Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Diagnosa Medis Sindrom Nefrotik di Ruang
Rawat Inap Bona 1 RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Disusun oleh :
Kelompok C3b
Laporan asuhan keperawatan pada An.R dengan diagnosa medis Sindroma Nefrotik di
Ruang Rawat Inap Bona 1 RSUD Dr. Soetomo yang telah dilaksanakan pada tanggal 07-18
Januari 2019 dalam rangka praktik profesi Keperawatan Anak.
Telah disetujui untuk dilaksanakan seminar kasus Keperawatan Jiwa.
Mengetahui,
Kepala Ruangan
Erna Supatmini,S.Kep.,Ns.
NIP. 197111301994032005
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan berkah dan rahmat yang diberikan, sehingga proposal seminar
dalam rangka pelaksanaan profesi keperawatan anak yang berjudul “Laporan asuhan
keperawatan pada An.R dengan diagnosa medis Sindroma Nefrotik” ini dapat terselesaikan.
Dalam menyusun proposal ini, tentunya berbagai hambatan telah dialami.
Oleh karena itu, terselesaikannya laporan seminar ini bukan semata-mata karena
kemampuan individual belaka, melainkan karena adanya dukungan dan bantuan
dari pihak-pihak terkait. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketulusan hati
disampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Erna Supatmini, S.Kep.Ns selaku kepala ruangan ruang rawat inap Bona 1 RSUD Dr.
Soetomo Surabaya
2. Dr. Yuni Sufyanti, S.Kep., M.Kep selaku Pembimbing Akademik
3. Dwi Endah M., S.Kep,Ns selaku Pembimbing Klinik yang sudah memberikan waktu dan
ilmunya kepada mahasiswa selama profesi.
4. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu penyakit yang sering ditemukan
diIndonesia. Angka kejadian SN pada anak tidak diketahui pasti, namun diperkirakan pada
anak berusia dibawah 16 tahun berkisar antara 2 sampai 7 kasus per tahun pada setiap
1.000.000 anak. Sindroma nefrotik tanpa disertai kelainan sistemik disebut SN primer,
ditemukan pada 90% kasus SN anak. Insiden sindroma nefrotik primer ini 2 kasus per tahun
tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap
100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-lakidan perempuan pada anak sekitar
2:1 (Depkes RI, 2012)
Pada makalah ini akan dibahas asuhan keperawatan yang dilakukan pada anak dengan
kasu sindrom nefrotik di Ruang Bona 1 RSUD Dr. Soetomo Surabaya berdasarkan literatur.
1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum:
Mengetahui dan memahami konsep darsar Sindrom Nefrotik dan Asuhan Keperawatan
gangguan Sindrom Nefrotik
b. Tujuan khusus :
1. Untuk mengetahui letak anatomi dan fisiologi ginjal
2. Untuk mengetahuidefinisiSindrom Nefrotik pada anak
3. Untuk mengetahui epidemiologi Sindrom Nefrotik pada anak
4. Untuk mengetahui etiologi penyakit Sindrom Nefrotik pada anak
5. Untuk mengetahui patofisiologi dan woc Sindrom Nefrotik pada anak
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis Sindrom Nefrotik pada anak
7. Untuk mengetahui klasifikasi Sindrom Nefrotik pada anak
8. Dampak sindrom nefrotik pada anak
9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Sindrom Nefrotik
10. Untuk mengetahui penatalaksanaan Sindrom Nefrotik
11. Untuk mengetahui komplikasi Sindrom Nefrotik
12. Untuk mengetahui pengkajian teori Sindrom Nefrotik
13. Untuk mengetahui diagnosa teori Sindrom Nefrotik
14. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teori Sindrom Nefrotik
15. Untuk mengetahui pengkajian berdasarkan kasus Sindrom Nefrotik
16. Untuk mengetahui diagnosa berdasarkan kasus Sindrom Nefrotik
17. Untuk mengetahui asuhan keperawatan berdasarkan kasus Sindrom Nefrotik
1.4 Manfaat
1. Masyarakat
Untuk mengetahui bagaimana mengetahui penyebab penyakit Sindrom Nefrotik dan
bagaimana mencegah penyakit Sindroma Nefrotik.
2. Mahasiswa Keperawatan
Untuk mengetahui dan memahami penyakit Sindroma Nefrotik sehingga dapat
menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumahsakit.
3. Perawat
Sebagai bahan kajian dan informasi bagi mahasiswa serta menambah wawasan
tentang Sindroma Nefrotik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitonel dengan
panjang ± 11-12 cm, di samping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan lebih
rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.
Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal
kiri setinggi vertebra lumbalis III. Pada fetus dan infant, ginjal berlobulasi. Makin bertambah
umur, lobulasi makin kurang, sehingga waktu dewasa menghilang. Parenkim ginjal terdiri
atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18
buah, rata-rata12 buah.
Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh columna bertini. Dasar piramid di tutup oleh korteks,
sedang puncaknya (papila marginalis) menonjol kedalam kaliks minor. Beberapa kaliks
minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor /
minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter. Korteks
sendiriterdiri atas glomerulus dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat tubuli.
Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk nefron, satu unit nefron terdiri dari glomerulus,
tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang di masukkan pula duktus
koligentes) (Price, 2001).
