Anda di halaman 1dari 13

LEPTOSPIROSIS

nama lain ( sinonim ) yaitu Weil’s Disease, Red Water Disease


A. Kejadian Kasus di Indonesia
Selain demam berdarah dengue (DBD), masyarakat diserukan mewaspadai penyakit
leptospirosis, yang di Jakarta penularannya melalui air kencing tikus.
Berdasarkan laporan dari Dinkes Prov. DKI Jakarta dan PPK Depkes, sampai hari ini
9 Februari, terdapat 3 kasus Leptospirosis yaitu T (L, 44 th) warga Karet Pasar Baru Barat, S
(L, 61 th) warga Ketapang Utara, Krukut dan 1 kasus dirawat di RS Tangerang. Berkaitan
dengan hal itu Tim Ditjen PP dan PL Depkes akan melakukan pelacakan kasus ke RS
Tarakan dan RS Cengkareng. Bersamaan dengan itu dilakukan pendistribusian logistik
berupa Leptotek (Rapid Test Leptospirosis) masing-masing untuk RS Tarakan 200 kit,
Dinkes Prov. DKI Jakarta 500 kit.
Dinas Kesehatan Daerah Khusus Ibukota (DKI) mencatat delapan orang meninggal
akibat leptospirosis. Bukan tidak mungkin jumlah korban akan terus bertambah. Tidak
kurang dari delapan kecamatan di seluruh Jakarta terancam oleh penyakit yang di Indonesia
populer dengan nama demam banjir ini.
Munculnya penyakit yang masih asing di telinga awam ini disebabkan banyaknya
tikus mati yang terbawa arus banjir, terutama karena urin hewan tersebut mengandung bakteri
leptospirosis.

Leptospirosis adalah penyakit pada hewan dan manusia akibat infeksi dengan bakteri
Spirochaeta dari genus Leptospira, famili leptospiraceae dan ordo spirochaetales.
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang bersifat umum dan terdapat pada
berbagai spesies hewan peliharaan. Leptospirosis juga merupakan penyakit zoonotis penting,
dan merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara-negara tropik. Di Indonesia dan
Malaysia penyakit tersebut sudah dikenal sejak lebih dari 50 tahun yang lalu.
B. Etiologi Penyakit
Leptospira adalah organisme berbentuk filamen, panjang 6-20 micrometer, diameter
0,1-0,2 micrometer, tipis, dengan pilinan yang dangkal dan rapat, serta ujung-ujungnya
membengkok seperti kait. Bergerak aktif maju mundur dengan gerakan memutar sepanjang
sumbunya. Bentuk dan geraknya hanya dapat dilihat paling tidak dengan mikroskop medan
gelap.

Leptospirosis disebabkan bakteri pathogen (dapat menyebabkan penyakit) berbentuk


spiral termasuk genus Leptospira, Spirocheta Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L.
interrogans yang merupakan bakteri patogen dan L. biflexa adalah saprofitik. Saat
ini, Leptospira interrogans yang bersifat patogen telah dikenal lebih dari 200 serovar.
Leptospira patogen berdasarkan Uji Aglutinasi Mikroskopik dapat dibagi dalam 18
serogroup, yang kemudian dapat dibagi lebih lanjut sampai hampir 200 serovar berdasarkan
Uji Aglutinasi Absorpsi.
Dari 18 serogroup di atas, 13 diantaranya terdapat pada manusia dan hewan di
Indonesia. Di bawah ini adalah daftar serogroup Leptospira yang sering ditemukan di dunia.
Dari serogroup tersebut hanya L. grippotyphosa yang belum pernah dikenal di Indonesia.
Berikut ini adalah serogroup Leptospira serta penyakitnya pada berbagai spesies hewan
di dunia.

