Anda di halaman 1dari 7

Orang Jawa = Keturunan Yahudi

July 28, 2013

Agaknya cukup mengagetkan apabila mendapatkan fakta bahwa salah satu suku terbesar di
Indonesia merupakan keturunan Yahudi. Nama ‘Jawa’ diasumsikan berasal dari kata ‘Jews’.
Nah loh? Padahal dalam Alquran sudah dijelaskan bahwa Yahudi adalah musuh abadi orang
muslim. Menurut saya pribadi, mungkin ada benarnya bahwa orang jawa keturunan Yahudi.

Pertama, Yahudi adalah bangsa yang munafik. Hal tersebut sudah cukup jelas gamblang di
Alquran. Mereka berpura-pura mendukung Islam, padahal nyatanya menghancurkan. Mirip
dengan perepsi bahwa orang Jawa sukanya ‘main belakang’. Wajah dan mulut boleh lembut,
tapi sekali hantam, matilah semua. Hal itu digambarkan pula dengan letak keris yang
dikenakan orang Jawa ada di belakang, bukan di depan. Coba lihat deh, orang Betawi yang
cenderung suka nyablak dan blak-blakan, senjatanya ada di depan kan? Malah cenderung
diumbar :D Karena hal tersebut juga saya berasumsi, pantaslah orang Jawa banyak yang jadi
politisi. Serba ambigu, serba hipokrit :-P

Kedua, jelas saja orang Jawa ada darah Yahudi. Toh semua manusia berasal dari Nabi Adam.
Tapi menurut beberapa literatur dan babad Tanah Jawi, saya menemukan bahwa suku Jawa
merupakan keturunan Nabi Sulaiman. Entahlah soal keturunan itu. Yang pasti, selama
memeluk Islam dan tidak mengakui Tuhan selain Allah serta Rasul selain Muhammad, itu
berarti orang Jawa putus hubungan dengan yahudi (seperti saya :D)

Berikut ada tulisan menarik mengenai suku Jawa dan kaitannya dengan Yahudi, serta fakta
bahwa Nabi Sulaiman adalah Orang Jawa. Artikel tersebut ditulis oleh Margono dwi Susilo di
link http://sejarah.kompasiana.com/2012/10/05/apakah-orang-jawa-keturunan-yahudi-
apakah-borobudur-peninggalan-nabi-sulaiman-498834.html

Saya masih ragu, karena itu, judul di atas saya beri tanda tanya. Bermula dari sebuah buku
karangan KH Fahmi Basya, ahli matematika Qur’an Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
berjudul Borobudur dan Peninggalan Nabi Sulaiman terbitan Zaituna dan PT. Ufuk
Publishing, cetakan I Agustus 2012. Materi dalam buku tersebut menurut pengakuan penulis
bukan hasil kerja sehari dua hari, tetapi telah melalui penelitian 33 tahun dan revisi puluhan
kali. Berbagai fragmen tulisan ini telah diposting di internet dengan nama flying book.
Penulis memang tidak main-main, dan menyatakan bahwa kesimpulannya berdasarkan ayat-
ayat Al-Qur’an. Pertama yang mengagetkan saya dan juga pembaca lain adalah statement
beliau yang mengatakan bahwa Nabi Sulaiman adalah anak Nabi Daud dari seorang
perempuan Jawa. Sulaiman adalah satu-satunya nabi yang mempunyai nama depan SU. Dan
SU menurut Kyai Haji kelahiran Padang ini adalah identik dengan orang Jawa, seperti
Sukarno, Suharto, Supriyono dan seterusnya. Dengan kata lain Sulaiman adalah nabi dari
suku Jawa, dan tidak menutup kemungkinan Dawud atau Sulaiman akhirnya menurunkan
suku bangsa Jawa sekarang ini. Jawa adalah keturunan Yahudi. Spekalusai yang berkembang
istilah “Jawa” berasal dari “Jews”.

