Anda di halaman 1dari 22

TUGAS CBD 1

“TINEA KORPORIS ET KRURIS”

Oleh :
Nurulia Astri 1618012125

Perceptor :
dr. Dwi Indria Anggraini, M.Sc, Sp.K.K.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN


RSUD DR H ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
Pertanyaan :

1. Jelaskan sumber penularan dari tinea korporis ?


2. Jelaskan mengapa memilih kortikosteroid sistemiknya menggunakan
ketokonazol ?
3. Jelaskan cara perhitungan jumlah kortikosteroid topical yakni koetokonazol
2% dalam sekali penggunaan / pengolesan ?
Jawaban :

1. Jelaskan sumber penularan dari tinea korporis ?

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:


1. Antropofilik,
Transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak
langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik,
dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent“carrier”).
2. Zoofilik,
Transmisi dari hewan ke manusia.Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak
langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian,
atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur hewan, tempat
makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing,
kucing, sapi, kuda dan mencit.

3. Geofilik,
Transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia
dan menimbulkan reaksi radang

Sumber :

1. Rippon JW. 1988. Medical Mycology The Pathogenic Fungi.3rd ed.


Philadelphia : WB Saunders Company.
2. Verma S, Hefferman MP. 2008. Superficial Fungal
Infection:Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In:
Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell O,
editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill. p. 1807–21.
3. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor. 2002. Etiologi dan
Patogenesis Dermatomikosis Superfisialis. Simposium
Penatalaksanaan Dermatomikosis Superfisialis Masa Kini. Surabaya,
Indonesia.
4. Wollf K, Johnson RA, Suurmond D. 2005. Fitzpatrick’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology.5 th ed. New York: McGraw-
Hill
2 Jelaskan mengapa memilih kortikosteroid sistemiknya menggunakan
ketokonazol ?

Pemberian obat anti jamur sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi


jamur superfisial dan sistemik (deep mikosis), obat-obat tersebut yaitu :

GRISEOFULVIN
Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies
Penicilium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai anti jamur pada
tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobata n infeksi dermatofita
pada hewan. Pada tahun 1959, diketahui griseofulvin ternyata efektif untuk
pengobatan infeksi jamur superfisial pada manusia. Griseofulvin merupakan
obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan
dermatofitosis.

Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang bersifat fungistatik, berikatan
dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur. Aktifitas
spektrum Griseofulvin mempunyai aktifitas spectrum yang terbatas hanya
untuk spesies Epidermophyton floccosum, Microsporum
spesies dan Trichophyton spesies, yang merupakan penyebab infeksi jamur
pada kulit, rambut dan kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidosis
kutaneus dan pitiriasis versikolor.

Farmakokinetik
Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5 - 1 gr, akan
menghasilkan konsentrasi puncak plasma sebanyak 1 mikrogram / ml dalam
waktu 4 jam dan level dalam darah bervariasi. Griseofulvin mempunyai
waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari, dan ± 50 % dari dosis oral
dapat di deteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam
bentuk metabolit. Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut
kosong. Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar
lemak tinggi, dapat meningkatkan absorpsi mengakibatkan level griseofulvin
dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali
akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan di ditentukan
dengan plasma free concentration. Selanjutnya menyebar melalui cairan
transepidermal dan keringat dan akan dideposit di sel prekusor keratin kulit
(stratum korneum) dan terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin
yang terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih
resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan
mencapai stratum korneum setelah 4 - 8 jam. Griseofulvin di metabolisme di
hepar menjadi 6 – desmethyl griseofulvin, dan akan di ekskresikan melalui
urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis akan di
jumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.

Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu mikrosize (mikrokristallin) dan
ultramikrosize (ultramikrokristallin). Bentuk ultramikrosize, penyerapannya
pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk mikrosize.
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea
kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh
Trychopyton tonsurans. Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu
dewasa 500 -1000 mg / hari (mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan 330 –
375 mg / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Anak - anak ≥ 2
tahun 10 - 15 mg / kg BB/ hari (mikrosize), dosis tunggal atau terbagi dan 5,5
- 7,3 mg / kg BB / hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2 - 4 minggu, untuk tinea
kapitis paling sedikit selama 4 - 6 minggu, untuk tinea pedis selama 4 - 8
minggu dan untuk tinea unguium selama 3 - 6 bulan.