Tiap ginjal mempunyai ± 1,5 – 2 jutanefron, berarti pula ± 1,5 – 2 juta juta
glomeruli.Pembentukan urin dimulai dari glomerulus, dimana pada glomerulus ini filtrat
dimulai, filtrat adalah isotonik dengan plasma pada angka 285 mosmol.
Pada akhir tubulus proksimal 80% filtrat telah diabsorbsi, meskipun konsentrasinya
masih tetap sebesar 285 mosmol. Saat infiltrat bergerak ke bawah melalui bagian desenden
lengkung henle, konsentrasi filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi
makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada ujung atas lengkung,
saat filtrat bergerak sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya
isoosmotik denganplasma darah pada ujung duktus mengumpul.
Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul sekali lagi konsentrasi filtrat
meningkat pada akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorbsi dan hanya
sekitar 1% yang diekskresi sebagai urin atau kemih (Price, 2001).
2.3 Definisi
Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemiadan hiperkolesterolemia,kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi, dan
penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 2005).
Sindroma Nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas glumerulus terhadap protein plasma yang menimbulkan proteinuria,
hipoalbumenemia, hiperlipidemia, dan edema (Betz, Cecily dan Sowden, Linda. 2002).
Sindroma Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri oleh glomerular
yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria,hipoproteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).
Sindroma Nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif
(lebih dari 50 mg/kg BB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/ 100 ml) yang
disertai atau tidak di sertai dengan edema dan hiperkolesterolemia (Rauf, 2002).
Sindrom nefrotik adalah merupakan manifestasi klinik dari glomerulonestritis (GN)
ditandai dengan gejala edema, proteinuria pasif > 3,5g/hari, hipoalbuminemia <3,5g/dl,
lipiduria dan hiperkolestromia. Kadang-kadang terdapat hematuria,hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal, sindrom nefrotik paling banyak terjadi pada anak umur 3-4 tahun dengan
perbandingan pasien wanita dan pria 1:2 (Nurarif & Kusuma, 2016).
Berdasarkan pengertian diatas maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
sindroma nefrotik pada anak adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris
yang massif, dengan karakteristik : proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, disertai
atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia.
2.4 Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Menurut
Ngatisyah 2005 ada 3 etiologi yaitu:
a. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
2.5 Epidemiologi
Sindrom ini dapat mengenai semua umur, tetap sebagian besar (74%) dijumpai pada usia
2-7 tahun. (1) Kasus sindrom nefrotik pada anak paling sering ditemukan pada usia 18 bulan-4
tahun. (2) kejadian sindrom nefrotik pada anak sekitar 1-2/100.000 anak. (3) Rasio laki-
laki:perempuan = 2:1, sehingga dikatakan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar
1:1.
2.6 TandadanGejala
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
a. Oedem umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
b. Proteinuria dan albuminemia.
c. Hipoproteinemi dan albuminemia.
d. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
e. Lipid uria.
f. Mual, anoreksia, diare.
g. Anemia, pasien mengalami edema paru.
2.7 Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak
dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat
dengan mikroskop cahaya.
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik,
purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan
neoplasma limfoproliferatif.
c. Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang
terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan
proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi
pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.
d. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh
karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui
yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada
sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang
sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran
glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar
albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara
fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic
intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan
oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang
diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun
dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume
intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan
system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan
mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan
aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan
hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini
mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium
dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan
mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan
lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang
sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan
arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002)
e. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor,
sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.
2) Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya
meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring
dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
Klorida, fsfat dan magnesium meningkat.
b. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
f. Penatalaksanaan
a. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak
berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan
tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
b. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari
dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan
edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang
seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan
kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3
gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan
bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
c. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus
dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut,
menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus
dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak
menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
d. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk
mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
e. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin
juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena.
Monitor nadi dan tekanan darah.
f. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami
infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang
menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
g. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan
harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
h. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan
penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini
menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan
masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua
sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan
frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di
rumahn sakit.
g. Komplikasi
Komplikasi yang sering menyertai penderita SN antara lain (Suharyanto & Madjid,
2013) :
1. Infeksi sekunder
Terjadi akibat kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia
2. Syok
Terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1gm/100ml)>
3. Trombosis vaskuler
Mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen
plasma atau faktor V, VII, VIII, dan X. Trombus lebih sering terjadi di sistem vena
apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid
4. Gagal ginjal akut, akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan
didalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan didalam intravaskuler.
5. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-paru
yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.
antara umur 6-12 tahun gigi suslung berangsur-angsur lepas dan diganti dengan gigi
permanent. Umur terlepasnya gigi sulung :
- gigi seri sulung tengah kira-kira 7,5 tahun.
- Gigi seri sulung samping kira-kira 8 tahun.
- Gigi taring kira-kira 11,5 tahun.
- Gigi geraham sulung I kira-kira 10,5 tahun.
3. fase gigi tetap/permanen
Perkembangan panca indra
I. Perabaan
Sejak lahir sudah mempunyai indra perabaan, buktinya :
- Begitu lahir merasa dingin lalu menangis
- Dapat merasakan perabaan dari seseorang dan merasa enak/aman atau tidak.
II. Penglihatan
- Bayi hanya dapat membedakan gelap dan terang, lambat laun akan menjadi
baik pada usia 1 bulan dapat mengikuti sinar.
- Apabila sampai dengan usia 3 bulan belum dapat mengikuti arah baying-
bayang sinar berarti bayi tersebut bermasalah dalam penglihatan.
