Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Kepala

2.1.1 Definisi trauma kepala

Trauma kepala atau cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus

Nasional Penanganan Trauma Kapitis didefinisikan sebagai trauma mekanik

terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan

gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik

temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), trauma kepala

adalah suatu trauma kranioserebral, secara spesifik terjadinya cedera pada kepala

(akibat trauma tumpul atau tajam atau akibat daya akselerasi atau deselerasi) yang

terkait dengan gejala akibat cedera tersebut seperti penurunan kesadaran, amnesia,

abnormalitas neurologi atau neuropsikologi lainnya, fraktur tengkorak, lesi

intrakranial atau kematian (CDC, 2010).

2.1.2 Epidemiologi trauma kepala

Berdasarkan data dari National Center for Injury Prevention and Control,

Centers for Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat sekitar 1,7

juta penduduk mengalami trauma kepala dan merupakan penyebab tersering ketiga

(30,5%) dari kematian terkait trauma di Amerika, dengan 52.000 kasus di antaranya

meninggal, 275.000 kasus menjalani perawatan di rumah sakit (CDC, 2010). Di

5
Inggris, trauma kepala merupakan diagnosis primer pada 77.239 pasien yang datang

ke rumah sakit pada periode 2013-2014 (Hazeldine dkk., 2015).

Riskesdas 2013 menunjukkan insiden trauma kepala di Indonesia sebanyak 4

per 100.000 penduduk, dan di Bali dengan angka kejadian yang lebih tinggi yaitu 6

per 100.000 penduduk. Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia

produktif antara 15-44 tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,

2013). Di RSUP Sanglah, penyebab kematian terbanyak oleh karena kecelakaan

adalah multiple trauma (16%), trauma kepala (4%), trauma abdomen (1%) dan

trauma thorak (1%) (Yuniarti, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS Hasan Sadikin dari tahun 2008-

2010 didapatkan trauma kepala sebanyak 3578 kasus, kejadian pada lelaki (79,8%)

lebih tinggi dibandingkan perempuan (20,2%), dengan kelompok umur tertinggi

18-45 tahun (Zamzami dkk, 2013). Data cedera kepala di Rumah Sakit Dr. Wahidin

Sudirohusodo, Makassar pada tahun 2005 berjumlah 861 kasus, tahun 2006

berjumlah 817 kasus, dan tahun 2007 mengalami peningkatan yaitu berjumlah

1.078 kasus (Rawis dkk,2016).

2.1.3 Klasifikasi trauma kepala

Terdapat beberapa klasifikasi trauma kepala. Berdasarkan derajat kesadaran

berdasarkan Skala Koma Glasgow dibagi menjadi : (PERDOSSI, 2006)

1. Minimal : Skala Koma Glasgow 15, gambaran klinik tidak terdapat

pingsan dan defisit neurologi, CT Sken kepala normal.

2. Ringan : Skala Koma Glasgow 13-15, gambaran klinik pingsan kurang

dari 10 menit, tanpa defisit neurologi, CT Sken kepala normal.

6
3. Sedang : Skala Koma Glasgow 9-12, gambaran klinik pingsan lebih

dari 10 menit sampai dengan 6 jam, dengan defisit neurologi, CT sken

kepala abnormal.

4. Berat : Skala Koma Glasgow 3-8, gambaran klinik pingsan lebih dari 6

jam, dengan defisit neurologi, CT Sken abnormal.

Klasifikasi trauma kepala berdasarkan patologi : (PERDOSSI, 2006)

1. Komosio serebri

2. Kontusio serebri

3. Laserasio serebri

Klasifikasi berdasarkan lokasi lesi : (PERDOSSI, 2006)

1. Lesi difus

2. Lesi kerusakan vaskuler otak

3. Lesi fokal

a. Kontusio dan laserasi serebri

b. Hematoma intrakranial

i. Hematoma ekstradural (epidural)

ii. Hematoma subdural

iii. Hematoma intraparenkimal

1. Hematoma subarachnoid

2. Hematoma intraserebral

3. Hematoma intraserebellar

7
2.1.4 Patofisiologi trauma kepala

Didapatkan adanya bukti-bukti bahwa trauma kepala memiliki efek yang signifikan

pada fungsi dan komposisi sel imun sirkulasi:

