boleh diberikan kembali jika fungsi ginjal belum terjadi normal.

Kontraindikasi pada pasien gangguan ginjal tidak boleh menerima


metformin. Kontraindikasi pada pasien penyakit hati, riwayat asidosis laktat,
gagal jantung yang memerlukan terapi farmakologis atau penyakit paru hipoksia
kronis.

Pemberian metformin perlu pemantauan ketat pada usia lanjut (> 80


tahun) di mana massa otot bebas lemaknya sudah berkurang. Pada pasien yang
akan menggunakan radiokontras disarankan untuk untuk menghentikan metformin
24 jam sebelum dan 48 jam sesudah tindakan.

2.4.3 Sulfolnilurea
Sulfonilurea (SU) telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-
an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes
dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada
sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


10

a. Farkmakokinetik dan farmakodinamik


Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka
lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut,
tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu masa paruhnya memanjang
sampai 12 jam, maka mengakibatkan pengaruh pada ginjal dan hati. (Bahkan
sampai >20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal)

b. Mekanisme Kerja
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang
masih mampu mensekresi insulin.
Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K
yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sufonilurea terikat pada
reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta,
terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan
menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Jika Ca intrasel meningkat artinya adanya
kontraktilitas dari jaringan otot polos pada sel β pankreas sehingga insulin mudah
untuk keluar

c. Penggunaan Dalam Klinik


Beberapa obat golongan SU yang ada di Indonesia yaitu analog generasi
1 seperti, klorpropamid, tolazamid, tolbutamid. Analog generasi 2 seperti,
Glibenklamid, Glipizid, Gliklazid, Glikuidon, dan Glimepirid. Semuanya
mempunyai cara kerja yang serupa, berbeda dalam hal masa kerja, degradasi dan
aktivitas metabolitnya. Berdasarkan lama kerjanya, SU dibagi menjadi tiga
golongan yaitu generasi pertama, generasi kedua dan ketiga. SU generasi pertama
adalah acetohexamide, tolbutamide, dan chlorpropamide. SU generasi kedua
adalah glibenclamide, glipizide danglicaide. SU generasi ketiga adalah
glimepiride
Pada pemakaian sulfonilurea SU, umumnya selalu dimulai dengan dosis
rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu
dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan SU dengan dosis yang

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


11

lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat
diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan
kadar glukosa darah yang cukup bermakna. Segeralah periksa kadar glukosa darah
dan sesuaikan dosisnya. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan
karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari,
sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi.

Kombinasi SU dengan insulin diberikan berdasarkan rerata kadar glukosa


darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya.
Kombinasi sulfonilurea dan insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri,
dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah dan cara kombinasi ini
lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multi injeksi.

d. Efek samping dan kontraindikasi


Hipoglikemi merupakan efek samping terpenting dari SU terutama bila
asupan pasien tidak memenuhi syarat. Untuk mengurangi kemungkinan
hipoglikemia, apalagi pada orang tua dipilih obat yang masa kerjanya paling
singkat. Obat SU dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia
lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemia juga lebih sering terjadi pada pasien
gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan masukan makan yang
kurang dan jika dipakai bersama obat sulfa. Pemakaiannya dikontraindikasikan
pada hipersensitif terhadap sulfa, hamil dan menyusui.

2.4.4 Glinid
Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan
mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan SU
adalah pada masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama kerjanya yang
pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial. Repaglinid dan nateglinid
kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat
dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga
kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


12

mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR
sehingga dapat menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU.
Sedang Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak
menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok
yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang
minimal. Mengingat efeknya terhadap glukosa puasa tidak begitu baik maka
glinid tidak begitu kuat menurunkan HbA1c.

2.4.5 Penghambat Alfa Glukosidase

a. Farmakokinetik dan farmakodinamik


Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja lokal pada saluran
pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme didalam saluran pencernaan,
metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktivitas
enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang
sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Obat ini bekerja secara
kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna
sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.

b. Mekanisme Kerja
Obat ini memperlambat pemecahan dan penyerapan karbohidrat kompleks dengan
menghambat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang
terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan
pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpanjang
peningkatan glukosa darah postprandial, dan mempengaruhi respons insulin
plasma. Hasil akhirnya adalah penurunan glukosa darah postprandial. Sebagai
monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat
menyebabkan hipoglikemia.