III. Pendengaran
- Pada waktu lahir belum ada pendengaran, setelah 1 bulan barundapat
mengetahui letak letak suara.
- Apabila sampai dengan usia 9-10 bulan belum bisa mendengar berarti bayi
tersebut bermasalah dalam pendengaran.
IV. Penciuman
Belum bisa membedakan bau kecuali menyatakan dengan kekhususan/perasaannya
V. Rasa
Panca inra yang paling lambat berkembang. Sesudah 1-2 tahun. Yaitu setelah
mempunyai perasaan like dan dislike.
Pertumbuhan otak
Kenaikan berat otak anak (lazuardi, 1984)
UMUR KENAIKAN BERAT OTAK
6 s/d 9 bulan kehamilan
lahir - 6 bulan
6 bulan -3 tahun
3 tahun - 6 tahun 3 gr / 24 jam
2 gr / 24 jam
0,35 gr / 24 jam
0,15 gr / 24 jam
Pertumbuhan otak tercepat adalah trimester III kehamilan sampai 5 – 6 bulan pertama
setelah lahir. Jaringan otak dan system syaraf tumbuh secara maksimal selama 2 tahun.
Perkembangan fungsional
Perkembangan fungsional atau ketrampilan , artinya tahap pergerakan yang terjadi
karena koordinasi atau kerja sama antara bermacam-macam pergerakan melalui
kematangan belajar, kematangan alat-alat tulang, sumsum syaraf dan perbuatan proporsi
tubuh. Maka anak telah siap untuk menggunakan tubuhnya secara terkoordinasi. Proses
ini dimulai dari otot-otot kepala ke anggi\ota badan. Ada 4 macam perkembangan
fungsional, yaitu merangkak, duduk, berdiri dan manipulasi.
Perkembangan social
- Tingkah laku social diartikan bagaimana seorang anak berinteraksi terhadap
orang-orang sekitarnya, pengaruh hubungan itu pada dirinya dan penyesuaian dirinya
terhadap lingkungan.
- Segera setelah lahir hubungan bayi dan orang sekitarnya mempunyai yang
sangat penting. Hubungan ini terjadi melalui sentuhan atau hubungan kulit.
- Bulan kedua bayi mulai mengenal muka orang yang paling dekat (ibu). Ia
mulai tersenyum sebagai suatu cara mengatakan kesenangannya.
- Sekitar umur 6 bulan mulai mengenal orang-orang disekitarnya dan
membedakan orang-orang yang asing baginya.
- Umur lebih dari 7 bulan mulai kontak aktif dengan orang lain yaitu dengan
menunjukkan kemauannya. Contohnya : berteriak-teriak minta perhatian, mulai
memperhatikan apa yang dikerjakan orang disekitarnya.
- Akhir bulan ke 10 mulai mengobrol dengan ibunya dan menirukan suku kata
dan nada .
- Akhir tahun pertama hubungan kontak orang tua dan bayinya sedemikian
jauhnya sehingga dapat diajak bermain.
- Umur 18 bulan dimulai adanya kesadaran akan saya dan keinginan untuk
menjelajahi dan menyelidiki terhadap lingkungan sangat besar yang akan menimbulkan
persoalan, si anak akan akan mulai dihadapkan dengan orang-orang yang menyetujui dan
menghalangi maunya.
- Tahun kedua keinginan untuk berdiri sendiri dan penolakan terhadap otoritas
orang dewasa kurang menarik, oleh karena itu kehidupan anak terpusat dilingkungan
rumah. Maka dasar-dasar tingkah laku socialnya dan sikap–sikapnya disamai dirumah.
Perkembangan emosi
Kebutuhan utama agar mendapatkan kepercayaan dan kepastian bahwa si anakditerima
dilingkungannya. Kehadirannya sangat diinginkan dan dikasihi yang nantinya menjadi
dasar untuk pecaya pada diri sendiri.
- Dimulai dengan hubungan yang erat antara orang tua dan bayi : mengelus-
elus, memeluk, rooming-in.
- Proses selanjutnya ibu secara sadar atau tidak sadar menentukan batas
banyaknya kepuasan yang akan diberkan kepada si anak, karena dipengaruhi kebutuhan-
kebutuhan keluarga.
- Adanya batas-batas itu menjadikan anak stress dan frustasi yang sewaktu-
waktu dapat diringankan oleh ibunya.
- Akibat dari interaksi antara ibu dan anak ini organisasi mental anak
berkembang, yaitu anak belajar untuk membedakan dirinya dengan oramg lain.
Perkembangan bahasa
Ada 3 bentuk pra bahasa normal dalam perkembangan bahasa, yaitu : menangis,
mengoceh, isyarat. Dalam 2 bulan pertama kehidupannya masih banyak cara menyatakan
keinginan dengan menangis. Umur 3-4 bulan suara-suara bernada rendah diucapkan pada
saat terbangun. Akhir bulan ke 4 bayi dapat diajak bermain dan tertawa keras. Umur 5-6
bulan mulai mengobrol dengan caranya sendiri yaitu dengan mengeluarkan suara-suara
yang nadanya keras, tinggi dan perlahan. Umur 9 bulan bayi mulai mengeluarkan suku
kata yang diulang, seperti wawa, papa, mama, sebagai usaha pertama untuk bicara. Pada
umur 10-11 bulan bila ditanyakan dimana bapak, ibu atau mainannya ia akan mencari
dengan mata dan memalingkan kepalanya. Pada umur 11-13 bul;an mulai terjadi
perubahan penting, ia mulai menghubungkan kata-kata. Sekitar umur 1 tahun sudah
dapat mengerti kata-kata, kalimat-kalimat sederhana secara berulang sehingga ia
mendapat kesempatan untuk melatih dirinya.
