Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

ANALISIS VEKTOR

1.1 Pengenalan Dasar


Dalam ilmu sains atau teknik dikenal berbagai kuantitas seperti kecepatan,
percepatan, daya, suhu dsb. yang dapat dibagi menjadi dua kuantitas dasar yaitu
merupakan besaran vektor dan skalar (sebenarnya terdapat kuantitas tensor yang
berlaku lebih umum dari vektor dan skalar). Kuantitas yang hanya mempunyai
besaran saja dinamakan skalar seperti suhu, energi, daya dsb., sedangkan kuantitas
yang mempunyai besar dan arah (untuk sebuah kuantitas tertentu dibatasi hanya pada
satu arah saja) dinamakan vektor seperti kecepatan, percepatan, gaya dsb. Pada bab
ini hanya akan dibahas pengenalan mengenai kuantitas vektor saja.

1.2 Penjumlahan dan Pengurangan Vektor


Pada perhitungan panjang sisi-sisi dari segitiga yang salah satu sudutnya 900,
dengan sisi B dan C saling tegak lurus dan sisi A merupakan sisi terpanjang dari
segitiga tersebut akan berlaku hubungan phytagoras
A2 = B 2 + C 2 . (1.1)
Jika besaran A dapat dituliskan sebagai bentuk harga mutlak dari vektor A, yaitu A =
A maka terdapat hubungan diantara vektor-vektor A, B dan C berdasarkan gambar
dibawah ini

B−C=A A B + C = A.
B A B

C C
Gambar 1.1. Penjumlahan dan pengurangan vektor yang menghasilkan hubungan phytagoras

A2 = B 2 + C 2 dari panjang sisi-sisi segitiga A, B dan C.

1
Bentuk umum penjumlahan dan pengurangan vektor dengan sudut diantara
vektor B dan C sebesar α dapat diungkapkan sebagai berikut

A
B A
B−C=A B B+C=A
α α
C C
(a) (b)
Gambar 1.2. Bentuk umum diagram vektor dari pengurangan vektor B − C = A dan penjumlahan
vektor B + C = A.

Bentuk pengurangan vektor B − C = A seperti yang dilukiskan pada gambar 1.2.a


akan mempunyai hubungan diantara panjang vektor-vektor A, B dan C menurut
aturan cosinus sebagai
A2 = B 2 + C 2 − 2 AB cos α . (1.2)
Demikian pula penjumlahan vektor B + C = A pada gambar 1.2.b, akan menghasilkan
persamaan diantara panjang vektor-vektor A, B dan C sebagai
A2 = B 2 + C 2 + 2 AB cos α . (1.3)
Dapat disimpulkan bahwa persamaan (1.1) merupakan aplikasi dari persamaan (1.2)
dan (1.3) untuk kasus sudut α = 90o.
Contoh 1 : Pada gambar 1.3a, sistem dalam kesetimbangan. Hitunglah berat
beban W jika tegangan tali TA adalah sebesar 50 N.

600 Ftot

TB TB TB

600 1500
TA
600 600
TA
TA
W W W

(a) (b) (c)


Gambar 1.3. Sistem kesetimbangan dari tegangan tali yang mempunyai beban W dengan
penggambaran diagram gaya-gayanya.

2
Untuk menyelesaikan persoalan pada gambar 1.3.a, dibuat diagram gaya-
gayanya pada gambar 1.3b. Dengan menggunakan syarat kesetimbangan pada arah
sumbu horizontal diperoleh

TB cos 600 = TA sin 600 ⇒ TB = TA tan 600 .


Syarat kesetimbangan pada arah vertikal diperoleh

TB sin 600 = TA cos 600 + W ⇒ TB = TA tan 600 = 50 × 1, 73 = 86,5 N


sin 2 600  3 1
W = TB sin 60 − TA cos 60 = TA
0 0
0
− TA cos 600 = 50  2 × − 
cos 60  4 2
W = 50 N
Pada diagram vektor dari gambar 1.3c, perhitungan diatas dapat pula diungkapkan
sebagai penjumlahan vektor berikut : Penjumlahan Vektor TA dan TB akan
menghasilkan vektor Ftot. Karena berada dalam kesetimbangan maka harga beban W
akan sama dengan harga Ftot yang diungkapkan sebagai

W = Ftot = TA + TB + 2TA .TB cos1500


2 2

= TA + (TA tan 600 ) + 2TA .TA tan 600 cos1500


2 2

( )
= TA 1 + 3 + 2 3. − 12 3 = TA = 50 N .

1.3 Penjumlahan dan Pengurangan Vektor dengan


Menggunakan koordinat-koordinat basis Kartesian.
Dalam perhitungan penjumlahan vektor-vektor dapat diungkapkan secara
analitis dalam bentuk koordinat-koordinat, khususnya dalam basis-basis kartesian.
Dalam koordinat kartesian, vektor A dapat diungkapkan dalam bentuk basis-basis
kartesian
A = Ax i + Ay j + Az k, (1.4)
dimana i, j dan k adalah vektor-vektor basis dari koordinat kartesian pada arah sumbu
x, y dan z berturut-turut yang bersifat orthonormal. Vektor-vektor orthonormal adalah
merupakan gabungan dari sifat-sifat orthogonal (saling tegak lurus) dan normal (harga
mutlaknya bernilai satu), yaitu
Orthogonal : i ⊥ j ⊥ k, (1.5)
Normal : i =  j  = k= 1. (1.6)

3
Komponen-komponen vektor pada arah sumbu-x, y dan z dari vektor A yang
merupakan proyeksi dari vektor A terhadap sumbu koordinat-koordinat x, y dan z
menurut gambar 1.4, dapat diungkapkan sebagai
Ax = A cos α = A i i, Ay = A cos β = A i j, Az = A cos γ = A i k , (1.7)

dimana pada persamaan diatas terdapat bentuk perkalian titik (skalar) dari vektor A
dengan vektor-vektor basis i, j dan k. Catatan bahwa jika A lenyap, maka semua
komponennya pada arah sumbu x, y dan z secara individual juga harus lenyap, yaitu
A = 0, maka harus berlaku Ax = Ay = Az = 0 . (1.8)

Az

(Ax, Ay, Az)

A
γ Ay
β y
α

Ax
(Ax, Ay, 0)
x

Gambar 1.4. Komponen kartesian dari vektor A.

