BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Clonidine, agonis α-2, telah dikenal pada anastesia klinik untuk efek
simpatolitik, sedatif, hemat obat anestesia dan bersifat menstabilkan
hemodinamik. Dexmedetomidine, secara farmakologis d-isomer aktif dari
medetomidine (4,[5]-[1-(2,3-dimethylphenyl)-ethyl]) imidazole merupakan agonis
α-2 adrenoreseptor selektif dan sangat spesifik. Rasio selektifitas ikatan α-2:α-1
dexmedetomidine adalah 1620:1 dibandingkan 220:1 pada clonidine. Percobaan
pada hewan menunjukkan bahwa terdapat efek anestesia yang menonjol. Sebuah
studi pada manusia menunjukkan clonidine memiliki efek analgesik, sedatif,
simpatolitik, dan juga efek pada kardiovaskular. Pada studi terbaru,
dexmedetomidine secara klnik menunjukkan efek pada keperluan anestesia,
respon hemodinamik yang ditimbulkan anastesi, dan operasi pada pasien. Telah
diteliti juga bahwa infusi intraoperatif dexmedetomidine yang dikombinasikan
dengan obat anestesia inhalasi menunjukkan kepuasan pada kondisi intraoperatif
tanpa efek buruk pada hemodinamik serta dapat menurunkan agitasi emergensi
pada anak-anak. Dexmedetomidine semakin banyak digunakan sebagai sedatif
untuk monitored anaesthesia care (MAC) karena sifat analgesiknya, “sedasi yang
kooperatif”, dan tidak menimbulkan penurunan fungsi respiratori.
Dexmedetomidine juga dieksplor sebagai obat noninvasif yang melalui rute
intranasal.
4
METODE
Setelah mendapatkan izin dari institusi komite etik, sebuah studi acak dan
terkontrol dirumuskan. Populasi studi membandingkan 60 pasien dengan ASA I
dan II, berusia 18-65 tahun, dijadwalkan untuk menjalani operasi elektif dalam
durasi 3 jam atau lebih. Penulisan inform konsen dilakukan pada setiap pasien.
Wanita hamil dan menyusui, pasien dengan obesitas yang buruk, heart block, dan
pasien hipertensi pada ẞ bloker diekslusi dari studi. Pasien dengan diabetes dan
penyakit ginjal tidak dimasukkan ke dalam studi. Pasien secara acak dibagi
menjadi dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari 30 pasien, dengan
menggunakan metode undi. Tidak satupun pasien yang berada pada terapi obat
signifikan secara preoperatif.
Pengelompokan pasien adalah sebagai berikut:
Kelompok C : kelompok kontrol: isoflurane-opioid-anestesi saline.
Kelompok D : kelompok dexmedetomidine : isoflurane-opioid-anastesi
dexmedetomidine.
Seluruh pasien dipremedikasi dengan injeksi glycopyrrolate 0,2 mg
intramuskular, 20 menit sebelum induksi anestesia. Ketika masuk ke ruang
operasi, frekuensi nadi pasien, tekanan darah, saturasi oksigen (SpO 2), dan laju
respirasi dicatat selama 5 menit. Kanula intravena yang berukuran besar
dimasukkan untuk pemberian obat dan cairan. Seluruh pasien kelompok D
menerima injeksi dexmedetomidine dengan dosis 1μg/kg dalam periode 10 menit
sebelum induksi anastesia melalui pompa infusi. Selama infusi, frekuensi nadi,
tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, laju respirasi, saturasi oksigen, dan
skor sedasi dicatat pada interval 5 menit dan pada 10 menit (akhir dari infusi).
Seluruh pasien di kelompok C mendapatkan saline melalui pompa infusi.
Semua pasien mendapatkan injeksi ondansetron 4 mg, injeksi fentanyl 1
μg/kg, dan injeksi midazolam 1 mg intravena (IV), sebelum induksi anestesia.
Lalu, injeksi thipentone yang cukup untuk melumpuhkan refleks bulu mata
5
Analisis statistik
Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 10, 2010) untuk Windows
HASIL
Kedua grup sebanding dalam karakteristik pasien [Tabel 1].