Dengan menggunakan ilmu ciptaan sendiri yang diberi nama “matematika islam/qur’an” KH
Fahmi Basya mengklaim bahwa Borobudur adalah warisan Nabi Allah Sulaiman dengan
demikian milik kaum muslim sedunia. Bagaimana cara kerja matematika islam ini. Rumit
sekali dan cenderung “otak-atik-gathuk” menurut pepatah Jawa. Coba perhatikan.

Proses pengklaiman borobudur tidak dimulai dari data arkeologis tetapi dari matematika
islam, dimulai dari QS.71 : 15. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Alloh menciptakan tujuh
langit bertingkat-tingkat. Pernyataan langit tujuh itu memberitahukan ada lingkaran dengan
jari-jari (R) = 7. Dari ilmu matematika dasar kita tahu bahwa 7K=22d, dan d=2R. Dengan
matematika pula kita akhirnya tahu bahwa Keliling lingkaran (K) adalah 44. Sebuah
lingkaran dengan K = 44 akan terwakili oleh bujur sangkar dengan sisi 11, bukankah 11 X 4
=44. Artinya ada transformasi dari lingkaran berjari-jari 7 menjadi bujur sangkar bersisi 11.
Perhatikan angka 11 dan 7. Bukalah QS.11:7, disana tersebut “Dan adalah Arsy-Nya atas air”.
Ingat dengan baik kata Arsy ini.

Selanjutnya kita kembali ke lingkaran berjari-jari 7 yang bertransformasi menjadi bujur


sangkar bersisi 11. Bujur sangkar ini jika diubah menjadi kubus bersisi 11 maka ia akan
mempunyai volume sebesar 11X11X11 = 1331. Dengan terilhami oleh QS.21:30 yang
menerangkan bahwa bumi dan langit itu dulunya satu lalu dipisahkan oleh Alloh, maka KH
Fahmi Basya berusaha memisahkan kode 1331 tadi menjadi dua bilangan, yaitu 1046 dan
285. Ingat bahwa 1046 + 285 = 1331. Himpunan 1046 ini menurut beliau adalah kode Alif-
Lam-Mim.

Jika anda teliti Al-Qur’an maka akan ada 6 surat Al-Qur’an yang diawali ayat “Alif-Lam-
Mim”, yaitu surat ke 2, 3, 29, 30, 31 dan 32. Total jumlah karakter Alif, Lam dan Mim dari
ke-6 surat tersebut adalah 19.874, dan jika angka ini dibagi dengan 19 akan didapat angka
1046 (kode alif-lam-mim). Terus bagaimana dengan angka 285? Jika balok himpunan 1046
diletakkan di atas piramida 285 maka ia akan berubah menjadi piramida 286. Mengapa angka
285 menjadi 286? Menurut beliau karena “Alif-Lam-Mim” melambangkan ayat pertama dari
QS.Albaqorah, sedangkan 285 adalah ayat selebihnya. Ketika balok alif-lam-mim jatuh ke
bumi (piramida 285) di langit terjadi bilangan 1045. (terus terang saya tidak paham kalimat
terakhir ini.)

Bagaimana memahami piramida 285 atau 286 ini? Piramida ini terdiri dari 286 balok yang
disusun menjadi 5 tingkat plus satu balok puncak. Dasar piramida disusun dari 121 balok
(112), lantai dua disusun dari 81 balok (92), lantai tiga disusun dari 49 balok (72), lantai empat
terdiri dari 25 balok (52), lantai lima terdiri dari 9 balok (32) dan lantai 6 (puncak) terdiri dari
1 balok besar. Lihatlah bahwa 121+81+49+25+9+1 = 286. Dan piramida 286 ini oleh KH
Fahmi Basya dianggap sebagai simbol bagian atas Borobudur (Arupa Dhatu) dengan balok
puncak sebagai stupa terbesar, dengan demikian stupa puncak Borobudur adalah Alif-Lam-
Mim menurut matematika islam. Benarkah? Nanti kita bahas.
Dengan mengutak-atik Qur’an Surat Saba dan An-Naml, KH Fahmi Basya berani
berspekulasi bahwa bagian atas Borobudur (Arupa Dhatu/ranah kesenyapan) dahulu adalah
Arsy (singgasana/istana) di istana Ratu Boko (Istana Ratu Saba), yang dengan ilmu Kitab
dipindahkan/ditransformasikan ke bagian Rupa Dhatu (ranah rupa-rupa wujud) Candi
Borobudur dengan kecepatan hanya sekejapan mata. Bukti utama yang diajukan adalah
bahwa saat ini istana Ratu Boko memang hilang dan tinggal pondasinya saja.