Efek samping
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah
dan sakit pada abodominal. Timbunya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat
terjadi pada sebagian pasien. nteraksi obat Absorbsi griseofulvin menurun jika
diberikan bersama dengan fenobarbital tetapi efek tersebut dapat di kurangi
dengan cara mengkonsumsi griseofulvin bersama makanan. Griseofulvin juga
dapat menurunkan efektifitas warfarin yang merupakan antikoagulan.
Kegagalan kontrasepsi telah dilaporkan pada pasien yang mengkonsumsi
griseofulvin dan oral kontrasepsi.

KETOKONAZOL
Ketokonazol diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1977 dan di
Amerika Serikat pada tahun 1981. Ketokonazol merupakan antijamur
golongan imidazol yang pertama diberikan secara oral.
Mekanisme kerja
Ketokonazol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan
sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja
dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P-450, C-14-α-demethylase yang
bertanggungjawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini akan
mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permiabel dan terjadi penghancuran
jamur. Aktifitas spektrum Ketokonazol mempunyai spekrum yang luas dan
efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes
immitis, Histoplasma capsulatum , Malassezia furfur, Paracoccidiodes
brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif
terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.

Farmakokinetik
Ketokonazol yang diberikan secara oral, mempunyai bioavailabilitas yang
luas antara 37% - 97% di dalam darah. Puncak waktu paruh yaitu 2 jam dan
berlanjut 7-10 jam. Ketokonazol mempunyai daya larut yang optimal pada pH
dibawah 3 dan akan lebih mudah diabsorbsi. Pasien yang menderita
achlorhydia, harus mengkonsumsi ketokonazol bersama dengan cairan yang
asam dan pada pasien yang mendapat obat - obat seperti antasid,
antikolinergik, antiparkinson dan antagonis H2 reseptor, sebaiknya
mengkonsumsi ketokonazol 2 jam sebelumnya oleh karena dapat mengurangi
absorbsi ketokonazol. Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan
keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat
eccrine. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan
basal epidermis dalam waktu 3 - 4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih
tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan. Ketokonazol
mempunyai distribusi yang luas melalui urin, saliva, sebum, kelenjar keringat
eccrine, serebrum, cairan pada sendi dan serebrospinal fluid (CSF). Namun,
ketokonazol 99% berikatan dengan plasma protein sehingga level pda CSF
rendah. Ketokonazol dimetabolisme di hati dan diubah menjadi metabolit
yang tidak aktif dan diekskresi bersama empedu ke dalam saluran pencernaan.

Dosis
Dosis ketokonazol yang diberikan pada orang dewasa 200 mg / hari, dosis
tunggal dan untuk kasus yang serius dapat ditingkatkan hingga 400 mg / hari
sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3 – 6,6 mg / kg BB, dosis tunggal. Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2 - 4 minggu, tinea
versikolor selama 5 -10 hari sedangkan untuk tinea kapitis dan onikomikos
is biasanya tidak direkomendasikan.
Efek samping
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering di jumpai.
Ketokonazol juga dapat menimbulkan efek hepatotoksik yang ringan tetapi
kerusakan hepar yang serius jarang terjadi. Peninggian transaminase
sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Efek samping yang serius dari
hepatotoksik adalah idiosinkratik dan jarang ditemukan yaitu 1:10000 dan
1:15000, biasanya djumpai pada pasien yang mendapat pengobatan lebih dari
2 minggu. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan
pemeriksaan fungsi hati. Dosis tinggi ketokonazol (>800 mg/hari) dapat
menghambat sintesis human adrenal dan testikular steroid yang dapat
menimbulkan alopesia, ginekomasti dan impoten.

