A.KERAJAAN PERLAK
Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah kerajaan
dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada tahun
840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra
Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai,
terdapat 19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin
Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama
asli Saiyid Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi
Sultan Kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah
menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum
Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-
1263 M).
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat
terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan
mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan
Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja
Tumasik (Singapura sekarang).
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar
Sultan Muhammad Syah.
Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat
kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah
Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak.
Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan
raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh
dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata
uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari
perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
D.KESULTANAN MALAKA
3. Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai Kerajaan Minangkabau yang
merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi
Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Kerajaan ini pernah
dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an,
kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Munculnya nama Pagaruyung sebagai
sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari
beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa
Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut. Pengaruh Islam
di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para
musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah
satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah
Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap
pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,
Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam
yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam
adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang
terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat
Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Quran.
Kerajaan Islam di Sumatera
By admin | February 21, 2014
1 Comment
Kerajaan Islam di Sumatera- Kerajaan Islam di Sumatera meliputi kerajaan samudra pasai,
kerajaan malaka dan kerajaan aceh. Berikut uraian kerajaan Islam yang ada di Sumatera.
Pedagang Persia, Gujarat, dan Arab pada awal abad ke-12 membawa ajaran Islam aliran
Syiah ke pantai Timur Sumatera, terutama di negera Perlak dan Pasai. Saat itu aliran Syiah
berkembang di Persia dan Hindustan apalagi Dinasti Fatimiah sebagai penganut Islam aliran
Syiah sedang berkuasa di Mesir. Mereka berdagang dan menetap di muara Sungai Perlak dan
muara Sungai Pasai mendirikan sebuah kesultanan. Dinasti Fatimiah runtuh tahun 1268 dan
digantikan Dinasti Mamluk yang beraliran Syafi’i, mereka menumpas orang-orang Syiah di
Mesir, begitu pula di pantai Timur Sumatera. Utusan Mamluk yang bernama Syekh Ismail
mengangkat Marah Silu menjadi sultan di Pasai, dengan gelar Sultan Malikul Saleh. Marah
Silu yang semula menganut aliran Syiah berubah menjadi aliran Syafi’i. Sultan Malikul Saleh
digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Malikul Zahir, sedangkan putra keduanya
yang bernama Sultan Malikul Mansur memisahkan diri dan kembali menganut aliran Syiah.
Saat Majapahit melakukan perluasan imperium ke seluruh Nusantara, Pasai berada di bawah
kekuasaan Majapahit.
Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di Samudera Pasai, yakni:
(d) Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383.
(f) Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.
Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah, sejarawan dari Maroko.
Kronik dari orang-orang Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah, Samudera
Pasai merupakan pusat studi Islam. Ia berkunjung ke kerajaan ini pada tahun 1345-1346. Ibnu
Batutah menyebutnya sebagai “Sumutrah”, ejaannya untuk nama Samudera, yang kemudian
menjadi Sumatera.
Ketika singgah di pelabuhan Pasai, Batutah dijemput oleh laksamana muda dari Pasai
bernama Bohruz. Lalu laksmana tersebut memberitakan kedatangan Batutah kepada Raja. Ia
diundang ke Istana dan bertemu dengan Sultan Muhammad, cucu Malik as-Saleh. Batutah
singgah sebentar di Samudera Pasai dari Delhi, India, untuk melanjutkan pelayarannya ke
Cina. Sultan Pasai ini diberitakan melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi dan
Kesultanan Usmani Ottoman. Diberitakan pula, bahwa terdapat pegawai yang berasal dari
Isfahan (Kerajaan Safawi) yang mengabdi di istana Pasai. Oleh karena itu, karya sastra dari
Persia begitu populer di Samudera Pasai ini. Untuk selanjutnya, bentuk sastra Persia ini
berpengaruh terhadap bentuk kesusastraan Melayu kemudian hari. Berdasarkan catatan
Batutah, Islam telah ada di Samudera Pasai sejak seabad yang lalu, jadi sekitar abad ke-12 M.
Raja dan rakyat Samudera Pasai mengikuti Mazhab Syafei. Setelah setahun di Pasai, Batutah
segera melanjutkan pelayarannya ke Cina, dan kembali ke Samudera Pasai lagi pada tahun
1347.
