Anda di halaman 1dari 11

Laporan Kasus Berbasis Bukti

Efektivitas Pemberian Antihistamin


Pada Pasien Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Nama Mahasiswa:
Lovina Falendini Andri, S. Ked (H1AP11016)
Yulianus Anang Binar Restu Aji, S. Ked (H1AP12043)

Nama Pembimbing:
dr. Een Endang Sari
Mardhatillah Sariyanti, M. Biomed

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


PUSKESMAS KAMPUNG BALI KOTA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2018
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................. 1

DAFTAR ISI.......................................................................................... 2

LATAR BELAKANG........................................................................... 3

ILUSTRASI KASUS............................................................................. 6

PERTANYAAN KLINIS...................................................................... 7

KATA KUNCI....................................................................................... 7

KRITERIA INKLUSI............................................................................ 7

KRITERIA EKSKLUSI......................................................................... 8

METODOLOGI..................................................................................... 8

TELAAH KRITIS.................................................................................. 9

DISKUSI................................................................................................

KESIMPULAN......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................................................

LAMPIRAN...........................................................................................

2
Efektivitas Pemberian Antihistamin
Pada Pasien Infeksi Saluran Pernapasan Akut

Lovina Falendini Andri


Yulianus Anang Binar Restu Aji

LATAR BELAKANG
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
agen infeksius yang ditularkan melalui transmisi manusia ke manusia. Penyakit
ini dapat menyerang semua usia, terutama pada balita, anak usia sekolah, dan
lansia. ISPA ditularkan terutama melalui droplet, namun juga dapat terjadi melalui
media yang terkontaminasi dengan patogen penyebab ISPA, misalnya berkontak
dengan tangan penderita. Umumnya ISPA disebabkan oleh infeksi virus dan
bakteri. Timbulnya gejala cepat, dalam beberapa jam hingga hari. Gejala meliputi
nyeri tenggorokan, batuk, pilek (coryza), demam, sesak napas, mengi, hingga
kesulitan bernapas.1
Menurut Wantania dkk, ISPA dipengaruhi oleh agen penyebab seperti virus
dan bakteri. Faktor penjamu (seperti usia, status gizi, imunitas) juga memiliki
peranan penting dalam peningkatan ISPA. Usia merupakan faktor predisposisi
utama yang menentukan tingkat keparahan serta luasnya infeksi saluran napas.
Selain itu, status gizi memegang peranan penting dalam terjadinya suatu penyakit.
Oleh sebab itu, ISPA sering dikaitkan dengan keadaan malnutrisi dan stunting.
Respon imunitas seseorang juga saling berkaitan dengan status gizi. Kondisi
lingkungan sekitar (seperti polusi udara, ventilasi, kelembaban) juga menjadi
faktor risiko ISPA. Polutan dapat mengiritasi mukosa saluran napas sehingga
memicu terjadinya infeksi. Pada anak-anak yang tinggal di rumah berventilasi
baik, insidensi ISPA lebih rendah. Pajanan suhu dan curah hujan yang tinggi
menyebabkan tingkat kelembaban lingkungan meningkat, sehingga virus dan
bakteri penyebab ISPA berkembang dengan pesat.2
ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit
infeksius di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Hampir empat juta
orang meninggal setiap tahunnya akibat ISPA. Mortalitas tertinggi terjadi pada

3
kelompok usia bayi, anak-anak, dan lansia. ISPA merupakan salah satu penyebab
utama rawat jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan.1
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, ISPA merupakan penyebab
penyakit menular terbanyak di Indonesia dengan prevalensi sebesar 25,0%. Data
tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan tahun 2007 yakni sebesar
25,5%. Lima provinsi dengan insidensi ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara
Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan
Jawa Timur (28,3%). Sedangkan insidensi ISPA di Provinsi Bengkulu sebesar
20,8%.3
Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas Kampung Bali pada tahun 2016,
angka kejadian ISPA mencapai 2890 kasus (1356 laki-laki dan 1534 perempuan).
Di tahun 2017, terjadi peningkatan angka kejadian ISPA, yaitu sebesar 3421 kasus
(1437 laki-laki dan 1894 perempuan).4
Adanya peningkatan angka kejadian ISPA dari tahun ke tahun menunjukkan
bahwa penanganan yang diberikan belum adekuat. Diperlukan tatalaksana yang
komprehensif guna menurunkan tingkat insidensi ISPA. Dimulai dari perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) serta pemberian terapi yang tepat untuk mencegah
penularan penyakit. Antihistamin selama ini diketahui sebagai terapi suportif
dalam mengobati ISPA. Antihistamin terbagi menjadi obat generasi pertama dan
generasi kedua. Antihistamin generasi pertama lebih cenderung bekerja dengan
memblokade reseptor saraf otonom sehingga memiliki efek sedatif, seperti rasa
kantuk, mulut kering dll. Antihistamin generasi pertama terdiri dari
chlorpheniramine, diphenhydramine, dan hydroxyzine. Sedangkan antihistamin
generasi kedua memiliki efek sedatif yang lebih ringan karena distribusi yang
kurang komplit pada susunan saraf pusat. Antihistamin generasi kedua ialah
astemizole, cetirizine, loratadine, terfenadine, dan acrivastine.5
Antihistamin bekerja dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, serta memblok migrasi sel. Sedasi yang ditimbulkan oleh
generasi pertama disebabkan oleh blokade neuron histaminergik sentral yang
mengontrol kantuk. Sedangkan pada generasi kedua, hal tersebut tidak terjadi
karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Antihistamin generasi kedua
tampaknya ditolerir dengan baik bila diberikan dalam dosis standar, kecuali