Interaksi obat
Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang
mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti
antasid, antikolinergik dan H2-antagonis sehingga sebaiknya obat ini di
berikan setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat
memperpanjang waktu paruh seperti terfenadin, astemizol dan cisaprid
sehingga sebaiknya tidak diberikan bersama dan juga dapat menimbulkan efek
samping kardiovaskular seperti pemanjangan Q-T interval dan torsade de
pointes. Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam
dan triazolam dan dapat meningkatkan level siklosporin dan konsentrasi
serum dari warfarin. Pemberian bersama ketokonazol dengan rifampicin dapat
menurunkan efektifitas ke dua obat.

ITRAKONAZOL
Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol.

Mekanisme kerja
Mekanisme kerja itrakonazol dengan cara menghambat 14-α-demethylase
yang merupakan suatu enzim sitokrom P-450 yang bertanggung jawab untuk
merubah lanosterol menjadi ergosterol pada dinding sel jamur. Aktifitas
spektrum Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap
Aspergillosis spesies, Blastomyces dermatitidis, Candida spesies, Coccidiodes
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, Malassezia
furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan
Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous moulds
dan dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.

Farmakokinetik
Absorbsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal
(55%) tetapi absorbsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi
bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi
puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam. Itrakonazol
mempunyai ikatan protein yang tinggi pada serum melebihi 99% sehingga
konsentrasi obat pada cairan tubuh seperti pada CSF jumlahnya sedikit.
Namun sebaliknya konsentrasi obat di jaringan seperti paru-paru, hati dan
tulang dapat mencapai 2 atau 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada serum.
Konsentrasi itrakonazol yang tinggi juga ditemukan pada stratum korneum
akibat adanya sekresi obat pada sebum. Itrakonazol tetap dapat ditemukan
pada kulit selama 2-4 minggu setelah pengobatan dihentikan dengan lama
pengobatan 4 minggu sedangkan pada jari kaki itrakonazol masih dapat
ditemukan sela ma 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan lama
pengobatan 3 bulan. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan di
ekskresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan di
buang melalui feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol di metabolisme
di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P- 450. Kebanyakan metabolit
yang tidak aktif akan di ekskresi oleh empedu dan urin. Metabolit utamanya
yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif.

Dosis
Dosis pengobatan untuk dermatofitosis adalah 100 mg/hari. Lama pengobatan
untuk tinea korporis atau tinea kruris adalah selama 2 minggu tetapi untuk
tinea manus dan tinea pedis adalah selama 4 minggu. Pengobatan untuk
pitirisis versikolor dengan dosis 200 mg/hari selama 1 minggu. Untuk
pengobatan onikomikosis dengan dosis 200 mg selama 3 bulan atau
menggunakan dosis denyut yaitu kuku jari tangan sebanyak 2 pulsa
itrakonazol dengan dosis 400 mg/hari selama 1 minggu dan 3 minggu tanpa
pengobatan sedangkan kuku jari kaki sebanyak 3 pulsa atau lebih. Pengobatan
kandidosis kutis dengan dosis 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis
orofaringeal 100 mg / hari selama 2 minggu, kandidosis vaginalis 2x200 mg
selama 1 hari atau 200 mg selama 3 hari. Sedangkan untuk infeksi deep
mikosis seperti aspergillosis, blastomikosis dan histoplasmosis diberikan dosis
itrakonazol sebanyak 200-400 mg/hari.
Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, sakit pada abdominal dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit
kepala, pruritus dan ruam allergi. Efek samping yang lain yaitu kelainan test
hati yang dilaporkan pada 5% pasien yang ditandai dengan peninggian serum
transaminase, ginekomasti dilaporkan terjadi pada 1% pasien yang
menggunakan dosis tinggi, impotensi dan penurunan libido pernah dilaporkan
pada pasien yang mengkonsums itrakonazol dosis tinggi 400 mg /hari atau
lebih.

Interaksi obat
Absorbsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat-obat
yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti antasid, H2-antagonis,
omeprazol dan lansoprazol. Itrakonazol dan metabolit utamanya merupakan
suatu inhibitor dari sistem enzim human hepatic sitokrom P-450-3A4
sehingga pemberian itrakonazol bersama dengan obat lain yang
metabolismenya melalui sistem tersebut dapat meningkatkan konsentrasi azol,
interaksi obat ataupun keduanya. Itrakonazol dapat memperpanjang waktu
paruh dari obat-obat seperti terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam,
lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid, quinidin. Itrakonazol juga dapat
meningkatkan konsentrasi serum digoxin, siklosporin, takrolimus dan
warfarin.

