TINJAUAN PUSTAKA
Trauma kepala atau cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), trauma kepala
adalah suatu trauma kranioserebral, secara spesifik terjadinya cedera pada kepala
(akibat trauma tumpul atau tajam atau akibat daya akselerasi atau deselerasi) yang
terkait dengan gejala akibat cedera tersebut seperti penurunan kesadaran, amnesia,
Berdasarkan data dari National Center for Injury Prevention and Control,
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat sekitar 1,7
juta penduduk mengalami trauma kepala dan merupakan penyebab tersering ketiga
(30,5%) dari kematian terkait trauma di Amerika, dengan 52.000 kasus di antaranya
5
Inggris, trauma kepala merupakan diagnosis primer pada 77.239 pasien yang datang
per 100.000 penduduk, dan di Bali dengan angka kejadian yang lebih tinggi yaitu 6
per 100.000 penduduk. Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia
adalah multiple trauma (16%), trauma kepala (4%), trauma abdomen (1%) dan
2010 didapatkan trauma kepala sebanyak 3578 kasus, kejadian pada lelaki (79,8%)
18-45 tahun (Zamzami dkk, 2013). Data cedera kepala di Rumah Sakit Dr. Wahidin
Sudirohusodo, Makassar pada tahun 2005 berjumlah 861 kasus, tahun 2006
berjumlah 817 kasus, dan tahun 2007 mengalami peningkatan yaitu berjumlah
6
3. Sedang : Skala Koma Glasgow 9-12, gambaran klinik pingsan lebih
kepala abnormal.
4. Berat : Skala Koma Glasgow 3-8, gambaran klinik pingsan lebih dari 6
1. Komosio serebri
2. Kontusio serebri
3. Laserasio serebri
1. Lesi difus
3. Lesi fokal
b. Hematoma intrakranial
1. Hematoma subarachnoid
2. Hematoma intraserebral
3. Hematoma intraserebellar
7
2.1.4 Patofisiologi trauma kepala
Didapatkan adanya bukti-bukti bahwa trauma kepala memiliki efek yang signifikan
1. Innate immunity
a. Neutrofil
sirkulasi dan sel imun pertama yang tiba pada tempat patogenik,
ROS dan fagositosis. Setelah trauma kepala, akan terjadi neutrofilia. Baik
sebesar 4,5 kali dalam waktu 3 jam setelah trauma kepala. Neutrofilia ini
yang bersirkulasi beberapa hari setelah trauma. Pada beberapa jam dan hari
8
peningkatan pembentukan ROS pada kondisi istirahat ataupun sebagai
myristate 13-acetate (PMA). Pada penelitian terbaru oleh Liao dkk yang
pembentukan ROS basal terutama gp91 yang diinduksi trauma kepala dan
pasca trauma. Di samping kontrol yang sehat, neutrofil pada pasien trauma
pada pasien yang menderita trauma bagian tubuh lainnya tanpa trauma
kepala, yang berarti trauma kepala menginisiasi respon oksidatif yang lebih
hilangnya kontrol feedback dari fungsi imun sebagai akibat dari cedera
b. Monosit
yang membentuk 5-10% dari sel imun yang bersirkulasi dan berdasarkan
menjadi 3 tipe berbeda : klasik (CD14++ 16–), non klasik (CD14), atau
9
pada jam dan hari awal setelah trauma kepala, penelitian pada manusia
2,7 kali lebih tinggi dari kontrol dalam 24 jam pasca trauma) merupakan
akibat dari peningkatan semua monosit atau refleksi dari ekspansi subtipe
spesifik yang hingga saat ini belum diketahui. Pada tikus, monosit klasik
monosit yang terisolasi dari pasien trauma kepala segera setelah cedera,
Dalam hitungan hari dan minggu setelah terjadi trauma kepala ringan,
sedang, dan berat, penurunan secara signifikan dari jumlah absolut dan
konsekuensi langsung dari trauma kepala, dan skala luaran Glasgow yang
10
menunjang bahwa perubahan tersebut sebagai konsekuensi langsung dari
