Leptospirosis adalah penyakit pada hewan dan manusia akibat infeksi dengan bakteri
Spirochaeta dari genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales.
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang bersifat umum dan terdapat pada
berbagai spesies hewan peliharaan. Leptospirosis juga merupakan penyakit zoonotis penting,
dan merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara-negara tropik. Di Indonesia dan
Malaysia penyakit tersebut sudah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu.
B. Etiologi Penyakit
Leptospira adalah organisme berbentuk filamen, panjang 6-20 micrometer, diameter
0,1-0,2 micrometer, tipis, dengan pilinan yang dangkal dan rapat, serta ujung-ujungnya
membengkok seperti kait. Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang
sumbunya. Bentuk dan geraknya hanya dapat dilihat paling tidak dengan mikroskop medan
gelap.
Status
Spesies
Serogroup Utama sebagai Penyakit
Hewan
reservoir
}
2) Pada Babi
Tanda-tanda penyakit pada babi akibat infeksi dengan L.pomona lazimnya berbentuk
keguguran, retentio secundinae, dan dengan kematian neonatal. Serotipe inilah yang sering
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada peternakan babi di Australia. Arti penting
lainnya adalah kenyataan bahwa babi yang terinfeksi dapat berfungsi selaku pembawa
leptospira yang dapat menulari sapi dan manusia.
Seringkali infeksi dengan L.pomona tidak disertai dengan tanda-tanda sakit. Kadang-
kadang hanya terjadi gangguan keseimbangan, kelemahan pada kaki dan kekakuan leher.
Di Amerika Serikat keguguran pada babi bunting dapat mencapai 100%.
Babi yang menderita Leptospirosis dapat mengeluarkan leptospira dalam air
kemihnya selama kurang lebih 6 bulan. Hal ini menyebabkan tingginya jumlah reaktor pada
babi. Di samping itu keadaan tersebut dapat merupakan sumber penularan Leptospirosis pada
sapi atau anak sapi yang ada di sekelilingnya.
3) Pada Manusia
Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba,
kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan
langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.
Bakteri ini dengan flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia normal. Bakteri masuk
kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir ( mukosa ) mata, hidung, kulit yang lecet atau makanan yang
terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi Leptospirosa. Masa inkubasi selama 4 – 19 hari.
Stadium pertama :
Demam, menggigil
Sakit kepala
Malaise
Muntah
Konjungtivitis
Rasa nyeri pada otot terutama otot betis (M. Gastroccnemius) dan punggung
Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari
Gejala yang karakteristik adalah :
Konjunctivitis tanpa disertai dengan eksudat serous/purulent
Kemerahan pada mata
Rasa nyeri pada otot-otot
Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga sampai keempat setelah penyakit tersebut
muncul.
Stadium kedua :
Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibody di dalam tubuh penderita
Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi disbanding pada stadium
pertama (dapat terjadi icterus)
Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan terjadi
meningitis.
Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukan gejala klinis pada
stadium ketiga (konvalesen phase)
Komplikasi leptospirosis dapat menimbulkan gejala :
1. Pada ginjal : renal failure dapat menyebabkan kematian
2. Pada mata : konjunctiva yang tertutup mengambarkan phase septicemia yang erat
hubungannya dengan keadaan photophobia dan konjunctiva hemorrhagic.
3. Pada hati : jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam dengan
adanya pembesaran hati dan konsistensinya lunak
4. Pada jantung : aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yang dapat menyebabkan
kematian mendadak
5. Pada paru-paru : hemorrhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada, respiratory
distress dan cyanosis
6. Pendarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari saluran
pernafasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalis
7. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan adanya kecacatan
bayi.
G. Diagnosis
1) Diagnosa Konvensional
Leptospirosis sering susah untuk didiagnosa dan biasanya antara gejala klinis dengan
uji laboratorik untuk konfirmasi penyakit tersebut. Secara konvensional prosedur diagnosa
laboratorik leptospirosis dikelompokan menjadi 2 yaitu usaha menemukan bakterinya dan
deteksi terhadap antibody pada penderita.