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


13

c. Penggunaan dalam klinik


Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi
dengan insulin, metformin glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek
maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu
karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja
enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus.

d. Efek samping dan kontraindikasi


Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal
seperti ; meteorismus, flatulance dan diare. Acarbose dikontraindikasikan pada
kondisi irritable bowel syndrome, obstruksi saluran cerna sirosis hati dan
gangguan fungsi ginjal

2.4.6 Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV)


Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1
merupakan perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai inhibitor
sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase-IV (DPP-IV), menjadi metabolit GLP-1- (9,36)-amide
yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional
dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-IV (DPP-IV
inhibitor), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin =
GLP-1 agonis) 7. Obat- obat golongan ini adalah sitagliptin, saxagliptin, dan
linagliptin. 11

2.5 Terapi Insulin


Suntikan insulin dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara intarvena,
intramuskular, dan umunya pada penggunaan jangka panjang lebih disukai

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


14

pemberian subkutan. Preparat insulin dapat dibedakan berdasarkan lama kerja


(kerja cepat, sedang, dan panjang) atau dibedakan asal spesiesnya (human dan
porciene).

Dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan degan unit (U). satu unit inuslin kira-kira
sama dengan insulin yang dibutuhkan untuk menurunkan glukosa puasa 45mg/dL
(2,5 mM) pada kelinci. Standar Internasional yang berlaku sekarang, kombinasi
bofine dan porcine dengan kaadr 24 U/mg. Preparat human insulin yang
homogeny mengandung 25 dan 30 U/mg. Hampir semua preparat komersial
insulin dipasarkan dalam bentuk solusio atau suspensi dengan kadar 100 U/ml,
atau sekitar 3,6 mg insulin per millimeter (0,6 mM). 9

2.6 Penatalkasanaan Diabetes Melitus


Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal


2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya
komplikasi diabetes.

Tabel 2.1 Target Penatalaksanaan Diabetes

Parameter Kadar Ideal yang Diharapkan


Kadar Glukosa Darah uasa 80–120mg/dl
Kadar Glukosa Plasma puasa 90–130mg/dl
Kadar Glukosa Darah saat tidur 100–140mg/dl
(Bedtime blood glucose)
Kadar Glukosa Darah saat tidur 110–150mg/dl
(Bedtime plasma glucose)
Kadar insulin <7 %
Kadar kolesterol HDL >45mg/dl (pria)
Kadar HbA1c <7mg/dl
Kadar kolesterol HDL >55mg/dl (wanita)

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


15

Kadar trigliserilda <200mg/dl


Tekanan darah <130/80mmHg

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang


pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan
obat.1,11

Pendekatan tanpa dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Pengaturan diet
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut:
 Karbohidrat : 60-70%
 Protein : 10-15%
 Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres


akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai
dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori disesuaikan
dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan kegiatan fisik,
yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal.1,11

2. Olah raga
Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,
Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin
mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh
olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda,
berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan
selama total. 30-40 menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit
dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


16

jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga
meningkatkan penggunaan glukosa.1,11

2.7 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Alat ukur Hasil Ukur
Operasional
1. Usia Keberadaan Lembar 1. 17 – 25 tahun
pasien yang resep 2. 26 – 35 tahun
terhitung sejak 3. 36 – 45 tahun
lahir hingga ulang 4. 46 – 55 tahun
tahun terakhir 5. 56 – 55 tahun
6. > 65 tahun
2. Jenis karakteristik dan Lembar 1. Laki-laki
Kelamin tingkah laku yang resep 2. perempuan
berhubungan
dengan jenis
kelamin biologis
biologis pasien
dari lahir
3. Golongan Kelompok obat Lembar 1. Sulfonilurea
obat yang diberikan resep 2. Biguanid
dalam resep 3. Tiazolidinedion
4. Glinid
5. Penghambat
Dipeptidyl
Peptidase IV
(Penghambat DPP-
IV)
6. Penghambat Alfa
Glukosidase
7. Insulin

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


17

Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Anda mungkin juga menyukai