Bukti lain dari keberadaan Pasai adalah ditemukannya mata uang dirham sebagai alat-tukar
dagang. Pada mata uang ini tertulis nama para sultan yang memerintah Kerajaan. Nama-nama
sultan (memerintah dari abad ke-14 hingga 15) yang tercetak pada mata uang tersebut di
antaranya: Sultan Alauddin, Mansur Malik Zahir, Abu Zaid Malik Zahir, Muhammad Malik
Zahir, Ahmad Malik Zahir, dan Abdullah Malik Zahir. Pada abad ke-16, bangsa Portugis
memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil menguasai Samudera Pasai pada 1521 hingga
tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera Pasai menjadi kekuasaan Kerajaan Aceh yang
berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Waktu itu yang menjadi raja di Aceh adalah Sultan Ali
Mughayat.
2. Kerajaan Malaka
Sesungguhnya, Kerajaan Malaka ini tidak termasuk wilayah Indonesia, melainkan Malaysia.
Namun, karena kerajaaan ini memegang peranan penting dalam kehidupan politik dan
kebudayaan Islam di sekitar perairan Nusantara, maka Kerajaan Malaka ini perlu dibahas
dalam bab ini. Kerajaan Malaka (orang Malaysia menyebutnya Melaka) terletak di jalur
pelayaran dan perdagangan antara Asia Barat dengan Asia Timur. Sebelum menjadi kerajaan
yang merdeka, Malaka termasuk wilayah Majapahit.
Pendiri Malaka adalah Pangeran Parameswara, berasal dari Sriwijaya (Palembang). Ketika
di Sriwijaya terjadi perebutan kekuasaan pada abad ke-14 M, Parameswara melarikan diri ke
Pulau Singapura.
Dari Singapura, ia menyingkir lagi ke Malaka karena mendapat serangan dari Majapahit. Di
Malaka ia membangun pemukiman baru yang dibantu oleh orang-orang Palembang. Bahkan
Parameswara bekerja sama dengan kaum bajak laut (perompak). Ia memaksa kapal-kapal
dagang yang melewati Selat Malaka untuk singgah di pelabuhan Malaka guna mendapatkan
surat jalan.
Untuk melindungi kekuasaannya dari raja-raja Siam di Thailand dan Majapahit dari Jawa, ia
menjalin hubungan dengan Kaisar Ming dari Cina. Kaisar Ming inilah yang mengirimkan
balatentara di bawah pimpinan Laksamana Cheng-Ho pada tahun 1409 dan 1414. Dengan
demikian, Parameswara berhasil mengembangkan Malaka dengan cepat. Kemudian, Malaka
pun mengambil alih peranan Sriwijaya dalam hal perdagangan di sekitar Selat Malaka. Selat
Malaka pada waktu itu merupakan Jalur Sutera (Silk Road) perdagangan yang dilalui oleh
para pedagang dari Arab, Persia, India, Cina, Filipina, dan Indonesia.
Parameswara mulai resmi memerintah Malaka pada tahun 1400. Menurut catatan Tome Pires,
Parameswara memeluk Islam setelah menikah denan puteri raja Samudera Pasai pada usia 72
tahun. Setelah itu, Parameswara bergelar Muhammad Iskandar Syah. Namun, menurut
Sejarah Melayu, pengislaman Malaka berlangsung setelah Sri Maharaja, raja pengganti
Parameswara, berkenalan dengan Sayid Abdul Aziz dari Jedah, Arab. Setelah masuk Islam,
Sri Maharaja bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagian sejarawan bahkan beranggapan
bahwa ia merupakan raja Malaka yang pertama muslim. Pendapat lain menyatakan, Malaka
diislamkan oleh Samudera Pasai. Sri Maharaja memerintah dari tahun 1414 hingga 1444. Ia
lalu digantikan oleh Sri Parameswara Dewa Syah, dikenal juga dengan nama Ibrahim Abu
Said. Parameswara Dewa Syah hanya memerintah satu tahun, hingga 1445. Yang kemudian
menjadi raja adalah Sultan Muzaffar Syah atau Kasim. Pada masanya Malaka mencapai
masa keemasannya. Ketika itu, wilayah Malaka melingkupi Pahang, Trengganu, Pattani
(sekarang termasuk wilayah Thailand), serta Kampar dan Indragiri di Sumatera.
Sultan ini memerintah hingga tahun 1459. Ia digantikan oleh Sultan Mansur Syah, dikenal
juga sebagai Abdullah. Mansur Syah memerintah Malaka sampai tahun 1477. Jabatan sultan
diserahkan kepada Sultan Alauddin Riayat Syah yang memerintah hingga 1488. Masa
kejayaan Malaka langsung sirna sejak pasukan Portugis menyerang Malaka pada tahun 1511.