Deteksi leptospira
Deteksi adanya leptospira dapat dilakukan langsung dari darah atau urine, dengan
mikroskop medan gelap. Selain pemeriksaan mikroskopis deteksi leptospira dapat
dilakukan dengan isolasi/kulturil. Pada kasus bahan pemeriksaan dapat berupa cairan
tubuh (darah, susu, cairan cerebrospinal, cairan rongga dada, cain peritoneal), oran dalam
(hepar, pulmo, otak, ginjal). Pada kasus yang kronis samle untuk isolasi dan identifikasi
isolate leptospira selain tidak sederhana, memakan waktu yang lama juga membutuhkan
laboratorium referensi yang berpengalaman.
Deteksi keberadaan leptospira dapat pula dilakukan dengan uji imunokimia
(immunofluorescens danimmunohistochemistry). Efikasi dari uji ini sangat tergantung
pada jumlah orgamnisme yang tedapat di dalam jaringan yang diperiksa. Uji imunokimia
juga tidak dapat membedakan antar serovar, kecuali apabila dilakukan dengan IgG titer
tinggi terhadap berbagai serovar leptospira.
- Uji serologic
Uji serologic merupakan cara yang banyak dipakai untuk diagnosis leptospirosis, dan
uji aglutinasi mikroskopik (MAT) merupakan uji serologic standar. Untuk keperluan
ini diperlukan sejumlah antigen yang mewakili semua group yang diketahui eksis
didaerah yang bersangkutan dan ini merupakan hal yang tidak mudah.
MAT terutama digunakan untuk uji kawanan ternak. Untuk memperoleh informasi
yang bermanfaat paling tidak diperlukan 10 ekor atau 10 % dari kawanan untuk diuji.
Sebagai uji individual hewan MAT bermanfaat untuk diagnosis infeksi akut.
Keterbatasa dari MAT adalah dalam mendiagnosis kasus kronis pada individu.
Enzime-linked immunosorbent assay (ELISA) juga dapat digunakan untuk deteksi
antibody terhadap leptospira.
2) Diagnosa Molekuler
PCR machine
Pada prinsipnya didasarkan pada teknologi DNA. Ada banyak teknik molekuler yang
dapat dipakai sebagai metoda alternative dalam diagnosis leptospirosis. Beberapa dari teknik
tersebut akan disampaikan sebagai berikut :
Analisis endonuklease restriksi (REA)
Analisis ini didasarkan pada prinsip digesti DNA leptospira murni dengan enzim
endonuklease restriksi dan elektroforesis DNA, hasil digesti tersebut dalam gel agarose.
Enzyme endonuklease restriksi mengenali danmemotong dsDNA pada sekuen spesifik
sehingga menghasilkan sejumlah framen. Masing-masing fragmen akan migrasi
erdasarkan berat molekulnya pada elektroforesis gel agarose, sehinga menghasilkan sidik
jari DNA yang khas bagian setiap tipe leptospira. Pemanfaatan REA untuk identifikasi
leptospira ini pertama kali disampaikan oleh Marshall dkk (1981) untuk membedakan
serovar hardjo dengan balanica memakai enzim EcoRI.
Pelacak asam nukleat dan hibridisasi
Pelacak asam nukleat (probe) yang spesifik untuk leptospira dapat digunakan bersama
dengan teknik hibridisasi untuk memperoleh konfirmasi diagnosis sebelum hasil kultur
dan uji biokimiawi diperoleh. Metoda ini telah diperkenalkan Terpestra dkk (1986)
dengan pelacak DNA dari hordjobovis yang genotype spesifik.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metoda PCR didasarkan pada amplifikasi in vitro sekuen DNA target menggunakan
enzim polymerase DNA yang thermostabil dan oligo nukleotida sebagai primer untuk
amplifikasi fragmen yang spesifik. Pemanfaatan teknik ini telah dimulai sejak tahun 1989
oleh Van Eys dkk yang dapat mendeteksi leptospira dalam urine yang hanya mengandung
organisma tidak lebih dari 10 sel dalam 1 ml sample.
Arbitrarily primed PCR (AP-PCR)
Meskipun teknik PCR sangat sensitive dalam mendeteksi keberadaan leptospira
dalam sample, akan tetapi tidak dapat membedakan antar serovar. Oleh karena itu para
peneliti seperti Perolat dkk (1994), Brown dan Levett (1997) mengembangkan teknik
yang disebut dengan AP-PCR yang pada prinsipnya adalah PCR tetapi hanya
menggunakan primer yang random. Dengan variasi primer random ini ada pula yang
menyebutkan dengan Random amplified polymeric DNA (RAPD) fingerprinting. Dengan
pemilihan primer yang random yag baik maka teknik ini dapat membedakan inter dan
antar serovar leptospira.