Dexmedetomidine ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek merugikan yang
diteliti. Sekitar 10 menit setelah mendapatkan dexmedetomidine, pasien
mengantuk tetapi masih sadar (skor sedasi 2)
Rata-rata dosis tidur dari injeksi thiopentone yang diperlukan pada
kelompok C adalah 6 mg/kg, sementara pada kelompok D adalah 4,4 mg/kg
[Tabel 2]. Penurunan kebutuhan dosis adalah 30% pada kelompok
dexmedetomidine ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol (P=0,00)
Rata-rata konsentrasi inspiratori isoflurane yang diperlukan selama anestesi
adalah 0,8% pada kelompok C dan 0,54% pada kelompok D. Penurunan sebesar
32% terdapat pada kelompok D dibandingkan dengan kelompok D (P=0,00).
Selain itu, kebutuhan injeksi fentanyl adalah 1,8 μg/kg pada kelompok C
dan 1,1 μg/kg pada kelompok D. Kelompok C memerlukan fentanyl 33% lebih
banyak dibanding kelompok D (P=0,00) [Tabel 2].
Sebelum pemberian obat yang diteliti di ruang operasi, frekuensi nadi dan
tekanan darah kedua kelompok tidak berbeda.
Pada kelompok D pasien menerima infusi dexmedetomidine, turunnya
frekuensi nadi dan tekanan darah diteliti, tidak lebih dari 5% dari batas normal.
Pasien disedasi tapi masih sadar dengan skor sedasi 2.
7
DISKUSI
Studi ini dilakukan untuk menguji apakah pemberian dexmedetomidine
pada cara anestesi stabil yang biasa dilakukan meningkatkan stabilitas
hemodinamik pada pasien yang menjalani prosedur bedah mayor. Hal ini juga
akan mengurangi penguapan obat anestesi dan kebutuhan analgesik perioperatif.
8
“Efek dari Tiga Dosis Berbeda Dexmedetomidine Intratekal (2,5 µg, 5 µg, 10
µg) pada Karakteristik Blockade Subaraknoid: Sebuah Penelitian RCT
Prospektif”
METODE
Kriteria eksklusi dan inklusi
Setelah menyelesaikan ethical clearance, 90 orang pasien dengan rentang
usia 18-60 tahun, dengan ASA I/II, yang akan menjalani operasi abdomen bawah
dan ekstremiras bawah dengan subarachnoid block (SAB), setuju untuk
bergabung dalam penelitian ini. Krireria eksklusi adalah pasien dengan: 1)
kontraindikasi terhadap SAB, 2) sensitif terhadap obat yang akan diujicoba, 3)
sedang menjalani terapi analgesik kronik, 4) punya gangguan kognitif, 5) tidak
bisa memahami NRS, 6) hamil, 7) dengan kondisi komorbid, misalnya: hipertensi,
CHF, infark miokard selama 6 bulan yang lalu, dan 8) blokade jantung. Prinsip
etik yang digunakan berdasarkan deklarasi Helsinki. Delapan pasien termasuk
kriteri eksklusi dan dieliminasi sebagai sampel.
Anestesi pre dan intra operatif
Pemeriksaan anestesi lengkap telah dilakukan dan diberikan tablet
alprazolam 0.25 mg sebagai premesikasi pada malam sebelumnya dan pagi
sebelum operasi. Pasien juga dibiasakan dengan NRS, dan diinstrukaikan untuk
puasa selama 8 jam sebelum operasi. Pasien dipantau dengan elektrokardiografi,
pulse oximetry, dan NIBP dan tanda vital dasar juga direkam. Cairan intravena
yaitu RL 15ml/kg, dimulai dengan infus 2ml/kg/jam dan disesuaikan selama
operasi.