hubungan antara status imun dan perbaikan fisiologis. Alasan mengapa pada
vitro, sel NK bersifat membunuh mikroglia yang tidak aktif, yaitu sel seperti
makrofag dari SSP yang saat aktivasinya memproduksi sitokin pro inflamasi
sebagai akibat dari adanya sel NK yang memasuki otak melalui sawar darah
otak yang rusak, dimana mereka akan mempengaruhi jumlah dan fungsi
kepala adalah kematian sel. Seperti yang dilaporkan pada limfosit lainnya,
trauma kepala dapat memicu induksi kematian sel terprogram pada sel NK
11
2. Adaptive immunity
trauma kepala terjadi kerusakan toleransi diri dan sel B menginisiasi sebuah
absolut. Penurunan ini telah diobservasi dalam waktu 24 jam cedera hingga
CD4+ dan sel T sitotoksik. Pada trauma kepala akan terjadi peningkatan
Respon inflamasi yang kuat berkembang pasca trauma kepala akut dan
ditandai dengan aktivasi sel-sel, migrasi dan rekruitment leukosit perifer, dan
12
pelepasan berbagai faktor pro inflamasi termasuk sitokin (IL-1β, IL-6), kemokin
sistem saraf pusat, termasuk astrosit, mikroglia, dan endotel pembuluh darah otak.
Selain DAMPs, respon inflamasi klasik juga terjadi dengan ditandai ekstravasasi
produk darah, pecahan komplemen, dan spesies reaktif oksigen dan nitrogen
dalam beberapa hari, diikuti dengan migrasi mikroglia, astrosit, makrofag dan
limfosit ke lokasi cedera. Respon ini kemudian semakin bertambah. Hazeldine dkk
14 pasca trauma, titik waktu akhir penelitian mereka. Trauma kepala yang ringan
sekali pun berkaitan dengan induksi respon inflamasi, dimana trauma kepala ringan
yang luas pada babi menunjukkan peningkatan aktivasi mikroglia yang berkaitan
dengan cedera aksonal talamus pada 6 jam pasca trauma (Hazeldine dkk., 2015).
ablasi astrosit setelah trauma mekanik pada korteks secara signifikan memperburuk
untuk mengurangi efek eksitasiya, sel glia juga berperan sebagai barier untuk
13
mencegah penyebara molekul-molekul toksik. Namun, sel glia ini dapat pula
memiliki efek inhibisi terhadap regenerasi aksonal di kemudian hari (Hoffman dkk,
2011).
14
Pelepasan neuropeptida ini ikut terlibat dalam inflamasi neurogenik, yaitu suatu
respon neuron yang ditimbulkan gambaran yang tipikal dengan respon inflamasi,
meningkat pada fase akut pasca trauma kepala, baik pada model hewan coba
maupun pada jaringan manusia. Semua pembuluh darah yang tersebar di seluruh
Arteri-arteri serebral memiliki serabut saraf ini dalam jumlah banyak, dan
dilepaskan segera setelah terjadi trauma, dimana peningkatan dalam plasma tampak
pada 30 menit pasca trauma kepala pada tikus. Lebih jauh lagi, peningkatan
pada populasi. Kadar substansia P yang lebih tinggi didapatkan pada pasien trauma
inflamasi klasik, diantaranya aktivasi leukosit, ekspresi molekul untuk adesi sel-sel
15
endotelial, dan produksi mediator-mediator inflamasi seperti histamin, nitrit oksida,
sitokin (seperti IL-6) dan kinin. Substansia P merupakan aktivator sel mast yang
poten, seperti yang tampak pada Gambar 2.1. Sel mast terdapat pada sawar darah
otak dan leptomeningen. Degranulasi dari sel mast akan menimbulkan terjadinya
signifikan menurunkan produksi sitokin IL-6 yang bersifat pro inflamasi, sekaligus
selektif. Pasca trauma kepala, sawar darah otak mengalami kerusakan yang
16
memungkinkan terjadinya ekstravasasi protein dari pembuluh darah serebral ke
respon inflamasi, dan menyebabkan cedera neuron lebih jauh. Aktivitas ini