Sebagai illustrasi penggunaan metoda penjumlahan vektor secara analitis dengan


menggunakan vektor-vektor basis kartesian (hanya diambil pada kasus dua dimensi
pada bidang xy) dapat dilihat pada contoh 2.
Contoh 2 : Hitunglah penjumlahan vektor A + B, dimana vektor-vektor
tersebut mempunyai titik awal pada sumbu koordinat (0, 0) dengan arah vektornya
didefinisikan sebagai
A = -3i + 4j dan B = 4i + 2j
Jawab :
Misalkan vektor C merupakan vektor yang dihasilkan dari penjumlahan vektor A dan
B, dengan C merupakan harga mutlak dari vektor C tersebut.
C = A + B = -3i + 4j + 4i + 2j = i +6j

C = C= Cx + C y = 12 + 62 = 37
2 2

4
Cy 6 C

A Ay

By 2 B

Ax Bx
x
-3 0 Cx 4

Gambar 1.5. Penjumlahan vektor secara analitis dengan menggunakan basis-basis koordinat kartesian

Penggambaran penjumlahan vektor A + B secara analitis adalah dengan menguraikan


masing-masing vektor A dan B dalam komponen sumbu-x dan y. Vektor-vektor yang
sudah searah sumbu-x dapat dijumlahkan lebih mudah karena segaris yaitu Cx = Ax +
Bx. Kasus yang sama berlaku pada penjumlahan searah sumbu-y, yaitu Cy = Ay + By.
Penjumlahan vektor C = A + B dapat diperoleh dari penjumlahan vektor C = Cx + Cy
= i + 6j.
Beberapa bentuk hukum-hukum Aljabar Vektor adalah
A + B = B + A, (Hukum kommutatif untuk penjumlahan) (1.9)
A + (B + C) = (A+ B) + C (Hukum assosiatif untuk penjumlahan) (1.10)
m(nA) = (mn)A = n(mA) (Hukum assosiatif untuk perkalian skalar) (1.11)
(m + n)A = mA + nA (Hukum distributif) (1.12)
m(A + B) = mA + mB (Hukum distributif) (1.13)

1.4 Perkalian Skalar atau Perkalian Titik.


Pada persamaan (1.7) telah dibahas bentuk perkalian titik atau perkalian skalar
dari vektor A dengan vektor-vektor basis i, j dan k dari koordinat kartesian yang
menghasilkan proyeksi vektor A dalam koordinat kartesian tersebut yaitu Ax, Ay dan
Az. Jika didefinisikan vektor lain B = Bx i + By j + Bz k, maka perkalian titik diantara
vektor A dan vektor B dengan menggunakan persamaan (1.7) didefinisikan sebagai

5
A i B = A i ( Bx i + By j + Bz k ) = Bx A ii + By A i j + Bz A ik

= Bx Ax + By Ay + Bz Az = Ax Bx + Ay By + Az Bz , (1.14)

dimana pada perkalian titik berlaku hubungan


AiB = BiA . (1.15)
Kemudian dengan menggunakan persamaan (1.14), maka dapat didefinisikan
A i B = ( Ax i + Ay j + Az k ) i ( Bx i + By j + Bz k )

= Ax i i ( Bx i + By j + Bz k ) + Ay j i ( Bx i + By j + Bz k ) + Az k i ( Bx i + By j + Bz k )

= Ax Bx + Ay By + Az Bz , (1.16)

yang menunjukkan perkalian titik diantara vektor-vektor basis (satuan) dari koordinat
kartesian dapat didefinisikan sebagai
i i i = j i j = k i k = 1, (1.17a)
i i j = j i k = k i i = 0. (1.17b)
Persamaan (1.17) menunjukkan pada koordinat kartesian, perkalian skalar diantara
dua basis yang sama (sudah tentu searah) akan menghasilkan nilai 1, sedangkan
perkalian skalar diantara dua basis yang saling tegak lurus (karena koordinat kartesian
adalah koordinat yang orthogonal / tegak lurus) akan menghasilkan nilai nol. Nilai
mutlak kuadrat dari vektor A dapat diungkapkan sebagai
A2 = A i A = ( Ax i + Ay j + Az k ) i ( Ax i + Ay j + Az k )

= Ax + Ay + Az .
2 2 2
(1.18)

Secara umum perkalian titik dari vektor A dan B dapat diungkapkan dalam
bentuk penggambaran berikut
z
B

θ
y

Gambar 1.6. Perkalian skalar A i B = AB cos θ

6
Misalkan proyeksi AB dari A pada arah sebuah vektor B ≠ 0 sebagai AB = A cos θ =

A iBˆ , dimana Bˆ = B / B adalah vektor satuan pada arah B dan θ adalah sudut diantara
A dan B seperti diperlihatkan pada gambar 1.6, maka akan diperoleh hubungan

( ) ( )
ˆ iB A = AB = AB cos θ .
A iB = A iBˆ B = AB B = A A (1.19)

Dalam fisika, kerja yang dilakukan pada partikel ketika bergerak dari titik awal ke
titik akhir, dapat diungkapkan sebagai berikut
akhir
W =∫ F i dr . (1.20)
awal

dimana F menyatakan gaya yang bekerja pada partikel tersebut sepanjang lintasan dr.
Contoh 3 : Sebuah mobil bermassa 2 ton meluncur di atas jalan dengan sudut
kemiringan 300, mengarah ke atas dengan kecepatan tetap 45 km/jam. Jika gesekan
diantara ban dan jalan diabaikan, tentukan usaha total yang dilakukan oleh gaya-gaya
yang diperlihatkan pada gambar 1.7 dibawah, selama 5 menit. Anggaplah percepatan
gravitasi g = 10 m/det2.