Randomisasi
12
Pasien dibagi menjadi 3 grup sama banyak dengan menggunakan star trek
random number generator. Dexmedetomidine diberikan dalam dosis 100 ug/ml
dengan 40 unit insulin syringe (2.5 ug/unit) dan 1, 2 dan 4 unit kemudian
ditambahkan dengan syringe yang sama yang mengandung 0.5% hiperbarik 3 mL
pada grup BD 2.5, BD 5 dan BD 10. Total volume adalah 3.5 ml pada semua grup
dengan menambahkan 0.9% saline. Obat trial ini kemudian dikemas dalam
syringe yang tidak dilabeli. Dokter anestesi kemudian melakukan injeksi
intratekal terhadap pasien dan mengumpulkan data yang didapat. Injeksi IT
diberikan dalam posisi duduk pada L3 dan L4 di ruang intervertebral dengan
jarum Quincke 27 gauge. Pasien kemudian diposisikan supinasi secepatnya
setelah injeksi.
13
ANALISIS STATISTIK
Total sampel dikalkulasi sebagaimana percobaan sebelumnya.
Menggunakan G3* power, nilai a dua arah (0,05) dan CI 95%, ditemukan bahwa
66 pasien (22 pasien per grup), dapat dideteksi perbedaan reaksinya terhadap
analgetik ini. Peneliti merekrut 90 pasien untuk percobaan ini. Analisis statistik
menggunakan SPSS 17 pada windows. Variabel terikat ditampilkan dalam nilai
rata-ratanya ± SD atau median (range) untuk data yang berdistribusi tidak normal.
Variabel kategorik ditampilkan dalam bentuk persentase dan frekuensi. Distribusi
normal pada variabel terikat dibagi 3 kelompok dan dibandingkan dengan
menggunakan ANOVA. Distribusi tidak normal pada variabel terikat diuji dengan
test Kruskall-Wallis, dan analisis lebih jauh dilakukan dengan menggunakan
Mann-Whitney. Data kategori nominal antara masing-masing kelompok
dibandingkan dengan menggunakan Chi Square atau Uji Fischer. Untuk
keseluruhan tes statistik, nilai P < 0,05 dan 0,001 berarti signifikan.
HASIL PENELITIAN
Total 90 sampel konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dibagi
berdasarkan demografi, dan karakteristik medis dibandingkan diantara kelompok-
kelompok tersebut.
Karakteristik blokade sensori
Onset dari blok sensoris sangat signifikan pada kelompok BD 10
dibandingkan dengan kelompok BD 5, (p = 0,035), dan BD 10 ddibandingkan
dengan BD 2,5 hasilnya adalah signifikan (p=0,010). Namun, tidak ada perbedaan
signifikan pada kelompok BD 2,5 dan BD 5 (p= 0,89). Tingkatan blokade sensoris
kemudian dibandingkan pada setiap grup (tabel 3). Ada perbedaan yang sangat
signifikan antara TSSR BD 10 dibandingkan dengan BD 5 (p=0,001) dan
kelompok BD 10 dibandingkan dengan BD 2,5 (p= 0,001). Dan perbedaan
signifikan antara BD 5 dan BD 2,5 (p=0,001).
Karakteristik Blok motorik
15
Pada onset blokade motorik terdapat nilai yang signifikan antara kelompok
BD 10 dan BD 2,5 (p= 0,02), namun tidak ada perbedaan signifikan antara
kelompok BD 10 dibandingkan dengan BD 5 (p=0,277) dan kelompok BD 5
dibandingkan dengan kelompok BD 2,5 (p=0,45). Kelompok BD 10 memiliki
perbedaan signifikan pada durasi blokade motorik yang lebih panjang dariapa
kelompok BD 5 dan BD 2,5 (p<0,001). Durasi dari blokade motorik pada grup
BD 5 jauh lebih panjang dibandingkan denga BD 2,5 (p < 0,001) (Tabel 3).
Karakteristik Analgesik
Durasi dari analgesik berbeda secara signifikan pada kelompok BD 10
dengan kelompok BD 5 dan BD 2,5 (p <0,001). Kelompok BD 5 juga memiliki
durasi analgetik yang panjang secara signifikan dengan kelompok BD 2,5
(p<0,001) (Tabel 3). Perbedaan yang sangat signifikan ditemukan pada durasi dari
perbedaan analgesi antara kelompok BD 10 dibandingkan BD 5 dan BD 2,5 (p<
0,001) dan kelompok BD 5 dibandingkan dengan BD 2,5 (p= 0,009). Kelompok
16
bius high spinal. Demikian pula penurunan tergantung dosis pada blokade
motorik. Pada penelitian ini diamati perningkatan dosis ITD namun, hasilnya
hanya signifikans untuk kelompok BD10 vs BD2.5 dan tidak untuk kelompok
BD10 vs BD5 atau BD5 vs BD2.5.