Status
Spesies
Serogroup Utama sebagai Penyakit
Hewan
reservoir
}

Hardjo + Infertilitas, keguguran,


Pomona - mastitis tak tersifat
Sapi
Grippotyphosa - Keguguran, anemia
Australis - hemolitika,
Kematian
Radang ginjal
Anemia hemolitika,
kematian pada anak,
Domba Pomona
- }
dan Grippotyphosa
-
Kambing Hardjo
keguguran
Pomona + Infertilitas,
Tarassovi + keguguran
Babi Canicola -
Australis - Kematian pada genjik,
Icterohemorrhagiae - keguguran
Canicola + Radang hati dan ginjal
Anjing
Icterohemorrhagiae - Kematian
Berbagai Keguguran, radang uvea,
Kuda -
serogroup kematian pada anak kuda
Demam, radang hati,
Berbagai
Manusia - meningitis, radang ginjal,
serogroup
kematian
Icterohemorrhagiae +
Tikus Berbagai Asimtomatis
serogroup
(Soebronto,1985)
Berdasarkan temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang
tampak pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira
dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus, babi, anjing,
kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko
mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.
Setiap hewan berisiko terjangkit bakteri leptospira yang berbeda-beda. Hewan yang
paling banyak mengandung bakteri ini (resevoir) adalah hewan pengerat dan tikus. Hewan
tersebut paling sering ditemukan di seluruh belahan dunia.
Di Amerika yang paling utama adalah anjing, ternak, tikus, hewan buas dan kucing.
Beberapa serovar dikaitkan dengan beberapa hewan, misalnya L. pomona dan L.
interrogans terdapat pada lembu dan babi, L. grippotyphosapada lembu, domba, kambing,
dan tikus, L. ballum dan L. icterohaemorrhagiae sering dikaitkan dengan tikus dan L.
canicola dikaitkan dengan anjing. Beberapa serotipe yang penting lainnya adalah autumnalis,
hebdomidis, dan australis.
Meskipun dapat diwarnai dengan Giemsa, Leptospira dalam preparat ulas sangat sulit
untuk dilihat. Teknik impregnasi perak memberikan hasil yang lebih baik.
Leptospira dapat bertahan dalam air tawar selama kurang lebih 1 bulan tetapi dalam
air laut, air selokan, dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Leptospira sangat
peka terhadap asam.
C. Epidemiologi Penyakit
Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat
pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886, Weil mengungkapkan
manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat,
disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inadamengidentifikasikan
penyakit ini di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection
and specific therapy of Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39
tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah
faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus
terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur
karena tanah lembab dan bersifat alkalis.
Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus
leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unreported dan underreported sejak
beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah
diagnosis dan nonfatal.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis
setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam
banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.
Beberapa tahun terakhir di derah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan
terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir
pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan
jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang
lanjut usia dan penderita “immunocompromised” mempunyai resiko tinggi terjadinya
kematian.
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56
persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata
berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang
berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur,
rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit.
Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai,
seperti berenang atau rafting.
Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi
dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang
susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi
pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%.
Meskipun penyakit ini sering terjadi pada para pekerja, ternyata dilaporkan
peningkatan sebagai penyakit saat rekreasi. Aktifitas yang beresiko meliputi perjalanan
rekreasi ke daerah tropis seperti berperahu kano, mendaki, memancing, selancar air,
berenang, ski air, berkendara roda dua melalui genangan, dan kegiatan olahraga lain yang
berhubungan dengan air yang tercemar. Berkemah dan bepergian ke daerah endemik juga
menambahkan resiko.
D. Isolasi Leptospira
Selama fase septisemi yang disertai dengan demam, anemia, dan peningkatan
fragilitas sel darah merah, leptospira dapat ditemukan di dalam darah. Tergantung pada
serovar leptospira mungkin juga ditemukan adanya hemoglobinuria.
Meskipun leptospirosis pada hewan-hewan piaraan umumnya menyebabkan
lekositosis, akan tetapi pada sapi infeksi organisme tersebut mengakibatkan lekopenia. Secara
mikroskopik leptospira jarang dapat ditemukan dalam jumlah banyak. Untuk mengisolasinya
perlu digunakan preparat biakan atau dengan cara inukulasi pada marmot.