Portugis yang dipimpin langsung oleh Alfonso de Albuquerque, dengan mudah
mengalahkan pertahanan Malaka. Portugis segera membangun benteng pertahanan. Salah
satu benteng peninggalan Portugis yang masih tersisa hingga kini adalah Benteng Alfamosa.
Seabad kemudian, Portugis hengkang dari Malaka karena serangan pasukan VOC dari
Belanda. Orang Belanda pun tak lama berkuasa atas Malaka karena kemudian Inggris
mengambil alih kekuasaan atas Malaka.
3. Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah melepaskan
diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan
Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan
berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh.
Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari
tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin
melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda
digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami
kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan
Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang
dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh
Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642.
Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan
pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya
yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat
Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan
politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat.
Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari
Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka
dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi
pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan
perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-
1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul
Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa
dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh
pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam berkuasa, di
Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel.
Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian
menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku
tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi
Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816,
sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford
Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu
pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh
pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di
Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan
Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan
Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris.
Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik
kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda
kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah
karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat
peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di
antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang
orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang
telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck
Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945
Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
KERAJAAN PAGARUYUNG
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra
Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari ibukotanya,
yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran dari
Majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347. Kerajaan Pagaruyung menjadi
Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an.
Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari Majapahit, ia sebenarnya memiliki darah
Melayu. Dalam sejarahnya, pada tahun 1286, Raja Kertanegara menghadiahkan arca
Amogapacha untuk Kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai imbalan atas pemberian
itu, Raja Darmas Raya memperkenankan dua putrinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk
dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkawinan Dara Jingga inilah
kemudian lahir Aditywarman.
http://www.panoramio.com
Taman Sari Gunongan merupakan salah satu peninngalan Kerajaan Aceh, setelah
keraton (dalam) tidak terselamatkan karena Belanda menyerbu Aceh. Gunongan dibangun
pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda yamg memerintah tahun 1607-1636. Sultan
Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung
Malaka. Putri boyongan dari Pahang yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya
membuat Sultan Iskandar Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi
cintannya yang sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan
permaisurinya untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan
Gunongan sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada
suasana pegunungan di tempat asalnya terpenuhi. (http://disbudpar.acehprov.go.id/)
Mesjid Indrapuri adalah bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi. Bentuknya khas,
mirip candi, karena di masa silam bangunan tersebut bekas benteng sekaligus candi
kerajaan hindu yang lebih dahulu berkuasa di Aceh. Diperkirakan pada tahun 1.300 Masehi,
pengaruh Islam di Aceh mulai menyebar, dan perlahan penduduk sekitar sudah mengenal
Islam, akhirnya bangunan yang dulunya candi berubah fungsi menjadi mesjid. Dan sejarah
juga mengatakan bangunan bekas candi tersebut dirubah menjadi mesjid di masa Sultan
Iskandar Muda berkuasa dari tahun 1607-1637 Masehi. (http://atjehlink.com/)
3. Benteng Indrapatra
http://iloveaceh.tumblr.com
Setelah Hindu, muncul kerajaan Islam yang pada masa keemasan dipimpin oleh Sultan
Iskandar Muda. Pada masa ini, benteng tetap digunakan sebagai basis pertahanan melawan
Portugis. Sultan Iskandar Muda menugaskan Laksamana Malahayati seorang laksamana
perempuan pertama di dunia untuk memimpin pasukan di wilayah basis pertahanan ini.
Benteng ini merupakan benteng yang dibangun oleh kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu
pertama di Aceh. Walaupun akhirnya Islam mendominasi di Aceh, tetapi Sultan dan Ratu
yang memimpin Aceh tidak pernah menghancurkan jejak peninggalan nenek moyangnya.
(http://travel.detik.com/)
4. Pinto Khop
http://visittoaceh.blogspot.com
Hikayat Prang Sabi merupakan suatu karya sastra dalam sastra Aceh yang berbentuk
hikayat yang isinya membicarakan tentang jihad. ditulis oleh para ulama yang berisi
nasihat, ajakan dan seruan untuk terjun ke medan jihaad fii sabilillaah, menegakkan
agama Allah dari rongrongan kafir dan meraih imbalan pahala yang besar. Bisa jadi hikayat
inilah yang membangkitkan semangat juang rakyat aceh dahulu dalam mengusir penjajah.