Anda di halaman 1dari 2

SISTEM KASTA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Mochamad Farid Ubaidillah, S.Pd.*

Sistem kasta merupakan bentuk stratifikasi sosial yang digunakan untuk membentuk
pengelompokan masyarakat. Dunia modern saat ini, terutama dalam bidang pendidikan
secara sadar atau tidak telah menerapkan sistem kasta tersebut. Pengelompokan tidak hanya
terjadi pada lingkup sekolah, akan tetapi juga pada pendidik (guru) dan juga siswa.
Dunia pendidikan di Indonesia telah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun
menerapkan sistem kasta. Apabila dulu kita hanya mengenal sekolah negeri dan swasta. Kini,
pengelompokan tersebut semakin komplek tergantung sudut pandang dari perbedaan yang
sengaja dibuat. Ada sekolah dengan status terdaftar, diakui, dan disamakan. Ada pula
akreditasi A, B, dan C bahkan belum terakreditasi. Pengelompokan terbaru lain yang resmi
dilakukan oleh pemerintah adalah sekolah dengan status praSPM (belum memenuhi standar
pelayanan minimal), SPM (standar pelayanan minimal), praSSN (menuju sekolah standar
nasional), SSN (sekolah standar nasional), RSBI (rintisan sekolah berstandar internasional),
dan SBI (sekolah berstandar internasional).
RSBI dan SBI telah dihapus karena tidak lagi memiliki payung hukum setelah
dibatalkan oleh mahkamah konstitusi. Namun demikian, sebagian besar sekolah yang telah
menyandang status RSBI dan SBI saat ini masih banyak yang menerapkan sistem kapitalis
dengan berbagai alasan untuk melegalkan pungutan terhadap siswa. Upaya yang dilakukan
tersebut secara tidak sadar telah membentuk kasta baru pada siswa yaitu dibaginya siswa
dalam kelas unggulan, kelas khusus dan kelas regular maupun kelas-kelas serupa dengan
nama yang berbeda.
Pengelompokan siswa berdasarkan tingkat kecerdasan atau tingkat ekonomi orang tua
sulit dibedakan karena syarat masuk kelas unggulan misalnya, harus dengan syarat orang tua
memiliki penghasilan tertentu dan mampu membayar untuk biaya di kelas unggulan, selain
syarat memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Tentu saja hal ini membuat skat atau jarak
diantara sesama siswa karena siswa yang berada di kelas unggulan akan merasa dirinya lebih
baik dibandingkan siswa yang berada dikelas regular, begitu pula sebaliknya.
Pengelompokan atau kasta yang terjadi di dunia pendidikan kita tidak hanya terjadi
pada siswa dan status sekolah saja, namun juga pada pendidiknya atau dalam hal ini adalah
guru. Jika dulu kita hanya mengenal guru PNS (pegawai negeri sipil) dan guru swasta saja.
Kini pengelompokan tersebut juga terjadi lagi baik dalam guru PNS maupun guru swasta.
Selain pangkat dan golongan, saat ini guru PNS dibedakan lagi menjadi guru PNS non
sertifikasi dan guru PNS bersertifikasi. Begitu pula pada guru swasta, belum atau sudah
sertifikasi menjadi pembeda sekaligus jarak antara sesama guru yang menunjukkan kelas
sosialnya. Guru yang telah sertifikasi dianggap memiliki status sosial lebih tinggi
dibandingkan guru yang belum menerima sertifikasi. Hal ini terjadi sebagai dampak dari
kompensasi finansial yang diberikan berbeda sesuai dengan status yang disandang guru
tersebut.
Guru yang nama statusnya selalu berubah adalah guru bukan PNS yang mengajar di
sekolah negeri. Guru ini adalah selain guru PNS dan guru swasta. Sejalan dengan namanya,
status guru inipun sering dipertanyakan bahkan diragukan. Pernah disebut sebagai guru
bantu, guru honorer, guru sukarelawan (sukwan), guru tidak tetap, guru sementara dan entah
nama apalagi yang akan mereka sandang, yang jelas dalam sistem kasta mereka tetap
dianggap sebagai kasta sudra, yaitu kasta terendah. Sedangkan kasta brahmana atau kasta
tertinggi tentu saja dimiliki oleh guru PNS yang telah sertifikasi.
Pada dasarnya, perbedaan yang dilakukan pemerintah baik pada sekolah, guru
maupun siswa bertujuan baik yaitu untuk memudahkan dalam peningkatan mutu pendidikan
itu sendiri. Namun pada kenyataannya, justru sekolah dengan “kasta tertinggi” lebih
diprioritaskan daripada sekolah dengan “kasta terendah”. Hal ini dibuktikan dari besarnya
jumlah bantuan yang diberikan pemerintah untuk sekolah SSN lebih besar dibandingkan
dengan jumlah bantuan yang diberikan untuk sekolah pra SPM. Berbagai program strategis
juga lebih dipercayakan kepada sekolah-sekolah favorit tersebut. Peningkatan kesejahteraan
untuk guru melalui program sertifikasi justru lebih banyak dinikmati dari guru PNS dan
swasta, sedangkan guru honorer sendiri terkesan dipersulit untuk sekedar mengikuti proses
sertifikasi, apalagi memperoleh tunjangan profesi pendidik.
Seharusnya pengelompokan-pengelompokan tersebut tidak bersifat permanen dan ada
program jangka pendek maupun jangka panjang dari pemerintah untuk memperkecil hingga
menghilangkan perbedaan itu. Sekolah dengan “kasta terendah” harus lebih diprioritaskan,
siswa dikelas regular mendapat bimbingan lebih agar mampu bersaing dengan siswa dikelas
unggulan. Guru honorer mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk memperoleh hak
yang sama sebagai guru.
Apabila semua itu dapat dilaksanakan, tentu kesenjangan yang ada akan dapat diatasi
dan mutu pendidikan juga dapat tetap ditingkatkan tanpa ada kecemburuan sosial didalam
lingkungan pendidikan. Sekolah-sekolah akan bersaing secara sehat karena telah memiliki
infrastuktur yang sama sehingga kompetisi lebih didasarkan pada kompetensi SDM dan
“keunikan lokal” dari masing-masing sekolah. Siswa akan lebih termotivasi untuk
meningkatkan prestasinya karena merasa semua kelas sama dan tidak ada perbedaan
perlakuan terhadap setiap kelas. Guru juga akan lebih mudah bekerjasama dalam
meningkatkan kinerja karena tidak ada yang merasa sebagai guru “kasta sudra” dan “kasta
brahmana”. Penghargaan yang diberikan kepada guru benar-benar didasarkan atas prestasi
kinerja bukan lamanya masa kerja.

*) Penulis adalah Guru SDN Manduro 2


Kecamatan Kabuh Kabupaten
Jombang.

Anda mungkin juga menyukai