Leptospira akan hilang dari darah pada waktu suhu tubuh mengalami penurunan.
Selanjutnya organisme tersebut dapat ditemukan di dalam kemih penderita. Dalam
pemeriksaan kemih dapat ditemukan adanya berbagai tingkatan albuminuria. Leptospira
dapat diisolasi dari kemih untuk waktu yang bervariasi. Tergantung pada serovar organisme,
spesies, dan umur penderita leptospira tersebut dapat tinggal di dalam kemih dari beberapa
minggu hingga beberapa bulan. Pemeriksaan secara mikroskopik harus dilakukan kurang dari
dua jam sesudah pengambilan kemih. Mungkin organisme dapat dilihat secara langsung di
bawah mikroskop medan gelap. Bila perlu kemih harus di sentrifuge pada putaran 1000 kali
per menit selama 20 menit, untuk kemudian diperiksa endapannya.
Isolasi (pengambilan) kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh
penderita adalah standar kriteria baku. Cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira
adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk ditemukan isolasi
kuman sangat pendek
Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi penemuan kuman
leptospira. Isolasi leptospira cenderung lebih sulit dan membutuhkan waktu diantaranya
dalam hal referensi laboratorium dan membutuhkan waktu beberapa bulan untuk melengkapi
identifikasi tersebut.
E. Patogenesis
Masuknya kuman leptospirosis pada hospes secara kualitatif berkembang bersamaan
dengan proses infeksi pada semua serovar leptospirosis. Namun masuknya kuman secara
kuantitatif berbeda tergantung : agen, induk semang, dan lingkungan. Melalui cara lain dapat
saja terjadi yaitu melalui permukaan mukosa misalnya melalui luka abrasi, mukosa (cavitas
buccae/buccal cavity), saluran hidung atau konjunctiva. Lesi tidak terjadi nodus pada
lympaticus. Kuman Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang ditandai dengan
adanya demam dan berkembang pada target organ serta akan menunjukan gejala infeksi pada
organ tersebut. Gambaran klinis akan bervariasi bergantung dari spesies hewan dan umurnya.
Kuman ini beberapa hari akan tinggal dalam organ seperti hati, limpa, ginjal dengan
ditandai perubahan patologis. Mekanisme sistim imunitas tubuh akan aktif bila kuman
menjalar ke jaringan hati dan ginjal serta berada ditubular ginjal.
Spesies Leptospira
 L. icterohemorrhagiae
 L. rachmati
 L. javanica
 L. canicola
 L. ballum
 L. austrasia
 L. pyrogenes
 L. pomona
 L. harjo
 L. grippotyphosa
 L. tarrasovi
 L. bataviae
 L. semaranga
Anjing jantan, barangkali karena perilakunya, lebih banyak terinfeksi leptospira
disbanding dengan yang betina. Dalam waktu 6 – 12 hari pasca infeksi akan terbentuk zat
kebal aglutinasi (agglutinating antibodies). Antibody ini meningkat dengan cepat, tetapi
kemudian menurun dalam beberapa bulan sampai pada tingkat moderat dan akan tetap ada
unuk beberapa minggu sampai beberapa tahun kemudian. Adanya perilaku antibodies inilah,
yaitu IgG dan IgM, dipakai dasar menentukan adanya infeksi akut atau khronik. Pada infeksi
akut nilai IgM lebih tinggi dari IgG, bahkan IgG baru dapat dideteksi 2 minggu pasca infeksi
tetapi masih akan ada selama berbulan-bulan. Anjing yang pernah mendapatkan vaksinasi
mempunyai nilai IgG yang tinggi sedangkan IgMnya rendah.
