Anda di halaman 1dari 46

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA

JOURNAL READING

Asthma in ear, nose, and throat primary care patients with


chronic rhinosinusitis with nasal polyps

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Telingan Hidung dan
Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada:
Pembimbing : dr M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si
Disusun Oleh :
Anisa Faqih (1710221041)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung dan Tenggorokan
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Periode 24 Desember-26 Januari 2019
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKOAN

Journal Reading

Asthma in ear, nose, and throat primary care patients with


chronic rhinosinusitis with nasal polyps

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik
Di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh :
Anisa Faqih (1710221041)

Telah Disetujui oleh Pembimbing


Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si ....................... …. .........................


Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Asthma in
ear, nose, and throat primary care patients with chronic rhinosinusitis with nasal
polyps. Penulisan journal reading ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian
kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. M. Setiadi,
Sp.THT-KL, M.Si selaku dokter pembimbing dan teman–teman coass yang
membantu dalam pembuatan journal reading ini. Penulis menyadari dalam
penyusunan journal reading ini masih banyak kekurangan sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga journal reading ini dapat memberikan pengetahuan kepada
pembaca dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu
kedokteran.

Ambarawa, 10 Januari 2019

Penulis
ASMA PADA PASIEN PELAYANAN PRIMER THT DENGAN
RHINOSINUSITIS KRONIK DAN POLIP NASAL

ABSTRAK
Latar belakang : rinosinusitis kronik dengan polip nasal (CRSwNP) adalah
gangguan imflamasi tersering terkait asma. Hubungan ini dijelaskan dengan baik
pada pasien CRSwNP yang menjalani operasi sinus endoskopi (ESS); meskipun
begitu, beberapa pasien tidak pernah dirujuk untuk dilakukan pembedahan, dan
frekuensi asma pada kelompok pasien ini sebagian besarnya tidak diketahui.
Objektif : untuk menentukan frekuensi asma pada pasien dengan CRSwNP yang
diobati di pelayanan primer (PC/primary care) yang juga tidak pernah dirujuk
untuk dilakukan operasi serta membandingkannya pada pasien sudah yang
menjalani ESS.
Metode : sebanyak 57 pasien dengan CRSwNP yang menjalani operasi ESS
secara prospektif direkrut dari 9 klinik PC THT di daerah copenhagen. CRSwNP
didiagnosis berdasarkan Europian position paper on chronic rhinosinusitis and
nasal polyps; tingkat keparahannya dinilai menggunakan skala VAS. Alergi,
fungsi paru, dan uji asma (reversibilitas terhadap agonis beta 2, variabilitas aliran
ekspirasi puncak /peak expiratory flow, dan tantangan manitol) yang juga turut
dilakukan. Temuan kemudian dibandingkan dengan data pasien CRSwNP
sebelumnya yang mana pasien tersebut kemudian dirujuk untuk operasi.
Hasil : asma didiagnosis pada 25 pasien (44%) berdasakan gejala respirasi dan uji
asma yang positif. Dari semua ini, 12 (48%) tidak didiagnosis asma sebelum
penelitian ini dilaksanakan. Selain itu, ketika kami menggunakan metode yang
sama, kami menemukan rendahnya frekuensi asma pada pasien di PC
dibandingkan dengan pasien yang menjalani ESS (44% vs 65%, P=0,04)
Kesimpulan : prevalensi yang tinggi dari asma pada pasien di PC dengan
CRSwNP telah ditemukan. Yang lebih sering, asma tersebut malah tidak
terdiagnosis sebelumnya. meskipun begitu, jumlah asma tetap lebih sedikit pada
pasien PC dibandingkan dengan pasien yang dirujuk untuk dilakukan operasi
ESS. Frekuensi kekerapan asma, misalnya, penyakit saluran nafas yang kompleks
(united airway disease), pada pasien PC dengan penanganan yang memerlukan
diskusi antara dokter spesialis THT dan dokter spesialis ASMA.