Spekulasi ini berlanjut dengan klaim bahwa Borobudur adalah peninggalan nabi Sulaiman
yang pengerjaannya oleh manusia dan Jin (dalam bukunya tersebut diatas peran Jin sangat
dominan). Untuk mendukung klaim ini penulis mengajukan argumen bahwa relief candi
begitu halus sehingga mustahil itu hasil pahatan manusia. Untuk menguatkan argumen ini
diajukan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengisahkan Sulaiman mempunyai kaum baik dari
golongan manusia, jin dan burung-burung. Lebih jauh Kyai kita ini menjelaskan bahwa
teknik penciptaan relief dan patung di Borobudur adalah dengan melunakan batu, bukan
pahatan, karena hanya Jin yang sanggup mengatasi batu yang lunak (meleleh karena panas).
Benarkah? Tahan dulu pendapat anda.

Untuk mendukung klaim-klaim tersebut beliau mengajukan bukti bahwa Saba itu benar-benar
di Pulau Jawa. Selama ini para mufasir Al-Qur’an menafsirkan bahwa Saba itu letaknya di
negeri Yaman. Padahal menurut beliau bukti-bukti bahwa Saba ada di Yaman sangat tidak
mencukupi dari sudut pandang arkeologis. Coba buka QS.34:15, terjemahannya menurut
beliau adalah “Dan sungguh adalah untuk Saba pada tempat mereka ada ayat, dua hutan
sebelah kanan dan kiri.” Perhatikan kata SABA dan HUTAN. Hutan dalam bahasa jawa kono
adalah WANA, sedangkan SABA adalah tempat berkumpul. Dari kata WANA dan SABA
akan terbentuk nama tempat yaitu WANASABA, atau sekarang WONOSOBO, sebuah
kabupaten di Jawa Tengah yang memang sangat dekat dengan komplek istana Ratu Boko
yang diklaim sebagai istana ratu Saba/Bilqis. Juga diajukan hipotesis bahwa Kabupaten
Sleman di Yogyakarta berasal dari kata Sulaiman. Kepulauan Solomon di lautan pasifik juga
ada kaitannya dengan nabi Sulaiman.

Lebih jauh Kyai Fahmi Basya mengajukan argumen tambahan bahwa berdasarkan QS.27 :
29-30 Nabi Sulaiman pernah berkirim surat dengan kurir seekor burung kepada ratu Bilqis di
negeri Saba. Surat tersebut menurut Al-Qur’an diawali dengan “Bismillahirrahmaanirrahim”.
Untuk menunjukkan kekuasaan dan kejayaan maka surat tersebut terbuat dari lempengan
emas, dan surat berlempeng emas ini ditemukan di kolam pemandian istana Ratu Boko. Jika
ini benar tentu merupakan bukti sahih bahwa Borobudur dan reruntuhan istana Ratu Boko
benar ada kaitan dengan nabi Sulaiman. Tetapi sayangnya beliau tidak menjelaskan lebih
lanjut perihal surat tersebut, kapan ditemukan, siapa penemunya, apakah pendapat para pakar
arkeologi tentang inskripsi emas tersebut, hanya sekedar menampilkan fotonya saja.

BEBERAPA KEBERATAN.