Perkembangan bicara
Pra bicara.
1. meraban (6-7 minggu)
merupakan suatu pemainan dengan tenggorokan, mulut bibir sehingga suara menjadi
lembut dan menghasilkan bunyi.
2. kalimat satu kata (1-18 bulan)
3. haus akan nama
4. membuat kalimat
5. mengenal perbandingan
c. Diagnosa Keperawatan
1. Pengkajian
1) Identitas `
Sindrome nefrotik paling banyak terjadi pada anak umur 3-4 th dengan
perbandingan pasien wanita dan pria 1:2 (Nurarif & Kusuma, 2016, hal. 130)
2) Status kesehatan saat ini
a. Keluhan Utama
Di tandai dengan gejala edema / odeme anasarka (Amin Huda Nurarif, Asuhan
Keperawatan Praktis, 2016, hal. 130)
b. Alasan Masuk Rumah Sakit
Edema, kadang-kadang mencapai 40% dari berat badan,dan didapatkan edema
anasarka (Suharyanto & Madjid, 2013, hal. 143).
c. Riwayat penyakit sekarang
Klien mengalami tanda edema, proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidermia
(Suharyanto & Madjid, 2013, hal. 139).
4) Sistem perkemihan
Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urine berbusa, akibat penurunan
tekanan permukaan akibat proteinuria (Suharyanto & Madjid, 2013, hal. 141)
5) Sistem pencernaan
Biasanya pada pasien, dengan nefrotik sindrom pada sistem pencernaan
ditemukan adanya nyeri pada abdomen (Suriadi, 2010, hal. 201)
6) Sistem integument
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema, penurunan
pertahanan tubuh (Suharyanto & Madjid, 2013, hal. 143)
7) Sistem musculoskeletal
Gangguan metabolisme kalsium dan tulang sering dijumpai pada sindrom
nefrotik (Prodjosudjadi, 2010, hal. 999)
8) Sistem endokrin
Biasanya tidak ditemukan komplikasi pada sistem endokri
9) Sistem reproduksi
Sistem reproduksi normal
10) Sistem penginderaan
Terjadi edema pada tangan dan kaki yang berfungsi sebagai indera peraba
(Nugroho, 2011, hal. 100)
11) Sistem imun
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan
oleh karena hypoalbuminemia, hyperlipidermia atau defisiensi seng (Suriadi,
2010, hal. 199)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan elektrolit,kreatinin,bersihan kreatinin,tes dipstik urine.
b. USG saluran ginjal
c. Immunoglobulin (elektroforesis protein), glukosa, ANF,ANCA.
d. Biopsy ginjal (untuk mengetahui penyebab proteinuria) (Nurarif & Kusuma, 2016,
hal. 131)
Sindrom nefrotik
Gangguan
Retensi Na & air tumbuh kembang
anak
Trombosis vaskuler
Edema Hiperlipidemia
renalis
Hipertensi
MK: Gagal ginjal
Haluaran urine MK: Kelebihan Diafragma Gangguan Menekan isi perut akut
volume cairan tertekan ke atas mobilisasi
O2 MK: Gangguan
nutrisi kurang
MK: Pola nafas dari kebutuhan
inefektif Sesak napas tubuh
Hipoksia
Iskemia
Nekrosis
.
MK: Gangguan MK: Gangguan
kerusakan perfusi jaringan
integritas kulit perifer
29
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
30
dibawa ke dokter spesialis anak yang terdekat dengan rumahnya,namun saat itu
juga An.R dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.
2. Operasi : Ya Tidak
3. Alergi : Makanan Obat Udara Debu
Lain-lain tidak ada alergi
Lain-lain
....................................................................................................................................................
31
Persepsi orang tua An.R, sakit yang di diderita An.R ini semua karena
kesalahannya yang sering menitipkan anaknya dan tidak mengawasi apa yang
dikonsumsi An.R.
RIWAYAT NUTRISI
1. BB saat ini : 24 Kg, TB : 124 cm, LK :.......cm, LD :.......cm, LLA :.......cm Commented [MOU2]: Ditulis saja tdk dikaji utk LK dan LD untuk
LLA apakah tidak di ukur?
2. BB lahir 2800 gram BB sebelum sakit : 29 Kg Commented [MOU3]: IMT dituliskan
3. Panjang lahir 46 cm
RIWAYAT PERKEMBANGAN
An. R mulai menegakkan kepala umur 4 bulan, membalik badan umur 5 bulan,
duduk umur 7 bulan, merangkak umur 8 bulan, berdiri umur 12 bulan, mulai
berjalan umur 14 bulan, dan berbicara umur 15 bulan
2. Tahap perkembangan psikososial Commented [MOU5]: Perlu diisi dengan pendekatan teori
perkembangan erikson anak ini usia remaja masuk tahap
....................................................................................................................................................
perkembangan apa? Dijelaskan disini
3. Tahap perkembangan psikoseksual Commented [MOU6]: Perlu diisi dengan pendekatan teori
perkembangan piaget anak ini usia remaja masuk tahap
....................................................................................................................................................
perkembangan apa?