1. Innate immunity

a. Neutrofil

Neutrofil merupakan leukosit yang paling banyak terdapat pada

sirkulasi dan sel imun pertama yang tiba pada tempat patogenik,

menyebabkan terjadinya mekanisme mikrobisidal seperti pembentukan

ROS dan fagositosis. Setelah trauma kepala, akan terjadi neutrofilia. Baik

sesaat setelah trauma kepala ataupun beberapa hari, penelitian menunjukkan

jumlah absolut dan frekuensi neutrofil meningkat signifikan dibandingkan

nilai normal. Salah satu penelitian melaporkan adanya peningkatan neutrofil

sebesar 4,5 kali dalam waktu 3 jam setelah trauma kepala. Neutrofilia ini

merupakan akibat dari peningkatan serum katekolamin dan glukokortikoid

yang diinduksi trauma kepala. Peningkatan katekolamin akan memicu

masuknya neutrofil ke sirkulasi, sedangkan peningkatan kadar

glukokortikoid akan meningkatkan jumlah dari neutrofil perifer dengan

menstimulasi pelepasannya dari sumsum tulang dan memperpanjang masa

hidup, serta mencegah neutrofil yang di sirkulasi kembali ke sumsum tulang

untuk mengalami klirens. Adanya pemanjangan masa hidup neutrophil yang

diinduksi trauma kepala dapat menjelaskan peningkatan jumlah neutrophil

yang bersirkulasi beberapa hari setelah trauma. Pada beberapa jam dan hari

setelah trauma kepala ringan, sedang, atau berat, neutrofil memperlihatkan

8
peningkatan pembentukan ROS pada kondisi istirahat ataupun sebagai

respon terhadap stimulasi peptide bakteri formyl-methionine-

leucinephenylalanine (fMLP) dan protein kinase C aktivator phorbol 12-

myristate 13-acetate (PMA). Pada penelitian terbaru oleh Liao dkk yang

dikutip oleh Hazeldine dkk tahun 2015 didapatkan peningkatan

pembentukan ROS basal terutama gp91 yang diinduksi trauma kepala dan

secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol dalam 24 jam

pasca trauma. Di samping kontrol yang sehat, neutrofil pada pasien trauma

kepala menghasilkan ROS yang lebih tinggi saat istirahat dan

mengekspresikan jumlah gp91 yang lebih tinggi dibandingkan neutrofil

pada pasien yang menderita trauma bagian tubuh lainnya tanpa trauma

kepala, yang berarti trauma kepala menginisiasi respon oksidatif yang lebih

besar dibandingkan pada pasien tanpa trauma kepala. Mekanisme yang

mendasari respon berlebih ini masih belum diketahui pasti, kemungkinan

hilangnya kontrol feedback dari fungsi imun sebagai akibat dari cedera

susunan saraf pusat (Hazeldine dkk., 2015).

b. Monosit

Monosit adalah populasi heterogen dari blood-borne leukocytes

yang membentuk 5-10% dari sel imun yang bersirkulasi dan berdasarkan

ekspresi permukaan diferensial CD14 dan reseptor Fc CD16, dikategorikan

menjadi 3 tipe berbeda : klasik (CD14++ 16–), non klasik (CD14), atau

intermediate (CD14++16). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada

model murin dimana didapatkan penurunan signifikan dari jumlah monosit

9
pada jam dan hari awal setelah trauma kepala, penelitian pada manusia

menunjukkan trauma kepala menyebabkan peningkatan signifikan dari

jumlah monosit sirkulasi absolute. Apakah peningkatan monosit ini (sekitar

2,7 kali lebih tinggi dari kontrol dalam 24 jam pasca trauma) merupakan

akibat dari peningkatan semua monosit atau refleksi dari ekspansi subtipe

spesifik yang hingga saat ini belum diketahui. Pada tikus, monosit klasik

Ly6C mensekresikan sitokin proinflamasi dan memberikan jalan masuk

makrofag M1 kejaringan dewasa, sedangkan monosit non-klasik Ly6C+

mensekresikan sitokin anti inflamasi IL-10 dan berdiferensiasi menjadi

makrofag antiinflamasi M2. Ekspresi intraseluler IL-10 telah dideteksi pada

monosit yang terisolasi dari pasien trauma kepala segera setelah cedera,

mendukung temuan yang didapatkan pada tikus, bahwa pasien trauma

kepala menunjukkan respon anti-inflamasi pada monosit tersirkulasi

(Hazeldine dkk., 2015).

c. Sel Natural Killer (NK)

Secara fenotip didefinisikan sebagai CD3-56, sel NK adalah limfosit

bergranular besar yang diketahui memiliki peranan dalam mengenali dan

mengeliminasi sel yang terinfeksi virus, keganasan, dan bertransformasi.

Dalam hitungan hari dan minggu setelah terjadi trauma kepala ringan,

sedang, dan berat, penurunan secara signifikan dari jumlah absolut dan

frekuensi sel NK yang bersirkulasi. Pengukuran ini berkorekasi positif

dengan Skala Koma Glasgow menunjang bahwa perubahan tersebut sebagai

konsekuensi langsung dari trauma kepala, dan skala luaran Glasgow yang

10
menunjang bahwa perubahan tersebut sebagai konsekuensi langsung dari

hubungan antara status imun dan perbaikan fisiologis. Alasan mengapa pada

trauma kepala menyebabkan penurunan jumlah sel NK yang bersirkulasi

adalah adanya mekanisme mencegah autoimunitas dan inflamasi SSP. In

vitro, sel NK bersifat membunuh mikroglia yang tidak aktif, yaitu sel seperti

makrofag dari SSP yang saat aktivasinya memproduksi sitokin pro inflamasi

dan memiliki kemampuan untuk memproses dan menunjukkan antigen pada

sel T SSP. Selebihnya, in vivo menunjukkan bahwa sel NK yang tersisa

pada SSP menekan induksi sel proinflamasi Th 17 yang dimediasi

mikroglia. Penurunan jumlah sel NK yang bersirkulasi post trauma kepala

sebagai akibat dari adanya sel NK yang memasuki otak melalui sawar darah

otak yang rusak, dimana mereka akan mempengaruhi jumlah dan fungsi

mikroglial, sel NK akan mencegah amplifikasi proses inflamasi dan

membiarkan kerusakan pada SSP. Mekanisme alternative lain yang dapat

menjelaskan terjadinya penurunan sel NK yang bersirkulasi post trauma

kepala adalah kematian sel. Seperti yang dilaporkan pada limfosit lainnya,

terapi glukokortikoid in vitro menginduksi apoptosis pada sel NK yang

tidak aktif. Sehingga peningkatan serum glokokortikoid yang mengikuti

trauma kepala dapat memicu induksi kematian sel terprogram pada sel NK

yang bersirkulasi,menyebabkan penurunan jumlahnya pada perifer

(Hazeldine dkk., 2015).