Tentang Nabi Sulaiman adalah keturunan Jawa karena ia satu-satunya nabi yang
menggunakan nama SU pantas diajukan keberatan. Bolehlah saya katakan itu kebetulan saja.
Kita harus melacak apakah orang-orang Jawa sudah lazim menggunakan nama SU sejak
zaman kuno, sezaman dengan Borobudur. Mengingat Sulaiman adalah Raja maka kita harus
menampilkan nama-nama Raja Jawa (atau bangsawan atau orang terkenal) yang dikenal
dalam sejarah. Referensi untuk hal ini sangatlah banyak, saya menyebutkan sekedar contoh
nama-nama raja tersebut (Era Mataram Hindu sampai Majapahit) : Aji Saka, Shima,
Indrawarman, Sanjaya, Panangkaran, Syailendra, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan,
Kayuwangi, Watuhumalang, Dyah Wawa, Tulodong, Daksa, Balitung, Mpu Sindok,
Airlangga, Dharmawangsa Teguh, Jayabhaya, Tunggul Ametung, Arok, Dedes, Ndok,
Lohgawe, Gandring, Prapanca, Anusapati, Tohjaya, Kebo Ijo, Ranggawuni, Wijaya, Nambi,
Kebo Anabrang, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Tribuana Tunggadewi, Suhita dan seterusnya.
Kita lihat bahwa pada Zaman kuno nama dengan awalan SU belum lazim digunakan oleh
orang Jawa. Sebagai perkecualian mungkin nama Raja Majapahit Suhita, tetapi nama ini baru
muncul pada abad 15, tujuh abad setelah Borobudur.

Untuk memperluas cakupan, ada baiknya kita lihat nama-nama Jawa yang sering ditampilkan
dalam naskah Jawa Kuno, seperti Kakawin atau Kidung, misalnya :Kakawin
Arjunawiwaha, kita bisa sebut nama-nama seperti Niwatakawaca, Muka, Supraba, Arjuna,
Matali, Menaka, Tilotama, Urvasi, Kanwa. Dalam Kakawin Hariwangsa : Jayabhaya,
Bhoma, Kangsa, Kalayawana, Rukmini, Bismaka, Karawira, Kesari, Priyambada,
Jarasandha, Rukma. Selanjutnya Kakawin Ghatotkacasrya menampilkan nama-nama, yaitu
: Bhupala Jayakerta, Madaharsa, Ksiti Sendari, Abimanyu, Jurudyah, Sudarpana, Laksmana
Mandrakumara, Bajradanta.

Selanjutnya dalam Kakawin Smaradahana kita menemukan nama-nama seperti Panuluh,


Manmatha, Dharmaja, Uma, Wrespati, Nilarudraka, Ratih, Gana, Kumara, Namusti,
Ratnawati, Kameswara, Basadawa, Ratnawali, Kiranaratu dan Udayana.Kakawin
Sumanasantaka, menampilkan nama Tarnawindu, Harini, Widharba, Indumati, Citrarata,
Jayawaspa, Pratipa, Susena, Anggada, Pandya dan Awintinatha.Kakawin
Siwaratrikalpa menampilkan Tanakung, Lubdhaka dan Citragupta.

Dari sekedar contoh nama-nama tokoh Jawa diatas (baik yang historis maupun fiksi) dapat
disimpulkan bahwa nama dengan awalan SU tidak menjadi pilihan utama di jaman kuno.
Memang kita bisa sebutkan nama-nama yang memakai SU, seperti Sumbadra, Subali,
Sugriwa, Sumantri, tetapi sudah selayaknya pembaca maklum itu adalah nama tokoh
pewayangan (Mahabarata dan Ramayana) India, jadi bukan tipikal Jawa.

Pertanyaannya, sejak kapan orang jawa ramai-ramai menggunakan nama SU? Tentu tidak ada
kepastian. Tetapi bolehlah dibuat hipotesis bahwa nama dengan SU mulai populer sejak abad
18, tatkala raja Mataram Islam mulai menggunakan gelar SUSUHUNAN dan menanggalkan
gelar Sultan. SU artinya mulia/baik/unggul, sedangkan SUHUNAN (SUNAN) adalah gelar
bagi wali islam. Susuhunan berarti raja yang mengungguli para Sunan. Memang pada waktu
itu pengaruh Sunan sangat kuat sehingga seorang raja sekalipun perlu menggunakan rekayasa
linguistik berupa gelar-gelar yang serba unggul. Sejak periode itu (abad 19 dan 20) terjadi
banjir nama orang Jawa dengan awalan SU, yang paling terkenal Sukarno (lebih baik/unggul
dari satria Karno), Suharto (unggul dalam hal harta), Supriyono (unggul melebihi pria
umumnya) dan seterusnya.