merupakan perubahan awal pada SDO pasca trauma kepala, yang kemudian diikuti
kepala, terjadi penurunan integritas sawar darah otak, yang terbukti dengan
peningkatan pembentukan vesikuler di sawar darah otak pada pasien trauma kepala
influks imunitas perifer seperti sel T, makrofag, dan neutrofil ke sistem saraf pusat,
yang kemudian lebih jauh lagi meningkatkan respon neuroinflamasi lokal melalui
2.2.1 Definisi
suatu rasa nyeri atau rasa yang tidak enak pada daerah kepala termasuk meliputi
daerah wajah dan tengkuk leher. Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan
17
dengan cedera kepala ringan merupakan nyeri kepala yang muncul pertama kali
setelah trauma, ataupun memberatnya nyeri kepala primer yang sudah dimiliki
sebelum trauma serta adanya perbaikan nyeri kepala setelah penyembuhan dari
trauma. Nyeri kepala pascatrauma dapat berupa migrain, nyeri kepala tipe tegang,
2.2.2 Patofisiologi
1. Sinus kranialis dan vena aferen (sinus venosus dan vena-vena yang
1. Kulit, scalp, otot, tendon, dan fascia daerah kepala dan leher
3. Gigi geligi
5. Arteri ekstrakranial
C. Saraf
18
Nyeri kepala dapat terjadi sebagai akibat dari:
IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF-α) dan nerve growth factor (NGF),
neuron yang rusak melepaskan adenosin trifosfat (ATP) dan proton, sel
sodium (SNS-1, SNS-2) dan peptida yaitu cacitonin gene- related protein
darah dan menembus susunan saraf pusat untuk menghasilkan IL-1a dan
19
melepaskan glutamat dan aktivasi termoreseptor.
5. Traksi pada arteri sirkulus Willisii, sinus venosus serta vena-vena yang
oedema perifokal)
7. Peningkatan TIK yang terjadi akibat bertambahnya volume otak dan adanya
serebeli maupun di atasnya akan menimbulkan rasa nyeri menjalar pada daerah di
depan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan melewati
puncak kepala (frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini ditransmisi oleh
tentorium serebeli yaitu pada fossa kranii posterior, radiks servikalis bagian atas
belakang garis tersebut (oksipital, suboksipital, servikal bagian atas). Nyeri ini
ditransmisi oleh nervus IX, X dan saraf spinal C1, C2, C3. Terkadang radiks
20
servikalis bagian atas dapat menjalarkan nyeri ke frontal dan mata ipsilateral
pemberian stimulasi pada nervus supraorbital dan direkam dengan elektrode yang
dorsalis segmen servikal atas sehingga menunjukkan bahwa nyeri di daerah leher
dapat dirasakan atau diteruskan ke arah kepala atau sebaliknya. Refleks ini juga
menunjukkan adanya keterlibatan batang otak yaitu dengan munculnya rasa nyeri
Anamnesis spesifik:
a. Awitan nyeri bersifat akut, sub akut atau kronis. Nyeri kepala berat yang
b. Lokasi nyeri kepala (bilateral atau unilateral). Nyeri kepala yang bersifat
21
kepala klaster, neuralgia trigeminal, nyeri kepala yang berkaitan dengan
intrakranil pada salah satu hemisfer serebri. Nyeri kepala yang bersifat
d. Durasi serangan nyeri kepala. Dapat dinyatakan dalam menit, jam ataupun
kepala vaskuler misalnya pada migren, hipertensi atau yang terkait dengan
demam atau infeksi sistemik. Nyeri kepala seperti terikat atau tertekan
benda berat terdapat pada nyeri kepala tipe tegang. Nyeri kepala seperti
f. Kualitas nyeri kepala, dirasakan berat atau tidak. Selama nyeri kepala
g. Saat timbul nyeri kepala. Nyeri kepala klaster dapat timbul siang atau
malam hari dan sering membangunkan pasien pada 1-2 jam setelah tidur.