11
2. Adaptive immunity

Pada dua penelitian terbaru, autoantibodi spesifik pada protein SSP

dideteksi pada serum pasien trauma kepala, mendukung bahwa setelah

trauma kepala terjadi kerusakan toleransi diri dan sel B menginisiasi sebuah

respon imun melawan antigen-antigen otak (Hazeldine dkk., 2015).

Trauma kepala derajat berat mengakibatkan penurunan signifikan

dari limfosit T yang bersirkulasi baik dari jumlah persentase maupun

absolut. Penurunan ini telah diobservasi dalam waktu 24 jam cedera hingga

4 hari pasca trauma, menyebabkan penurunan signifikan dari sel T Helper

CD4+ dan sel T sitotoksik. Pada trauma kepala akan terjadi peningkatan

kadar katekolamin, sehingga retensi limfosit pada limfa nodus menjadi

salah satu mekanisme yang menjelaskan penurunan signifikan dari sel T

yang bersirkulasi pada pasien trauma kepala. Bersamaan dengan perubahan

jumlah numerik, adanya kerusakan fungsional juga dilaporkan pada sel T

yang bersirkulasi setelah trauma kepala (Hazeldine dkk., 2015).

2.1.4.1 Respon inflamasi klasik pasca trauma kepala

Respon inflamasi yang kuat berkembang pasca trauma kepala akut dan

ditandai dengan aktivasi sel-sel, migrasi dan rekruitment leukosit perifer, dan

pelepasan mediator-mediator inflamasi. Kerusakan seluler akibat benturan secara

mekanik menyebabkan pelepasan sejumlah faktor endogen yang berperan sebagai

Damage-Associated Molecular Patterns (DAMPs). Faktor-faktor endogen ini

berikatan dengan Toll-Like Receptors (TLRs) dan mengaktifkan jalur nuclear-

factor-κB (NFκB) dan Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) sehingga terjadi

12
pelepasan berbagai faktor pro inflamasi termasuk sitokin (IL-1β, IL-6), kemokin

dan reseptor-reseptor imun. Golongan TLR diekspresikan oleh sejumlah sel di

sistem saraf pusat, termasuk astrosit, mikroglia, dan endotel pembuluh darah otak.

Selain DAMPs, respon inflamasi klasik juga terjadi dengan ditandai ekstravasasi

produk darah, pecahan komplemen, dan spesies reaktif oksigen dan nitrogen

(Corrigan dkk, 2016).

Sel-sel imun direkrut ke daerah cedera melalui pelepasan kemokin dari

jaringan neuron yang mengalami kerusakan. Infiltrasi neutrofil mencapai puncak

dalam beberapa hari, diikuti dengan migrasi mikroglia, astrosit, makrofag dan

limfosit ke lokasi cedera. Respon ini kemudian semakin bertambah. Hazeldine dkk

(2015) mengungkapkan bahwa jumlah mikroglia tertinggi didapatkan pada hari ke

14 pasca trauma, titik waktu akhir penelitian mereka. Trauma kepala yang ringan

sekali pun berkaitan dengan induksi respon inflamasi, dimana trauma kepala ringan

yang luas pada babi menunjukkan peningkatan aktivasi mikroglia yang berkaitan

dengan cedera aksonal talamus pada 6 jam pasca trauma (Hazeldine dkk., 2015).

Fungsi dari respon inflamasi ini bisa jadi merugikan ataupun

menguntungkan. Mikroglia dan astrosit dapat berperan sebagai neuroprotektan

segera setelah trauma dengan membersihkan sel-sel debris melalui fagositosis,

melepaskan sitokin-sitokin anti inflamasi dan faktor-faktor neuro tropik. Misalnya,

ablasi astrosit setelah trauma mekanik pada korteks secara signifikan memperburuk

neuron loss di daerah tersebut (Corrigan dkk, 2016).

Peran protektif astrosit pasca trauma antara lain pembersihan glutamat

untuk mengurangi efek eksitasiya, sel glia juga berperan sebagai barier untuk

13
mencegah penyebara molekul-molekul toksik. Namun, sel glia ini dapat pula

memiliki efek inhibisi terhadap regenerasi aksonal di kemudian hari (Hoffman dkk,

2011).

2.1.4.2 Inflamasi Neurogenik

Gambar 2.1 menunjukkan skema aktivasi neuron-neuron sensoris yang

tidak bermielin oleh rangsangan noxious menyebabkan terjadinya pelepasan

neuropeptida secara simultan, misalnya substansia P, neurokinin A (NKA),

neurokinin B (NKB), dan calsitonin gene-related peptide (CGRP).

Gambar 2.1 Interaksi antara respon inflamasi klasik dan neurogenik

pasca trauma kepala (Corrigan dkk, 2016)

14
Pelepasan neuropeptida ini ikut terlibat dalam inflamasi neurogenik, yaitu suatu

respon neuron yang ditimbulkan gambaran yang tipikal dengan respon inflamasi,

termasuk vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. CGRP yang paling

bertanggung jawab dalam meningkatkan vasodilatasi, sementara substansia P

menginduksi ekstravasasi plasma dan juga menyebabkan vasodilatasi dalam waktu

singkat. Walaupun NKA, NKB dan substansia P bekerja secara sinergis,

peningkatan permeabilitas kapiler pada dasarnya dimediasi oleh substansia P

(Corrigan dkk, 2016).

2.1.4.2.1 Peran substansia P pasca trauma kepala

Banyak penelitian telah mengungkapkan bahwa kadar substansia P

meningkat pada fase akut pasca trauma kepala, baik pada model hewan coba

maupun pada jaringan manusia. Semua pembuluh darah yang tersebar di seluruh

tubuh dilingkupi oleh serabut-serabut sensoris yang mengandung substansia P.