Sejumlah penelitian lain juga telah melaporkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam blokade sensorik atau motorik dengan penambahan ITD atau
adjuvant lainnya untuk bupivacaine hiperbarik. Inkonsistensi dalam onset dan
durasi dengan dosis yang sama dari dexmedetomidine tampak pula pada sejumlah
variabel seperti profil demografis, definisi waktu onset (T8 vs T10), volume IT
injectate , volume pengencer digunakan dengan (0,1 mL vs 0,5 mL) sehingga
mempengaruhi konsentrasi dan densitas bupivakain, posisi (duduk vs lateral),
serta sensitivitas nyeri individu.
Salah satu tujuan utama dengan penambahan ITD pada anestesi spinal
bupivacaine adalah pengurangan dari kebutuhan analgetik postoperative (3-5,7)
dari penelitian ini juga didapatkan bahwa dose-dependant menurun secara
signifikan (p=0,001) pada 24 jam pemberian tramadol yang biberikan melalui
ITD. 83,3% dan 50% dari kelompok BD2,5 BD5 dan BD10 membutuhkan lebih
dari 2 obat analgesi pada 24 jam pertama postoperative, namun, hasil hanya
bermakna secara signifikan pada kelompok BD10 vs BD5 ( p=0,023) BD10 vs
BD2,5 (p = 0,003)
Umumnya efek samping yang terjadi yaitu ketidakstabilan hemodinamik
seperti bradikardia dan hipotensi berkaitan signinfikan dengan a 2 agonis.
Kebanyakan peneliti lainnya tidak menjelaskan peningkatan signifikan pada
angka kejadian dari efek samping hemodinamik yang berhubungan dengan
penggunaan dosis ITD yang berbeda (4,6,8,14) Pada penelitian ini ditemukan
dose-dependent tidak berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan angka
kejadian bradikardia (3.30%, 13.30%, and 20%) dan hipotensi (13.30%, 23.30%,
and 30%) pada masing-masing kelompok BD 2,5 BD 5 BD10. Simpatolisis
maksimal dihasilkan oleh volume dan dosis bupivacaian yang lebih besar, pada
penelitian ini dicoba penambahan simpatolisis mkenggunakan dexmetedomidin.
Temuan ini didukung dengan temuan penelitian lainnya. Efek samping lain yang
21
Sedatif yang ideal pada pasien-pasien yang berada pada ICU harus memiliki
persyaratan seperti: Kerja yang cepat, mudah mengontrol kedalaman sedasinya,
memiliki pengaruh yang minimal terhadap fungsi respiratorik, tidak ada metabolit
yang terakumulasi, tidak ada bukti interaksi yang jelas dengan obat-obatan lain
22
dan jalur-jalur metabolisme dalam tubuh, eliminasi obat dapat terjadi tanpa
bertumpu pada hati, ginjal atau pernafasan, murah, dan memiliki efek samping
minimal1. Pada masa sekarang, tidak ada obat-obatan yang dapat menunjukkan
seluruh efek-efek di atas, dan golongan obat benzodiazepine, opiod agonis,
propofol, dan α2-epinefrin agonis paling banyak digunakan di ICU. Meskipun
demikian, telah didemonstrasikan bahwa midazolam dosis tinggi dan injeksi cepat
dapat membuat depresi dari fungsi pernafasan dan menurunkan tekanan darah,
terutama pada manula, pasien dengan hipovolemia atau pasien dengan gagal
pernafasan2. Lebih lanjut, pemberian pofopol dosis tinggi dalam waktu lama dapat
menimbulkan profopol infusion syndrome, yang menimbulkan asidosis laktat,
hiperlipemia, inflitrasi dari lemak hati, rhabdomyolisis dan kematian 3. Oleh
karena itu diperlukan agen sedasi yang lain untuk pasien-pasien di ICU.
