Anda di halaman 1dari 36

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT LAPORAN KASUS

DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS OKTOBER 2018

UNIVERSITAS HASANUDDIN

DIABETES MELLITUS

Disusun Oleh :

Raja Muhammad Syafiq Raja Azman C111 13 841


Zulfatul Ain binti Zulkefli C111 13 860
Shaliza Binti Hussin C111 13 854
Rezki Tri Wahyuni C111 12 143

Pembimbing :

dr. Utami Murti Pratiwi

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama & NIM : 1.Raja Muhammad Syafiq Bin Raja Azman C111 13 841
2.Zulfatul Ain binti Zulkefli C111 13 860
3.Shaliza Binti Hussin C111 13 854
4. Rezki Tri Wahyuni S. C111 12143

Judul Laporan Kasus :Diabetes Mellitus Tipe 2

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen


Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2018

Mengetahui :

Pembimbing,

dr. Utami Murti Pratiwi

2
STATUS PASIEN

I. Identitas
Nama : Ny Lita Harta NA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 10 Agustus 1954
Umur : 54 tahun
Alamat : BTN Hamsih
Agama : Islam
Status : Kawin
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Penjamin : BPJS

II. Anamnesis
Keluhan Utama : Kram-kram di kedua belah kaki.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Kram-kram dirasakan sejak 1 tahun lalu. Kram-kram dirasakan pada waktu malam
dan setelah melakukan aktivitas. Selain itu kram-kram juga dirasakan pada jari-jari
tangan. Pasien juga mengeluhkan sering terbangun malam untuk buang air kecil.
Setiap malam hampir 2-3 kali ke kamar kecil. Pasien juga tidak dapat menahan jika
mahu buang air kecil sehingga pasien sering buang air kecil di tempat tidur. Pasien
sering merasa haus dan selalu ingin minum air putih. Pasien mengatakan tidak ada
penurunan berat badan yang dialaminya. Pasien juga mengeluh sering merasa
tegang dibagian belakang kepala dan lehernya.
Pasien didiagnosa dengan diabetes melitu sejak 18 tahun yang lalu. Pasien
dengan riwayat mendapat pengobatan metformin. Riwayat penyakit yang sama
dalam keluarga ada yaitu ibu pasien yang di diagnosa dengan diabetes mellitus tipe
2. Selain itu, pasien juga memiliki penyakit hipertensi. Pasien sekarangan dengan
pengobatan obat Metformin, Simvastatin, Allopurinol, amlodipin, dan Vitamin B1,
B6, B12 dan mengambil rujukan dari Klinik HNC serta terdaftar pada program
Prolanis. Buang air besar biasa berwarna kuning. Buang air kecil lancar berwarna
kuning.

3
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat alergi tidak ada, riwayat hipertensi tidak ada ,
riwayat kolesterol ada, riwayat asam urat tidak ada, riwayat keluhan serupa di
keluarga tidak ada.

Riwayat Pengobatan :
Riwayat mengkonsumsi obat-obat antihipertensi ada, riwayat mengkonsumsi obat-
obatan anti diabetes melitus dan kolesterol ada, pasien mendapat pengobatan tablet
Metformin dan Simvastatin satu bulan terakhir, pasien juga mengkonsumsi vitamin
B1, B6, B12 selama satu bulan terakhir, riwayat mengkonsumsi obat-obat
antidiuretik tidak ada, riwayat mengkonsumsi obat-obatan penyakit jantung tidak
ada.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Ibu kandung pasien pernah menderita Diabetes Melitus tipe 2
Riwayat Konsumsi Makanan dan Minuman :
Makanan : Makanan biasa
Minuman : Air putih
Riwayat Kebiasaan : Konsumsi alkohol disangkal, merokok disangkal

III. Pemeriksaan fisik


 Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 170/110 mmHg
Laju nafas : 22x/menit
Nadi : 90x/menit
Suhu : 36,7 °C
Antropometri
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 156 cm
IMT = 24,7

4
 Status Lokalis
 Kepala dan leher : anemis (-/-), ikterik (-/-), pembesaran KGB (-)
 Thorax
o Paru :
 Inspeksi : Pergerakan dada simetris, D=S
 Palpasi : Fremitus raba simetiris, D=S
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
o Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL (S)
 Perkusi :
 Batas jantung kanan : ICS III PSL (D)
 Batas jantung kiri : ICS V MCL (S)
 Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen
o Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
o Palpasi : Nyeri tekan (-)
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Ekstremitas : akral hangat, edema (-), kelemahan pada kedua tungkai (-) ,
parestesia pada jari-jari kedua kaki (+), atrofi otot (-), mutilasi (-)