Arteri-arteri serebral memiliki serabut saraf ini dalam jumlah banyak, dan

penelitian tentang trauma kepala telah menunjukkan peningkatan aktivitas

substansia P perivaskular pada model hewan coba maupun manusia. Substansia P

dilepaskan segera setelah terjadi trauma, dimana peningkatan dalam plasma tampak

pada 30 menit pasca trauma kepala pada tikus. Lebih jauh lagi, peningkatan

aktivitas substansia P pasca trauma kepala berkorelasi dengan tingkat mortalitas

pada populasi. Kadar substansia P yang lebih tinggi didapatkan pada pasien trauma

kepala yang berakhir dengan kematian (Hazeldine dkk., 2015).

Substansia P menginduksi dan meningkatkan beberapa aspek respon

inflamasi klasik, diantaranya aktivasi leukosit, ekspresi molekul untuk adesi sel-sel

15
endotelial, dan produksi mediator-mediator inflamasi seperti histamin, nitrit oksida,

sitokin (seperti IL-6) dan kinin. Substansia P merupakan aktivator sel mast yang

poten, seperti yang tampak pada Gambar 2.1. Sel mast terdapat pada sawar darah

otak dan leptomeningen. Degranulasi dari sel mast akan menimbulkan terjadinya

eksitotoksisitas yang kemudian meningkatkan dan memperpanjang waktu

terjadinya aktivitas vasogenik, neurogenik, serta imunitas seluler dan molekuler

sebagai respon terhadap cedera (Corrigan dkk, 2016).

Substansia P juga secara langsung mengaktivasi mikroglia dan astrosit.

Cedera menginduksi ekpresi reseptor NK-1 pada astrosit, dan aktivasinya

diperkirakan turut berkontribusi pada transformasi astrosit menjadi bentuk reaktif,

serta memproduksi mediator-mediator inflamasi seperti sitokin, prostaglandin, dan

derivat-derivat tromboksan. Substansia P juga dapat meningkatkan aktivasi

mikroglia, menginisiasi signaling melalui jalur NFκB, yang akan menyebabkan

produksi sitokin-sitokin pro inflamasi. Mikroglia memproduksi IL-1 sebagai respon

terhadap substansia P. Pasca trauma kepala, antagonis NK-1 tampak secara

signifikan menurunkan produksi sitokin IL-6 yang bersifat pro inflamasi, sekaligus

menurunkan proliferasi mikroglia (Corigan dkk., 2016).

Selain secara langsung meningkatkan respon inflamasi klasik didaerah

cedera, substansia P juga dapat berperan untuk membuat respon inflamasi

berlangsung terus-menerus. Sawar darah otak merupakan pemisah yang sangat

selektif. Pasca trauma kepala, sawar darah otak mengalami kerusakan yang

melibatkan tight junction dan peningkatan transitosis dan perubahan meteri-materi

transport. Peningkatan permeabilitas transeluler sawar darah otak (SDO)

16
memungkinkan terjadinya ekstravasasi protein dari pembuluh darah serebral ke

ruang ekstraseluler, menyebabkan terbentuknya edema, memperpanjang waktu

respon inflamasi, dan menyebabkan cedera neuron lebih jauh. Aktivitas ini

merupakan perubahan awal pada SDO pasca trauma kepala, yang kemudian diikuti

hilangnya tight junction dan pergerakan melalui jalur paraseluler. Penelitian

ultrastruktural telah menunjukkan bahwa dalam hitungan menit pasca trauma

kepala, terjadi penurunan integritas sawar darah otak, yang terbukti dengan

peningkatan pembentukan vesikuler di sawar darah otak pada pasien trauma kepala

(Hazeldine dkk., 2015).

Substansia P diketahui menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar

darah otak yang mengakibatkan peningkatan ekstravasasi protein vaskular ke ruang

ekstraseluler. Pelepasan substansia P pasca trauma kepala dapat memfasilitasi

influks imunitas perifer seperti sel T, makrofag, dan neutrofil ke sistem saraf pusat,

yang kemudian lebih jauh lagi meningkatkan respon neuroinflamasi lokal melalui

produksi sitokin-sitokin pro inflamasi, reaktive oxigen species (ROS), dan

metaloproteinase. Proses inflamasi neurogenik inilah yang banyak berperan pada

nyeri kepala pasca trauma kepala (Corrigan dkk., 2016).

2.2 Nyeri Kepala

2.2.1 Definisi

Nyeri kepala berdasarkan Konsensus Nasional IV Kelompok Studi Nyeri

Kepala Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2013 adalah

suatu rasa nyeri atau rasa yang tidak enak pada daerah kepala termasuk meliputi

daerah wajah dan tengkuk leher. Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan

17
dengan cedera kepala ringan merupakan nyeri kepala yang muncul pertama kali

setelah trauma, ataupun memberatnya nyeri kepala primer yang sudah dimiliki

sebelum trauma serta adanya perbaikan nyeri kepala setelah penyembuhan dari

trauma. Nyeri kepala pascatrauma dapat berupa migrain, nyeri kepala tipe tegang,

ataupun nyeri kepala klaster.

2.2.2 Patofisiologi

Struktur bangunan peka nyeri di kepala (Headache Council, 2000) :

A. Struktur intrakranial meliputi

1. Sinus kranialis dan vena aferen (sinus venosus dan vena-vena yang

mensuplai sinus-sinus tersebut)

2. Arteri dari duramater (arteri meningea media)

3. Arteri yang membentuk sirkulus Willisi dan cabang-cabang besarnya.

4. Sebagian duramater yang berdekatan dengan pembuluh darah terutama yang

terletak di basis fossa kranii anterior dan posterior serta meningen.