Apa maknanya jika dikaitkan dengan pendapat KH Fahmi Basya terkait dengan Nabi
Sulaiman sebagai orang Jawa? Dapatlah dipastikan bahwa beliau tidak memahami sejarah
jawa kuno dan terjebak pada fenomena Jawa masa kini. Justru saya meyakini bahwa diabad
21 ini orang Jawa sudah sedikit yang memberikan nama anaknya dengan awalan SU. Nama
bayi abad-21 sangat terpengaruh Arab dan Barat. Dengan demikian pendapat bahwa
Sulaiman adalah orang Jawa harus ditolak.

Keberatan lain terkait dengan penggunaan matematika islam untuk mengklaim Borobudur
dan Istana Ratu Boko. Prinsip dalam Al-Qur’an jelas, yaitu mudah dipahami, jikapun ada
ayat yang tidak jelas tentu dicari penjelasannya pada hadist Nabi, dalam hal ini tidak
dilakukan sama sekali. Jikapun seandainya Alloh SWT hendak mewahyukan bahwa
Borobudur itu dibangun oleh Nabi Sulaiman, apakah perlu dengan cara yang rumit, aneh dan
berliku-liku seperti matematikanya KH Fahmi Basya? Tidak mungkin, itu bertentangan
dengan prinsip pewahyuan.

Hipotesis bahwa Saba ada di Jawa dan terkait dengan Wanasaba (Wonosobo) menurut saya
terlalu gegabah. Coba perhatikan lagi ayat yang QS.34:15, terjemahannya menurut beliau
adalah “Dan sungguh adalah untuk Saba pada tempat mereka ada ayat, dua hutan sebelah
kanan dan kiri.” Kalau kita baca teks arabnya maka yang dimaksud hutan itu adalah “jannah”.
Para ulama sepakat bahwa kata jannah dalam ayat ini tidak bisa diartikan sebagai hutan,
tetapi kebun, diayat lainnya bahkan diartikan surga. Beda sekali pengertian antara hutan dan
kebun. Kita lihat bahwa beliau melakukan penterjemahan sekedar untuk mendukung
pendapatnya. Dengan demikian haruslah ditolak.

Benarkah surat lempengan emas nabi Sulaiman pernah ditemukan di bekas kolam Istana Ratu
Boko di Jawa Tengah? Lempengan emas itu memang ada, tetapi bukan berbahasa Ibrani,
Aramaic atau Arab, tetapi Jawa Kuno, bunyinya “Om Rudra ya namah swaha,” jika diartikan
memang sejajar dengan Bismillahirrahmanirrahiim. Apakah ini surat Sulaiman seperti
maksud Al-Qur’an? Jelas tidak. Perhatikan ada kata-kata “RUDRA”, nama ini adalah istilah
untuk Wisnu, dewa dalam trimurti. Apakah mungkin seorang nabi membuat kata pembuka
surat yang jelas-jelas bertentangan dengan misi kenabian? Kesimpulannya, inskripsi emas itu
adalah peninggalan hindu Jawa, dan tidak terkait dengan Nabi Sulaiman apalagi Al-Qur’an.

BIARKAN BOROBUDUR MENCERITAKAN DIRINYA SENDIRI.