PENDAHULUAN
Rhinosinusitis kronik dengan polip nasal (CRSwNP) adalah penyakit kronik
tersering pada kalangan orang dewasa, dengan frekuensi 2-4%. Didefinisikan
sebagai penyakit imflamasi dari mukosa nasal dan sinus yang sebabkan berbagai
derajat obstruksi nasalis, sekresi, hilangnya fungsi penciuman dan sakit kepala
selama lebih dari 12 minggu. Telah diterima secara umum bahwa gangguan
saluran nafas atas dan bawah sering kali terjadi secara bersamaan baik pada
gangguan saluran nafas alergi dan non alergi, sebuah konsep yang dikenal sebagai
“the united airway”. Hasil dari berbagai penelitian ini menunjukkan tingginya
prevalensi asma (20-90%) pada pasien dengan CRSwNP. Meskipun begitu,
kebanyakan penelitian saat ini diambil dari pelayanan kesehatan sekunder,
misalnya rumah sakit, dan utamanya terdiri dari pasien yang dirujuk untuk
dilakukan ESS (endoscopic sinus surgery). Selain itu, hanya sebagian kecil
penelitian saja yang menggunakan evaluasi asma secara komprehensif dan
terstandarisasi sesuai dengan kriteria internasional, beberapa studi lain hanya
memasukkan kelompok pasien terpilih (misalnya dari klinik alergi), sedangkan
penelitian lain tidak membedakan antara CRSwNP dengan rinosinusitis kronik
tanpa polip nasal. Akibatnya, prevalensi asma pada pasien dengan CRSwNP yang
tidak pernah dirujuk untuk tindakan ESS sebagian besar masih belum diketahui.
Prevalensi asma di Denmark adalah sekitar 7-10% pada populasi umum, hasil
yang cenderung sama dengan negara industrial lainnya. Kami baru baru ini
meneliti pasien di pusat pelayanan kesehatan sekunder (SC) dengan CRSwNP
yang dirujuk untuk dilakukan ESS dan melaporkan tingginya prevalensi asma
(65%) pada kelompok pasien ini. Meskipun begitu, hubungan antara keparahan
penyakit nasal dengan prevalensi asma tampak disini. Oleh karena itu, tingginya
frekuensi asma dapat dihipotesiskan/diperkirakan pada pasien di tingkat
pelayanan sekunder/SC, dan hal ini dapat sebabkan bias seleksi pada sebagian
besar penelitian sebelumnya yang fokus pada frekuensi asma pada pasien yang
alami CRSwNP, termasuk pada penelitian kami sebelumnya.
Di Denmark sendiri, sebagian besar pasien dengan CRSwNP ditatalaksana di
klinik THT PC dan ditangani oleh spesialis THT. Terdapat sekitar 150 klinik THT
di denmark, yang populasinya mencapai 5.6 juta. Berbagai klinik ini melayani
sama seperti klinik PC dan memberikan akses yang bebas dan langsung;
meskipun begitu, tindakan ESS dimana pasien diberikan anestesi umum tidak
secara normal ditrawarkan ke pasien. Sebagai gantinya, pasien CRSwNP yang
tidak patuh terapi akan dirujuk untuk dilakukan ESS di unit pelayanan kesehatan
sekunder di bidang THT. Pada penelitian ini, kami memeriksa Pasien dari sektor
PC yang tidak pernah dirujuk untuk tindakan ESS dan membandingkan hasil
datanya dengan data yang kami terbitkan sebelumnya pada pasien SC dari area
geografi yang sama, menggunakan kriteria dan metode yang sama. Berdasarkan
pengetahuan kami, studi ini adalah yang pertama menggunakan evaluasi klinik
standar untuk menilai hubungan antara gangguan pernafasan atas dan bawah
(united airway) pada pasien dengan CRSwNP di PC yang tidak pernah dirujuk
untuk tindakan ESS.
METODE
Penelitian ini berjenis prospektif observasional. Kualifikasi pasien direkrut secara
berurutan dari sembilan pusat klinik THT PC di wilayah ibukota Denmark mulai
dari desember 2013 hingga desember 2014. Semua peserta yang tinggal di area
kopenhagen dan diobati dengan steroid nasal topikal berdasarkan Europian
position paper on chronic rhinosinusitis and nasal polyps. Pasien ditawari untuk
ikut serta dalam penelitian ini berdasarkan riwayat klinis dan objektif yang
ditemukan pada pasien. Sebelum inklusi, endoskopi nasal dilakukan oleh spesialis
THT. Kriteria inklusi pada pasien antara lain :
- Usia 18-80 tahun
- Yang memenuhi kriteria Europian position paper on chronic
rhinosinusitis and nasal polyps
Kriteria eklusinya antara lain :
- Sebelumnya pernah menjalani ESS atau sudah direncanakan untuk
menjalani ESS
- Imunodefisiensi
- Fibrosis kistik atau diskinesia siliaris primer
- Kebutuhan akan penerjemah linguistik
- Penggunaan steroid sistemik dalam kurun waktu 3 bulan sebelumnya
- Infeksi saluran nafas atas dalam kurun waktu 2 bulan sebelumnya
- Bukan keturunan kulit putih
- Hamil
- Sedang dirawat
Asma dan uji alergi dilakukan selama dua kunjungan. Skin prick test, spirometri,
dan uji reversibilitas agonis beta dua dilakukan saat kunjungan pertama kali. Dan
saat kunjungan kedua, 2 minggu setelahnya, uji tantangan manitol dilakukan serta
dilakukan juga pemeriksaan peak expiratory flow. Studi ini dilakukan dan sudah
sesuai deklarasi helsinski, telah disetujui oleh komite etik dari wilayah ibukota
kopenhagen.

DIAGNOSIS ASMA
Pemeriksaan fungsi paru dilakukan Departemen penelitian kedokteran penafasan,
rumah sakit univeristas Bispebjerg, Copenhagen, oleh penulis pertama (M.F).
penyakit paru paru didiagnosis oleh dokter spesialis paru senior (V.B) dengan
pengalaman yang sudah luas mengenai diagnosis asma secara klinis dan PPOK.
Setelah dilakukan pemeriksaan, peserta penelitian diberikan kuisioner. Asma
didiagnosis berdasarkan Global Initiative for Asthma Guideline apabila ditemukan
adanya gejala pada saluran pernafasan dengan pemeriksan asma positif, misalnya,
reversibilitas terhadap agonis beta 2, variasi hari ke hari dari aliran ekspirasi
puncak (PEF/peak expiratory flow), atau hiperesponsifitas terhadap manitol yang
diinhalasi.

KUISIONER
Peserta menyelesaikan kuisioner berdasarkan riwayat medis, kesehatan secara
umum, gejala nasal dan pulmo, tinggi badan, berat badan, sensitifitas terhadap
NSAID, dan penggunaan obat obatan. Gejala nasal dievaluasi menggunakan skala
visual analog (VAS).

PENILAIAN OBJEKTIF TERHADAP ASMA DAN ALERGI


Pasien diintruksikan untuk tidak menggunakan agonis beta dua atau antihistamin
pada hari pemeriksaan, penggunaan kortikosteroid inhalasi tetap diizinkan.
Peak Flow dan Spirometri. Fungsi paru dinilai menggunakan spirometri sebelum
dan sesudah inhalasi 4 hisapan 0.5 mg terbutalin sulfate. Uji reversibilitas yang
positif didefinisikan sebagai 200 ml dan >12% peningkatan forced expiratory
volume/volume ekspirai paksa dalam 1 detik (FEV1) setelah penggunaan beta
agonis. Peak expiratory flow/aliran ekspirasi puncak/ dinilai di rumah
menggunakan peak flow meter mekanik dua kali sehari selama 14 hari berturut
turut. Variasi Secara signifikan dari hari ke hari didefinisikan setidaknya 100
L/menit.
Tantangan bronkial. Uji tantangan bronkial dengan mannitol bubuk kering
dilakukan. FEV1 dinilai 60 detik setelah masing masing dosis; penurunan pada
FEV1 setidaknya 15% setelah inhalasi manitol sebanyak 635 mg atau kurang
dianggap sebagai respon tantangan yang positif.
Alergi : tes skin-prick dilakukan dengan memaparkan sebanyak 10 macam alergen
yang dianggap sebagai kontrol positif dan negatif berdasarkan rekomendasi
internasional. Allergen tersebut terdiri dari : pollen, rumput, mugwort, kuda,
kucing, anjing, dermatophagoides pteronyssinus dan dermatophagoides farinae,
alternaria, dan cladosporium herbarum. Semua ujia skin prick dilakukan dan
interpretasikan oleh penulis pertama (M.F). diameter bengkak/kemerahan yang
terjadi apabila >3 mm dianggap positif. Atopi didefinisikan sebagai uji skin prick
positif terhadap 10 alergen dengan uji kulit positif terhadap histamin. Diagnosis
penyakit saluran nafas akibat aspirin didasarkan pada riwayat gejala dari hidung,
paru, atau kulit ketika terpapar obat NSAID.