FLUKONAZOL
Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam
bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan di perkenalkan
pertama kali di Eropa kemudian di Amerika Serikat.

Mekanisme kerja
Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu
merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja
dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14-α-demethylase dan
bersifat fungistatik. Aktifitas spektrum Flukonazol paling aktif terhadap
Candida spesies, Coccidioides imminitis dan Cryptococcus neoformans .
Mempunyai aktifitas yang terbatas terhadap Blastomyces dermatitidis,
Histoplasma capsulatum dan Sprothrix schenckii. Flukonazol juga efektif
terhadap dermatofit tetapi tidak efektif untuk moulds termasuk Aspergillus
spesies dan Zygomycetes. Walaupun flukonazol efektif terhadap Candida
spesies tetapi resisten untuk Candida krusei dan Candida glabrata.
Farmakokinetik
Flukonazol secara cepat dan sempurna diserap melalui saluran
gastrointestinal. Bioavailabilitas oral flukonazol melebihi 90 % pada orang
dewasa. Konsentrasi puncak plasma dicapai setelah 1 atau 2 jam pemberian
oral dengan eliminasi waktu paruh plasma ± 30 jam (20-50 jam) setelah
pemberian oral. Absorbsi flukonazol tidak dipengaruhi oleh kadar asam
lambung (pH). Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple
lebih dari 14 hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke
dalam cairan dan jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih
banyak ditemukan di dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat
dengan konsentrasi tinggi. Ikatan flukonazol dengan protein biasanya rendah
(12%) sehingga sirkulasi obat yang tidak berikatan tinggi. Metabolisme
flukonazol terjadi di hepar dan diekskresi melalui urin dimana 80 % dari dosis
obat akan di ekskresi tanpa perubahan dan 11% di ekskresi sebagai metabolit.

Dosis
Untuk pengobatan orofaringeal kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari
pertama dan selanjutnya 100 mg /hari selama 2 minggu. Oesophageal
kandidosis diberikan dosis 200 mg pada hari pertama dan selanjutnya 100 mg
/hari selama 3 minggu. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis digunakan
dosis tunggal 150 mg. Flukonazol juga efektif terhadap Cryptococcus
neoformans dan merupakan terapi pilihan utama untuk cryptococcal
meningitis pada pasien ADIS diberikan dengan dosis 6 mg/kg BB atau 400
mg /hari untuk berat badan 70 kg.

Efek samping
Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek
samping lain yaitu hipersensitiviti, agranulositosis, exfoliatif skin disoders
seperti Steven Johnson-sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada
sistem saraf pusat.

Interaksi obat
Flukonazol dapat meningkatkan efek atau level dari obat yaitu astemizol,
amitriptilin, kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonilureas, terfenadin, theofilin,
warfarin dan zidovudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride
ataupun terfenadin merupakan kontra indikasi oleh karena dapat menimbulkan
disaritmia jantung yang serius dan torsade de pointes. Flukonazol juga dapat
berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid dan gliburid yang menimbulkan efek
hipoglikemi. Level atau efek flukonazol dapat menurun oleh karbamazepin,
isoniazid, phenobarbital, rifabutin dan rifampin dan akan meningkat oleh
simetidin dan hidroklorothiazid.

VORIKONAZOL

Vorikonazol merupakan sintetik triazol yang berasal dari flukonazol dan


tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral.

Mekanisme kerja
Vorikonazol merupakan inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol,
bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α-demethylase. Hal ini
menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang
mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur. Aktifitas
spktrum Vorikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus
species, Blastomyces dermatitidis, Candida species, Cryptococcus
neoformans, Fusarium species, Histoplasma capsulatum dan Scedosporium
apiospermum . Juga efektif terhadap dematiaceous moulds, tetapi tidak efektif
terhadap Zygomycetes.