32
Lain-lain
....................................................................................................................................................
PERNAPASAN B1 (Breath)
1. Bentuk dada : Normal Tidak, jenis
2. Pola napas (irama ): Teratur Tidak teratur
3. Jenis : Dispnoe Kussmaul Cheney stokes
Lain-lain.......
4. Suara napas : Vesikuler Stridor Wheezing
Ronchi Lain-lain........
5. Sesak napas : Ya Tidak
6. Batuk : Ya Tidak
7. Retraksi otot bantu napas
Ada : ICS Supraklavikular Suprasternal
Tidak ada
8. Alat bantu pernapasan
Ada : Nasal Masker Respirator
Tidak ada
Lain-lain
....................................................................................................................................................
KARDIOVASKULER B2 (Blood)
1. Irama jantung : Reguler Ireguler
2. S1/S2 tunggal : Ya Tidak
3. Nyeri dada : Ya Tidak
4. Bunyi jantung : Normal Murmur Gallop Lain-
lain...............
5. CRT : <3 detik >3 detik
33
6. Akral : Hangat Panas Dingin kering
Dingin basah
7. GCS eye : 4 verbal :5 motorik : 6 total : 15
8. Reflek fisiologis : Menghisap Menoleh Menggenggam
Moro Patella Triseps Biseps
Lain-lain...............
9. Reflek patologis : Babinsky Budzinsky Kernig Lain-
lain...............
10. Istirahat tidur : 7 jam/hari,
11. Gangguan tidur : tidak ada gangguan tidur
12. Kebiasaan sebelum tidur
Minum susu Mainan Cerita/dongeng
Lain-lain
Tidak ada kebiasaan sebelum tidur
3. Penciuman (hidung)
1) Bentuk : Normal Tidak, Jelaskan :
2) Gangguan penciuman : Ya Tidak, Jelaskan :
34
Lain-lain
....................................................................................................................................................
PERKEMIHAN B4 (Bladder)
1. Kebersihan : Bersih Kotor
2. Urine; jumlah1500 cc/hari, Warna: Jernih , Bau: normal
3. Alat bantu : Ya Tidak Jenis :
4. Kandung kencing
1) Membesar : Ya Tidak
2) Nyeri tekan : Ya Tidak
PENCERNAAN B5 (Bowel)
1. Makan dan minum
1) Nafsu makan : Baik Menurun Frekuensi: 3
x/hari
2) Porsi makan : Habis Tidak Ket: habis ¾
porsi
3) Minum : 1.500cc/hari, jenis : Air mineral
2. Mulut dan tenggorokan
35
1) Mulut : Bersih Kotor Berbau
2) Mukosa : Lembab Kering Stomatitis
3) Tenggorokan : Sakit menelan/nyeri tekan
Kesulitan menelan Pembesaran tonsil
Lain-lain tidak ada
3. Abdomen
1) Perut : Tegang Kembung Ascites
Nyeri tekan
2) Lokasi : tidak ada nyeri perut
3) Peristaltik : 27 x/menit
4) Pembesaran hepar : Ya Tidak
5) Pembesaran lien : Ya Tidak
6) Buang air besar : 1x/hari, Teratur : Ya Tidak
7) Konsistensi : normal Bau: normal Warna: normal
Lain-lain
Saat albumin rendah An.R merasa lemas, mual, dan tidak nafsu makan Commented [MOU8]: Data ini dari anak atau orang tua?
36
Lain-lain
....................................................................................................................................................
ENDOKRIN
1. Tyroid membesar : Ya Tidak
2. Hiperglikemia : Ya Tidak
3. Hipoglikemia : Ya Tidak
4. Luka gangren : Ya Tidak
Lain-lain
....................................................................................................................................................
PERSONAL HIGIENE
1. Mandi : 2 x/hari
2. Keramas : 1 x/hari
3. Ganti pakaian : 2 x/hari
4. Sikat gigi : 2 x/hari
5. Memotong kuku : kuku dipotong rapi
Lain-lain
....................................................................................................................................................
PSIKOSOSIALSPIRITUAL
1. Ekspresi afek dan emosi : Senang Sedih
Menangis Cemas
37
Marah Diam
Takut Lain-lain...........
2. Hubungan dengan keluarga
Akrab Kurang akrab
3. Dampak hospitalisasi bagi anak
An. R tidak pernah berinteraksi dengan teman-teman yang ada di Rumah Sakit,
An.R hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani ibunya.
4. Dampak hospitalisasi bagi orang tua
Orang Tua An. R selalu mengawasi dan menjaga An.R di tempat tidur
Lain-lain
....................................................................................................................................................