4
terfenadine dan astemizole, karena pada beberapa kasus dijumpai reaksi
kardiovaskuler yang tidak dikehendaki seperti Torsades de pointes dan aritmia
ventrikuler ketika dikombinasi dengan ketokonazole, itrakonazole, maupun
eritromisin. Efek samping tersebut juga dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi
hepar atau yang sedang mendapat terapi quinidine atau prokainamide.6
Pada pusat fasilitas kesehatan, khususnya Puskesmas Kampung Bali,
penggunaan antihistamin sering kali diberikan kepada pasien ISPA di semua usia.
Sebagai klinisi, kita harus memahami terapi yang tepat guna mengatasi
permasalahan penyakit pasien. Oleh karena itu, penulis membahas mengenai
efektivitas pemberian antihistamin pada pasien ISPA dibandingkan dengan
kelompok yang tidak mendapatkan antihistamin.

5
ILUSTRASI KASUS
Anamnesa dilakukan secara allo-autoanamnesis pada tanggal 24 Juli 2018
An. R, laki-laki usia 8 tahun, datang ke Balai Pengobatan Puskesmas Kampung
Bali diantar oleh ibunya dengan keluhan batuk dan pilek sejak 3 hari yang lalu.
Batuk disertai dahak berwarna putih kental. Batuk juga disertai dengan keluhan
nyeri menelan, sehingga dalam waktu 2 hari terakhir ini nafsu makan pasien
menjadi berkurang. Pilek disertai dengan cairan berwarna bening hingga putih.
Keluhan lain seperti sesak napas, demam, keringat di malam hari, penurunan berat
badan disangkal oleh pasien dan ibunya. Menurut ibu pasien anaknya jarang
menderita batuk atau pilek. Pasien menderita batuk ataupun pilek dengan
frekuensi rata-rata 2–4 kali dalam setahun. Ibu menyangkal bahwa anggota
keluarga yang tinggal serumah ada yang menderita batuk hampir setiap bulannya
ataupun yang pernah minum obat paru selama 6 bulan. Saat ini tidak ada anggota
keluarga yang menderita batuk ataupun pilek. Menurut ibu pasien sinar matahari
cukup menerangi ruangan di rumahnya. Sirkulasi udara baik, setiap hari ibu
membersihkan rumah, dan mengganti sprey, gorden, serta selimut seminggu
sekali.

Pemeriksaan Fisik (Status Lokalis)


Status Gizi
Tinggi Badan : 123 cm Berat Badan : 30 cm
2
IMT : 19,83 kg/ m Status Gizi : Baik
Tanda Vital
Tekanan Darah : Tidak dilakukan Nadi : 110 kali/ menit
Pernapasan : 23 kali/ menit Suhu : 36,9 0C
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis Keadaan Umum : Baik
Oral
Tonsil : T1 / T1 Faring : Hiperemis
Kelenjar Getah Bening
Colli : Normal Submandibula : Normal
Aksila : Normal Inguinal : Normal
Thorax
Pergerakan Stem fremitus
Inspeksi : Palpasi :
simetris simetris
Perkusi : Sonor Auskultasi : Vesikuler

6
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan
terhadap pasien, dapat ditegakkan diagnosa faringitis akut. Pasien diberikan terapi
amoxicillin (3 x 500 mg), pseudoephedrine HCl (3 x 15 mg), chlorpheniramine
maleate (3 x 4 mg), dan vitamin C (1 x 30 mg).
Pemberian antihistamin pada pasien faringitis, hanyalah sebagai terapi
suportif. Pada berbagai pusat fasilitas kesehatan, khususnya Puskesmas Kampung
Bali, penggunaan antihistamin sering kali diberikan pada pasien ISPA. Oleh sebab
itu, timbul permasalahan mengenai efektifitas pemberian antihistamin pada pasien
ISPA.

PERTANYAAN KLINIS
Bagaimana efektivitas pemberian antihistamin pada pasien ISPA?
Population : Pasien ISPA
Intervention : Pemberian antihistamin
Control : Tidak diberikan antihistamin
Outcome 1 : Mempercepat proses penyembuhan
Outcome 2 : Mengurangi risiko komplikasi

KATA KUNCI
Pencarian jurnal pada tanggal 25 Juli 2018, menggunakan PubMed Tools Clinical
Queries dengan kata kunci “efficacy antihistamine for acute respiratory tract
infection”.