Farmakokinetik
Pemberian vorikonazol secara oral diabsorbsi dengan cepat dan hampir
sempurna (sekitar 96%). Dua jam setelah mengkonsumsi vorikonazol dengan
dosis 400 mg dosis tunggal, diharapkan akan dicapai konsentrasi serum 2
mg/L. Absorbsi vorikonazol akan berkurang bersama makanan yang
mengandung lemak tetapi tidak dipengaruhi perubahan pH lambung.
Vorikonazol mempunyai volume distribusi yang luas (4,6L/kg BB) yang
dapat di lihat pada jaringan dan diperkirakan berikatan dengan protein sekitar
58%. Vorikonazol di ekskresi dalam bentuk yang tidak mengalami perubahan
melalui urin < 2% dari dosis yang di berikan. Vorikonazol di metabolisme
melalui sistem enzim human hepatik sitokrom p-450. Lebih dari 80% dosis
oral akan dibuang sebagai metabolit melalui urin. Eliminasi waktu paruh
berkisar 6-9 jam dengan dosis parenteral 3 mg/kg atau 200 mg dengan dosis
oral. Terdapat 3 sistem enzim hepatik sitokrom yang mempunyai peranan
dalam proses metabolisme vorikonazol yaitu Cyp-2C19, CYP-2C9 dan CYP-
3A4.
Dosis
Pengobatan intravenous vorikonazol harus di awali dengan 2 loading dose
sebanyak 6 mg/ kg BB dengan jarak 12 jam dan selanjutnya 4 mg/kg BB
dengan interval 12 jam. Setiap dosis harus di infus dengan rata-rata
maksimum 3 mg/kg BB/jam selama periode 1-2 jam. Konsentrasi cairan infus
tidak melebihi 5 mg/ml. Pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg dapat
diberikan dosis oral sebanyak 200 mg dengan interval 12 jam sedangkan berat
badan yang kurang dari 40kg dapat diberikan dosis 100 mg dengan interval 12
jam. Obat harus dikonsumsi 1 jam sebelum atau sesudah makan.

Efek samping
Kebanyakan efek samping yang dapat di jumpai pada pasien yaitu demam,
adanya ruam pada kulit, mual, muntah, diare, sakit kepala dan sakit
abdominal. Sekitar 13 % pasien di jumpai peninggian test fungsi hati selama
pengobatan.

Interaksi obat
Absorbsi vorikonazol tidak menglami penurunan jika diberikan bersama
dengan obat lain seperti simetidin, ranitidine yang berfungsi mengurangi
sekresi asam lambung. Vorikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistim
enzim human hepatik sindrom P-450-3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun
ketokonazol, namun vorikonazol dapat meningkatkan konsentrasi serum
sirolimus, terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid dan quinidin sehingga
sebaiknya vorikonazol tidak di konsumsi bersama dengan obat diatas.
Vorikonazol dapat menunjukkan penurunan konsentrasi serum siklosporin
dan takrolimus sehingga level dan dosis obat harus di monitor. Vorikonazol
dapat meningkatkan konsentrasi serum warfarin yang berfungsi sebagai
antikoagulan sehingga waktu protrombin pada pasien yang mendapat ke dua
obat tersebut harus di monitor. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme
lovastatin sehingga dosis obat tersebut harus disesuaikan. Vorikonazol juga
dapat meningkatkan konsentrasi tolbutamid dan glipizid yang menimbulkan
efek hipoglikemik. Vorikonazol dapat menghambat metabolisme anti-HIV
protease inhibitor seperti saquinavir, amprenavir dan nelfenavir sedangkan
ritonavir, amprenavir dan saquinavir dapat menghambat metabolisme
golongan azol. Vorikonazol juga sebaiknya tidak diberikan bersama dengan
carbamazepin, phenobarbital, rifabutin dan rifampicin.
TERBINAFIN
Terbinafin merupakan anti jamur golongan alilamin yang dapat diberikan
secara oral. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, di gunakan di Eropa
sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.