B. Struktur ekstrakranial meliputi

1. Kulit, scalp, otot, tendon, dan fascia daerah kepala dan leher

2. Mukosa sinus paranasalis dan cavum nasi

3. Gigi geligi

4. Telinga luar dan tengah

5. Arteri ekstrakranial

C. Saraf

1. N. Trigeminus, N. Fascialis, N. Glossofaringeus, N. Vagus

2. Saraf spinal servikal 1,2,3

18
Nyeri kepala dapat terjadi sebagai akibat dari:

1. Inflamasi pada struktur bangunan peka nyeri intrakranial maupun

ekstrakranial, ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari berbagai

neuron di sekitar daerah injury, dimana makrofag melepaskan sitokin yaitu

IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF-α) dan nerve growth factor (NGF),

neuron yang rusak melepaskan adenosin trifosfat (ATP) dan proton, sel

mast melepaskan histamin, prostaglandin, serotonin dan asam arakidonat

yang memiiki kemampuan melakukan sensitisasi terminal neuron. Terjadi

pula proses upregulasi beberapa reseptor yaitu VR-1, sensory spesific

sodium (SNS-1, SNS-2) dan peptida yaitu cacitonin gene- related protein

(CGRP) dan substansi P.

Nyeri akibat inflamasi disebabkan oeh sensitisasi sentral dan peningkatan

input noxious perifer. Sebagai penambah pencetus sensitisasi dari aferen

primer, proses inflamasi menghasilkan sinyal kimiawi yang memasuki

darah dan menembus susunan saraf pusat untuk menghasilkan IL-1a dan

ekspresi cyclooxigenase (COX) di susunan saraf pusat. Aktivitas COX

merangsang produksi prostaglandin (PGE2) di daerah injury dan setelah

diinduksi di susunan saraf pusat. Hal ini berkontribusi terhadap

perkembangan nyeri inflamasi.

2. Inflamasi neurogenik steril selanjutnya akan mengakibatkan proses

vasodilatasi dan ekstravasasi plasma protein yang mengikuti pelepasan

peptida vasoaktif CGRP, substansi P dan NKA dari nerve ending.

3. Aktivasi mekanoreseptor pada ujung terminal saraf sensoris vaskuler untuk

19
melepaskan glutamat dan aktivasi termoreseptor.

4. Distensi atau diatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstranial

5. Traksi pada arteri sirkulus Willisii, sinus venosus serta vena-vena yang

mensuplai sinus tersebut dan arteri meningea media

6. Pergeseran bangunan peka nyeri karena suatu desakan (massa, kista,

oedema perifokal)

7. Peningkatan TIK yang terjadi akibat bertambahnya volume otak dan adanya

obstruksi cairan serebro spinal (CSS) dan sistem vena.

8. Kontraksi kronik otot-otot kepala dan leher.

9. Tekanan langsung pada saraf-saraf yang mengandung serabut-serabut untuk

rasa nyeri di daerah kepala.

Semua penyebab nyeri kepala ini menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral di

nosiseptor meningeal dan neuron ganglion trigeminale, sehingga muncul persepsi

nyeri kepala (PERDOSSI, 2004).

Pemberian rangsang pada struktur peka nyeri yang terletak di tentorium

serebeli maupun di atasnya akan menimbulkan rasa nyeri menjalar pada daerah di

depan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan melewati

puncak kepala (frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini ditransmisi oleh

nervus trigeminus. Sedangkan rangsangan terhadap struktur peka nyeri di bawah

tentorium serebeli yaitu pada fossa kranii posterior, radiks servikalis bagian atas

dengan cabang-cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri di daerah

belakang garis tersebut (oksipital, suboksipital, servikal bagian atas). Nyeri ini

ditransmisi oleh nervus IX, X dan saraf spinal C1, C2, C3. Terkadang radiks

20
servikalis bagian atas dapat menjalarkan nyeri ke frontal dan mata ipsilateral

melalui refleks Trigeminoservikal. Refleks ini dapat dibuktikan dengan cara

pemberian stimulasi pada nervus supraorbital dan direkam dengan elektrode yang

dipasang pada otot sternokleidomastoideus. Input eksteroseptif dan nosiseptif

refleks trigeminoservikal ditransmisikan melalui rute polisinaptik, termasuk

nukleus spinal trigeminal lalu mencapai motorneuron servikal. Hal ini

menunjukkan adanya hubungan erat antara inti-inti trigeminus dengan radiks

dorsalis segmen servikal atas sehingga menunjukkan bahwa nyeri di daerah leher

dapat dirasakan atau diteruskan ke arah kepala atau sebaliknya. Refleks ini juga

menunjukkan adanya keterlibatan batang otak yaitu dengan munculnya rasa nyeri

kepala, mual dan muntah (Milanov, 2003).