IV. Pemeriksaan penunjang


Hasil Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Gula Darah Awal:
Gula Darah Puasa ( Tanggal 04 Oktober 2018 ) : 144 mg/dl

V. Penatalaksanaan
1. Personal care
a. Initial Plain

5
Usulan Pemeriksaan Penunjang:
 Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu, Gula Darah Puasa dan Gula Darah 2
jam post prandial
 Pemeriksaan HbA1C

b. Non Medikamentosa
 Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi
 Pengaturan cara dan pola makan berupa makanan bergizi dan seimbang.
 Diet tinggi protein, rendah karbohidrat, rendah lemak, dan tinggi serat

c. Medikamentosa
 Metformin 500 mg 3x1
 Simvastatin 3x1
 Amlodipin 10mg
 Captopril 25mg
 Allopurinol
 Vit.B1, B6, B12 2x1

d. KIE (Konseling, Informasi, dan Edukasi)


 Edukasi untuk minum obat secara teratur
 Penjelasan keluarga pasien tentang penyakit diabetes melitus serta
pencegahan komplikasi.
 Mulai membiasakan diri tidak memakan makanan tinggi karbohidrat
dan tinggi lemak
 Tanda-tanda kegawatan atau muncul komplikasi dari diabetes mellitus
segera bawa pasien ke rumah sakit
 Olahraga teratur
 Kontrol setiap bulan ke puskesmas atau klinik dokter keluarga untuk
cek gula darah

6
e. Monitoring
Pasien secara rutin memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan 1
minggu setelah keluhannya berangsur pulih untuk memantau gula darah
dan keefektifan pengobatan.

2. Family Focus
a. Memberikan pengatahuan kepada keluarga pasien tentang pencegahan
terjadinya komplikasi Diabetes Melitus.
b. Meningkatkan imunitas pasien dengan makan makanan bergizi dan
seimbang.
c. Pasien mendapatkan dukungan psikologis dari keluarga

3. Community Focus
a. Pasien juga mendapatkan dukungan psikologis dari dokter dan tenaga
medis lainnya
b. Menjaga gaya hidup sehat di lingkungan tempat tinggal oleh seluruh warga
desa tempat pasien tinggal

VI. Prognosis

Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

7
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikan
dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.
Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan,ganguan
fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan ganguan metabolisme semua
sumber makanan tubuh kita, kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan
metabolisme karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu
berdasarkan tinginya kadar glukosa dalam plasma darah.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, DM merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan adanya hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.Sedangkan menurut
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2002) DM merupakan kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan
kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang dapat dilatarbelakangi oleh
kerusakan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Apabila hormon insulin yang
dihasilkan oleh sel beta pankreas tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi
sumber energi bagi sel, maka glukosa tersebut akan tetap berada dalam darah dan
kadar glukosa dalam darah akan meningkat sehingga timbullah DM.
WHO telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin.

B. Epidemiologi

8
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-
beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA 2012),
sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara itu, di Indonesia
prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun,bahkan di daerah Manado
prevalensi DM sebesar 6,1%.
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita lebih
berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan
indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008,
menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012
angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana
proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang
menderita diabetes mellitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes
mellitus tipe 1.
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di
daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural
yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka
itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah Urban dengan
daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes.
Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47%
di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus
terkait malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah
rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi
DM tipe 2 sebesar 14l7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di
Makassar, prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun
2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan
melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit tidak menular di Jakarta yang
melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut
melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM
yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%.
Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih
cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.