Masalah : Ansietas
38
Terapi
1. Prednisone 9-0-0
2. Losartan 1x1
3. Lisinopril 1x ½
4. Kalk 2x1
39
ANALISA DATA
40
2. 8/1/2019 DS : Pasien Penurunan fungsi Defisit Nutrisi
mengatakan ginjal
mual ↓
DO : Gangguan
1.A : BB: 24Kg, keseimbang asam
TB : 124 cm, dan basa
IMT : 16 ↓
2.B : HCT/PVC : Produksi asam ↑
30,2 %, PLT : ↓
630000 Mual, muntah
3.C : Klien ↓
tampak lemas Anoreksia
Konjungtiva ↓
anemis Defisit nutrisi
HGB/HB 9,5
g/dL
Albumin 1,6
g/dL
Bising usus 27
x/menit
4. D : Klien
makan 3x/hari,
tanpa
pengawet,
pemanis,
pewarna dan
tanpa MSG
3. 8/1/2019 DS: Penurunan fungsi Risiko Infeksi
DO: ginjal
1.Pasien terlihat ↓
41
lemas Kerusakan
2.WCB/leco : glomerular
9000 µl ↓
3.Albumin : 1,6 Permeabilitas
g/ dL glomerular ↑
4. Suhu ↓
36,7⁰ Proteinuria
5. CRT < 3 detik ↓
Hypoalbuminemia
Ig G menurun
↓
Sel imun tertekan
↓
Menurunnya
respon imun
↓
Risiko infeksi
42
DAFTAR PRIORITAS DUAGNOSA KEPERAWATAN
43
FORMAT RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NamaKlien : An. R
Ruang : Bona 1
Nutrition therapy
1. Anjurkan keluarga untuk
tidak memperbolehkan
anak makan makanan yang
mengandung garam
2. Anjurkan keluarga untuk
tidak memperbolehkan
44
anak makan makanan yang
mengandung pengawet,
pewarna, pemanis buatan,
dan MSG
3. Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk diet yang tepat bagi
anak
Nutrition monitoring
1. Pantau perubahan
kebiasaan makan pada
klien
2. Pantau adanya mual atau
muntah
3. Pantau kebutuhan kalori
klien
45
FORMAT IMPLEMENTASI & EVALUASI
Hari,
Jam Dx. Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf
Tanggal
Selasa, 10.00 Ketidakseimbangan 1. Memantau input dan output klien S: klien mengatakan buang air
8/1/2019 volume cairan dan 2. Mengkaji adanya edema pada klien kecil jarang
elektrolit 3. Memberikan edukasi pada klien dan
keluarga untuk tidak mengkonsumsi O:1.Urin 800 ml/hari
makanan yang mengandung garam
2. BB : 24 Kg
3. Balance cairan 385
4. Klien tampak lemas
5. Albumin 1,6 g/dL
6. Natrium : 140 mMol/L
7. Kalium :3,5 mMol/L
8. Kalsium : 7,1 mMol/L
A:Ketidakseimbangan volume
cairan dan elektrolit
P: 1. Memantau input dan
output klien
2. Memberikan edukasi
pada klien dan keluarga
untuk tidak
46
mengkonsumsi makanan
yang mengandung garam
Selasa, 10.10 Defisit Nutrisi 4. Mengkaji penyebab mual klien S: klien mengatakan mual
8/1/2019 5. Memantau perubahan kebiasaan
makan pada klien O:1.Porsi makanan klien habis
6. Menganjurkan klien untuk makan ¾ porsi
sedikit namun sering Commented [MOU9]: Diet makanan nya perlu disampaikan
9. BB : 24 Kg pada anak dan orang tua
7. Menganjurkan keluarga untuk tidak
10. TB : 124cm
memperbolehkan klien makan
11. IMT : 16
makanan yang mengandung
12. Klien tampak lemas
pengawet, pemanis buatan, pewarna,
13. HGB/ HB 9,5 g/dL
dan MSG
14. Albumin 1,6 g/dL
15. Konjungtiva anemis
A:Defisit nutrisi
P: 1. Menganjurkan klien untuk
makan sedikit nammun
sering
2. Memantau perubahan
kebiasaan makan pada
klien
3. Menganjurkan keluarga
untuk tidak
memperbolehkan klien
makan yang
mengandung pengawet,
47
pemanis buatan,
pewarna, dan MSG
48
FORMAT IMPLEMENTASI & EVALUASI
Hari,
Jam Dx. Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf
Tanggal
Rabu, 08.30 Ketidakseimbangan 1. Memantau input dan output klien S: klien mengatakan buang air
9/1/2019 volume cairan dan 2. Mengkaji adanya edema pada klien kecil jarang
elektrolit 3. Memberikan edukasi pada klien dan
kelurga untuk membatasi minum O:1.Urin 750 ml/hari
apabila urine yang dikeluakan
2. BB : 25 Kg
sedikit. Commented [MOU10]: Hasil perhitungan ditulis
3. Balance cairan 434
4. Klien tampak lemas
A:Ketidakseimbangan volume
cairan dan elektrolit
P: Intervensi dilanjutkan
Rabu, 08.45 Defisit nutrisi 4. Memantau perubahan kebiasaan S: Klien mengatakan sudah
9/1/2019 makan pada klien tidak mual lagi
5. Menganjurkan klien untuk makan
sedikit namun sering O:1.Porsi makanan klien habis
6. Menganjurkan keluarga untuk tidak
2. BB : 25 Kg
memperbolehkan klien untuk makan
3. Klien tampak segar
makanan yang mengandung
pengawet, pemanis buatan, pewarna,
dan MSG
49
A:Defisit nutrisi teratasi
P: Intervensi dihentikan
50
FORMAT IMPLEMENTASI & EVALUASI
Hari,
Jam Dx. Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf
Tanggal
Kamis, 08.00 Ketidakseimbangan 1. Memantau input dan output klien S: klien mengatakan buang air
10/1/2019 volume cairan dan 2. Mengkaji adanya edema pada klien kecil jarang
elektrolit 3. Memberikan edukasi pada klien dan
kelurga untuk membatasi minum O:1.Urin 850 ml/hari
apabila urine yang dikeluakan sedikit.