Mekanisme Kerja
Terbinafin bekerja menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen
sterol yang utama pada membran plasma sel jamur), dengan cara menghambat
kerja squalene epoxidase (merupakan suatu enzim yang berfungsi sebagai
katalis untuk mengubah squalene menjadi squalene-2,3 epoxide). Dengan
berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan
membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti, disebut dengan efek
fungistatik dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam
sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan
pada membran sel jamur disebut dengan efek fungisidal. Aktifitas spektrum
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap
dermatofit yang bersifat fungisida l dan bersifat fungistatik untuk Candida
albicans tetapi bersifat fungisidal untuk beberapa species candida seperti
Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis species,
Blastomyces dermatitidis , Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenckii dan
beberapa dermatiaceous moulds.

Farmakokinetik
Terbinafin di absorbsi dengan baik jika diberikan dengan cara oral yaitu >
70% dan akan tercapai konsentrasi puncak dari serum berkisar 0,8-1,5 mg/L
setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tungga l. Pemberian bersama
makanan tidak mempengaruhi absorbsi obat. Terbinafin bersifat lipofilik dan
keratofilik, terdistribusi secara luas pada pada dermis, epidermis, jaringan
lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase dimana
waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam ;
eliminasi waktu paruh yaitu 16 dan 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis
tunggal ; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg /hari terminal
waktu paruh rata-rata yaitu 22 hari di dalam plasma. Di dalam dermis-
epidermis, rambut dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata yaitu 24-28 hari.
Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum
kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke
dermis-epidermis tetapi terbinafin di dalam kelenjar keringat ekrine tidak
terdeteksi. Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit
dengan konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah
obat di hentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal dari nail plate
dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan level obat yang efektif dicapai
setelah 4 minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku
untuk jangka waktu yang lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin di
metabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan di ekskresi melalui
urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.

Dosis
Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg tetapi tidak tersedia dalam
bentuk parenteral. Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis
pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari
tetapi pada pasien dengan ganguan hepar atau fungsi ginjal (keratin in
clearence < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 μ mol/ml)
dosis harus diberikan setengah dari dosis diatas. Pengobatan tinea pedis
selama 2-6 minggu, tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu sedangkan
infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau
lebih.

Efek samping
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dyspepsia, sakit di
abdominal sering dijumpai. Jarang dijumpai pasien yang menderita kerusakan
hepar dan meninggal akibat mengkonsumsi terbinafin untuk pengobatan
infeksi kuku. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
penyakit hepar yang kronik atau aktif.

Interaksi obat
Terbinafin tidak mempunyai efek clearance terhadap obat lain yang
metabolismenya melalui hepatik sitokrom P-450. Namun konsentrasi darah
akan menurun jika terbinafin di berikan bersama rifampicin yang merupakan
suatu inducer yang poten terhadap sistem enzim hepatik sitokrom P-450.
Level darah pada terbinafin dapat meningkat jika pemberiannya bersama
cimetidin yang merupakan sitokrom P-450 inhibitor.

AMFOTERISIN B
Amfoterisin B merupakan antibiotik makrosiklik polyene yang berasal dari
Streptomyces nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui
digunakan sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960. Amfoterisin B
deoxycholate (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan infeksi
deep mikosis, pemberian secara parenteral sering menimbulkan efek toksik
terutama pada ginjal / nefrotoksik sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis
formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lemak (lipid-based
formulations) yaitu (1) Liposomal amfoterisin B (AmBisome), obat ini
diselubungi dengan phospholipid yang mengandung liposome. (2)
Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks
dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B
kolloidal dispersion (Amphocil, Amphotec, ABCD), merupakan suatu
kompleks dengan cholesterol sulphate yang membentuk potongan lemak yang
kecil.

Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel jamur
menjadi rentan selanjutnya mengakibatkan fungsi barrier membran menjadi
rusak, hilangnya unsur-unsur penting sel, menggangu metabolisme dan
matinya sel jamur. Efek lain pada membran sel jamur yaitu amfoterisin B
dapat menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur. Aktifitas
spektrum Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap :
Aspergillus species, Mucorales species, Blastomyces dermatitidis, Candida
species, Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans,
Histoplasmacapsulatum, Paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei .
Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fusarium species, Malassezia furfur ,
Scedosporium species dan Trichosporon asahii biasanya resisten.

