Referat KU
Referat KU
BAB I
PENDAHULUAN
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran
cerna yang sampai saat ini penyebab pastinya belum diketahui secara jelas. Secara garis besar
IBD terbagi 3 jenis yaitu kolitis ulseratif dan chron disease, dan bila sulit membedakan
keduanya, maka dimasukan kedalam kategori intermediate colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya
seperti infeksi, ischemik dan radiasi. Kolitis ulseratif ditandai dengan adanya eksaserbasi secara
Insidensi penyakit kolitis ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk
secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per
100.000 penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun,
penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan. (Glickman RM, 2000)
Penyebab pasti dari kolitis ulseratf tidak diketahui, tetapi penyakit ini tampaknya
multifaktor dan polygenic. Terdapat beberapa usulan penyebab diantaranya faktor lingkungan,
disfungsi kekebalan tubuh, dan kecenderungan faktor genetik. Beberapa berpendapat bahwa
anak-anak lahir di bawah berat rata-rata yang lahir dari ibu dengan kolitis ulseratf memiliki
risiko lebih besar terkena penyakit ini. Kolitis adalah penyakit seumur hidup yang memiliki
dampak sosial dan emosional yang mendalam pada pasien yang terkena. Diagnosis kolitis
ulserativa paling baik dibuat dengan endoskopi dan biopsi mukosa untuk histopatologi. Studi
1
laboratorium sangat membantu untuk menyingkirkan diagnosis lain dan menilai status gizi
pasien, tapi pertanda serologi dapat membantu dalam diagnosis penyakit colitis. Pencitraan
radiografi memiliki peran penting dalam hasil pemeriksaan pasien dengan suspect kolitis dan
dalam diferensiasi kolitis ulserativa dengan penyakit Crohn. Perlakuan awal untuk colitis
rehidrasi. Bedah dianggap perlu jika pengobatan medis gagal atau jika keadaan darurat bedah
2
BAB II
KOLITIS ULSERATIF
DEFINISI
Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang usus (IBD) ,
bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn, yang dapat mempengaruhi
setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar,
dan ileum terminal pada 10% pasien. (Gambar 1 dan 2). (Adam, 2010)
Gambar 2 Pada foto rontgen dengan single kontras pada pasien dengan kolitis total
menunjukkan radang mukosa dengan berbagai bentuk
3
2.1 EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron. Banyak
ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika. Akan tetapi akhir-akhir
ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia, mungkin juga karena lebih banyak
orang berobat ke dokter dan adanya kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi
penyakit kolitis ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara
respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000
penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun, penyakit
ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan. (Glickman RM, 2000)
Di RSCM tahun 2001 – 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi dari 1541 pasien
yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 – 2006 terdapat 6,95% pasien yang
terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien yang dilakukan endoskopi.( Djojoningrat
dkk, 2011)
2.2 ETIOLOGI
penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor
familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik. (Glickman RM, 2000)
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam
atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi
dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi
4
Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk
bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat
varian dinding sel Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat
menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi. (Glickman
RM, 2000)
Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi
dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti
imunosupresif. Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA
dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2,
di mana pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif.
Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim
bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya
dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang
5
membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat
Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif
berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan
pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit
kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.
2.3 PATOGENESIS
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit,
makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri
telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi
spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen
atau agen mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal.
Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi
sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora
normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang
dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial
melawan antigen lumenal, yang tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen
lumenal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel
6
epitelial oleh sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada peningkatan
sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi
limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent.
Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis
factor-α [TNF-α], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-
10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi
yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun
yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies
oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkan
nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan edema, erosif dan
erosi dan ulserasi. Kuantitas elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan
vaskularisasi pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang
7
terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses kemudian pecah dan
Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses penyembuhan dengan
regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta jumlahnya berkurang atau menghilang, pada
Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi kelenjar,
menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah
berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa
dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum. (Jugde TA, 2009)
8
Expantion of mitotic active
cell - ++
Architectural distortion:
• atrophy ++
• branching ++
• crypt shortening ++
• villous surface ++
Metaplasia pyloric ++
Metaplasia Paneth cell ++
Lymphoid hyperplasia ++
Epithelial displacement ++
Increased mononucleous ++
Endocrine cell hyperplasia ++
Squamous metaplasia ++
(Judge TA, 2009)
Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratf adalah sakit pada
perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu dapat juga dijumpai anemia,
kelelahan (mudah lelah), kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan
nafsu makan, kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi,
pertumbuhan yang terganggu, terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa
dengan kolitis ulseratf yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita
demam, diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis
ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis, radang pada mata (uveitis), hati
(sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak dapat diketahui bagaimana bisa
terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini dapat terjadi akibat pencetus
9
dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian problem seperti ini tidak jadi masalah jika
kolitis dapat diobati. Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar
10
Pendarahan (umum) Hanya sebagian pasien yang Pendarahan
terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang (jarang)
mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang
menderita demam, diarrhea dengan perdarahan,
nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis
ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti
arthritis, radang pada mata (uveitis), hati
(sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini
tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar
dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini
dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu
sistem immune. Sebagian problem seperti ini
Fistula (jarang) Fistula (umum)
(Marc D, 2011)
2.6 DIAGNOSIS
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali
dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan,
bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan
laju endap darah (klasifikasi Truelove) ( tabel 3). Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat
dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat
secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya
kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan
mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah
dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat.
Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon.
11
Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak
Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat distensi
abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisis
umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan
Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular (iritis,
perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta
defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan
12
peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat.
umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein
lumen melalui mukosa yang berulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat
Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan, Escherichia coli
O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negatif. (Marc D, 2011)
mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn.
(Adam, 2010)
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon.
Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis,
spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri
terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak
ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi
yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan
tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi
adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral
13
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan
pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan
tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi. (Marc
D, 2011)
2. Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada kelainan
pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna
merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-
turut dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih
yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single
contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara.
Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan
teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit.
Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien
dengan kolitis ulseratif.. Adapun gambaran kolitis pada pemeriksaan barium tampak pada
14
Gambar 4 Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa pada Colitis
ulseratif (Adam, 2010)
Gambar 5. Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat hampir
menyeluruh di semua colon. (Adam, 2010)
Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif adalah mukosa
kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak menjadi kaku
seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon.
Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh
kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri
15
(desendens) selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum dan
menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat, walaupun rektum
dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya. (Adam, 2010)
Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka perubahan juga dapat
terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan dilatasi,
sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga
terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang
khas yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko
3. Ultrasonografi (USG)
pencernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan
banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat
sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air. (Anonim, 2011)
dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa
kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus
menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat
ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-
16
sectional. Dengan USG Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan
dinding usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut. (Marc
D, 2011)
ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT-scan adalah
mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup
tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain. . (Marc D, 2011)
Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara
simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign.
Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula
atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon
secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data
dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah
80% pada rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8%
17
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah dan nanah.
Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa yang
sakit ditemukan (biasanya di rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela
sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun
selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon
pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa
memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan
penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip seperti pada gambar 6. (Marc D, 2011)
perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa meliputi
metaplasia sel Paneth serta permukaan villiform juga diperhatikan. Perubahan lamina
propria meliputi penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel
18
berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan dengan
stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau kronik/menyembuh. Pada kolon
normal, permukaan datar, kripta tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama,
dan dasar dekat muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas
lamina propria. Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit
kolitis ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria mayor
Basal plasmositosis
Abses kripta
Kriptitis
Distorsi kripta
Permukaan viliformis
Tetapi pada kolitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat dibedakan dari
kolitis infektif. Dan kolitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang gambaran
19
2.7 PERJALANAN KLINIK
Perjalanan klinis kolitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan menderita relaps
dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit.
Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala
minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan
Divertikulitis
Penyakit crohn
Polip colon
Gastroenteritis bakteri
Gastroenteritis viral
Colitis infeksi
Tuberkulosis usus
2.9 PENATALAKSANAAN
20
Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini
dkk, 2011)
topikal, dan
2. Immunomodulators
Gambar 7 Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini pertama .(
Djojoningrat dkk, 2011)
a. Kortikosteroid Sistemik
selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit Crohn sedang sampai
parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda
dengan senyawa 5-ASA, kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan
21
usus yang meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti peradangan
yang kuat seluruh tubuh. Akibatnya, mereka digunakan dalam mengobati enteritis. (
di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada senyawa 5-ASA. Pasien
sering mengalami perbaikan dalam gejala mereka dalam beberapa hari setelah pemberian
prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi pilihan yang sering karena
murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide dipakai untuk memperoleh tujuan
konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek
sampingnya) yang rendah, khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan
colon ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b)
mempertimbangkan dosis. Dosis rata – rata yang banyak digunakan untuk mencapai fase
remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg prednison atau setara dengan prednisolon dengan
dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi yang
Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin merupakan obat
yang sudah dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD, terdiri dari gabungan sulfapiridin
dan aminosalisilat dalam ikatan azo yang dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan
mesalazine/ 5-ASA. Telah diketahui bahwa yang berperan sebagai efek anti inflamasi
22
adalah 5-ASA ini. Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat
pada unsusr sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam pengobatan IBD. (Marc
D, 2011)
Rencana tindakan: (a) Preparat murni atau derivatnya (olsalazine: ikatan bersama
dua molekul mesalazine) lebih diutamakan dibanding mesalazine yang terikat molekul
pembawa (carrir molecule: sulfasalazine dan blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada
pH >5 (dalam lumen usus halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif
dalam penggunaan oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis rata-
rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai yang
umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis pemeliharaan yang bersifat
dengan cara apoptosis dan menurunnya proliferasi mukosa kolorektal pada IBD. (
c. Immunomodulators
Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif, bagaimanapun, sistem kekebalan
jaringan dengan mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu
23
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu pemberian 2-3
substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau refrakter. Umumnya dosis initial 50
mg sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk
Azathioprine atau 1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah
nausea dan dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. ( Djojoningrat dkk,
2011)
d. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah terditeksi atau
bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan, penderita
dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan,
makanan dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi.
Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera
dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat.
(Adam, 2010)
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka
dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan
pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang
24
tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan menyembuhkan
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah usus kecil
dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur pilihan lainnya
adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan
sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat
2.11 KOMPLIKASI
kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi berat,
dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran infeksi. (Marc D, 2011)
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti,
sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak menggelembung.
Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus
besar sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit
berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih
meningkat. Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4% penderita yang
25
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat pada orang
Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita telah mengidap
penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif
usus besar) secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama
periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk diperiksa
dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis
kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup.
(Marc D, 2011)
2.12 PROGNOSIS
Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif berlanjut
sebanyak 10%.
Mortalitas
26
BAB III
SIMPULAN
Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar mengalami
peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam. Kolitis
ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya dimulai antara umur 15-30
tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa tidak selalu memperngaruhi seluruh
ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di
rektum atau kolon sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian
1) menginduksi remisi,
2) mempertahankan remisi,
Prognosis dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap
pengobatan konservatif
27
DAFTAR PUSTAKA
5. Glickman RM. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit Crohn). Dalam:
Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi ke-
13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. hal. 1577-91.
6. Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman SL, McQuaid
KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2nd
ed. International ed.: McGraw-Hill; 2009. p. 108-30.
9. Price, Sylvia anderson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses proses Penyakit Edisi 6.:
EGC ; 2005
10. Wasson J et all. a–z Common Symptom Answer Guide. McGraw-Hill; 2004
28