2. BB : 25 Kg
4. Mengobservasi tanda-tanda vital klien
3. Balance cairan 134,4
4. Klien tampak lemas
A:Ketidakseimbangan volume
cairan dan elektrolit
P: Intervensi dilanjutkan
51
Kamis, 08.20 Risiko infeksi 1. Mempertahankan teknik aseptik S:
10/1/2019 2. Mencuci tangan setiap sebelum dan
setelah tindakan keperawatan O:1. Klien tampak lemas
3. Mengobservasi tanda dan gejala
2. Klien berbaring di bed
infeksi
3. WCB/leco : 9000 µl
4. Menanyakan kembali pada keluarga
4. Albumin 1,6 g/ dL
cara cuci tangan yang benar
5. Suhu 36,8⁰
5. Mengobservasi suhu badan klien
6. CRT< 3 detik
secara berkala
A:Resiko infeksi teratasi
sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
52
FORMAT IMPLEMENTASI & EVALUASI
Hari,
Jam Dx. Keperawatan Implementasi Evaluasi Paraf
Tanggal
Sabtu, 06.00 Ketidakseimbangan 1. Memantau input dan output klien S: klien mengatakan buang air
12/1/2019 volume cairan dan 2. Mengkaji adanya edema pada klien kecil jarang
elektrolit 3. Memberikan edukasi pada klien dan
keluarga untuk tidak mengkonsumsi O:1.Urin 1500 ml/hari
makanan yang mengandung garam
2. BB : 25 Kg
4. Memberikan edukasi pada klien dan
3. Balance cairan -15
kelurga untuk membatasi minum
4. Klien tampak lemas
apabila urine yang dikeluakan
A:Ketidakseimbangan volume
sedikit.
cairan dan elektrolit
5. Mengobservasi tanda-tanda vital
klien P: Pasien pulang, intervensi
dihentikan
P: Memberikan edukasi untuk
membatasi minum dan
membatasi makan makanan
yang mengandung garam.
Sabtu, 06.10 Risiko Infeksi 1. Mempertahankan teknik aseptik S:
12/1/2019 2. Mencuci tangan setiap sebelum dan
setelah tindakan keperawatan O:1. WCB/leco : 9000 µl
3. Menanyakan kembali pada keluarga
2. Albumin 2,2 g/ dL
cara cuci tangan yang benar
3. Suhu 36,7⁰
4. Mengobservasi suhu badan klien
4. CRT < 3 detik
secara berkala
5. Klien tampak senang
5. Memberikan edukasi pada keluarga
54
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil kasus asuhan keperawatan anak yang dilakukan pada An.
R dengan Sindroma Nefrotik di ruang Bona 1 RSUD Dr. Soetomo Surabaya,
maka dalam bab ini penulis akan membahas kesenjangan antara teori dan
kenyataan yang diperoleh sebagai hasil pelaksanaan studi kasus. Penulis juga akan
membahas kesulitan yang ditemukan dalam memberikan asuhan keperawatan
anak pada An. R dengan Sindroma Nefrotik , dalam penyusunan asuhan
keperawatan, kami merencanakan tindakan keperawatan yang meliputi
pengkajian, diagnose keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
dengan uraian sebagai berikut:
4.1 Pengkajian
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan lemas. An.R mengatakan memiliki
kebiasaan minum minuman sashet sejak SD hingga SMP dengan frekuensi minum
perhari 1x sampai 3x, selain itu An.R juga mengkonsumsi makanan cepat saji
seperti MCD dan KFC, serta makan makanan ringan seperti chiki yang
mengandung MSG, saat An.R kelas 2 SMP An.R mengeluh lemas, kedua mata
nya bengkak lalu oleh kedua orang tua An.R, An.R dibawa ke dokter spesialis
anak yang terdekat dengan rumahnya,namun saat itu juga An.R dirujuk ke Rumah
Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Klien tidak pernah kejang dan mimisan sebelumnya,
hanya sakit seperti batuk pilek saja. Klien tidak memiliki riwayat alergi makanan
ataupun obat-obatan. Keluarga klien juga tidak ada yang menderita penyakit
seperti klien. BB saat ini 24 kg TB: 124 cm, IMT: 16 kg/m2 porsi makan tidak
habis karena merasa mual-mual.
Data penunjang didapatkan nilai albumin 1,6 g/dL, kreatinin 1,52 mg/dL,
BUN 14 mg/dL, Uric Acid 5,8 mg/dL (3,4-7,0 mg/dL), HCT/PVC 30,2 % (40-
52%), PLT 630000 (150-400 x 103/µL, Natrium 140 mMol/L (135-145 mMol/L),
Kalium 3,5 mMol/L (3,6-5,0 mMol/L), Kalsium 7,1 mMol/L (2,12- 2,62
mMol/L), Phospor 4,4 mg/dL (2,5-5,0 mg/dL), Magnesium 1,7 mEq/L (1,6-2,44
mEq/L)
56
Intervensi yang harus diimplementasikan pada An. R yaitu
1) Observasi status nutrisi dan makanan yang disuka.