N S
v = konstan
F

a2

F1 = mg sin 30o a1

300
300

F2 = mg cos 30o

mg

Gambar 1.7. Sistem gaya-gaya yang bekerja pada mobil.

Misalkan didefinisikan vektor-vektor satuan yang searah kecepatan mobil sebagai a1


dan vektor yang tegak lurus terhadap kecepatan mobil sebagai a2, sehingga dapat
didefinisikan
F1 = − mg sin 30o a1, F2 = − mg cos 30o a2, N = N a2 dan F = F a 1,
dengan a1 i a2 = 0. Karena mobil bergerak dengan kecepatan konstan, maka
berdasarkan hukum Newton kedua dengan percepatan a = 0, yaitu

7
∑ F = 0 , searah vektor a1 dan a2.
akan diperoleh
F = mg sin 300 = 2000kg.10 m / det 2 .0, 5 = 10.000 N .
Kecepatan mobil v = 45 km/jam = 45.000 m/3600 det. = 12,5 m/det. Jarak yang telah
ditempuh selama 5 menit = 300 detik adalah S = 12,5 m/det . 300 detik = 3750 m.
Usaha total yang dilakukan oleh gaya-gaya F2, N dan F (gaya F1 tidak dihitung
karena sudah digantikan oleh gaya F) untuk memindahkan mobil tersebut sejauh 3750
meter adalah
Wtotal = F2 i S + N i S + F i S
= − mg cos 30o a2 i S a1 + N a2 i S a1 + F a1 i S a1
= F S = 10.000 N . 3750 m = 3,75 . 107 Joule.
Jadi dapat disimpulkan bahwa usaha yang dilakukan untuk memindahkan benda
hanya disebabkan oleh gaya-gaya yang searah dengan perpindahan benda,
sedangkan gaya-gaya yang tegak lurus terhadap perpindahan benda tidak
menyumbangkan terhadap besarnya usaha tersebut.
Misalkan vektor C merupakan penjumlahan dari vektor A dan B dengan bagan
yang digambarkan seperti dibawah ini

B
C

α θ
A
Gambar 1.7. Bentuk segitiga yang dibangun oleh vektor-vektor A, B dan C.

Perkalian skalar dari vektor C dapat diungkapkan sebagai


C i C = ( A + B) i ( A + B)

C 2 = A2 + B 2 + 2 A i B = A2 + B 2 + 2 A B cos θ

C 2 = A2 + B 2 − 2 A B cos α , (1.21)

dimana berlaku hubungan cos α = cos (1800 − θ ) = − cos θ . Formulasi (1.21) sejalan

dengan formulasi sisi terpanjang dari segitiga pada persamaan (1.2) melalui aturan
cosinus.

8
1.5 Perkalian Cross.
Bentuk lain perkalian diantara dua vektor adalah yang dinamakan perkalian
cross. Berbeda dengan bentuk perkalian skalar (titik) yang menghasilkan bentuk
skalar maka bentuk perkalian cross akan menghasilkan bentuk vektor. Perkalian cross
dari vektor A dan B yang menghsilkan vektor C, dapat diungkapkan sebagai berikut
A × B = C , dengan C = AB sinθ, (1.22)
dengan θ adalah sudut diantara vektor A dan B. Penggambaran bentuk perkalian cross
yaitu pada gambar 1.8 dan untuk menentukan arah vektor C dari bentuk A × B = C ,
dapat ditentukan dari aturan tangan kanan pada gambar 1.9.

y
B
θ B

A θ

Gambar 1.8. Diagram vektor –vektor dari perkalian vektor A × B = C

A
B
Gambar 1.9. Aturan tangan kanan untuk menentukan arah vektor C
dari bentuk perkalian vektor A × B = C

9
Pada gambar 1.8, diperlihatkan bentuk diagram vektor dari perkalian vektor
A × B = C , dimana vektor-vektor A dan B berada pada bidang koordinat xy dan
vektor C pada arah sumbu z. Vektor C selalu tegak lurus terhadap vektor-vektor A
dan B. Vektor B pada gambar 1.8 dapat digeser-geser dari titik tangkapnya (vektor B
hanya satu buah dan bisa digeser ke depan). Sudut θ adalah sudut diantara vektor A
dan B. Pada gambar 1.9 diperlihatkan arah dari vektor C dengan menggunakan aturan
tangan kanan. Apabila telapak tangan kanan diputar dari vektor A menuju vektor B,
maka jari jempol akan menunjukkan arah vektor C yang selalu tegak lurus terhadap
vektor A dan B. Pada perkalian cross berlaku hukum anti kommutasi
A × B = −B × A , (1.23)
sehingga menghasilkan persamaan
A× A = 0. (1.24)
Demikian pula untuk vektor satuan berlaku persamaan
i × i = j × j = k × k = 0, (1.25)
dan
i × j = k, j × k = i, k × i = j, (1.26)
j × i = −k , k × j = −i , i × k = − j.
Untuk kasus koordinat kartesian dengan definisi vektor-vektor A = Ax i + Ay j + Az k
dan B = Bx i + By j + Bz k, maka perkalian vektor A × B yang menghasilkan vektor C
= Cx i + Cy j + Cz k, dapat dituliskan dalam bentuk determinan berikut
i j k
C = A × B = Ax Ay Az
Bx By Bz