STATISTIK
Paket statistik (IBM, Chicago, IL) digunakan. Untuk variabel kategori, kami
menggunakan uji Pearson X2 atau uji Fisher, tergantung pada jumlah sel minimum
dalam tabel kontingensi. Kami menggunakan uji-t Student untuk data berdistribusi
normal, uji Mann Whitney U untuk data nonparametrik, dan uji Shapiro-Wilk
untuk menilai distribusi data secara normal. Data yang hilang pada paket-tahun
(n=3), tes reversibilitas (n=3), VAS (n=9), dan variasi aliran ekspirasi puncak
(n=9). Nilai p 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

HASIL
Lima puluh tujuh pasien turut berpartisipasi; 25 (44%)nya menderita asma dan 4
(7%) menderita PPOK. Karakteristik kelompok dan parameter fungsi paru-paru
untuk pasien PC disajikan pada Tabel 1. Dalam Tabel 2 dan 3, karakteristik
kelompok dan prevalensi penyakit saluran nafas bagian bawah dibandingkan
dengan data yang diterbitkan sebelumnya dari pasien di kelompok SC.
Tabel 1. Rata rata kelompok pasien PC

PENYAKIT SALURAN NAFAS BAWAH


Dua puluh sembilan pasien PC melaporkan adanya asma atau memiliki gejala
yang menunjukkan asma. Asma dikonfirmasi pada 25 dari keseluruhan peserta
penelitian (44% dari pasien yang dimasukkan pada penelitian), dan 12 dari
keseluruhan peserta (48%) memiliki asma yang tidak terdiagnosis sebelum
penelitian (Tabel 2). Terlepas dari variasi aliran puncak dan prevalensi
hiperresponsif terhadap manitol, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
fungsi paru-paru antara pasien dengan asma dan pasien tanpa asma (Tabel 1).
PPOK didiagnosis pada empat pasien (7%), sedangkan penyakit pernapasan yang
dieksaserbasi aspirin (yaitu, Samter triad) ditemukan pada tiga peserta penelitian
(5%). Dibandingkan dengan laporan data sebelumnya pada pasien SC, tidak ada
perbedaan signifikan yang ditemukan pada usia, jenis kelamin, PPOK, atopi (tabel
2), atau frekuensi asma yang dilaporkan sendiri. Prevalensi penyakit saluran nafas
bawah pada kelompok PC adalah 51% dan secara signifikan lebih rendah dari
pada kelompok SC (73%, P=0,03) tabel 3. Juga asma ditemukan dengan
prevalensi yang secara signifikan lebih rendah pada kelompok PC (44% vs 65%,
P=0,04) tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik kelompok. Pasien di PC dan pasien di SC

Tabel 3. Penyakit saluran nafas bawah pada pasien CRSwNP di kelompok


PC dan SC

ATOPI
Atopi ditemukan pada 18 pasien PC (32%) dan tidak berhubungan secara
signifikan dengan asma yang terjadi secara bersamaan (P=0,15) begitu juga
dengan sensititasi terhadap alergen spesifik. Dibandingkan dengan pasien PC,
tidak ada perbedaan yang signifikan pada prevalensi atopi (P=0.56) tabel 2.
VAS
Skoring VAS rata ratanya adalah 4.9 pada kelompok PC dan secara signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok SC (7.6, P<0,01). Skoring VAS
tidak berkaitan degnan asma yang ada pada kelompok PC (P=0,17) begitu juga
ketika mengumpulkan pasien baik pada kelompok PC dan SC (p=0,28).

BMI DAN OBESITAS


BMI (berat badan (kg)/tinggi badan2(m)) tidak berhubungan dengan asma pada
kelompok PC (P=0,40) tabel 1 begitu juga tidak ada perbedaan pada BMI dan
obesitas (didefinisikan sebagai BMI ≥30) antara pasien PC dan pasien SC
(P=0.91; tabel 2, P=1.0). obesitas ditemukan pada 10% pasien PC dan tidak
berhubungan secara signifikan terhadap asma (P=0,29).