2) Timbang berat badan setiap hari
3) Pertahankan oral hygiene
4) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam penentuan diit
5) Edukasi keluarga untuk memberi makan porsi sedikit tapi sering. Porsi
makan sedikit-sedikit tapi sering dapat meningkatkan porsi makan (Wulan
Agustina, 2017)
6) Edukasi keluarga tentang manfaat asupan nutrisi. Memberikan edukasi
pada keluarga pasien tentang kebutuhan nutrisi yang sesuai untuk pasien,
materi edukasi meliputi pengertian nutrisi, komponen nutrisi, kebutuhan gizi
pada anak, jadwal makan anak (Wulan Agustina, 2017)
7) Edukasi keluarga untuk menyajikan makanan dalam bentuk yang
bervariasi dan dalam keadaan yang hangat
8) Ciptakan lingkungan yang nyaman saat pasien makan.
4.2.2 Diagnosa Keperawatan: Intoleransi Aktivitas
Definisi: ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk
melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari yang harus
atau yang ingin dilakukan (NANDA, 2015).
Etiologi:anemia dimana keadaan hemoglobin yang rendah mengakibatkan
suplai oksigen dan nutrisi sedikit kedalam sel berdampak pada pembentukan
energi, energi yang dihasilkan pun akan menjadi sangat minimal, sedangkan
seorang manusia untuk bergerak membutuhkan energi, bila energi yang
dimiliki sedikit maka saat melakukan aktivitas akan mudah lelah, nafasnya
terengah-engah, tidak mampu berjalan jauh inilah yang dapat menimbulkan
respon tubuh berupa intoleransi aktivitas.
Masalah Keperawatan Kasus:berdasarkan pengkajian, masalah defisit
nutrisi muncul karena ketidakmampuan tubuh dalam mengabsorbsi nutrient.
Hal ini didukung dengan DS Ibu pasien mengatakan nafsu makan anaknya
menurun, porsi makan hanya habis seperempatnya. An. R mengatakan
merasa mual. DO : Hb : 9,5 g/dLnilai albumin 1,6 g/dL. pucat, membran
mukosa pucat, konjungtiva anemis, lemas, lesu, pasien bedrest hanya bisa
57
jalan jarak dekat seperti ke kamar mandi. Intervensi yang harus
diimplementasikan pada An. R yaitu:
Activity Therapymeliputi:
1. Observasi penyebab dari intoleransi aktivitas
2. Berikan waktu untuk istirahat saat beraktivitas
3. Monitor dan catat kemampuan klien untuk menoleransi aktivitas.
Jadwalkan kepada klien untuk pelatihan gerakan tubuh dengan membuat
jadwal aktivitas, latihan dapat memelihara pergerakan dan fungsi sendi
sehingga kondisinya dapat setara dengan kekuatan dan fleksibilitas otot
(Wartonal, 2007). Catat laporan seperti pasien mengatakan tidak mampu
untuk bergerak seperti mengambil air minum.
4. Monitor intake nutrisi untuk memastikan kecukupan sumber energi
5. Ajarkan klien teknik mengontrol pernafasan saat aktivitas. Teknik nafas
dalam sangat efektif untuk mengurangi nafas yang tersengal-sengal saat
beraktivitas (Ardianta, 2017)
6. Kolaborasi dengan terapi fisik untuk meningkatkan level aktivitas
4.2.3 Diagnosa keperawatan: Risiko infeksi
Definisi :kerentanan seorang individu beresiko untuk menjadi invasi dan
multiplikasi dari organisme patogenik dan oportunistik (virus, jamur,
bakteri, protozoa atau parasit lain) dari sumber-sumber eksogen dan
endogen yang membahayakan kesehatan (NANDA, 2015).
Etiologi :Penyebab dari risiko infeksi dalam kasus karena terjadinya
kehilangan protein plasma (albumin) dalam darah. Kadar albumin yang
rendah atau hipoalbuminemia terjadi karena terjadi malnutrisi protein.
Hipoalbuminemia menyebabkan berkurangnya pengeluaran Ig G dan Ig A
yang dapat membuat sistem imun dalam tubuh menuruh. Sistem imun yang
lemah akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi.
Masalah keperawatan kasus: Pada saat pengkajian, didapatkan data
obyektif klien terlihat lemas, suhu 36,7 derajat celcius, CRT <3 detik, nilai
albumin 1,6 mg/dL dimana nilai ini berda di bawah normal, HCT/PVC
30,2% dimana nilai ini juga berada dibawah batas normal, kemudian nilai
PLT didapatkan 630000 dimana nilai ini berada diatas batas normal. Dengan
58
demikian penulis mengangkat risiko infeksi sebagai diagnosa keperawatan
utama.
Intervensi yang harus diimplementasikan pada An. N :
Infection control meliputi :
1. Pertahankan teknik aseptik
2. Batasi pengunjung bila perlu
3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
4. Ajarkan cuci tangan pada keluarga sebelum dan sesudah menyentuh
klien
5. Observasi tanda dan gejala infeksi
6. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
7. Anjurkan klien untuk meningkatkan istirahat
8. Berikan edukasi pada keluarga untuk mengetahui tanda dan gejala
infeksi
9. Observasi suhu badan klien secara berkala
59
DAFTAR PUSTAKA
Amin Huda Nurarif, H. K. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Jogjakarta:
Mediaction.
Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica
Ester. Jakarta: EGC.
60
Prodjosudjadi, W. (2010). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: InternaPublishing.
Wulan Agustina (2017) Upaya pemenuhan kebutuhan nutrisi pada anak dengan
gastritis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
61