C = i ( Ay Bz − Az By ) − j ( Ax Bz − Az Bx ) + k ( Ax By − Ay Bx ) , (1.27)

sehingga diperoleh komponen-komponen kartesian dari vektor C sebagai


C x = Ay Bz − Az By , C y = Az Bx − Ax Bz , Cz = Ax By − Ay Bx . (1.28)

Untuk bentuk perkalian Ai( A × B ) dan Bi( A × B ) , dapat diungkapkan sebagai

berikut
Ai( A × B ) = Ax ( Ay Bz − Az By ) + Ay ( Az Bx − Ax Bz ) + Az ( Ax By − Ay Bx ) = 0 , (1.29)

dimana dengan cara yang sesuai akan diperoleh

10
Bi( A × B ) = 0 . (1.30)

Beberapa sifat dari hukum-hukum perkalian vektor dapat diungkapkan sebagai


berikut
A × ( B + C) = A × B + A × C , (1.31a)

Ax Ay Az
Ai( B × C ) = Bx By Bz ,
Cx Cy Cz

= Ax By Cz + Ay Bz C x + Az Bx C y − Az By Cx − Ay Bx C z − Ax Bz C y , (1.31b)

A × ( B × C ) = B ( AiC ) − C ( AiB ) , (1.31c)

( A × B ) × C = B ( AiC ) − A ( BiC ) , (1.31d)

( A × B )i( C × D ) = ( AiC )( BiD ) − ( AiD )( BiC ) , (1.31e)

( A × B ) × ( C × D ) = C {Ai( B × D )} − D {Ai( B × C )} ,
= B {Ai( C × D )} − A {Bi( C × D )} . (1.31f)

Berbagai bentuk aplikasi fisika yang menggunakan perkalian vektor adalah


1. Hubungan diantara momen torka τ dengan gaya F dan lengan gaya r yang
didefinisikan sebagai
τ = r×F . (1.32)
2. Hubungan diantara kecepatan linier v dari sebuah partikel yang berputar pada
lintasan berbentuk lingkaran dengan kecepatan sudut ω dan jarak partikel dari
pusat koordinat r,
v = ω×r . (1.33)
3. Hubungan diantara momentum sudut suatu partikel L dengan jarak partikel
dari pusat koordinat r dan momentum linier p,
L = r×p . (1.34)
4. Dalam elektromagnetik dikenal adanya gaya FM yang disebabkan oleh muatan
listrik q yang bergerak sebesar v dan berada dalam pengaruh medan magnetik
homogen B,
FM = qv × B . (1.35)
5. Dalam fisika zat padat dikenal adanya tiga vektor primitif dari kisi-kisi
reciprocal,

11
2π ( a 2 × a3 ) 2π ( a3 × a1 ) 2π ( a1 × a 2 )
b1 = ; b2 = ; b3 = , (1.36)
a1 i ( a 2 × a3 ) a1 i ( a 2 × a3 ) a1 i ( a 2 × a3 )

dimana a1, a2 dan a3 adalah himpunan vektor-vektor primitif yang langsung


terukur dari bentuk kisinya.
z

ω
θ
v
Arah vektor τ masuk F
ke bidang kertas R
r
× r
θ
y

(a) (b)
Gambar 1.10. Pada gambar (a) diperlihatkan puntiran oleh gaya F yang dinamakan torka τ. Sedangkan
pada gambar (b) diperlihatkan kecepatan sudut ω yang berarah tegak lurus terhadap
bidang lingkaran pada gerak melingkar.

• • • •q •
z
• • • • •v
• • R • FM • • L
• • • • •
y
• • • • • p
r θ
• • • • •
B
• • • • • x

(a) (b)
Gambar 1.11. Pada gambar (a) diperlihatkan akibat bergeraknya muatan q dalam pengaruh medan
homogen B akan memunculkan gaya FM yang membuat lintasan partikel menjadi lingkaran. Pada
gambar (b) vektor momentum sudut yang tegak lurus terhadap vektor posisi dan vektor momentum
linier dari partikel.

12
Pada gambar 1.10a diperlihatkan puntiran pada baud dengan menggunakan
kunci inggris. Puntiran yang dikerjakan oleh gaya F dinamakan momen torka τ
dengan arah vektornya masuk ke bidang kertas (tanda cross × menyatakan vektor
yang arahnya masuk kebidang kertas dan tanda titik • untuk arah keluar dari bidang
kertas. Pada gambar 1.10 dan 1.11 tanda • dan × bukan diartikan sebagai tanda
perkalian titik dan cross tapi sebagai arah tanda vektor yang keluar atau masuk bidang
kertas). Pada gambar 1.10b diperlihatkan rotasi dari sebuah partikel yang mengelilingi
sumbu z dengan lintasan berbentuk lingkaran yang mempunyai jarak sebesar r dari
pusat koordinat. Arah dari vektor kecepatan sudut ω adalah tegak lurus terhadap
bidang lingkaran pada gerak melingkar tersebut.
Pada gambar 1.11a diperlihatkan sebuah partikel bermuatan q yang sedang
bergerak dengan kecepatan v dalam pengaruh medan magnet homogen B (tanda •
berarti arahnya keluar bidang kertas) akan mengakibatkan munculnya gaya magnet
FM yang berarah tegak lurus terhadap v dan B. Munculnya FM akan merubah lintasan
partikel menjadi lingkaran. Pada gambar 1.11b, memperlihatkan vektor dari
momentum sudut partikel yang tegak lurus terhadap vektor posisi dan vektor
momentum linier dari partikel.
Pada sistem kesetimbangan statik dari benda tegar, maka terdapat dua
persyaratan yang harus dipenuhi yaitu kesetimbangan translasi dan kesetimbangan
rotasi. Pada kesetimbangan translasi berlaku hukum Newton kedua ∑F =0,
sedangkangkan syarat kesetimbangan rotasi berlaku aturan semua momen torka
adalah nol disetiap titik, ∑τ = 0 (tidak harus terletak pada koordinat benda tegar tapi
juga bisa diluar koordinat benda tegar).