Migren timbul saat bangun pagi atau membangunkan pasien dini hari.
h. Gejala yang mendahului. Pada migren klasik terdapat gejala awal berupa
22
trigeminal. Nyeri kepala tipe tegang dan migren dapat dicetuskan oleh
2.2.4 Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher
Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher diartikan sebagai
nyeri kepala yang muncul pertama kali setelah trauma. Hal yang menunjang adalah
kepala primer yang sudah dimiliki sebelum trauma, serta adanya perbaikan nyeri
kepala setelah penyembuhan dari trauma. Biasanya nyeri kepala pasca trauma
diikuti oleh gejala lain, seperti dizziness, sulit konsentrasi, gelisah perubahan
semua gejala tersebut, nyeri kepala adalah yang paling dominan (PERDOSSI,
2013).
2013, nyeri kepala akut pascatrauma kepala dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan dengan trauma kapitis sedang
atau berat
23
2. Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan dengan trauma kapitis ringan
Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan dengan trauma kapitis ringan
menit.
(concussion)
2. Nyeri kepala menetap tetapi tidak lebih dari 3 bulan setelah trauma
kepala
2.2.5 Epidemiologi nyeri kepala akut pasca trauma yang berkaitan dengan
nyeri kepala pasca trauma mencapai 71% dari gejala pasca trauma kepala.
tertutup setiap tahunnya, dan sebagian besar kasus merupakan cedera kepala derajat
24
ringan. Semakin ringan derajat cedera kepala maka gejala nyeri kepala pascatrauma
Pasien dengan nyeri kepala pasca trauma dapat menunjukkan beberapa tipe
nyeri kepala, seperti nyeri kepala tipe tension, migren, klaster dan nyeri kepala tipe
campuran yang serupa dengan pasien tanpa riwayat trauma. Browndyke, 2002
menyatakan bahwa nyeri kepala tipe tension merupakan tipe nyeri kepala
pascatrauma yang paling sering. Namun hal berbeda dinyatakan oleh Lucas dkk.,
2012. Dalam studinya yang melibatkan 378 pasien trauma kepala, migren
didapatkan sebagai tipe nyeri kepala yang paling sering dikeluhkan pasca trauma
kepala.
Berdasarkan The International association for The Study of Pain (IASP) nyeri
didefinisikan sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenagkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang
utama yang harus ada untuk disebut nyeri adalah rasa tidak menyenangkan.
itulah suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh dua orang
25
yang berbeda, bahkan suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda
Hal ini juga terjadi pada nyeri kepala pascatrauma. Berbagai faktor berikut yang
dapat mempengaruhi persepsi nyeri kepala pascatrauma antara lain (Potter & Perry,
2009):
1. Usia. Ambang rangsang nyeri pada orang tua lebih tinggi daripada usia
2. Jenis kelamin. Nyeri kepala lebih banyak dialami dan lebih cepat dirasakan
terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, dimana pada seseorang
ambang nyeri dan toleransi terhadap nyeri. Kecemasan dan depresi saling
26
meningkatkan nyeri dan kebutuhan penghilang nyeri pada pasien post
2015).
sebagai suatu kecemasan atau stres secara berlebihan atau secara rasional
akan ditentukan secara genetik. Hal ini dapat diperkuat oleh prilaku ibunya
Maka seseorang akan cenderung mengalami kecemasan atau stres bila salah
nyeri. Selain itu, bagi yang berstatus ekonomi tinggi akan makin mudah
27
9. Amnesia pasca trauma meningkatkan kejadian terjadinya nyeri kepala
otak yang lebih beratsehingga lebih banyak struktur peka nyeri yang
Pemeriksaan darah lengkap biasa dilakukan pada pasien trauma kepala yang masuk
dianggap sebagai prediktor luaran klinis pada berbagai bidang, termasuk nyeri
kepala.