Farmakokinetik
Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral
(bioavaibilitasnya kurang dari 5%), sehingga untuk tetap mempertahankan
onsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravenous.

CASPOFUNGIN

Caspofungin merupakan derivat semisintetik dari pneumo-candin B 0, yang


merupakan hasil fermentasi lipopeptid jamur Glarea lozoyensis.

Mekanisme Kerja
Caspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-D-glucan yang merupakan
komponen dinding sel jamur. Aktifitas spektrum Caspofungin mempunyai
aktifitas spektrum yang terbatas. Caspofungin efektif terhadap Aspergillus
fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus tetapi tidak efektif
terhadap dermatofit. Caspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah
terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dematiaceous
molds. Caspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida species
dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi terhadap Candida parapsilosis dan
Candida krusei kurang efektif dan resisten terhadap Cryptococcus
neoformans.

Farmakokinetik
Pemberian caspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg
akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 10 mg/L. Kurang dari 10% dosis
obat, akan menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih
dari 96% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan di
distribusikan ke dalam jaringan (±92% dari dosis) dengan konsentrasi yang
tertinggi di jumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan di ekskresi tanpa
ada perubahan melalui urin. Caspofungin di metabolisme di hepar dan
metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin
(40%). Waktu paruh di awali sekitar 9-11 jam dan berakhir pada 40-
50 jam.

Dosis
Pada pasien aspergillosis dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan
50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus di infuskan dalam
periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, di rekomendasikan
dosis caspofungin diturunkan menjadi 35 mg dan selanjutnya 70 mg loading
dose.

Efek samping
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam pada kulit,
mual dan muntah. Interaksi obat Pemberian caspofungin bersama cyclosporin
dapat meningkatkan trasaminase 2-3 kali lipat dari batas normal dan akan
menurun apabila ke dua obat tersebut dihentikan.

FLUSITOSIN
Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintetis dari fluorinated pirimidin yang
dapat diberikan secara oral maupun parenteral.

Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease,
kemudian dirubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourouracil yang
bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein
terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang
menyebabkan inhibisi sintesis DNA. Aktifitas spectrum Flusitosin
mempunyai aktifitas spektr um yang terbatas, efektif terhadap Candida
spesies, Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea
spesies dan Phialophora verrucosa .

Farmakokinetik
Pemberian flusitosin secara oral absorbsinya cepat dan hampir sempurna.
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin
dosis 25 mg/kg BB dengan interval 6 jam, akan dicapai konsentrasi puncak
plasma 30-40 mg/L dan untuk pengulangan dosis berikutnya setiap 6 jam,
akan dicapai konsentrasi puncak plasma 70-80 mg/L. Flusitosin terdistribusi
secara luas terutama pada jaringan dan cairan melebihi 50% konsentrasi
darah. Flusitosin berikatan dengan protein rendah (sekitar 12%) sehingga
menyebabkan tingginya sirkulasi obat yang tidak berikatan. Lebih dari 90%
flusitosin di ekskresi melalui urin tanpa mengalami perubahan.

Dosis
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin
diawali dengan dosis 50-150 mg/kg BB yang diberi dalam 4 dosis terbagi
dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian
flusitosin di awali dengan dosis 25 mg/kg BB. Efek samping Efek samping
yang sering di jumpai yaitu mual, muntah dan diare. Trombositopenia dan
leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi darah meninggi, menetap (>100
mg/L) dan dapat kembali normal jika obat di hentikan. Peninggian level
transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali
normal setelah obat dihentikan.