2.2.3 Diagnosis Nyeri Kepala

Diagnosis nyeri kepala ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaat fisi

neurologis, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis spesifik:

a. Awitan nyeri bersifat akut, sub akut atau kronis. Nyeri kepala berat yang

timbul mendadak untuk pertama kalinya, disertai dengan gangguan

kesadaran atau defisit neurologis lainnya akan menimbulkan kecurigaan

adanya perdarahan subarachnoid atau meningitis. Nyeri kepala yang sudah

berlangsung lama akan menimbulkan kecurigaan adanya nyeri vaskuler,

nyeri kepala tipe tegang atau akibat tumor otak.

b. Lokasi nyeri kepala (bilateral atau unilateral). Nyeri kepala yang bersifat

unilateral memberikan kecurigaan adanya migren (pada 2/3 kasus), nyeri

21
kepala klaster, neuralgia trigeminal, nyeri kepala yang berkaitan dengan

gangguan pada mata atau sinus paranasal, maupun pada neoplasma

intrakranil pada salah satu hemisfer serebri. Nyeri kepala yang bersifat

bilateral memberikan kecurigaan adanya migren (pada 1/3 kasus),

hidrosefalus karena neoplasma intrakranial atau nyeri kepala tipe tegang.

c. Frekuensi nyeri kepala, khususnya untuk nyeri kepala yang berulang.

d. Durasi serangan nyeri kepala. Dapat dinyatakan dalam menit, jam ataupun

hari lamanya serangan nyeri kepala.

e. Kualitas nyeri kepala. Nyeri kepala yang berdenyut menunjukkan nyeri

kepala vaskuler misalnya pada migren, hipertensi atau yang terkait dengan

demam atau infeksi sistemik. Nyeri kepala seperti terikat atau tertekan

benda berat terdapat pada nyeri kepala tipe tegang. Nyeri kepala seperti

tertusuk-tusuk didapatkan pada neuralgia trigeminal.

f. Kualitas nyeri kepala, dirasakan berat atau tidak. Selama nyeri kepala

mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan atau naik tangga.

g. Saat timbul nyeri kepala. Nyeri kepala klaster dapat timbul siang atau

malam hari dan sering membangunkan pasien pada 1-2 jam setelah tidur.

Migren timbul saat bangun pagi atau membangunkan pasien dini hari.

h. Gejala yang mendahului. Pada migren klasik terdapat gejala awal berupa

gangguan visus, gangguan lapangan, skotoma atau gangguan neurologis

lainnya seperti parastesia.

i. Faktor pencetus. Area wajah yang diusap atau disentuh, berbicara,

memengunyah, menelan, tiupan angin dapat mencetuskan nyeri neuralgia

22
trigeminal. Nyeri kepala tipe tegang dan migren dapat dicetuskan oleh

makanan tertentu seperti coklat, keju dan jeruk.

j. Gejala yang menyertai migren sering disertai anoreksia, muntah atau

fotofobia. Nyeri kepala klaster disertai gangguan vegetatif ipsilateral seperti

keluar air mata, lendir dari hidung atau hidung tersumbat.

k. Faktor yang memperberat atau memperingan. Nyeri kepala vaskuler apapun

penyebabnya akan semakin berat dengan goncangan, gerakan kepala

mendadak, batuk, bersin maupun mengedan.

2.2.4 Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher

Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher diartikan sebagai

nyeri kepala yang muncul pertama kali setelah trauma. Hal yang menunjang adalah

waktu munculnya nyeri sangat berdekatan dengan trauma, memberatnya nyeri

kepala primer yang sudah dimiliki sebelum trauma, serta adanya perbaikan nyeri

kepala setelah penyembuhan dari trauma. Biasanya nyeri kepala pasca trauma

diikuti oleh gejala lain, seperti dizziness, sulit konsentrasi, gelisah perubahan

prilaku, dan insomnia yang diistilahkansebagai sindrom pascatrauma. Namun dari

semua gejala tersebut, nyeri kepala adalah yang paling dominan (PERDOSSI,

2013).

Berdasarkan Konsensus Nasional IV Kelompok Studi Nyeri Kepala

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi Nyeri Kepala PERDOSSI)

2013, nyeri kepala akut pascatrauma kepala dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan dengan trauma kapitis sedang

atau berat

23
2. Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan dengan trauma kapitis ringan

Nyeri kepala akut pascatrauma yang berkaitan dengan trauma kapitis ringan

memiliki kriteria diagnosis sebagai berikut:

A. Nyeri kepala tidak khas, memenuhi kriteria C dan D

B. Trauma kepala dengan semua keadaan berikut ini:

1. Tidak disertai hilangnya kesadaran, atau kesadaran menurun <30

menit.

2. Skala Koma Glasgow (SKG) ≥13

3. Gejala dan/atau tanda-tanda diagnostik dari trauma kepala ringan

(concussion)

C. Nyeri kepala timbul dalam 7 hari setelah trauma kepala

D. Terdapat satu atau lebih keadaan di bawah ini:

1. Nyeri kepala menghilang dalam 3 bulan setelah trauma kepala

2. Nyeri kepala menetap tetapi tidak lebih dari 3 bulan setelah trauma

kepala

2.2.5 Epidemiologi nyeri kepala akut pasca trauma yang berkaitan dengan

Trauma kepala ringan

Studi retrospektif melapaorkan 30-90% kejadian nyeri kepala akut

pascatrauma dari seluruh kejadian. Hoffman dkk., melaporkan insiden kumulatif

nyeri kepala pasca trauma mencapai 71% dari gejala pasca trauma kepala.

Diperkirakan sekitar 2 juta orang di Amerika Serikat mengalami cedera kepala

tertutup setiap tahunnya, dan sebagian besar kasus merupakan cedera kepala derajat

24
ringan. Semakin ringan derajat cedera kepala maka gejala nyeri kepala pascatrauma

akan lebih sering didapatkan (Browndyke, 2002).