Harus diakui bahwa kapan Borobudur dibangun dan oleh siapa tetaplah hipotesis. Pendapat
terkuat mengatakan ia dibangun pada abad ke-8 masehi oleh dinasti Syailendra pada periode
Mataram Hindu, diselesaikan pada masa Raja Samarattungga atau Pramodyawardani. Tetapi
sekali lagi ini tetap hipotesis. Sungguh, untuk menentukan Borobudur itu bangunan bersifat
apa, tidak terlalu sulit, karena bentuk, langgam, cerita relief, stupa dan patung-patung dapat
menceritakan nyaris semuanya.
Dalam liturgi agama Budha dikenal istilah mapradaksina, yaitu ziarah dengan cara berjalan
searah jarum jam, dimulai dari pintu timur Borobudur. Daksina artinya timur. Jika anda
melakukan pradaksina sambil membaca relief yang tertera, tingkat demi tingkat, maka akan
didapat cerita yang runut, yang telah dipecahkan oleh para pakar sebelumnya. Borobudur
terdiri dari tiga tingkat, Kama Dhatu (ranah hawa nafsu), Rupa Dhatu (ranah rupa-rupa
wujud), dan Arupa Dhatu (ranah keheningan batin). Relief diukir pada bagian Rupa Dhatu,
kecuali relief tentang Karmawibhangga (kitab sebab-akibat/karma) yang diukir pada Kama
Dhatu. Sedangkan Arupa Dhatu berhiaskan stupa-stupa kecil dan stupa besar di puncaknya.

Relief yang diukir sudah bisa dipecahkan oleh para pakar arkeologi dan filologi, misal pada
bagian Rupa Dhatu tingkat I diukir relief cerita Lalitawistara, Jataka dan Awadana. Tingkat II,
III dan IV diukir relief Gandawyuha, Jataka dan Awadana. Sekedar penjelasan Lalitawistara
merupakan penggambaran riwayat Sang Budha (walau tidak lengkap) dimulai dari turunnya
Sang Budha dari surga Tushita dan berakhir dengan khotbah pertama di Banares India. Jataka
adalah berbagai cerita tentang Sang Budha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Sidharta,
berisi penonjolan sikap terpuji. Sedangkan Gandawyuha adalah cerita seorang yang bernama
Sudhana yang berkelana mencari pencerahan sejati, digambarkan dalam 460 pigura yang
dipahat berdasarkan kitab Budha aliran Mahayana yang berjudul Gandawyuha dan
Bhadracari.

Yang hendak saya tegaskan disini adalah, apakah pengarang buku Borobudur dan
Peninggalan Nabi Sulaiman ini telah berhasil memecahkan bahwa relief itu bukan
Lalitawistara, Jataka, Awadana, Gandawyuha dan seterusnya? Hipotesis baru hendaknya
dimulai dengan mematahkan yang lama. Ternyata sama sekali tidak. Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa beliau ini bukan ahli jawa kuno, arkeologi dan filologi mumpuni,
sehingga tidak kompeten untuk memunculkan hipotesis baru.

Patung-patung yang berjumlah 504 juga telah menjelaskan dirinya sendiri, ia adalah patung
budhis dengan mudra (sikap duduk) yang telah dikenal luas oleh masyarakat Budha, yaitu
bhumisparsa mudra, wara mudra, dhyana mudra, abhya mudra, witarka mudra dan
sebagainya. Pengarang buku juga tidak membahas esensi patung ini. Juga, apakah mungkin
seorang nabi justru memerintahkan membuat patung sedahsyat di Borobudur? Dari segi rasa
dan pandangan mata sepintas saja, orang muslim, kristen, dan yahudi bisa memahami itu
adalah patung budhis. Sama sekali tidak muncul kesan yang cukup bahwa Borobudur
bernuansa biblikal apalagi quranik.

Alih-alih menganalisis dan membantah apa yang sudah nyata, justru beliau mencari-cari dan
memaksakan ayat-ayat Al-Qur’an agar selaras dengan klaimnya. Ini berbahaya. Berpotensi
merendahkan Al-Qur’an sekedar sebagai kitab sejarah murahan atau matematika ghaib.
Wallahualam.

Note : saya tidak sedang mendiskreditkan suku Jawa, karena saya sendiri orang Jawa tulen.
Malah saya bangga jadi orang Jawa :D

Anda mungkin juga menyukai