Interaksi obat
Efek anti jamur flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin
(sitosin arabinosid) sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin
merupakan kontra indikasi, oleh karena efek myelosupresif dan hepatotoksik
flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan immunosupresif
atau sitostatik. Pemberian zidovudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh
karena dapat menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amphoterisin B
dan flusitosin mempunyai efek aditif atau sinergis terhadap Candida spesies
dan Cryptococcus neoformansnamun efek nefrotoksik amphotericin B dapat
berkurang ketika flusitosin di ekskresi.
Dapat disimpulkan alasan mengapa memilih kortikosteroid sistemiknya
menggunakan ketokonazol atau ketokonazol digunakan sebagai pilihan utama
untuk pengobatan tinea corporis karena:
1. berspektrum luas,
2. tidak resisten,
3. efek samping minimal
4. harga yang terjangkau

sumber :

1. Habif TP.2004. Clinical dermatology. Mosby: Edinburgh.


2. Mycek, MJ, Harvei RA, Champe PC. 2001. Farmakologi ulasan
bergambar.edisi 2.Jakarta:Widya Medika. hlm 341-347
3. Jelaskan cara perhitungan jumlah kortikosteroid topical yakni koetokonazol
2% dalam sekali penggunaan / pengolesan ?

Ada 2 cara yang biasa dipakai:

(1) cara 9%
dengan membagi tubuh 9%. Hitungannya setiap 1% area tubuh butuh ½
gram krim

(2) FTU, fingertip unit

Untuk menghitung jumlah kortikosteroid (KT) yang diresepkan, sebaiknya


menggunakan ukuran “fingertip unit” yang dibuat oleh Long dan Finley.

1 FTU = 500 mg/0,5g

 2 telapak tangan: 1 FTU


 Front/chest and abdomen: 7 FTU
 Back and buttocks: 7 FTU
 Face and neck: 2,5 FTU
 An entire arm and hand: 4 FTU
 An entire leg and foot: 8 FTU

Misalnya dia sakit di kedua telapak tangan artinya butuh 1 FTU. 1 FTU
sebanding dengan 500 mg. Kalau kita mau ngasih sehari 2 kali selama 1
minggu . Artinya kita butuh 500x2x7=7000 mg/7 gram. Berarti kita kasih
salep yang 10 gram satu aja cukup.

Contoh resep topikal

R/ Ketokonazol cream 2% tube 10 gram No I

Sue 2dd applic part dol m.et.v

———————————————————————

** u.e (usus externum) à untuk obat luar

** applic part dol à oleskan pada daerah yang sakit

** m.et.v (mane et vespere) à pagi dan malam

Pada kasus yang terkena adalah bagian punggung, lipat paha kanan dan
bokong kanan, maka jumlah kortikosteroid topical yakni koetokonazol
2% dalam sekali penggunaan / pengolesan adalah

(1) cara 9%
Sehingga didapatkan (18%)

1% = ½ gram

18% = 9 gram

Didapatkan hasil 9 gram untuk sekali oles sedangkan pada pasien


diberikan dalan sehari sebanyak 2 kali sehingga diberikan 18 gram.
Penggunaan obat diberikan selama 2 minggu sehingga diperlukan 252
gram.

(2) FTU, fingertip unit

 2 telapak tangan: 1 FTU


 Front/chest and abdomen: 7 FTU
 Back and buttocks: 7 FTU
 Face and neck: 2,5 FTU
 An entire arm and hand: 4 FTU
 An entire leg and foot: 8 FTU

Front/chest and abdomen: 7 FTU

1 FTU = 500 mg/0,5g

7 FTU = 3,5 g

Didapatkan hasil 3,5 gram untuk sekali oles sedangkan pada pasien
diberikan dalan sehari sebanyak 2 kali sehingga diberikan 7 gram.
Penggunaan obat diberikan selama 2 minggu sehingga diperlukan 98
gram.

Bentuk sediaan Ketokonazol cream 2% : 5mg, 10 mg, dan 15mg

Berdasarkan FTU dibutuhkan 49 gram untuk 1 minggu dan 98 gram untuk


2 minggu
Maka , resep topikal :

R/ Ketokonazol cream 2% tube 15 gram No VII

Sue 2dd I, ue

Sumber :

1. Asmara A, Daili SF, Noegrohowati, Zubaedah I.2012. Vehikulum


dalam Dermatoterapi Topikal. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Departemen Ilmu Farmasi FKUI-RSCM.
2. Adhi Djuanda.,dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6.
Jakarta : FKUI

Anda mungkin juga menyukai