KRITERIA INKLUSI
Adapun kriteria inklusi antara lain:
1. Pasien ISPA
2. Semua usia
3. Systematic Review
4. Website PubMed
5. Publikasi 5 tahun terakhir
6. Jurnal full text
7. Jurnal english

7
KRITERIA EKSKLUSI
Adapun kriteria eksklusi antara lain:
1. Pasien ISPA dengan komplikasi
2. Pasien ISPA dengan penyakit penyerta

METODOLOGI
Pencarian artikel dilakukan pada tanggal 25 Juli 2018 pada database PubMed
menggunakan PubMed Tools Clinical Queries dengan kata kunci “efficacy
antihistamine for acute respiratory tract infection”. Dari hasil pencarian tersebut
didapatkan 18 artikel kategori studi klinis dan 3 artikel systematic reviews.
Kemudian dilakukan penyaringan berdasarkan judul dan abstrak, didapatkan 2
artikel systematic reviews yang relevan terhadap kriteria inklusi dan eksklusi.
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada diagram 1 di bawah ini.

Search (on July 25, 2018) in PubMed Tools


Clinical Queries
Hits; n = 21

Clinical study
excluded;
n = 18
Inclusion criteria:
Exclusion criteria:
Patient diagnosed
Records screened; Patient diagnosed
acute respiratory
n=3 acute respiratory
infection, All age,
infection with
Systematic review,
complication, Patient
Website PubMed, 5
Duplicates removed; diagnosed acute
last years, Full text,
respiratory infection
English journal n=1
with comorbidities

Full text systematic reviews with


inclusion/ exclusion criteria;
n=2

Studies included;
n=2

Diagram 1. Alur Pencarian

8
TELAAH KRITIS
Systematic review yang dilakukan oleh Smith dkk pada tahun 2014 membahas
mengenai efektivitas pengobatan over the counter (OTC) untuk mengatasi batuk
akut pada anak dan dewasa dalam suatu komunitas. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah seluruh randomized controlled trials (RCT) yang
membandingkan OTC dengan placebo pada anak dan dewasa yang menderita
batuk akut dalam suatu komunitas. Studi dieksklusikan jika pasien menderita
batuk kronis (durasi lebih dari tiga minggu), batuk akibat penyakit yang
mendasari (asma, PPOK, pneumonia, tuberculosis, dan keganasan paru), dan
batuk yang diinduksi secara artifisial melalui inhalasi bahan kimia pada
sukarelawan sehat. Adapun komunitas yang diteliti adalah pasien rawat jalan anak
dan dewasa dengan onset batuk akut durasi kurang dari tiga minggu.
Metode pencarian menggunakan pencarian elektronik Cochrane Central
Register of Trials Controlled (2004, issue 1) diakses 26 Maret 2014, Medline
(Januari 2012 hingga Maret minggu 3, 2014), Embase (Maret 2012 sampai Maret
2014), Cinahl (2012 hingga Maret 2014), Lilacs (2012 sampai Maret 2014) dan
Web of science (2012 hingga Maret 2014). Selain itu juga dilakukan pencarian
pada koleksi pribadi yang diperoleh dari daftar referensi artikel, penulis studi asli,
perusahaan farmasi dan Proprietary Association of Great Britain untuk studi yang
tidak dipublikasikan.
Penilaian risiko bias dalam studi ini adalah randomisasi, alokasi
penyembunyian, blinded sampel dan personil, blinded peneliti, hasil data lengkap,
pelaporan selektif, dan bias lain.

DISKUSI

KESIMPULAN

9
DAFTAR PUSTAKA

WHO. (2007). Infection Prevention and Control of Epidemic and Pandemic


Prone Acute Respiratory Disease Care. Jenewa: World Health
Organization.

Wantania JM, Naning R, Wahani A. (2012). Infeksi Respiratori Akut. Dalam:


Buku Ajar Respirologi Anak IDAI. Jakarta: Perhimpunan Dokter Anak
Indonesia.

Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Laporan Tahunan Puskesmas Kampung Bali Tahun 2016–2017.

Katzung BG. (2010). Obat-Obatan yang Berpengaruh Besar terhadap Otot Polos:
dalam Buku Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta: EGC.

Fitzsimons R. dkk. (2015). Antihistamine use in children. Diakses pada 26 Juli


2018 melalui :
http://www.epocrates.com/sites/default/files/res/dacc/2015/AntihistamineUs
eInKidsBMJ1506.pdf

Smith SM, Schroeder K, Fahey T. (2014). Over the counter (OTC) medications
for acute cough in children and adults in community setting (review).
Diakses pada 25 Juli 2018 melalui :
https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD001831.pu
b5/full

Shaikh N, Wald ER. (2014). Decongestants, antihistamines and nasal irrigation


for acute sinusitis in children (review). Diakses pada 25 Juli 2018 melalui :
https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD007909.pu
b3/full

10
LAMPIRAN

Pencarian artikel pada tanggal 25 Juli 2018, menggunakan PubMed Tools Clinical
Queries dengan kata kunci “efficacy antihistamine for acute respiratory tract
infection”

11

Anda mungkin juga menyukai