DISKUSI
Penelitian ini, berdasarkan pengetahuan kami, adalah penelitian pertama
mengenai frekuensi asma pada pasien dengan CRSwNP di PC menggunakan
kriteria objektif baik terhadap penyakit saluran nafas atas dan bawah serta
evaluasi asma oleh dokter spesialis paru. Pertama, kami menemukan sekitar 44%
pasien PC memiliki asma dan hampir setengahnya tidak terdiagnosis, yang
mengidikasikan bahwa asma sering kali diabaikan. Kedua, asma secara signifikan
lebih sedikit jumlahnya di PC dibandingkan dengan pasien SC, yang
mengidikasikan bahwa mereka dengan penyakit saluran nafas atas yang lebih
berat akan juga lebih sering alami gangguan saluran pernafasan bagian bawah.
Meskipun begitu, gejala nasal (misalnya, skoring VAS) tidak secara signifikan
berhubungan dengan asma pada pasien PC. Hasil penelitan kami menunjukkan
bahwa, meskipun pasien PC tidak pernah dirujuk untuk ESS, asma sering terjadi
pada kelompok pasien ini, dan kebutuhan akan ESS mungkin dapat dijadikan
prediktor untuk asma. Selain itu, asma yang dilaporkan sendiri tidak reliabel
ketika menilai penyakit saluran nafas pada pasien dengan CRSwNP karena asma
sendiri sering kali tidak terdiagnosis.
Kebanyakan penelitian pada area ini hanya memasukkan pasien di kelompok SC
yang dirujuk untuk ESS. Akibatnya, sedikit sekali informasi yang diketahui
mengenai prevalensi asma pada kelompok besar pasien dengan CRSwNP di
kelompok PC yang tidak pernah menjalani ESS. Beberapa penelitian
menginvestigasi frekuensi asma pada pasien diluar rumah sakit. Pada studi di
skotlandia oleh williamson dan rekan, yang diambil dari klinik rinologi dan
membandingkan 57 pasien non perokok, menemukan jumlah asma sebesar 39%
dari seluruh pasien ini, yang senada dengan penelitian kami. Meskipun begitu,
tidak ada kriteria standar asma yang digunakan. Selain itu, 27% pasien yang turut
serta dalam peneltiian sudah pernah menjalani ESS sebelumnya.
Studi berdasarkan kuisioner oleh johansson dan rekan memeriksa frekuensi gejala
asma yang dilaporkan sendiri pada pasien dengan CRSwNP yang direkrut baik
dari luar rumah sakit (32%, n-38) atau pada unit SC (36%, n=44); tidak ada
perbedaan signifikan yang dilaporkan. Berlawanan dengan hal ini, kami
menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada prevalensi asma
antara kelompok SC dan kelompok PC. Dibandingkan degnan penelitian yang
dilakukan oleh Williamson dan rekan serta Johansson dan rekan, kami
menemukan lebih banyaknya prevalensi asma pada kelompok pasien PC.
Meskipun begitu, perbedaan metodologi pada berbagai penelitian atau studi asma
lainnya pada pasien dengan CRSwNP adalah subtansial; pada penelitian di masa
yang akan datang, kriteria internasional terstandar untuk asma sebaiknya
digunakan.
Temuan kami mengindikasikan bahwa, baik pada unit SC maupun PC, imflamasi
saluran nafas bagian bawah lebih sering terjadi pada pasien dengan CRSwNP dari
pada populasi yang melatarbelakanginya. disamping frekuensi kekerapan asma
bersamaan dengan CRSwNP, baik europian position paper on chronic
rhinosinusitis and nasal polups, maupun american academy of otolaryngology-
head and neck surgery tidak ada yang mengembangkan dan memberikan
pedoman tentang terapi khusus untuk pasien yang mengalami asma bersamaan
dengan CRSwNP.
Berbagai hipotesis terkait patofisiologi yang menghubungkan antara imflamasi
saluran nafas bawah dan atas telah diajukan selama ini. Studi terbaru dari
kelompok penelitian kami menemukan bahwa kadar imflamasi pada polip nasal
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pada bronkus beberapa pasien.
Temuan temuan ini mengindikasikan bahwa polip nasal dapat sebabkan imflamasi
pada saluran nafas dari pada fenomena sekunder yang kerap kali terjadi pada
pasien CRSwNP. Bila iya, hal ini mungkin menjelaskan mengapa Pasien di
kelompok SC, yang dimana pada penelitian ini, menunjukkan lebih tingginya
gejala nasal, yang mengidikasikan lebih beratnya imflamasi yang terjadi pada
saluran nafas atas, juga lebih tingginya imflamasi pada saluran nafas bawah, yakni
asma secara bersamaan.
Hasil kami penting karena berbagai alasan, tingginya asma yang tidak didiagnosis
pada kelompok pasien PC dapat dijadikan dorongan untuk segera mengadakan
kolaborasi dalam hal tatalaksana pasien antara ahli THT dengan dokter spesialis
paru,
karena asma yang tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup pasien
pasien ini. Selain itu, penelitian terbaru mengindikasikan bahwa pasien dengan
rinosinusitis kronik bersamaan dengan asma akan lebih sering mengalami
keterlambatan intervensi khususnya operasi, yang mungkin dapat memperburuk
outcome klinis jangka panjang. Oleh karena itu, diagnosis multidisiplin terbaru
dan terapi saluran nafas secara keseluruhan sangatlah dibutuhkan. Selain itu, studi
di masa yang akan datang harus mempertimbangkan perbedaan penyakit saluran
nafas bawah antara pasien PC dan pasien SC karena hasil dari satu sektor
mungkin memiliki validitas yang terbatas pada sektor yang lain.
Penelitin kami terbatas pada jumlah peserta dan penelitiannya. Sejumlah besar
pasien dan objektifitas data mengenai gangguan pada keparahan gejala nasal
(skoring endoskopi) dapat menjelaskan perbedaan potensial didalam dan antar
kelompok penelitian. Juga, bias seleksi mungkin dapat mempengaruhi hasil studi
kami: pasien dengan CRSwNP dan dengan gejala asma mungkin akan lebih turut
berpartisipasi pada penelitian, yang akan seolah melebihkan jumlah/frekuensi
asma yang tercatat. Barlawanan dengan hal ini, pasien yang baru saja menjalani
evaluasi asma mungkin kurang tertarik untuk berpartisipasi, yang menyebabkan
efek sebaliknya. Juga, kelompok kontrol akan lebih memvalidasi temuan kami.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa asma adalah penyakit yang
sering terjadi dan sering tidak terdiagnosis pada pasien CRSwNP, disamping
sektor pelayanan kesehatan; meskipun begitu, asma lebih sering terjadi pada
pasien yang dipilih dan dirujuk untuk ESS dibandingkan dengan pasien pada
kelompok PC.
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA AKUT STADIUM PERFORASI

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Telingan Hidung dan
Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Diajukan Kepada:
Pembimbing : dr M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si
Disusun Oleh :
Anisa Faqih (1710221041)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung dan Tenggorokan
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Periode 24 Desember-26 Januari 2019
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKOAN

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA AKUT STADIUM PERFORASI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik
Di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh :
Anisa Faqih (1710221041)

Telah Disetujui oleh Pembimbing


Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si .......................…. .........................


Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan
Kasus yamg berjudul Otitis Media Akut Stadium Perforasi. Penulisan ini
merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan
Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga ingin menyampaikan rasa
terima kasih kepada dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si selaku dokter pembimbing
dan teman–teman coass yang membantu dalam pembuatan laporan kasus ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak kekurangan
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan pengetahuan kepada
pembaca dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu
kedokteran.

Ambarawa, 15 Januari 2019

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

Otitis Media Akut adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang
disebabkan karena masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah
(Smeltzer, 2001). Otits media akut (OMA) dapat terjadi kare beberapa faktor
penyebab, seperti sumbatan tuba eustachius (merupakan penyebab utama dari
kejadian otitis media yang menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba
eustachius terganggu), ISPA (infeksi saluran pernafasan atas), dan bakteri
(Streptococcus peumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis, dan
bakteri piogenik lain, seperti Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus,
E. coli, Pneumococcus vulgaris).
Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa sekitar 9,3 juta anak-anak
mengalami serangan OMA pada 2 tahun pertama kehidupannya (Berman, 1995).
Menurut Teele (1991) dalam Commisso et al. (2000), 33% anak akan mengalami
sekurang-kurangnya satu episode OMA pada usia 3 tahun pertama. Terdapat 70%
anak usia kurang dari 15 tahun pernah mengalami satu episode OMA (Bluestone,
1996). Faktanya, ditemukan bahwa otitis media menjadi penyebab 22,7% anak-
anak pada usia dibawah 1 tahun dan 40% anak-anak pada usia 4 sampai dengan 5
tahun yang datang berkunjung ke dokter anak. Selain itu, sekitar sepertiga
kunjungan ke dokter didiagnosa sebagai OMA dan sekitar 75% kunjungan balik
ke dokter adalah untuk follow-up penyakit otitis media tersebut (Teele et al.,
1989). Menurut Casselbrant (1999) dalam Titisari (2005), menunjukkan bahwa
19% hingga 62% anak-anak mengalami sekurang-kurangnya satu episode OMA
dalam tahun pertama kehidupannya dan sekitar 50-84% anak-anak mengalami
paling sedikit satu episode OMA ketika ia mencapai usia 3 tahun. Di Amerika
Serikat, insidens OMA tertinggi dicapai pada usia 0 sampai dengan 2 tahun,
diikuti dengan anak-anak pada usia 5 tahun.
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 65 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Gading RT/RW 01/02, Kel Tiuntang, Kec. Tiuntang
Tanggal datang : 07 Januari 2019
No.RM : 316708