B NC
1m

C
D NA
3m
W
O fA A
4m

Gambar 1.11. Sistem kesetimbangan statik dari benda tegar (batang AB).

13
Contoh 4 : Sebuah batang AB homogen dengan panjang 6 m dan berat 200 N
bersandar pada dinding dengan jarak BC = 1 m. Jika dinding C licin dan lantai OA
kasar, kemudian jarak OC = 3 m seperti yang terlihat pada gambar 1.11, tentukanlah
koefisien gesekan diantara lantai dan batang jika batang dalam kesetimbangan statik.
Jawab :
W = 200 N ; sin θ = 0, 6 ; cos θ = 0,8 ; DA = 3 m
Diagram gaya-gaya dari gambar 1.11 dapat diungkapkan sebagai berikut :
y (m)
Diperoleh :
NCy = NC cosθ DD1 CO
C = ,
3 NCx = NC sinθ DA CA
3
DD1 = 3 × = 1,8 m
D 5
1,8 D2 NA DD2 OA
=
CD CA
W 4
θ DD2 = 2 × = 1, 6 m
D1 A x (m) 5
O
1,6 fA 4

Dari kesetimbangan translasi diperoleh :

∑F x =0 ⇒ f A = N C sin θ = 0, 6 N C ; µ s N A = 0, 6 N C
∑F y = 0 ⇒ W = N C cos θ + N A = 0,8 N C + N A

Dari kesetimbangan rotasi diperoleh

∑τ = 0, diambil pusat rotasinya di titik O (Bisa bebas dimana saja), diperoleh :


∑τ = r × ( N + N ) + r × W + r × ( N + f ) = 0
OC Cy Cx OD OA A A

3j × ( N C cos θ j + N C sin θ i ) + (1,6i + 1,8 j) × ( −W j) + 4i × ( N A j − f A i ) = 0

Dengan menggunakan aturan pada persamaan (1.20) dan (1.21), diperoleh


−3 N C sin θ k − 1, 6W k + 4 N A k = 0
yang menghasilkan persamaan :
4 N A = 1, 6W + 3N C sin θ = 1, 6 ( 0,8 N C + N A ) + 1,8 N C , atau

NC
2, 4 N A = 3, 08 N C ; = 0, 78
NA

NC
Koefisien gesekan statis : µ s = 0, 6 = 0, 6 × 0, 78 = 0, 47
NA
Cara lain dapat dihitung untuk pusat rotasi yang berbeda, misalkan

14
∑τ = 0, diambil pusat rotasinya di titik A. Pada kasus ini berarti momen torka yang

ditimbulkan oleh gaya NA dan fA akan nol karena tidak mempunyai lengan gaya ( r =
0), diperoleh

∑τ = r AC × ( N Cy + N Cx ) + rAD × W = 0

( −4i + 3j) × ( NC cos θ j + NC sin θ i ) + ( −2, 4i + 1,8j) × ( −W j) = 0


−4 N C cos θ k − 3 N C sin θ k + 2, 4W k = 0

N C ( 4 cos θ + 3sin θ ) = 2, 4W N C = 96 N ,

N A = W − 0,8 N C = 200 − 0,8 × 96 = 123, 2 N

Sehingga diperoleh nilai N C / N A = 0, 78 , yang sama dengan perhitungan sebelumnya

dan menghasilkan nilai koefisien gesekan µ s = 0, 47 .


Contoh 5 : Jika diketahui vector-vektor primitive untuk kisi-kisi simple cubic
(sc), body centered cubic (bcc) dan face-centerd cubic masing-masing adalah
a1 = ai ; a 2 = aj ; a3 = ak untuk sc

a1 = ai ; a 2 = aj ; a3 = 12 a ( i + j + k ) untuk bcc

a1 = 12 a ( j + k ) ; a 2 = 12 a ( i + k ) ; a3 = 12 a ( i + j) untuk fcc

Carilah vektor primitif dari kisi-kisi reciprocal untuk kisi-kisi sc, bcc dan fcc.
Jawab :
Untuk kisi sc :
2π ( a 2 × a3 ) 2π ( j × k ) 2π i  2π 
b1 = = = = i
a1 i ( a 2 × a3 ) a ii ( j × k ) a ii i  a 

2π ( a3 × a1 ) 2π ( k × i )  2π 
b2 = = = j
a1 i ( a 2 × a3 ) a ii ( j × k )  a 

2π ( a1 × a 2 )  2π 
b3 = = k
a1 i ( a 2 × a3 )  a 
Untuk kisi bcc
 2π   2π 
b1 =  i ; b2 =  j
 a   a 
2π ( a1 × a2 ) 2π {i × j} 4π k  4π 
b3 = = 1 = = k
a1 i ( a2 × a3 ) 2 a i i { j × ( i + j + k )} a i i {−k + i}  a 

Untuk kisi fcc : a1 = 12 a ( j + k ) ; a 2 = 12 a ( i + k ) ; a3 = 12 a ( i + j)

15
2π ( a 2 × a3 ) 2π ( 12 a ( i + k ) × 12 a ( i + j) )  2π 
b1 = = =   (k + j − i )
a1 i ( a 2 × a3 ) 2 a ( j + k )i ( 2 a ( i + k ) × 2 a ( i + j ) )  a 
1 1 1