Pasien dengan nyeri kepala pasca trauma dapat menunjukkan beberapa tipe

nyeri kepala, seperti nyeri kepala tipe tension, migren, klaster dan nyeri kepala tipe

campuran yang serupa dengan pasien tanpa riwayat trauma. Browndyke, 2002

menyatakan bahwa nyeri kepala tipe tension merupakan tipe nyeri kepala

pascatrauma yang paling sering. Namun hal berbeda dinyatakan oleh Lucas dkk.,

2012. Dalam studinya yang melibatkan 378 pasien trauma kepala, migren

didapatkan sebagai tipe nyeri kepala yang paling sering dikeluhkan pasca trauma

kepala.

2.2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri kepala pascatrauma

Berdasarkan The International association for The Study of Pain (IASP) nyeri

didefinisikan sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak

menyenagkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang

dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan. Dari definisi tersebut

dapat ditarik pengertian antara lain (Potter & Perry, 2005) :

1. Nyeri adalah sensori subjektif yang tidak menyenangkan, artinya unsur

utama yang harus ada untuk disebut nyeri adalah rasa tidak menyenangkan.

2. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, artinya

persepsi nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan status

emosionalnya. Persepsi nyeri sangat bersifat pribadi dan subjektif. Karena

itulah suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh dua orang

25
yang berbeda, bahkan suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda

oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda.

Hal ini juga terjadi pada nyeri kepala pascatrauma. Berbagai faktor berikut yang

dapat mempengaruhi persepsi nyeri kepala pascatrauma antara lain (Potter & Perry,

2009):

1. Usia. Ambang rangsang nyeri pada orang tua lebih tinggi daripada usia

muda. Nyeri yang mereka rasakan sangat kompleks, karena mereka

umumnya memiliki berbagai macam penyakit dengan gejala yang sering

kali sama dengan bagian tubuh yang lain

2. Jenis kelamin. Nyeri kepala lebih banyak dialami dan lebih cepat dirasakan

oleh perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 5:4.

3. Tingkat pendidikan. Angka kejadian nyeri kepala baik pada perempuan

ataupun laki-laki, semakin meningkat seiring dengan tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan memberikan pengaruh dalam memberikan respon

terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, dimana pada seseorang

dengan pendidikan tinggi akan memberikan respon lebih rasional daripada

yang berpendidikan menengah ke bawah. Hal ini selanjutnya akan

menunjukkan kesadaran dan usaha pencapaian atau peningkatan derajat

kesehatan yang lebih baik pada yang berpendidikan tinggi.

4. Tingkat kecemasan dan/atau depresi. Faktor kecemasan akan menurunkan

ambang nyeri dan toleransi terhadap nyeri. Kecemasan dan depresi saling

bertumpangtidih, dimana kecemasan dalam derajat berat akan menimbulkan

depresi. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa kecemasan

26
meningkatkan nyeri dan kebutuhan penghilang nyeri pada pasien post

operasi. Kecemasan juga dikatakan menurunkan daya tahan terhadap nyeri

(Karabulut dan Cetinkaya, 2011). Penelitian oleh Marshala dkk juga

mendapatkan rendahnya ambang nyeri dan toleransi terhadap nyeri pada

pasien dengan depresi berat dibandingkan kelompok kontrol (Marshal dkk,

2015).

5. Pengalaman hidup. Kemampuan seseorang menerima pengalaman hidup

sebagai suatu kecemasan atau stres secara berlebihan atau secara rasional

akan ditentukan secara genetik. Hal ini dapat diperkuat oleh prilaku ibunya

yaitu tentang bagaimana ibunya dalam merespon suatu pengalaman hidup.

Maka seseorang akan cenderung mengalami kecemasan atau stres bila salah

satu orangtuanya, kebanyakan dari ibunya, juga memiliki tingkat

kecemasan yang tinggi.

6. Faktor sosiokultural, ekonomi dan psikososial. Faktor ini dapat menjadi

sumber stresor yang kemudian menurunkan ambang rangsang terhadap

nyeri. Selain itu, bagi yang berstatus ekonomi tinggi akan makin mudah

memilih pelayanan kesehatan, begitu pula sebaliknya.

7. Pengalam nyeri kepala sebelumnya, terutama nyeri kepala yang berkaitan

dengan trauma kepala.

8. Anemia defisiensi besi merupakan salah satu komorboditas yang

berhubungan dengan nyeri kepala. Beberapa penelitian menyatakan

bahwa metabolisme zat besi mungkin berperan pada patofisiologi nyeri

kepala. (Selen, et al., 2016).

27
9. Amnesia pasca trauma meningkatkan kejadian terjadinya nyeri kepala

secara bermakna. Ini disebabkan karena pada amnesia terjadi kerusakan

otak yang lebih beratsehingga lebih banyak struktur peka nyeri yang

terangsang (Yuliani dkk, 2013).

10. Kelainan pada CT Scan Kepala memiliki hubungan bermakna dengan

terjadinya nyeri kepala pascatrauma. Adanya fraktur tulang kepala,

perdarahan intraserebral dan edema serebri juga didapatkan bermakna

meningkatkan risiko terjadinya nyeri kepala pasca trauma dibandingkan

dengan subyek tanpa kelainan tersebut (Yuliani dkk, 2013).

2.3 RNL pada Trauma kepala

RNL merupakan suatu parameter yang mudah dikerjakan dan murah.

Pemeriksaan darah lengkap biasa dilakukan pada pasien trauma kepala yang masuk

ke rumah sakit. Parameter ini merupakan pengukuran inflamasi sistemik dan

dianggap sebagai prediktor luaran klinis pada berbagai bidang, termasuk nyeri

kepala.