II. ANAMNESIS
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Keluar cairan dari telinga kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Os mengeluh keluar cairan pada telinga kiri sejak 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Cairan tersebut berwarna putih kekuningan dan berbau.
Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Os juga mengeluh adanya nyeri telinga
bagian dalam dan adanya penurunan fungsi pendengaran. Keluhan berupa telinga
berdenging, berdengung ataupun rasa penuh di telinga disangkal. Riwayat panas
badan disertai batuk pilek dirasakan sejak 1 minggu sebelum keluar cairan dari
telinga. Nyeri telinga dan panas badan dirasakan berkurang setelah keluar cairan
dari telinga. Tidak ada keluhan pada telinga kanan Os. Keluhan sakit tenggorokan,
nyeri menelan, suara sengau, benjolan di leher disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Os sering menderita batuk &
pilek. Riwayat trauma, keluar darah dari hidung, suka mengorek telinga, dan
sering berenang disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Os mengaku tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini. Riwayat
alergi dan asma pada keluarga disangkal penderita.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi seperti bersin-bersin dan gatal-gatal ketika terkena debu,
atau setelah memakan makanan tertentu disangkal. Riwayat asma juga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Status generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos Mentis
 Vital Sign :
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Suhu : Affebris
Nafas : 24 x/ menit
Nadi : 88 x/ menit
 Status lokalis
 Telinga
Auris
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Kelainan kongenital - -
Preaurikula Radang dan tumor - -
Trauma - -
Kelainan kongenital - -
Aurikula Radang dan tumor - -
Trauma - -
Edema - -
Hiperemis - -
Nyeri tekan - -
Retroaurikula
Sikatriks - -
Fistula - -
Fluktuasi - -
Nyeri pergerakan - -
Palpasi aurikula
Nyeri tekan tragus - -
Kelainan kongenital - -
Kulit Tenang Tenang
Sekret - + (putih)
Canalis Serumen - -
Acustikus Edema - -
Externa Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -

Warna putih keabu- Hiperemis


abuan
Intak (+) (-)
Retraksi (-) (-)
Refleks cahaya (+) (-)
Membrana
Perforasi (-) (+)
Timpani

 Hidung
Rhinoskopi Cavum nasi kanan Cavum nasi kiri
anterior
Mukosa hidung Hiperemis (+), sekret Hiperemis (+), sekret (+), massa
(+), massa (-) (-)
Septum nasi Deviasi (-), dislokasi (-) Deviasi (-), dislokasi (-)
Konka inferior Edema (+), hiperemis Edema (+), hiperemis (+)
dan media (+)
Meatus inferior Polip (-) Polip (-)
dan media

 Mulut Dan Orofaring

Bagian Kelainan Keterangan


Mukosa mulut Tenang
Lidah Bersih, basah,gerakan normal kesegala
arah
Mulut Palatum molle Tenang, simetris
Gigi geligi Caries (-)
Uvula Simetris
Halitosis (-)
Mukosa Tenang
Besar T1 – T1
Kripta : Normal - Normal
Detritus : (-/-)
Tonsil
Perlengketan (-/-)

Mukosa Tenang
Faring Granula (-)
Post nasal drip (-)

 Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Nyeri tekan :-

 Leher
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran KGB
Massa : Tidak ada
IV. DIAGNOSIS BANDING
 Otitis Media Akut (OMA)
 Otitis Media Supuratif Kronik ( OMSK )

V. DIAGNOSIS
Otitis media akut stadium perforasi auris sinistra

VI. PENGELOLAAN DAN TERAPI


 Pembersihan liang telinga dengan suction
 Pemberian obat cuci telinga H2O2
 Pemberian obat oral:
- Cefixime ( Antibiotik )
- Metil prednisolon ( Kotikosteroid )

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad Sanationam : bonam
Quo ad functionam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Telinga dibagi menjadi 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.

Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (daun telinga) dan canalis
auditorius eksternus ( liang telinga ). Telinga dalam terdiri dari koklea ( rumah
siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah
kanalis semisirkularis.
Anatomi telinga tengah
Telinga tengah terdiri dari 3 bagian yaitu membran timpani, cavum
timpani dan tuba eustachius.
1. Membrana timpani
Membrana timpani memisahkan cavum timpani dari kanalis akustikus
eksternus. Letak membrana timpai pada anak lebih pendek, lebih lebar dan lebih
horizontal dibandingkan orang dewasa. Bentuknya ellips, sumbu panjangnya 9-10
mm dan sumbu pendeknya 8-9 mm, tebalnya kira-kira 0,1 mm.
Membran timpani terdiri dari 2 bagian yaitu pars tensa (merupakan bagian
terbesar) yang terletak di bawah malleolar fold anterior dan posterior dan pars
flacida (membran sharpnell) yang terletak diatas malleolar fold dan melekat
langsung pada os petrosa. Pars tensa memiliki 3 lapisan yaitu lapiasan luar terdiri
dari epitel squamosa bertingkat, lapisan dalam dibentuk oleh mukosa telinga
tengah dan diantaranya terdapat lapisan fibrosa dengan serabut berbentuk radier
dan sirkuler. Pars placida hanya memiliki lapisan luar dan dalam tanpa lapisan
fibrosa.
Vaskularisasi membran timpani sangat kompleks. Membrana timpani
mendapat perdarahan dari kanalis akustikus eksternus dan dari telinga tengah, dan
beranastomosis pada lapisan jaringan ikat lamina propia membrana timpani. Pada
permukaan lateral, arteri aurikularis profunda membentuk cincin vaskuler perifer
dan berjalan secara radier menuju membrana timpani. Di bagian superior dari
cincin vaskuler ini muncul arteri descendent eksterna menuju ke umbo, sejajar
dengan manubrium. Pada permukaan dalam dibentuk cincin vaskuler perifer yang
kedua, yang berasal dari cabang stilomastoid arteri aurikularis posterior dan
cabang timpani anterior arteri maksilaris. Dari cincin vaskuler kedua ini muncul
arteri descendent interna yang letaknya sejajar dengan arteri descendent eksterna.
2. Kavum timpani
Kavum timpani merupakan suatu ruangan yang berbentuk irreguler
diselaputi oleh mukosa. Kavum timpani terdiri dari 3 bagian yaitu epitimpanium
yang terletak di atas kanalis timpani nervus fascialis, hipotimpananum yang
terletak di bawah sulcus timpani, dan mesotimpanum yang terletak diantaranya.
Batas cavum timpani ;
Atas : tegmen timpani
Dasar : dinding vena jugularis dan promenensia styloid
Posterior : mastoid, m.stapedius, prominensia pyramidal
Anterior : dinding arteri karotis, tuba eustachius, m.tensor timpani
Medial : dinding labirin
Lateral : membrana timpani
Kavum timpani berisi 3 tulang pendengaran yaitu maleus, inkus, dan
stapes. Ketiga tulang pendengaran ini saling berhubungan melalui artikulatio dan
dilapisi oleh mukosa telinga tengah. Ketiga tulang tersebut menghubungkan
membran timpani dengan foramen ovale, seingga suara dapat ditransmisikan ke
telinga dalam.
Maleus, merupakan tulang pendengaran yang letaknya paling lateral.
Malleus terdiri 3 bagian yaitu kapitulum mallei yang terletak di epitimpanum,
manubrium mallei yang melekat pada membran timpani dan kollum mallei yang
menghubungkan kapitullum mallei dengan manubrium mallei. Inkus terdiri atas
korpus, krus brevis dan krus longus. Sudut antara krus brevis dan krus longus
sekitar 100 derajat. Pada medial puncak krus longus terdapat processus
lentikularis. Stapes terletak paling medial, terdiri dari kaput, kolum, krus anterior
dan posterior, serta basis stapedius/foot plate. Basis stapedius tepat menutup
foramen ovale dan letaknya hampir pada bidang horizontal.
Dalam cavum timpani terdapat 2 otot, yaitu :
- M.tensor timpani, merupakan otot yang tipis, panjangnya sekitar 2 cm, dan
berasal dari kartilago tuba eustachius. Otot ini menyilang cavum timpani ke lateral
dan menempel pada manubrium mallei dekat kollum. Fungsinya untuk menarik
manubrium mallei ke medial sehingga membran timpani menjadi lebih tegang.
- M. Stapedius, membentang antara stapes dan manubrium mallei dipersarafi oleh
cabang nervus fascialis. Otot ini berfungsi sebagai proteksi terhadap foramen
ovale dari getaran yang terlalu kuat.
3. Tuba eustachius
Kavitas tuba eustachius adalah saluran yang meneghubungkan kavum
timpani dan nasofaring. Panjangnya sekitar 31-38 mm, mengarah ke antero-
inferomedial, membentuk sudut 30-40 dengan bidang horizontal, dan 45 dengan
bidang sagital. 1/3 bagian atas saluran ini adalah bagian tulang yang terletak
anterolateral terhadap kanalis karotikus dan 2/3 bagian bawahnya merupakan
kartilago. Muara tuba di faring terbuka dengan ukuran 1-1,25 cm, terletak setinggi
ujung posterior konka inferior. Pinggir anteroposterior muara tuba membentuk
plika yang disebut torus tubarius, dan di belakang torus tubarius terdapat resesus
faring yang disebut fossa rosenmuller. Pada perbatasan bagian tulang dan
kartilago, lumen tuba menyempit dan disebut isthmus dengan diameter 1-2 mm.
Isthmus ini mudah tertutup oleh pembengkakan mukosa atau oleh infeksi yang
berlangsung lama, sehingga terbentuk jaringan sikatriks. Pada anak-anak, tuba ini
lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal dibandingkan orang dewasa,
sehinggga infeksi dari nasofaring mudah masuk ke kavum timpani.
OTITIS MEDIA AKUT
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba ke dalam di
nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan
masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius,
enzim dan antibody. Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini
terganggu. Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari
otitis media. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman
ke dalam telinga tengah terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga
tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran
nafas atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran nafas, makin
besar kemungkinan terjadinya OMA.

Sembuh / Normal

Fungsi tuba
tetap terganggu

Gangguan tuba Tekanan Efusi OME


negative
telinga
tengah Infeksi (-)
Etiologi :
- Perubahan tekanan
udara tiba-tiba
- Alergi
- Infeksi Tuba tetap terganggu
- Sumbatan : Sekret dan Infeksi (+)
Tampon
OMA
Tumor

Sembuh OME OMSK/OMP

Etiologi
Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis
media. Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu,
ISPA juga merupakan salah satu faktor penyebab yang paling sering. Kuman
penyebab OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus,
Staphylococcus aureus, Pneumococcus, Haemophilus influenza, Escherichia coli,
Streptococcus anhemolyticus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa.¹
Sejauh ini Streptococcus pneumonia merupakan organisme penyebab tersering
pada semua kelompok umur. Sedangkan Haemophilus influenza adalah patogen
tersering yang ditemukan pada anak di bawah usia lima tahun. Meskipun juga
patogen pada orang dewasa.
Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan
terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba
eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal.
Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa karena
beberapa hal, yaitu:
(1)Sistem kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan, (2)Saluran
eustachius pada anak lebih lurus secara horizontal dan lebih pendek sehingga
ISPA lebih mudah menyebar ke telinga tengah. (3)Adenoid (salah satu organ di
tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh) pada anak relative
lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi adenoid berdekatan dengan muara
saluran Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya
saluran Eustachius. Selain itu, adenoid sendiri dapat terinfeksi dimana infeksi
tersebut kemudian menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.
Patogenesis
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti
radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan
infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran,
tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri.
Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka
sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu
pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang
dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.
Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan
halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan
pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga
juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut
akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.
Stadium OMA
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas
5 stadium. Keadaan ini berdasarkan pada gambaran membran timpani yang
diamati melalui liang telinga luar.
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Tanda oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi membran timpani akibat
terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorpsi udara. Kadang-
kadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi
mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan
dengan otitis media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
2. Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi)
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membran
timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret
yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar
terlihat.
3. Stadium supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani,
menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar.

Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi, dan suhu meningkat, serta
rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan pus di kavum timpani tidak
berkurang, maka terjadi iskemia,akibat tekanan pada kapiler, serta timbul
tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa.
Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
berwarna kekuningan, di tempat ini akan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium
ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah keluar ke
liang telinga luar. Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup
kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur (perforasi) tidak mudah menutup
kembali.
4. Stadium perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan pus
keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya
gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat tertidur
nyenyak. Keadaan ini disebut otitis media akut stadium perforasi.

5. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani perlahan-
lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret akan
berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman
rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. OMA berubah
menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus
atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis
media serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

Gejala klinik
Gejala klinik otitis media akut tergantung pada stadium penyakit serta
umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah nyeri
telinga, suhu tubuh tinggi dan biasanya ada riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau orang dewasa disamping rasa nyeri
terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi
sampai 39,5 °C (stadium supurasi), anak gelisah dan sulit tidur, tiba-tiba anak
menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang. Bila terjadi ruptur membran timpani
maka sekret mengalir ke liang telinga luar, suhu tubuh turun dan anak tertidur
tenang.
Diagnosis
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut.

1. Penyakitnya muncul mendadak (akut)


2. Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga
tubuh) di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di
antara tanda berikut: (1)menggembungnya gendang telinga,
(2)terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga, (3)adanya bayangan
cairan di belakang gendang telinga, (4)cairan yang keluar dari telinga.
3. Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut: (1)kemerahan pada gendang
telinga, (2)nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Penatalaksanaan
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Tujuan dari
pengobatan yaitu menghilangkan tanda dan gejala penyakit, eradikasi infeksi, dan
pencegahan komplikasi.
Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka kembali
tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan
fisiologik untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk
anak yang berumur >12 thn atau dewasa. Selain itu, sumber infeksi juga harus
diobati dengan memberikan antibiotik.
Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan
analgesik. Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan
miringotomi. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika
terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak
diberikan ampisilin 4x50-100 mg/KgBB, amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau
eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.
Pengobatan stadium supurasi selain antibiotik, pasien harus dirujuk
untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh. Dengan
miringotomi gejala- gejala klinis lebih cepat hilang dan rupture dapat dihindari.
Selain itu, analgesik juga perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang.
Miringotomi adalah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani agar
terjadi drainese sekret telinga tengah. Miringotomi dilakukan bila ada cairan yang
menetap di telinga setelah 3 bulan penanganan medis dan terdapat gangguan
pendengaran. Miringotomi harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak
harus tenang dan dapat dikuasai agar membran timpani dapat terlihat dengan baik.
Biasanya pada anak kecil dignakan anastesi umum. Lokasi miringotomi adalah di
kuadran posteroinferior.
Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5
hari serta antibiotik yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi
dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
Stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi
resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membrane timpani. Pada keadaan ini antibiotik dapat dilanjutkan
sampai 3 minggu.
Komplikasi
Sebelum ada antibiotika komplikasi dapat terjadi dari yang ringan hingga
berat tetapi setelah ada antibiotika komplikasi biasanya didapatkan sebagai
komplikasi dari otitis media supuratif kronis.
OMA dengan perforasi membran timpani dapat berkembang menjadi otitis
media supuratif kronis apabila gejala berlangsung lebih dari 2 bulan, hal ini
berkaitan dengan beberapa faktor antara lain higiene, terapi yang terlambat,
pengobatan yang tidak adekuat, dan daya tahan tubuh yang kurang baik.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah mastoidis, paralisis nervus fascialis,
komplikasi ke intrakranial seperti abses ekstradural, abses subdural, meningitis,
abses otak, trombosis sinus lateralis, otittis hidrocephalus, labirintis dan petrosis.
BAB IV
PEMBAHASAN

Kenapa pasien ini didiagnosa otitis media akut stadium perforasi?


Anamnesis
 Keluar cairan dari telinga kirinya
sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit
 Cairan berwarna putih kekuningan
dan berbau
 Keluhan baru pertama kali dirasakan
 Nyeri telinga bagian dalam dan
adanya penurunan fungsi
pendengaran
 Panas badan disertai batuk pilek
dirasakan sejak 1 minggu sebelum
keluar cairan dari telinga
 Nyeri telinga dan panas badan
dirasakan berkurang setelah keluar
cairan dari telinga
 Pasien sering mengalami batuk
pilek
Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis otitis media, perlu dilakukan pemeriksaan
otoskopi. Ditemukan adanya adanya pengeluaran cairan berwarna putih pada
canalis auditorius eksterna disertai perforasi sentral pada membran timpani
telinga kiri dan reflex cahaya (cone of light) telinga kiri negatif. Kemungkinan
stadium otitis medianya ialah stadium perforasi.
Apa penyebab OMA dari kasus diatas?
Penyebab yang mungkin sebagai pencetus otitis media pada pasien di atas
ialah rhinitis yang sudah lama dialami. Pasien mengalami batuk pilek sudah lama.
Dari pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan chonka nasalis inferior & media
mengalami edema & hiperemis yang disertai adanya cairan mukus. Kemungkinan
pasien mengalami rhinitis kronis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyebab
dari otitis medianya ialah komplikasi dari rhinitis kronis.
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus diatas?
Pada kasus diatas penatalaksanaan adalah: Pembersihan liang telinga
dengan suction , Pemberian obat cuci telinga H2O2, Pemberian obat oral:
Clindamycin ( Antibiotik ), Metil prednisolon ( Kotikosteroid ), Pseudoefedrin
HCl. Sesuai dengan literatur Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat.
BAB V
KESIMPULAN

Menurut Smeltzer, 2001, Otitis Media Akut (OMA) merupakan suatu


infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena masuknya bakteri patogenik
ke dalam telinga tengah. Penyebab utama dari OMA adalah tersumbatnya
saluran/tuba eustachius yang bisa disebabkan oleh proses peradangan akibat
infeksi bakteri yang masuk ke dalam tuba eustachius tersebut, kejadian ISPA yang
berulang pada anak juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya OMA pada
anak. Stadium OMA dapat terbagi menjadi lima stadium, antara lain: Stadium
Hiperemi, Oklusi, Supurasi, Koalesen, dan Stadium Resolusi. Dimana manifestasi
dari OMA juga tergantung pada letak stadium yang dialami oleh klien. Terapi dari
OMA juga berdasar pada stadium yang dialami klien. Dari perjalanan penyakit
OMA, dapat muncul beberapa masalah keperawatan yang dialami oleh klien,
antara lain: gangguan rasa nyaman (nyeri), perubahan sensori persepsi
pendengaran, gangguan komunikasi, dan kecemasan.
DAFTAR PUSTAKA

Boies, dkk. 1997. Buku ajar penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
Daly KA, Giebink GS.2000. Clinical epidemiology of otitis media.
Djaafar, ZA. 2007. Kelainan Telinga Tengah. Telinga Hidung Tenggorokan, Edisi
ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad
Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
LAPORAN KASUS UJIAN

Tonsilitis Kronik

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen THT-KL
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Pembimbing:
dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, Msi. Med