Umumnya penularan dapat terjadi melalui jalur sbb :
1. Kontak langsung melalui lecet-lecet atau luka-luka di dalam kulit
2. Kecipratan cemaran bakteri leptospira masuk kedalam selaput lender mata (konjunktiva),
vagina, hidung, dll.
3. Makan makanan/minuman yang tercemar bakteri leptospira.
Segera setelah infeksi terjadi, maka bakteri akan masuk ke dalam jaringan tubuh dan
system sirkulasi.pada hewan yang sedang bunting seringkali terjadi keuguran. Bakteri
leptospira sangat menyenangi organ ginjal, karena itu bakteri ditemukan banyak di dalam
ginjal dan keluar juga bersama urine.
(Dharmojo,2002)
F. Gejala Klinis
1) Pada Sapi
Leptospirosis pada sapi dewasa dapat berbentuk akut, subakut, atau kronik.
Dalam bentuk akut yang menonjol adalah ikterohemoglobinuria, disertai demam dan
anemia, dan kematian akan terjadi setelah sakit 2-4 hari.
Hewan yang sedang laktasi dengan mendadak mengalami penurunan produksi.
Susunya bercampur darah. Produksi akan kembali normal setelah dua minggu, meskipun
kuantitasnya berkurang. Seringkali terjadi kerusakan ambing yang menetap akibat laktasi
yang terhenti.
Kasus-kasus ringan biasanya hanya berbentuk demam, penurunan berat badan, sedikit
kekaukan pada kaki, dan produksi susu dapat menurun. Air kemih yang berwarna merah
dapat terjadi tidak terus-menerus, sehingga jarang diperhatikan.
Penyembuhan setelah serangan penyakit, memerlukan waktu. Keguguran kadang-
kadang terjadi. Lazimnya kematian pada sapi tidak tinggi, tetapi kerugian ekonomi dapat
cukup berat.
Pada anak sapi, bentuk yang akut ditandai dengan demam, anemia, hemoglobinuria
dan ikterus. Permulaan penyakit terjadi secara mendadak. Hewan tampak lesu dan tertekan,
serta mati dalam keadaan kehabisan tenaga. Biasanya penyakit berjalan antara beberapa jam
sampai 1-2 hari. Kadang-kadang hewan kedapatan mati secara mendadak.
Pada bentuk subakut, demam dan depresi tidak begitu jelas, meskipun anak sapi
mengeluarkan air kemih berwarna merah. Beberapa hewan hanya tampak lesu, tetapi karena
masih terus bernafsu makan, oleh pemiliknya tidak diperhatikan.
Derajat kematian pada anak sapi tinggi, berkisar antara 60-100%. Anak sapi yang
terinfeksi secara alami dapat mengalami leptospiuria tetapi tanpa tanda-tanda sakit yang jelas.
Di Amerika Serikat keguguran pada sapi bunting, mencapai 15-20%.

2) Pada Babi
Tanda-tanda penyakit pada babi akibat infeksi dengan L.pomona lazimnya berbentuk
keguguran, retentio secundinae, dan dengan kematian neonatal. Serotipe inilah yang sering
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada peternakan babi di Australia. Arti penting
lainnya adalah kenyataan bahwa babi yang terinfeksi dapat berfungsi selaku pembawa
leptospira yang dapat menulari sapi dan manusia.
Seringkali infeksi dengan L.pomona tidak disertai dengan tanda-tanda sakit. Kadang-
kadang hanya terjadi gangguan keseimbangan, kelemahan pada kaki dan kekakuan leher.
Di Amerika Serikat keguguran pada babi bunting dapat mencapai 100%.
Babi yang menderita Leptospirosis dapat mengeluarkan leptospira dalam air
kemihnya selama kurang lebih 6 bulan. Hal ini menyebabkan tingginya jumlah reaktor pada
babi. Di samping itu keadaan tersebut dapat merupakan sumber penularan Leptospirosis pada
sapi atau anak sapi yang ada di sekelilingnya.