Inflamasi sistemik dikarakteristikkan dengan demam, leukositosis, dan

peningkatan kadar protein serum pada fase akut, seperti : C-reactive protein (CRP),

serum amyloid A, fibrinogen, dan CD14 binding protein. Parameter infeksi bakteri

dan inflamasi sistemik berat mencakup serum procalcitonin dan neopterin ó

penanda dari infeksi viral dan respon imun selular yang dimediasi interferon

gamma. Populasi imunokompeten sel darah putih : monosit limfosit, dan neutrophil

memiliki peranan penting dalam respon inflamasi sistemik terhadap infeksi berat,

28
politrauma, dan kondisi syok. Belakangan ini, respon imun general terhadap

endotoksemia ditunjukkan dengan peningkatan jumlah neutrofil dan penurunan

jumlah limfosit. Penghitungan sel darah putih diferensial mudah dilakukan, tersedia

dimana saja, dan merupakan parameter yang tepat yang dapat digunakan sebagai

indeks keparahan sepsis (inflamasi sistemik) (Zahorec, 2001).

Kadar neutrofil dan limfosit didapat dari hitung diferensial leukosit yang

merupakan salah satu komponen pemeriksaan darah rutin. Neutrofilia dan

limfositopenia yang terjadi sebagai respon inflamasi akut tersebut menjadi dasar

pengukuran rasio neutrofil dengan limfosit yang dikenal sebagai RNL (Petrone

dkk., 2017).

Rasio Neutrofil Limfosit Pasca Trauma Kepala


12

10
Rasio Neutrofil-Limfosit

0
0-6 jam 24 jam 48 jam Poliklinis
onset trauma

Cedera Kepala Ringan Cedera Kepala Berat

Gambar 2.31 Rasio Neutrofil Limfosit Pasca Trauma Kepala

(Petrone dkk., 2017)

29
Limfositopenia adalah penurunan signifikan dari jumlah limfosit yang

bersirkulasi setelah trauma berat, pembedahan mayor, sepsis berat, dan inflamasi

sistemik.

Neutrofil Pasca Trauma


5
Neutrofil (K/uL)

4
3
2
1
0
0 jam 4 jam 24 jam 48 jam
Onset trauma

Cedera Kepala Ringan Cedera Ekor

Gambar 2.32 Perubahan Neutrofil Pascatrauma pada Hewan Coba

(Hsieh dkk., 2016)

Limfosit Pasca Trauma

7
Limfosit (K/uL)

6
5
4
3
2
1
0
0 jam 4 jam 24 jam 48 jam
Onset trauma

Cedera Kepala Ringan Cedera Ekor

Gambar 2.33 Perubahan Limfosit Pascatrauma pada Hewan Coba

(Hsieh dkk., 2016)

30
Limphopenia juga dideteksi setelah trauma multiple dan merupakan suatu

imunosupresi selular yang dapat menyebabkan berkembangnya Systemic

Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Perubahan serial dari neutrofil, monosit,

dan limfosit yang bersirkulasi pada plasma telah diteliti. Limfosit yang bersirkulasi

menurun sekitar 85% dalam waktu 4-6 jam setelah endotoksemia, monosit menurun

sekitar 95% setelah 90 menit dan neutrofil meningkat 300% (Zahorec, 2001).

Studi lain mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah neutrophil mulai terjadi

pada 4 jam setelah trauma kepala. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan

jumlah limfosit, sedangkan jmlah total White Blood Cell (WBC) secara keseluruhan

tidak berubah secara signifikan. Normalisasi alami dari perubahan hematologik ini

terjadi dalam 48 jam (Hsieh dkk, 2016).

2.4 RNL pada Nyeri Kepala

Telah diketahui bahwa RNL menunjukkan adanya suatu proses inflamasi. Pada

pathogenesis migren pun didapatkan adanya peranan inflamasi. Sebagai akibat dari

kerusakan neuron, pembuluh darah pada struktur peka nyeri berdilatasi serta

mengaktifkan saraf trigeminal sehingga menimbukan nyeri. Di sisi lain, aktivasi

saraf trigeminal di otak mengirimkan sensasi nyeri dari ganglion trigeminal ke otak,

sekaligus mengakibatkan terjadinya inflamasi neurogenik.

RNL telah dianalisis pada kasus-kasus penyakit jantung dan tumor; dan telah

terbukti berkorelasi terhadap prognosis. Penelitian Acar dkk tahun 2015 merupakan

penelitian pertama tentang penggunaan RNL pada kasus nyeri kepala. Pada

31
penelitian ini didapatkan peningkatan RNL pada pasien migren, dengan nilai RNL

≥1,33 memiliki sensitifitas 84% dan spesifisitas 27,7% dengan rasio kemungkinan

positif 1,16 dan rasio kemungkinan negative 0,58. Pada penelitian lain tentang RNL

pasca trauma kepala ringan didapatkan bahwa nilai RNL ≥4,29 memiliki sensitifitas

90% dan spesifisitas 58% untuk mengidentifikasi adanya proses patologi di otak

(Acar dkk, 2015).

Selain RNL, RDW (Red Cell Distribution Width) juga dapat digunakan sebagai

salah satu penanda adanya inflamasi. RDW didapatkan tinggi pada pasien dengan

migraine dibandingkan kelompok kontrol. RDW juga dinilai sebagai faktor risiko

yang independen terhadap migraine. Peningkatan RDW >13,2% dikatakan

berkorelasi positif terhadap nyeri kepala terutama tipe migren, namun dibutuhkan

penelitian lebih lanjut untuk memahami patofisiologinya (Celikbilek dkk, 2013).

32

Anda mungkin juga menyukai