Dexmedetomidine (DEX) merupakan α2-adrenoseptor agonis selektif yang
memiliki efek sedasi, analgetik, anti ansietas, dan inhibisi dari saraf simpatis.
Pasien yang diberikan DEX dapat dibangunkan dengan mudah tanpa
menimbulkan respiratory arrest. Karena itu, DEX dianggap sebagai agen sedasi
dan analgetik ideal digunakan pada pasien-pasien di ICU 4,5. DEX merupakan
dekstro-isomer dari medetomidine yang mengeluarkan efek sedasi dan analgetik.
Sebagai tambahan DEX juga menghasilkan efek neuroprotektif6 dengan cara
mengagitasi reseptor α2 yang dimediasi oleh reseptor tirosin kinase. LEbih lanjut,
DEX memulai pelepasan beraneka growth factor yang dengan mengagitasi
astrosit untuk berpartisipasi pada proteksi sel saraf 7. DEX mampu untuk
mengaktifkan enzim-enzim bertahan hidup dengan mengaktivasi dari
α2adrenoseptor yang menghasilkan efek kardioprotektif dengan cara mengontrol
jalur protein kinase, protein kinase B, dan sintesis nitrit oksida pada endotel secara
extraseluler8.
Sekarang ini, kecepatan infus dari DEX pada pasien dengan bantuan
ventilator berada pada rentang 0,2-0,7µg/Kg/jam. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa DEX aman digunakan pada pasien sehat pada dosis 10-15
dari dosis normal, tanpa menghasilkan efek yang kentara atau penurunan tekanan
darah dan nadi9-11. Meskipun demikian, sebuah penelitian sebelumnya
23
mengindikasikan terdapat penurunan tekanan darah dan nadi pada pasien kritis,
yang mengharuskan penghentian pemakaian obat12.
Telah dilakukan pengamatan dimana pasien-pasien tertentu mendapatkan
DEX dengan dosis awal yang direkomendasikan (1,0µg/Kg/10menit) ditambah
dosis pemeliharaan (0,2-0,7µg/Kg/jam) mengalami hipotensi dan bradikardi 13.
Pada pasien-pasien tertentu, pemberian DEX harus dihentikan, bahkan pada
kasus-kasus berbahaya. Observasi-observasi ini konsisten dengan efek-efek
merugikan dari DEX secara umum, seperti hipotensi, nausea, bradikardi, dan
mulut kering14. Meskipun demikian, pasien-pasien kritis di ICU memiliki
patofisiologi berbeda dengan pasien-pasien bedah elektif, dimana mereka sering
kali mengalami kerusakan multi organ yang melibatkan jantung, hati, dan ginjal 15.
Oleh karena itu, proses metabolic DEX pada pasien-pasien ICU juga berbeda.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis optimum dari DEX
untuk pasien-pasien ICU dengan mengobservasi dan membandingkan efek sedasi
dari dosis DEX yang berbeda, untuk mencoba menyediakan referensi
eksperimental mengebai dosis DEX yang aman dan efektif.
1.0 µg/kg/10 min; group B, 0.5 µg/kg/10 min; and group C, 0.4 µg/kg/h.
*P<0.05 vs. group C. HR, heart rate.
Analisa Statistik. Analisis data menggunakan SPSS versi 16.0 (SPSS Inc.,
Chicago, USA). Hasilnya ditampilkan sebagai nilai rata-rata + standar deviasi.
Test Shapiro-Wilk dikombinasikan dengan histogram untuk melihat data
berdistribusi normal atau tidak. Data berdistribusi normal dianalisis menggunakan
analisis varian, dan data tidak berdistribusi normal dibandingkan menggunakan
analisis nonparametrik Mann-Whitney U. Data kategorik dites menggunakan
analisis χ2. P<0,05 mengindikasikan bahwa data memiliki perbedaan bermakna
secara statistik.
Figure 4. SBP values in the three groups at various time-points after IV pump infusion of DEX.
*C comparison between group A and C, P<0.05. *BC com- parison between group A and group
BC, P<0.05. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B, 0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C,
0.4 µg/kg/h DEX; SBP, systolic blood pressure; DEX, dexmedetomidine.