3) Pada Manusia
Hewan yang menjadi sumber penularan adalah tikus (rodent), babi, kambing, domba,
kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan
langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.
Bakteri ini dengan flagellanya dapat menembus kulit atau mukosa manusia normal. Bakteri masuk
kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir ( mukosa ) mata, hidung, kulit yang lecet atau makanan yang
terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi Leptospirosa. Masa inkubasi selama 4 – 19 hari.
Stadium pertama :
 Demam, menggigil
 Sakit kepala
 Malaise
 Muntah
 Konjungtivitis
 Rasa nyeri pada otot terutama otot betis (M. Gastroccnemius) dan punggung
 Gejala-gejala diatas akan tampak antara 4-9 hari
Gejala yang karakteristik adalah :
 Konjunctivitis tanpa disertai dengan eksudat serous/purulent
 Kemerahan pada mata
 Rasa nyeri pada otot-otot
 Gejala ini biasanya terjadi pada hari ketiga sampai keempat setelah penyakit tersebut
muncul.
Stadium kedua :
 Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibody di dalam tubuh penderita
 Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi disbanding pada stadium
pertama (dapat terjadi icterus)
 Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan terjadi
meningitis.
 Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukan gejala klinis pada
stadium ketiga (konvalesen phase)
Komplikasi leptospirosis dapat menimbulkan gejala :
1. Pada ginjal : renal failure dapat menyebabkan kematian
2. Pada mata : konjunctiva yang tertutup mengambarkan phase septicemia yang erat
hubungannya dengan keadaan photophobia dan konjunctiva hemorrhagic.
3. Pada hati : jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam dengan
adanya pembesaran hati dan konsistensinya lunak
4. Pada jantung : aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yang dapat menyebabkan
kematian mendadak
5. Pada paru-paru : hemorrhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada, respiratory
distress dan cyanosis
6. Pendarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari saluran
pernafasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalis
7. Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan adanya kecacatan
bayi.
G. Diagnosis
1) Diagnosa Konvensional
Leptospirosis sering susah untuk didiagnosa dan biasanya antara gejala klinis dengan
uji laboratorik untuk konfirmasi penyakit tersebut. Secara konvensional prosedur diagnosa
laboratorik leptospirosis dikelompokan menjadi 2 yaitu usaha menemukan bakterinya dan
deteksi terhadap antibody pada penderita.
 Deteksi leptospira
Deteksi adanya leptospira dapat dilakukan langsung dari darah atau urine, dengan
mikroskop medan gelap. Selain pemeriksaan mikroskopis deteksi leptospira dapat
dilakukan dengan isolasi/kulturil. Pada kasus bahan pemeriksaan dapat berupa cairan
tubuh (darah, susu, cairan cerebrospinal, cairan rongga dada, cain peritoneal), oran dalam
(hepar, pulmo, otak, ginjal). Pada kasus yang kronis samle untuk isolasi dan identifikasi
isolate leptospira selain tidak sederhana, memakan waktu yang lama juga membutuhkan
laboratorium referensi yang berpengalaman.
Deteksi keberadaan leptospira dapat pula dilakukan dengan uji imunokimia
(immunofluorescens danimmunohistochemistry). Efikasi dari uji ini sangat tergantung
pada jumlah orgamnisme yang tedapat di dalam jaringan yang diperiksa. Uji imunokimia
juga tidak dapat membedakan antar serovar, kecuali apabila dilakukan dengan IgG titer
tinggi terhadap berbagai serovar leptospira.
- Uji serologic
Uji serologic merupakan cara yang banyak dipakai untuk diagnosis leptospirosis, dan
uji aglutinasi mikroskopik (MAT) merupakan uji serologic standar. Untuk keperluan
ini diperlukan sejumlah antigen yang mewakili semua group yang diketahui eksis
didaerah yang bersangkutan dan ini merupakan hal yang tidak mudah.
MAT terutama digunakan untuk uji kawanan ternak. Untuk memperoleh informasi
yang bermanfaat paling tidak diperlukan 10 ekor atau 10 % dari kawanan untuk diuji.
