PENDAHULUAN
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering didunia. Sinusitis
adalah kasus peradangan yang cukup banyak terjadi di Indonesia. Infeksi ini biasanya
disebabkan oleh virus, bakteri atau infeksi jamur. Sesuai dengan namanya, sinusitis ini terjadi
di daerah sinus-sinus paranasalis yang berada pada tulang wajah. Infeksinya, paling sering
mengenai daerah mukosa.1,2
Kasus sinusitis ini dapat terjadi pada semua sinus-sinus paranasalis yang terdiri dari
empat bagian. Yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus maksilaris, dan sinus
sphenoidalis. Dari keempat kasus tersebut, yang paling sering ditemukan adalah sinusitis
maxilla dan sinusitis ethmoid, sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang
ditemukan.2
Pada anak hanya sinus maxilla dan sinus ethmoid yang berkembang sedangkan sinus
frontal dan sinus sphenoid mulai berkembang pada anak berusia kurang lebih 8 tahun.
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.2,3
2.1 Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena,
dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis
spenoid. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.1,2,3
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering terinfeksi,
oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari
dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan
silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi
gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius
, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi
dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih
sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis
berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari.1,2,5
2.2 Epidemiologi
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, bahkan
dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis menyerang 1 dari 7 orang dewasa di United States, dengan lebih dari 30 juta
individu yang didiagnosis tiap tahunnya. Individu dengan riwayat alergi atau asma berisiko
tinggi terjadinya rhinosinusitis.1,2
Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian anak-anak
berusia 15 tahun. Pada anak-anak berusia 5-10 tahun. Infeksi saluran pernafasan dihubungkan
dengan sinusitis akut. Sinusitis jarang pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun karena
sinus belum berkembang dengan baik sebelum usia tersebut.1
Sinusitis maksila paling sering terjadi daripada sinusitis paranasal lainnya karena :
1. Ukuran. Sinus paranasal yang terbesar.
2. Posisi ostium. Posisi ostium sinus maksila lebih tinggi daripada
dasarnya sehingga aliran sekret / drainasenya hanya tergantung dari gerakan silia.
3. Letak ostium. Letak ostium sinus maksila berada pada meatus nasi
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
Letak dasar. Letak dasar sinus maksila berbatasan langsung dengan dasar akar gigi
(prosesus alveolaris) sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila..3
2.3 Anatomi
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior adalah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya ialah permukaan
infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya ialah dasar orbita dan dining inferiornya ialah prosesua alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid. 1
Gambar 1. Anatomi Sinus
2.4 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1) sebagai
pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4)
membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi
mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan mukosilier,
ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti
pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya.
Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif
dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi
hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering
ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob
jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.1,2,3
Gambar 4. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran kapiler
darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta
migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam
eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi
terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan
murni sebagai nanah, tetapi mukopus.5
Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi umum
diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis dan rinitis yang
kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih tua. Kedua mngkin tidak
didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8 atau 9 tahun secara berangsur-
angsurmukosa makin “penuh terisi air” yang menyebabkan bertambahnya sumbatan dan
secret hidung. Polip dapat timbul karena pengaruh gaya berat terhadap selaput mukosa yang
penuh dengan air dan dapat memenuhi rongga hidung.
Etiologi
Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut, (2) infeksi faring, seprti faringitis,
adenoiditis, tonsilitis akut, (3) infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3 serta P1 dan P2
(dentogen), (4) berenang dan menyelam, (5) trauma dapat menyebabkan perdarahan mukosa
sinus paranasal, (6) barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa. 1,5,6
Sinusitis maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligi-maksilaris yang khusus
bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis yang terjadi setelah gangguan pada gigi.
Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong
kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat.4
Gejala klinis
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah
demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang
berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri
didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi.
Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan
penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun
tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring
sudah ditiadakan.1,2,4
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan
di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis
dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak
mukopus atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip).1,5,6
Gambar 8. Pus pada meatus medius
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibandingkan dengan sisi yang normal.1,5,6
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak perselubungan
atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.1,2,5
Gambar 10. Gambaran suatu sinus yang opak
Pengobatan
Pengobatan umum
1. Istirahat
Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya
beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan kelembaban
udara tetap.
2. Higiene
Harus tersedia sapu tangan kertas untuk mengeluarkan sekrat hidung. Perlu
diperhatikan pada mulut yang cenderung mengering , sehingga setiap selesai makan
dianjurkan menggosok gigi.
3. Medikamentosa
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari, meskipun gejala
klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan ialah golongan penisilin. Diberikan juga obat
dekongestan lokal berupa tetes hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri
Pengobatan lokal
1. Inhalasi
Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat istirahat
dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab.
Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan menyembuhkan
penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus kurang baik atau adanya kuman
yang resisten. Kedua hal tersebut dapat diketahui dengan pungsi percobaan dan pencucian.
Dengan anestesi lokal, trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan
menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan cairan garam faal steril ke dalam
antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali kedalam tabung suntikan. Apabila setelah
dua sampai tiga kali pencucian infeksi belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan
antrostomi intranasal
Etiologi
Variasi anatomi memegang peranan lebih besar mekanisme etiologi sinusitis kronis.
Variasi anatomi yang sering ditemukan deviasi septum, prosessus unsinatus melengkung ke
lateral, konka media mengalami pneumatisasi, bula etmoid sel dan etmoid yang meluas.4
Gejala klinis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya adalah
kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise, nyeri kepala
setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) , gangguan penciuman dan
pengecapan.5,7
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius.
Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.1
Pemeriksaan penunjang
Transluminasi1
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontal, bila
fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transluminasi tampak
gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum
menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar didalam
sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.
Radiologi7
CT scan7
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.
Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini sederhana,
mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan sinusitis kronis. Stagging ini
membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging didasarkan pada perluasan
penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi atas:7
Pengobatan
B. Pengobatan radikal1,8
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal dilakukan
dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena.
Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan
anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan
menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1%
diatas dan dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin
disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi
horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior
gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas fosa
kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara
hati-hati dilindungi.
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang
diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi
antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus
dengan trokar atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan
cunam kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini
sekurang-kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan
dinding tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan.
Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi
ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan
tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon
yang dapat ditiup dimasukan kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat
diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah
penting untuk mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman.
C. Pembedahan tidak radikal 1
2.7 Komplikasi
Komplikasi Orbita2
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita).2 Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita yang tersering
kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan terjadinya komplikasi
orbita ini.2
Komplikasi Intrakranial1,7
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses otak.
Gambar 16. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial
Kelainan Paru1
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis. Selain itu
juga dapat timbul asma bronkhial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi ke- 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Uniersitas Indonesia; 2007.pp.120-124.
2. Soepardi, Arsyad, Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Uniersitas
Indonesia. 2011.
3. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. 2009;232-245
4. Marisa A, Noerjanto B, Savitri Y. Infeksi odontogen pada sinusitis maxillaris ditinjau
dari radiografik panoramik. 2012
5. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi Sinusitis.
Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Juni
2008.p 8-9
6. Jing, Sunhong, Bian M. Endoscopic sinus surgery plays an essential role in
systematic treatment of odontogenic maxillary sinusitis. 2018
7. Philipsen, Ghawsi S, Kjeldsen. Odontogenic sinusitis among patients surgically
treated for maxillary sinus disease. 2018;60-66.
8. Simuntis R, Kubilius R, Vaitkus S. Odontogenic maxillary sinusitis. Stomatologija.
2014;16(2).39-43
9. Slavin G, Spector, Bernstein, Kaliner M. The diagnosis and management of sinusitis:
a practice parameter update. Journal of Allergy and Clinical Immunology.
2005;116(6). S13-S47