2π ( a3 × a1 ) 2π ( 12 a ( i + j) × 12 a ( j + k ) )  2π 
b2 = = =  (k − j + i )
a1 i ( a 2 × a3 ) 1
2 a ( j + k )i ( a ( i + k ) × a ( i + j ) )
1
2
1
2  a 

2π ( a1 × a 2 ) 2π ( 12 a ( j + k ) × 12 a ( i + k ) )  2π 
b3 = = =  ( −k + i + j)
a1 i ( a 2 × a 3 ) 1
2 a ( j + k )i ( a ( i + k ) × a ( i + j ) )
1
2
1
2  a 

Contoh 6 : Dengan menggunakan hubungan momentum putar L = r × p dan

pα = −iℏ∂α , (α = x, y, z ) , carilah komponen momentum putar Lx , Ly dan Lz .

Jawab :
i j k
L = r×p = x y z = i ( y pz − z p y ) + j ( z px − x pz ) + k ( x p y − y px ) ,
px py pz


diperoleh hubungan dengan notasi ∂ x ≡ ,
∂x
Lx = ( y pz − z p y ) = −iℏ ( y ∂ z − z ∂ y )
L y = ( z p x − x p z ) = −i ℏ ( z ∂ x − x ∂ z )
Lz = ( x p y − y px ) = −iℏ ( x ∂ y − y ∂ x )

16
1.6 Gradien dari Potensial Skalar, ∇V
Misalkan didefinisikan fungsi skalar potensial V ( x, y, z ) yang dapat dituliskan variasi

totalnya dengan menggunakan turunan parsial sebagai


∂V ∂V ∂V
dV = dx + dy + dz . (1.37)
∂x ∂y ∂z
Dalam kasus medan listrik statik, untuk memindahkan muatan listrik dari suatu titik
tertentu ke tempat lain yang jaraknya berhingga dibutuhkan suatu kerja yang dapat
dituliskan sebagai
akhir
W = −q
awal
∫ E i dL , (1.38)

dimana lintasan L yang ditempuh harus ditentukan sebelum integral tersebut dapat
dihitung. Pada kedudukan awal dan kedudukan akhir muatan listrik q dianggap dalam
keadaan diam. Kuantitas vektor E dinamakan medan listrik atau intensitas medan
listrik. Adapun definisi potensial (atau beda potansial) V adalah merupakan kerja
(oleh sumber luar) untuk memindahkan satu satuan muatan positif dari suatu titik ke
titik lain dalam medan listrik, yang dapat dituliskan sebagai
akhir
V =− ∫
awal
E i dL . (1.39)

Bentuk integrasi pada persamaan (1.39) dapat dituliskan dalam bentuk differensial
pada koordinat kartesian tiga dimensi sebagai
dV = −E i dL = − E x dx − E y dy − Ez dz . (1.40)

Dengan menyamakan persamaan (1.40) dengan (1.37) maka akan diperoleh hubungan
∂V ∂V ∂V
Ex = − , Ey = − , Ez = − , (1.41)
∂x ∂y ∂z
dimana medan total E dari sebagai fungsi medan-medan listrik pada koordinat
kartesian dapat dituliskan sebagai
 ∂ ∂ ∂ 
E = i Ex + j E y + k Ez = −  i + j + k  V . (1.42)
 ∂x ∂y ∂z 
Pada persamaan (1.42) terdapat kuantitas vektor yang dinamakan gradien potensial
∇V, yang dapat didefinisikan dalam koordinat kartesian sebagai
 ∂ ∂ ∂ 
∇V =  i + j + k  V , (1.43)
 ∂x ∂y ∂z 

17
dimana ∇ dinamakan notasi nabla. Formulasi medan listrik dapat dituliskan sebagai
negatif dari gradien potensial,
E = −∇V . (1.44)

G H
D
C 1
2 ∆z

E
F
B Pusat koordinat :
A 1
2 ∆x O (0, 0, 0)
x
1
2 ∆y

Gambar 1.12. Kubus dengan sisi-sisi ∆x → 0, ∆y → 0 dan ∆z → 0 .

Misalkan potensial V(x) keluar dari pusat kubus melalui enam permukaan
kubus dengan masing-masing sisi-sisi kubus adalah sebesar ∆x , ∆y dan ∆z yang
mendekati nol panjangnya. Jika bagian potensial yang berada pada pusat kubus (atau
pusat koordinat O) adalah V0, maka potensial V(x,y,z) yang keluar dari permukaan
EFGH dapat diungkapkan sebagai

∆x ∂V ( x, y, z ) 1  ∆x  ∂ V ( x, y, z ) ∆x ∂V
2 2

V ( x, y, z ) = V0 − + −  − ... ≅ V0 − , (1.45)
2 ∂x 2!  2  ∂x 2
2 ∂x
dengan kuantitas −∆x / 2 adalah jarak dari pusat koordinat (0,0,0) ke permukaan
EFGH dari sumbu koordinat –x. Sedangkan besarnya vektor luasan EFGH dapat
dituliskan sebagai
dS EFGH = −i ∆y ∆z , (1.46)

sehingga diperoleh
 ∆x ∂V 
∫ V dS EFGH = −i V0 −
 2 ∂x 
 ∆y ∆z . (1.47)

Untuk kasus permukaan ABCD, dengan cara yang sesuai akan diperoleh

18
 ∆x ∂V 
∫ V dS ABCD = i V0 +
 2 ∂x 
 ∆y ∆z , (1.48)

dengan kuantitas ∆x / 2 adalah jarak dari pusat koordinat (0,0,0) ke permukaan ABCD
dari sumbu koordinat +x. Jika persamaan (1.47) dan (1.48) dijumlahkan diperoleh
∂V
∫ V dS EFGH + ∫ V dS ABCD = i
∂x
∆x ∆y ∆z . (1.49)