Sebagai uji individual hewan MAT bermanfaat untuk diagnosis infeksi akut.
Keterbatasa dari MAT adalah dalam mendiagnosis kasus kronis pada individu.
Enzime-linked immunosorbent assay (ELISA) juga dapat digunakan untuk deteksi
antibody terhadap leptospira.
2) Diagnosa Molekuler

PCR machine
Pada prinsipnya didasarkan pada teknologi DNA. Ada banyak teknik molekuler yang
dapat dipakai sebagai metoda alternative dalam diagnosis leptospirosis. Beberapa dari teknik
tersebut akan disampaikan sebagai berikut :
 Analisis endonuklease restriksi (REA)
Analisis ini didasarkan pada prinsip digesti DNA leptospira murni dengan enzim
endonuklease restriksi dan elektroforesis DNA, hasil digesti tersebut dalam gel agarose.
Enzyme endonuklease restriksi mengenali danmemotong dsDNA pada sekuen spesifik
sehingga menghasilkan sejumlah framen. Masing-masing fragmen akan migrasi
erdasarkan berat molekulnya pada elektroforesis gel agarose, sehinga menghasilkan sidik
jari DNA yang khas bagian setiap tipe leptospira. Pemanfaatan REA untuk identifikasi
leptospira ini pertama kali disampaikan oleh Marshall dkk (1981) untuk membedakan
serovar hardjo dengan balanica memakai enzim EcoRI.
 Pelacak asam nukleat dan hibridisasi
Pelacak asam nukleat (probe) yang spesifik untuk leptospira dapat digunakan bersama
dengan teknik hibridisasi untuk memperoleh konfirmasi diagnosis sebelum hasil kultur
dan uji biokimiawi diperoleh. Metoda ini telah diperkenalkan Terpestra dkk (1986)
dengan pelacak DNA dari hordjobovis yang genotype spesifik.
 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Metoda PCR didasarkan pada amplifikasi in vitro sekuen DNA target menggunakan
enzim polymerase DNA yang thermostabil dan oligo nukleotida sebagai primer untuk
amplifikasi fragmen yang spesifik. Pemanfaatan teknik ini telah dimulai sejak tahun 1989
oleh Van Eys dkk yang dapat mendeteksi leptospira dalam urine yang hanya mengandung
organisma tidak lebih dari 10 sel dalam 1 ml sample.
 Arbitrarily primed PCR (AP-PCR)
Meskipun teknik PCR sangat sensitive dalam mendeteksi keberadaan leptospira
dalam sample, akan tetapi tidak dapat membedakan antar serovar. Oleh karena itu para
peneliti seperti Perolat dkk (1994), Brown dan Levett (1997) mengembangkan teknik
yang disebut dengan AP-PCR yang pada prinsipnya adalah PCR tetapi hanya
menggunakan primer yang random. Dengan variasi primer random ini ada pula yang
menyebutkan dengan Random amplified polymeric DNA (RAPD) fingerprinting. Dengan
pemilihan primer yang random yag baik maka teknik ini dapat membedakan inter dan
antar serovar leptospira.
 Sekuensing DNA
Analisis susunan nukleotida dari rantai DNA merupakan sarana yang sangat ampuh
untuk membedakan antar isolate leptospira. Sekuensing dilakukan terhadap suatu gen
dalam lokus yang sama, seperti misalnya gen 16S-RNA. Bahkan dengan kemajuan
peralatan bioteknologi yang tersedia seseorang melakukan deteksi langsung dengan PCR-
sequencing secara otomatik.
Meskipun sekuensing DNA merupakan teknik yang terbaik untuk membedakan antar
serovar leptospira, akan tetapi metoda ini tidak dapat digunakan sebagai cara pemeriksaan
rutin karena prosedurnya kompleks, membutuhkan keterampilan dan peralatan khusus.