peningkatan kadar protein serum pada fase akut, seperti : C-reactive protein (CRP),
serum amyloid A, fibrinogen, dan CD14 binding protein. Parameter infeksi bakteri
penanda dari infeksi viral dan respon imun selular yang dimediasi interferon
gamma. Populasi imunokompeten sel darah putih : monosit limfosit, dan neutrophil
memiliki peranan penting dalam respon inflamasi sistemik terhadap infeksi berat,
28
politrauma, dan kondisi syok. Belakangan ini, respon imun general terhadap
jumlah limfosit. Penghitungan sel darah putih diferensial mudah dilakukan, tersedia
dimana saja, dan merupakan parameter yang tepat yang dapat digunakan sebagai
Kadar neutrofil dan limfosit didapat dari hitung diferensial leukosit yang
limfositopenia yang terjadi sebagai respon inflamasi akut tersebut menjadi dasar
pengukuran rasio neutrofil dengan limfosit yang dikenal sebagai RNL (Petrone
dkk., 2017).
10
Rasio Neutrofil-Limfosit
0
0-6 jam 24 jam 48 jam Poliklinis
onset trauma
29
Limfositopenia adalah penurunan signifikan dari jumlah limfosit yang
bersirkulasi setelah trauma berat, pembedahan mayor, sepsis berat, dan inflamasi
sistemik.
4
3
2
1
0
0 jam 4 jam 24 jam 48 jam
Onset trauma
7
Limfosit (K/uL)
6
5
4
3
2
1
0
0 jam 4 jam 24 jam 48 jam
Onset trauma
30
Limphopenia juga dideteksi setelah trauma multiple dan merupakan suatu
dan limfosit yang bersirkulasi pada plasma telah diteliti. Limfosit yang bersirkulasi
menurun sekitar 85% dalam waktu 4-6 jam setelah endotoksemia, monosit menurun
sekitar 95% setelah 90 menit dan neutrofil meningkat 300% (Zahorec, 2001).
pada 4 jam setelah trauma kepala. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan
jumlah limfosit, sedangkan jmlah total White Blood Cell (WBC) secara keseluruhan
tidak berubah secara signifikan. Normalisasi alami dari perubahan hematologik ini
Telah diketahui bahwa RNL menunjukkan adanya suatu proses inflamasi. Pada
pathogenesis migren pun didapatkan adanya peranan inflamasi. Sebagai akibat dari
kerusakan neuron, pembuluh darah pada struktur peka nyeri berdilatasi serta
saraf trigeminal di otak mengirimkan sensasi nyeri dari ganglion trigeminal ke otak,
RNL telah dianalisis pada kasus-kasus penyakit jantung dan tumor; dan telah
terbukti berkorelasi terhadap prognosis. Penelitian Acar dkk tahun 2015 merupakan
penelitian pertama tentang penggunaan RNL pada kasus nyeri kepala. Pada
31
penelitian ini didapatkan peningkatan RNL pada pasien migren, dengan nilai RNL
≥1,33 memiliki sensitifitas 84% dan spesifisitas 27,7% dengan rasio kemungkinan
positif 1,16 dan rasio kemungkinan negative 0,58. Pada penelitian lain tentang RNL
pasca trauma kepala ringan didapatkan bahwa nilai RNL ≥4,29 memiliki sensitifitas
90% dan spesifisitas 58% untuk mengidentifikasi adanya proses patologi di otak
Selain RNL, RDW (Red Cell Distribution Width) juga dapat digunakan sebagai
salah satu penanda adanya inflamasi. RDW didapatkan tinggi pada pasien dengan
migraine dibandingkan kelompok kontrol. RDW juga dinilai sebagai faktor risiko
berkorelasi positif terhadap nyeri kepala terutama tipe migren, namun dibutuhkan
32