Dengan cara yang sama untuk penjumlahan integral dari permukaan lainnya diperoleh
∂V
∫ V dS ACGE + ∫ V dS BDHF = j
∂y
∆x ∆y ∆z , (1.50)

dan
∂V
∫ V dS ABEF + ∫ V dSCDGH = j
∂z
∆x ∆y ∆z . (1.51)

Integral untuk seluruh permukaan pada kubus ( 6 permukaan) dapat dituliskan sebagai

∫ V dS = ∫ V dS EFGH + ∫ V dS ABCD + ∫ V dS ACGE + ∫ V dS BDHF + ∫ V dS ABEF + ∫ V dS CDGH

 ∂V ∂V ∂V 
= i +j +k  ∆x ∆y ∆z , (1.52)
 ∂x ∂y ∂z 
sehingga gradien V dapat dituliskan sebagai

 ∂ ∂ ∂ 
∇V =  i + j + k  V = lim
∫ V dS , (1.53)
 ∂x ∂y ∂z  ∆τ →0 ∆τ
dengan elemen volume ∆τ = ∆x ∆y ∆z .

1.7 Divergensi dari Vektor Kerapatan Fluks Listrik, ∇ • D.


Salah satu aplikasi dari kasus medan listrik yang diakibatkan oleh mengalirnya
fluks-fluks listrik dikenal sebagai hukum Gauss. Untuk meninjau hukum Gauss secara
matematis, maka ditinjau gambar 1.13 berikut : Distribusi muatan (awan muatan)
terlingkungi dalam suatu permukaan tertutup yang berbentuk sembarang. Jika muatan
totalnya adalah Q maka akan mengalir fluks-fluks listrik yang akan menembus
permukaan yang melingkungi awan muatan tersebut. Jika ditinjau pada suatu elemen
luasan tertentu dengan arah vektor luasan dS, maka arah vektor kerapatan fluks listrik
Ds pada elemen luasan tersebut akan membentuk sudut θ terhadap vektor dS. Ds, normal
merupakan proyeksi Ds terhadap vektor luasan dS.

19
dS
Ds, normal

θ
Ds

dS
•••••
••••• Q••••••
••••••

Gambar 1.13. Distribusi muatan Q yang terlingkungi permukaan tertutup yang akan mengalirkan
fluks-fluks listrik yang menembus permukaan tertutup tersebut.

Hukum Gauss dari permukaan tertutup tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:
Fluks listrik yang menembus setiap permukaan tertutup sama dengan muatan total
yang dilingkungi oleh permukaan tersebut.
Bentuk hukum Gauss secara matematis adalah
Q = ψ = ∫ permukaan Ds i dS , (1.54)
tertutup

dimana Q adalah muatan total yang terlingkungi muatan tertutup tersebut dan ψ
adalah fluks-fluks yang menembus permukaan tertutup dengan elemen permukaan dS.
Jika muatan total Q dapat diungkapkan dalam bentuk formulasi kerapatan muatan
volume ρ maka akan diperoleh hubungan

∫ D s i dS = ∫ ρ dτ , (1.55)
S τ

dimana dτ adalah elemen volume. Untuk melihat hubungan diantara hukum Gauss
dengan divergensi dari kerapatan fluks listrik Ds, maka dilihat kembali bentuk kubus
pada gambar 1.12. Jika muatan total Q berada pada pusat kubus (titik O) , maka fluks
listrik akan mengalir menembus enam permukaan kubus tersebut, sehingga dapat
dituliskan sebagai

∫ D i dS = ∫
S EFGH
D i dS + ∫
ABCD
D i dS + ∫
ACGE
D i dS

+∫ D i dS + ∫ D i dS + ∫ D i dS . (1.56)
BDHF ABEF CDGH

20
Komponen kerapatan fluks listrik D pada titik O dapat dituliskan sebagai
D0 = Dxo i + Dyo j + Dzo k . (1.57)

Integral bagian pada persamaan (1.56) adalah

∫EFGH
D i dS = Dbelakang i ∆S belakang = − Dx,belakang i i ∆y ∆z i = − Dx,belakang ∆y ∆z , (1.58)

dimana Dx,belakang dapat dituliskan seperti pada persamaan (1.45) yaitu

∆x ∂Dx
Dx,belakang ≅ Dxo − , (1.59)
2 ∂x
sehingga diperoleh
 ∆x ∂Dx 
∫ EFGH
D i dS =  − Dxo +
 2 ∂x
 ∆y ∆z .

(1.60)

Untuk fluks listrik yang keluar dari permukaan depan ABCD, maka dapat dituliskan,
∆x ∂Dx
Dx,depan ≅ Dxo + , (1.61)
2 ∂x
sehingga diperoleh
 ∆x ∂Dx 
∫ ABCD
D i dS =  Dxo +
 2 ∂x
 ∆y ∆z .