Figure 5. DBP values in the three groups at various time-points after IV pump infusion of DEX.
*BC comparison between group A and group BC, P<0.05.
*AC comparison between group B and group AC, P<0.05. *B comparison between group A
28
HASIL PENELITIAN
Perbandingan data umum. Karakteristik umum pasien pada ketiga
kelompok dapat dilihat pada tabel 1. Tidak terdapat perbedaan signifikan yang
dapat diamati pada skor APACHE II, jenis kelamin, umur dan diagnosis primer
diantara ketiga kelompok (P>0,05).
Tingkat keberhasilan sedasi. Pasien-pasien dalam ketiga kelompok
mendapatkan kedalaman sedasi yang ideal pada 1 jam setelah diberikan DEX,
dengan skor ramsay 3-4 (P>0,05). Kelompok A dan B mendapatkan kondisi sedasi
pada 6 menit, dimana lebih cepat dibanding kelompok C (P<0,05, gambar 2).
Perbedaan pada HR, SBP, dan DBP pada saat diberikan DEX. Terdapat
penurunan tendensi yang didapatkan pada aspek-aspek tersebut selama pemberian
dosis awal dari DEX dari ketiga kelompok (gambar 3-5). Penurunan dari HR
terutama terjadi pada kelompok A dan B dibanding dengan kelompok C pada
menit ke-8 dan menit ke-60 setelah diberikan DEX (P<0,05), serta tidak
ditemukan perbedaan bermakna pada HR antara kelompok A dan B (P>0,05
gambar 3). Pada delapan menit setelah pemberian DEX, bukti penurunan SBP
terlihat paling tinggi pada kelompok A dibandingkan dengan kelompok C
(P<0,05, gambar 4). Sebagai tambahan, setelah sepuluh menit pemberian DEX,
30
Pembahasan
Pasien kritis di ICU sering kali membutuhkan beraneka terapi suportif,
termasuk ventilasi mekanik, memonitor tanda-tanda vital, penanganan pasien
kritis, dan iluminasi konstan agar menjaga pasien tetap dalam keadaan tidur dalam
jangka waktu lama17,18. Oleh karena itu, penanganan terapi sedatif sering
dibutuhkan oleh pasien ICU, seperti yang dibutuhkan pasien setelah melakukan
operasi dan pasien dengan cedera multiple berat. Midazolam, propofol, DEX
merupakan sedatif yang paling sering digunakan di ICU. DEX merupakan α 2-
adrenoseptor agonis yang sangat sensitive yang mengeluarkan efek sedatif dan
anti-anxietas dengan mempengaruhi lokus ceruleus batang otak, yakni area
dengan α2 reseptor paling banyak pada sistem saraf pusat19-21. DEX mengeluarkan
efek analgesik dan menurunkan respon stress, namum DEX terus menerus
menghambat respirasi dengan mengaktivasi α2 reseptor pada membran presinaps
di tanduk dorsal tulang saraf tulang belakang dan membran postsinaps
interneuron22-23. DEX dapat menjadi salah satu opsi sebagai medikasi sedasi pada
pasien ICU karena kemampuannya untuk menurunkan insidensi delirium dan
presentasi kebutuhan ventilasi menggunakan mesin24,25.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan pemberian DEX terus menerus
mampu untuk memicu keadaan sedasi ideal (Skor Ramsay 3-4) pada ketiga
kelompok. Target tingkat sedasi dapat dicapai dalam waktu enam menit setelah
pemberian DEX pada kelompok A (1,0µg/Kg/10menit) dan kelompok B
(0,5µg/Kg/10menit). Ini merupakan hal yang krusial untuk sedasi pada pasien
ICU, Sebagai perbandingan, antara pernafasan spontan atau menggunakan
pernafasan bantuan dapat muncul bila sedasi tidak dapat timbul secara cepat, yang
dapat mempengaruhi target volume tidal, atau dapat meningkatkan kerusakan
paru-paru yang sudah ada. Oleh karena itu tujuan utama dalam memakai DEX
adalah untuk membuat pasien dapat masuk ke dalam keadaan sedasi ideal 24-26.