Sekuensing DNA
Analisis susunan nukleotida dari rantai DNA merupakan sarana yang sangat ampuh
untuk membedakan antar isolate leptospira. Sekuensing dilakukan terhadap suatu gen
dalam lokus yang sama, seperti misalnya gen 16S-RNA. Bahkan dengan kemajuan
peralatan bioteknologi yang tersedia seseorang melakukan deteksi langsung dengan PCR-
sequencing secara otomatik.
Meskipun sekuensing DNA merupakan teknik yang terbaik untuk membedakan antar
serovar leptospira, akan tetapi metoda ini tidak dapat digunakan sebagai cara pemeriksaan
rutin karena prosedurnya kompleks, membutuhkan keterampilan dan peralatan khusus.
Beberapa teknik molekuler yang dapat membantu dalam diagnosis leptospirosis
antara lain pulsed field gel electrophoresis (PFGE) yang didasarkan pada analisis pita-pita
besar hasil REA pada gel agarose. Untuk keperluan ini dapat dipakai enzim retriksi NotI.
Selain PFGE teknik Ribotyping yang didasarkan pada analisis pola restriksi gen
ribosomal RNA juga dapat dimanfaatkan dalam diagnosa leptospirosis .
(Widya Asmara,2002)
H. Pengobatan dan Pencegahan
1) Pencegahan
Menghindari atau mengurangi kontak dengan hewan yang berpotensi terkena paparan air
atau lahan yang dicemari kuman. Kalau seseorang berada di situasi tak terelakkan dari
genangan air maka sebaiknya mengonsumsi doxycycline, semacam antibiotik pencegah
infeksi bakteria.
Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan.
Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah/kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya.
Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani,
petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung
tangan.
Upaya "lisolisasi" seluruh permukaan lantai , dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor
banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, karena kuman mati oleh desinfektans seperti lisol.
Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung, desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar
oleh tikus, dan meningkatkan penangkapan tikus.
2) Pengobatan
Leptospirosis bukan penyakit ganas. Obatnya mudah didapat dan murah.
Hanya saja karena di awal-awal kasusnya mungkin luput didiagnosis, saking tidak lazim dan
terlupakan, pengobatan yang tepat mungkin terlambat diberikan.
Begitu juga yang harus dipikirkan jika ada keluhan dan gejala yang mengarah pada leptospirosis di
daerah-daerah pascabanjir lain. Setiap keluhan dan gejala flu harus dicurigai sebagai awal leptospirosis.
Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan
antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline)
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
Dari bermacam-macam antibiotic yang tersebut diatas, menurut Turner, pemberian
Penicilin atau Tetracyclin dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik.
Cara pengobatan penderita leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
Pemberian suntikan benzyl (crystal) Penicilin akan efektif jika diberikan secara dini
pada hari ke 4- 5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis 6 – 8
megaunit secara i.v yang dapat diberikan secara bertahap selama 5 -7 hari.
Selain cara diatas, kombinasi Crystalline dan Procaine Penicilline dengan jumlah
yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4 -5 megaunit secara i.m. separuh
dosis dapat diberikan setelah demam turun, yang biasanya diberikan selama 5 – 6
hari. Procaine Penicilline 1, 5 megaunit i.m dapat diberikan secara kontinyu selama 2
hari setelah terjadi albuminuria.
Untuk penderita yang alergi terhadap Penicilline dapat diberikan antibiotic lain yaitu
Tetracyclin atau erytromycine. Tetapi kedua antibiotic tersebut kurang efektif
disbanding dengan penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan juka penderita
mengalami gejala gagal ginjal (renal failure). Tetracycline dapat diberikan secepatnya
dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250 – 500 mg
setiap 6 jam secara oral selama 6 hari Erytromycine diberikan dengan dosis 250 mg
setiap 6 jam selama 5 hari.
Angka kematian penyakit leptospirosis termasuk tinggi, bisa mencapai 2,5 – 16, 45 %
(rata-rata 7,1 %). Pada usia lebih 50 tahun malah kematian bisa mencapai 56%. Penderita
leptospirosis yag disertai selaput mata berwana kuning (kerusakan jaringan hati), resiko
kematian akan lebih tinggi.
(Widarso HS,2002)