(1.62)

Penjumlahan persamaan (1.60) dan (1.62) menghasilkan persamaan


∂Dx

EFGH
D i dS + ∫
ABCD
D i dS =
∂x
∆x ∆y ∆z . (1.63)

Dengan cara yang sama untuk integral-integral permukaan atas, bawah, kiri dan kanan
akan menghasilkan
∂Dz
∫ ABEF
D i dS + ∫
CDGH
D i dS =
∂z
∆x ∆y ∆z , (1.64)

∂Dy
∫ ACGE
D i dS + ∫
BDHF
D i dS =
∂y
∆x ∆y ∆z , (1.65)

sehingga diperoleh hasil


 ∂Dx ∂Dy ∂Dz   ∂Dx ∂Dy ∂Dz 
∫ D i dS =  + +  ∆x ∆y ∆z =  + +  ∆τ . (1.66)
S ∂x ∂y ∂z   ∂x ∂y ∂z 

Dari persamaan (1.66) dapat didefinisikan divergensi dari kerapatan fluks listrik D
sebagai berikut

Div D = ∇ i D =
∂Dx ∂Dy ∂Dz
+ +
∫ D i dS .
= lim S (1.67)
∂x ∂y ∂z ∆τ →0 ∆τ

21
Dengan menggunakan persamaan (1.54) diperoleh hukum Maxwell pertama dalam
bidang kelistrikan yaitu
Q
lim =∇iD=ρ, (1.68)
∆τ → 0 ∆τ
sehingga persamaan (1.55) dapat dituliskan kembali sebagai

∫ D i dS = ∫τ ( ∇ i D ) dτ .
S
(1.69)

Persamaan (1.69) dinamakan sebagai teorema Gauss pada kasus divergensi dari
sebuah vektor D.

1.8 Curl dari Vektor Intensitas Medan Magnet, ∇ × H.


Untuk menghitung curl dari medan magnet H dengan menggunakan gambar 1.14,
anggaplah terdapat sebuah penghantar yang sangat panjang (l = ∞) yang mengangkut
sebuah arus I pada arah sumbu z (ditandai dengan tanda •), dimana besarnya medan
magnet B pada suatu jarak tegak lurus R terhadap kawat l menurut hukum Biot Savart
adalah
µ0 I I
B= atau H= , (1.70)
2π R 2π R
dimana B = µ0 H .

y
H

1 Hx

• I 4 ∆y
2

3
∆x
x

Gambar 1.14. Lintasan tertutup berbentuk segiempat dari medan H disekitar kawat arus listrik I dengan
panjang tak berhingga pada arah sumbu z.

22
Jika pada bidang xy dibuat lintasan tertutup dari medan H berbentuk segiempat
dengan panjang dan lebar sebesar ∆x dan ∆y , maka menurut hukum Ampere (hanya
berlaku untuk kawat arus listrik yang sangat panjang) berlaku hubungan
I = ∫ H i dr , (1.71)

dimana r adalah lintasan tertutup dari medan H tersebut (bukan panjang kawat arus
berlistrik). Untuk kasus lintasan tertutup berbentuk segiempat 1→2→3→4, diperoleh

∫ H i dr = − H (1) ∆x − H ( 2 ) ∆y + H ( 3) ∆x + H ( 4 ) ∆y ,
x y x y (1.72)

dimana tanda negatif karena arah medan yang ke kiri atau ke bawah. Untuk kasus
∆x, ∆y → 0 , maka dapat diadakan pendekatan
∂H x
H x (1) = H x ( 3) + ∆y , (1.73)
∂y
sehingga diperoleh,
∂H x
 H x ( 3 ) − H x (1)  ∆x = − ∆x ∆y . (1.74)
∂y
Dengan cara yang sama akan diperoleh hubungan dari dua sirkulasi yang lainnya
yaitu
∂H y
 H y ( 4 ) − H y ( 2 )  ∆y = ∆x ∆y , (1.75)
∂x
sehingga diperoleh sirkulasi disekitar bujur sangkar adalah
 ∂H y ∂H x 
∫ H i dr =  −  ∆x ∆y = {( ∇ × H )ik} ∆x ∆y
∂x ∂y 
= ( ∇ × H ) i ( k ∆S ) = ( ∇ × H ) i ∆S

∫ H i dr = ∫ ( ∇ × H ) i dS ,
s
(1.76)

dimana S adalah permukaan yang dilingkungi oleh lintasan r, dengan arah vektor
luasannya kearah sumbu z, dS = k dS . Persamaan (1.76) dikenal sebagai teorema
Stokes. Dengan menggunakan hukum Ampere (1.71), dimana arus listrik I diubah
dalam bentuk formulasi kerapatan arus J, diperoleh

∫ ( ∇ × H ) i dS = I = ∫ J i dS ,
s s
(1.77)

yang menghasilkan hukum Maxwell kedua dalam bidang kemagnetan yaitu


∇×H = J . (1.78)
Misalkan didefinisikan vektor D dapat diungkapkan sebagai berikut

23
D ( x, y , z ) = D ( x, y , z ) a , (1.79)

dimana a adalah sebuah vektor dengan niali konstan tetapi mempunyai arah yang
berubah-ubah. Dengan menggunakan teorema Gauss (1.69), diperoleh

∫ D i dS = ai ∫ D dS = ∫ ( ∇ i a D ) dτ = ai ∫ ( ∇D ) dτ . (1.80)
S S τ τ

Persamaan (1.80) di atas dapat dituliskan sebagai

ai {∫ S
D dS − ∫ ( ∇D ) dτ = 0 .
τ
} (1.81)

Karena |a|| ≠ 0 dan arah vektornya berubah-ubah, yang berarti cosinus dari sudut yang
dimasukkan tidak dapat selalu lenyap, yang berarti persamaan dalam kurung kurawal
pada (1.81) harus berharga nol, yang dapat dituliskan sebagai,

∫ D dS = ∫ ( ∇D ) dτ . (1.82)
S τ

Jika kemudian didefinisikan D = a × P , dimana a adalah sebuah vektor yang konstan,


kemudian persamaan (1.82) dikalikan dengan vektor a tersebut diperoleh

∫ D dS = ∫ ( ∇D ) dτ , (1.83)
S τ

yang menghasilkan

∫ dS {a × P} = ∫ {∇ ( a × P )} dτ , (1.84)
S τ

24

Anda mungkin juga menyukai