Sebagai tambahan, Pemberian DEX secara IV terus menerus mampu untuk
menjaga skor Ramsay berada pada 3-4, dimana pasien berada dapat menstimulasi
fase ‘dormant’, dimana dapat melemahkan cedera dari kondisi patologis berat
32
sambil membuat pasien dapat dibangunkan bila perlu untuk melakukan tindakan
yang menyakinkan dalam menilai kondisi dan fungsi neurologisnya.
Penelitian sebelumnya mendemonstrasikan DEX memiliki fungsi regulasi
dua arah terhadap sistem kardiovaskular27. DEX menginisiasi α2B-reseptor pada
membran postsinaps pada membran otot polos untuk menghasilkan takikardi dan
hipertensi melalui vasokonstriksi. Kemudian hipotensi diinduksi melalui
vasodilatasi dibawah efek simpatolitik sentral yang diproduksi oleh pemberian
DEX secara terus menerus. Oleh karena itu, DEX menghasilkan efek yang dapat
diprediksi terhadap hemodinamik28. Pada pasien saat ini, HR, SBP, DBP
cenderung berkurang seiring pemberian DEX, namun seluruh nilai rata-rata dari
ketiga hal tersebut tetap berada dalam nilai normal selama pengamatan pada
seluruh kelompok (HR >60x/menit, SBP >115mmHg, DBP >60mmHg).
Pemberian DEX dihentikan pada 8 pasien pada penelitian ini akibat keadaan
hemodinamik yang tidak stabil. Nilai BP dan HR pada pasien ini kembali secara
perlahan seiring penghentian DEX.
Analisis dari 8 pasien ini (4 dengan hipercapnia, 3 dengan anemia dan 1
dengan hipercapnia dan anemia) yang dihentikan pemberian DEX mengindikasi
bahwa hipercapnia dan anemia merupakan faktor resiko tinggi yang berkontribusi
kepada hemodinamik yang tidak stabil. Penyebab utama dari hasil ini antara lain;
1) pasien ekstraserbasi akut dari COPD yang merupakan kelompok pasien utama
dari penggunaan ventilasi mekanik akibat tidak sadar dengan hipercapnia.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa pasien COPD dapat menginduksi
pelepasan norepinefrin dari jantung menyebabkan hipertensi dan peningkatan HR.
Pada pasien COPD dengan hipercapnia dapat mengeksitasi saraf simpatis secara
persisten walau keadaan gas darah normal30,31. 2) Pada pasien anemia terjadi
dilatasi pembuluh darah perifer, penurunan BP, peningkatan respon dari sistem
simpatis, peningkatan HR, penurunan dari RBF, retensi air dan natrium. 3)
Subtipe α2A-reseptor berperan penting dalam farmakologi dari DEX. Reseptor ini
berada pada pre- dan postsinaps, berfungsi utama untuk menginhibisi
norepinefrin. DEX menginhibisi pelepasan norepinefrin dengan berikatan dengan
membran presinaps α2-reseptor yang juga menghambat impuls nyeri. Sebagai
33
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bajwa S.J.S., Bajwa S.K., Kaur J., et al. Dexmedetomidine and clonidine in
epidural. Indian Journal of Anaesthesia. (55):352-357; 2011.
Gupta M., Gupta P., Singh D.K. Effect of 3 Different Doses of Intrathecal
Dexmedetomidine (2.5μg, 5μg, and 10 μg) on Subarachnoid Block
Characteristics: A Prospective Randomized Double Blind Dose-Response
Trial. Pain Physician (19):E411-E420; 2016.
Keniya V.M., Ladi S., Naphade R. Dexmedetomidine attenuates sympathoadrenal
response to tracheal intubation and reduces perioperative anaesthetic
requirement. Indian Journal of Anaesthesia, (55):352-357; 2011.
Mantz J., Josserand J., and Hamada S. Dexmedetomidine: new insights. Eur J
Anaesthesiol, (28):3–6; 2011.
Zhang X., Wang R., Lu J., Wei Jin, et al. Effects of different doses of
dexmedetomidine on heart rate and blood pressure in intensive care unit patients.
Experimental and Therapeutic Medicine, (11): 360-366; 2016.