Beberapa teknik molekuler yang dapat membantu dalam diagnosis leptospirosis
antara lain pulsed field gel electrophoresis (PFGE) yang didasarkan pada analisis pita-pita
besar hasil REA pada gel agarose. Untuk keperluan ini dapat dipakai enzim retriksi NotI.
Selain PFGE teknik Ribotyping yang didasarkan pada analisis pola restriksi gen
ribosomal RNA juga dapat dimanfaatkan dalam diagnosa leptospirosis .
(Widya Asmara,2002)
H. Pengobatan dan Pencegahan
1) Pencegahan
 Menghindari atau mengurangi kontak dengan hewan yang berpotensi terkena paparan air
atau lahan yang dicemari kuman. Kalau seseorang berada di situasi tak terelakkan dari
genangan air maka sebaiknya mengonsumsi doxycycline, semacam antibiotik pencegah
infeksi bakteria.
 Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
 Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar terhindar dari tikus.
 Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan.
 Mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di
sawah/kebun/sampah/tanah/selokan dan tempat-tempat yang tercemar lainnya.
 Melindungi pekerja yang berisiko tinggi terhadap leptospirosis (petugas kebersihan, petani,
petugas pemotong hewan, dan lain-lain) dengan menggunakan sepatu bot dan sarung
tangan.
 Upaya "lisolisasi" seluruh permukaan lantai , dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor
banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, karena kuman mati oleh desinfektans seperti lisol.
 Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung, desinfeksi terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar
oleh tikus, dan meningkatkan penangkapan tikus.
2) Pengobatan
Leptospirosis bukan penyakit ganas. Obatnya mudah didapat dan murah.
Hanya saja karena di awal-awal kasusnya mungkin luput didiagnosis, saking tidak lazim dan
terlupakan, pengobatan yang tepat mungkin terlambat diberikan.
Begitu juga yang harus dipikirkan jika ada keluhan dan gejala yang mengarah pada leptospirosis di
daerah-daerah pascabanjir lain. Setiap keluhan dan gejala flu harus dicurigai sebagai awal leptospirosis.
Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati dengan
antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline)
Streptomycine, Tetracycline, Erithtromycine.
Dari bermacam-macam antibiotic yang tersebut diatas, menurut Turner, pemberian
Penicilin atau Tetracyclin dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik.
Cara pengobatan penderita leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
 Pemberian suntikan benzyl (crystal) Penicilin akan efektif jika diberikan secara dini
pada hari ke 4- 5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan dosis 6 – 8
megaunit secara i.v yang dapat diberikan secara bertahap selama 5 -7 hari.
 Selain cara diatas, kombinasi Crystalline dan Procaine Penicilline dengan jumlah
yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4 -5 megaunit secara i.m. separuh
dosis dapat diberikan setelah demam turun, yang biasanya diberikan selama 5 – 6
hari. Procaine Penicilline 1, 5 megaunit i.m dapat diberikan secara kontinyu selama 2
hari setelah terjadi albuminuria.
 Untuk penderita yang alergi terhadap Penicilline dapat diberikan antibiotic lain yaitu
Tetracyclin atau erytromycine. Tetapi kedua antibiotic tersebut kurang efektif
disbanding dengan penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan juka penderita
mengalami gejala gagal ginjal (renal failure). Tetracycline dapat diberikan secepatnya
dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250 – 500 mg
setiap 6 jam secara oral selama 6 hari Erytromycine diberikan dengan dosis 250 mg
setiap 6 jam selama 5 hari.
Angka kematian penyakit leptospirosis termasuk tinggi, bisa mencapai 2,5 – 16, 45 %
(rata-rata 7,1 %). Pada usia lebih 50 tahun malah kematian bisa mencapai 56%. Penderita
leptospirosis yag disertai selaput mata berwana kuning (kerusakan jaringan hati), resiko
kematian akan lebih tinggi.
(Widarso HS,2002)

Anda mungkin juga menyukai