Disusun Oleh:
Anisa Faqih
1710221041

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
TAHUN 2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS UJIAN

Tonsilitis Kronik

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen THT
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:
Anisa Faqih
1710221041

Telah Disetujui Oleh Pembimbing:

dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, Msi. Med

Tanggal: 23 Januari 2019


IDENTITAS PASIEN
Nama : An.D
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tambak Boyo
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD

ANAMNESIS
Alloanamnesis dan autoanamnesis
Keluhan utama
Nyeri menelan dan rasa ada yang mengganjal ditenggorokan.
Riwayat perjalanan penyakit
Pasien datang dibawa oleh ayahnya ke poli THT RSUD Ambarawa
dengan keluhan nyeri menelan dan rasa mengganjal ditenggorokan sejak 1
tahun yang lalu. Dalam satu bulan pasien merasaakan nyeri dua kali. Bila
nyeri timbul, pasien merasakan badannya mulai panas. Amandel nyeri
setelah pasien mengkonsumsi es krim dan minuman dingin. Pasien juga
tidur mendengkur, tetapi hal ini dirasakan sejak 5 bulan terakhir ini.
Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit, nyeri saat menelan
semakin sering dirasakan os. Selain keluhan tersebut, os juga mengeluh
susah menelan, baik makanan biasa ataupun makanan lunak. Tenggorokan
terasa berlendir (+), terasa kering (-), sulit membuka mulut (-). Demam (+).
Demam hilang timbul tanpa disertai menggigil. Batuk berdahak (+), pilek
(+). 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, os merasa keluhan semakin
memberat. Os juga merasakan nyeri tenggorokan saat menelan air liur.
Keluhan demam (-), batuk (-), pilek (-).

Riwayat pengobatan
Pasien sudah pernah dibawa berobat ke dokter klinik dan didiagnosa
mengalami tonsilitis. Pasien diberikan obat minum dan dokter tersebut
menyarankan untuk operasi jika keluhan berulang. Setelah berobat, hanya keluhan
demam dan batuk yang berkurang.

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat batuk pilek berulang (+)

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit sama dengan pasien.

Riwayat Kebiasaan
Pasien mengkonsumsi ice cream dan minuman botol yang dingin. Pasien
juga suka mengkonsumsi makanan yang pedas-pedas dan panas. Ibu pasien
sehari-hari memasak masakan menggunakan penyedap rasa. Ketika tidur, pasien
tidak pernah mengorok.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mm/Hg
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Nadi : 96 x/menit

Pemeriksaan fisik
a) Telinga
Telinga Kanan Kiri
 Anotia, mikrotia, makrotia - -
 Ott hematom - -
 Nyeri tekan tragus/daun telinga + -

 Warna daun telinga Merah muda Merah muda

Liang Telinga
 Atresia - -
 Serumen prop - -
 Epidermis prop - -
 Korpus alineum - -

 Jaringan granulasi - -

Membran timpani
 Warna Seperti mutiara Seperti mutiara
 Reflek cahaya Jam 7 Jam 5
 Hiperemis - -

 Retraksi - -

 Bulging - -

 Perforasi - -
- -
 Bula
Minimal Minimal
 Sekret
Retro auricular
 Fistel - -
 Kista - -
 Abses - -
Pre auricular
 Fistel - -
 Kista - -
 Abses - -

b) Hidung
Hidung Kanan Kiri
Rinoskopi anterior
 Vestibulum Nasi Lebar lubang Lebar lubang
hidung normal, hidung normal,
krusta (-), bisul (-) krusta (-), bisul (-)
 Kavum Nasi Hiperemis (-), Hiperemis (-),
sekret (-), sekret (-),
rambut (+) rambut (+)
 Selaput Lendir Hiperemis (-), Hiperemis (-),
edema (-) edema (-)
 Septum Nasi Deviasi (-), massa Deviasi (-), massa
(-) (-)
 Lantai + dasar hidung Licin, massa (-) Licin, massa (-)
 Konka inferior Hiperemis (-), Hiperemis (-),
edema (-), edema (-),
permukaan licin permukaan licin
 Meatus nasi inferior Sekret (-) Sekret (-)
 Konka media Sulit dinilai Sulit dinilai
 Meatus nasi media Sekret (-), polip (-) Sekret (-), polip (-)
 Polip - -
 Korpus alienum - -
 Massa tumor - -
 Fenomena palatum mole Sulit dinilai Sulit dinilai
Rinoskopi posterior
 Selaput Lendir Lendir (-) Lendir (-)
 Koana Sulit dinilai Sulit dinilai
 Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

 Konka superior Sulit dinilai Sulit dinilai

 Meatus nasi media Secret (-), polip(-) Secret (-), polip(-)

 Muara tuba Sulit dinilai Sulit dinilai


Sulit dinilai Sulit dinilai
 Adenoid
Transluminasi sinus Kanan Kiri
Sinus maksilaris Tampak bayangan Tampak bayangan
seperti bulan sabit seperti bulan sabit
Sinus frotal Tampak cahaya Tampak cahaya
c) Mulut
Hasil
Selaput lendir mulut Hiperemis (-), Edema (-), ulkus (-), massa (-)
Bibir Stomatitis (-), Lembab, hiperemis (-), krusta (-
), ulkus (-)
Lidah Hiperemis (-), Edema (-), atropi (-), ulkus (-),
gerakan segala arah
Gigi Lengkap, karies (+) M1 rahang kiri bawah
Kelenjar ludah Ptialismus (-)

d) Faring
Hasil
Uvula Ditengah, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-),
permukaan licin.
Palatum molle Hiperemis (-), edema (-), ulkus (-)
Palatum durum Hiperemis (-), edema (-), ulkus (-), benjolan (-).
Plika anterior Hiperemis (-), edema (-)
Tonsil Ukuran : T3 – T3
Hiperemis (-/-), kripta melebar (+/+), detritus (-
/-)
Plika posterior Hiperemis (-), Edema (-)
Mukosa orofaring Hiperemis (-), edema (-), ulkus (-)

e) Kelenjar getah bening leher


Pembengkakan (-)

f) Tes Audiologi
Tes pendengaran Kanan Kiri
Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi
Scwabach Normal Normal
Kesimpulan : Fungsi pendengaran normal

DIAGNOSIS
Tonsilitis Kronis
PENATALAKSANAAN
 Edukasi pasien:
- Jaga pola makan sehat
- Jika keluhan berulang bawa ke dokter THT
 Medikamentosa:
- Ceftriaxone tab 100 mg 3x1
- Metilprednisolon tab 4 mg 3x1

Anda mungkin juga menyukai