9
C. Etiologi
Penyebab Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi :
a. DM Tipe I (IDDM) : DM tergantung insulin
- Faktor genetic herediter
Faktor herediter menyebabkan timbulnya DM melalui kerentanan sel-sel beta
terhadap penghancuran oleh virus atau mempermudah perkembangan antibody
autiomun melawan sel-sel beta, jadi memgarah pada penghancuran sel-sel beta.
- Faktor infeksi virus
Berupa infeksi virus coxakie dan Gondogen yang merupakan pemicu yang
menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara genetik.
b. DM Tipe II (NIDDM) : DM tidak tergantung insulin
Terjadi paling sering pada orang dewasa, dimana terjadi obesitas pada
individu, obesitas dapat menurunkan jumlah resoptor insulin dari dalam sel target
insulin diseluruh tubuh. Meningkatkan efek metabolik yang biasa.
c. DM Malnutrisi
- Fibro Calculous Pancreatic DM (FCPD)
Terjadi karena mengkonsumsi makanan rendah kalori dan rendah protein
sehingga klasfikasi pankreas melalui proses mekanik (Fibrosis) atau toksik
(Cynide) yang menyebabkan sel-sel beta menjadi rusak.
- Protein Defesiensi Pancreatic Diabetes Mellitus (PDPD)
Karena kekurangan protein yang kronik menyebabkan hipofungsi sel Beta
Pancreas.

D. Klasifikasi
Kategori dasar sesuai dengan anjuran The national Diabetes Data Group
kecuali pembagian diabetes menjadi tipe primer dan sekunder. Primer menunjukan
tidak ada penyakit pernyerta sedangkan pada kategori sekunder dikenali beberpa
keadaan yang menyebabkan atau memungkinkan terjadinya sindroma diabetik.
Istilah tipe 1 sering digunakan sebagai anonim diabetes tergantung insulin
(IDDM, insulin dependent diabetes mellitus) dan diabetes tipe 2 dianggap sama
dengan diabetes tidak tergantung insulin (NIDDM, non insulin dependent diabetes
mellitus). Istilah ini mungkin tidak ideal karena sebagian pasien dengan diabetes

10
tidak tergantung insulin yang jelas nyatanya dapat berkembang menjadi diabetes
tergantung insulin penuh dan cenderung mengalami ketoasidosis. Gambaran pasien
pada keadaan ini adalah pasien non-obes yang biasanya menunjukkan antigen HLA
disertai kerentanan terhadap diabetes tergantung insulin dan mempunyai bukti
adanya respon imun terhadap antigen sel pulau pankreas. Karena alasan ini,
klasifikasi dimodifiasi sehingga istilah tergantung insulin dan tidak tergantung
insulin menggambarkan keadaan fisiologik (berturut-turut cenderung ketoasidosis
dan resistensi ketoasidosis) sedangkan tipe 1 dan tipe 2 mengacu pada mekanisme
patogenesis (berturut-turut diperantarai respon imun dan tanpa perantara imun).
Kategori 2 adalah tahap pertengahan perusakan autoimun dan insulin masih
cukup untuk mencegah ketoasiodosis tetapi tidak cukup untuk mempertahankan
glukosa darah normal. Tahap NIDDM tipe 1, diabetes dapat muncul ketika proses
autoimun mulai pda usia lebih tua dan berkemang lebih lambat. Keadaan tersebut
jarang terlihat, sedang IDDM tampak pada masa kanak-kanak atau dewasa muda.
Bentuk diabetes sekunder mencakup keadaan pejamu. Penyakit pankreas, terutama
pankreatitis kronik pada akoholik. Penghancuran massa sel beta merupakan
ekanisme penybabanya. Penyebab hormonal meliputi feokrositoma, akromegali,
sindroma cushing dan pemberian hormon steroid terapeutik. Hperglikemia dan
ketoasidosis dapat terjadi akibat kelainan kadar reseptor insulin. Sejumlah
sindroma genetik disertai dengan gangguan toleranasi glukosa atau hiperglikemia.
Tiga sindroma yang paling lazim adalah lipodistropi, distropi miotonik
dan ataksia-talangiektasia. Kategori terakhir adalah kategori lain-lain yang belum
bisa dijelaskan dan dimasukkan kedalam skema etiologi lainnya.

E. Patofisiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan,
yaitu:
a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia, dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.

11
Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang ditandai
adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi insulin)
pada organ target terutama hati dan otot. Awalnya resistensi insulin masih belum
menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih
dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa
darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi
ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara
klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang
memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus. Otot adalah penggunaan glukosa
yang paling banyak sehingga resistensi insulin mengakibatkan kegagalan ambilan
glukosa oleh otot.
Fenomena resistensi insulin ini terjadi beberapa dekade sebelum onset DM
dan telah dibuktikan pada saudara kandung DM Tipe 2 yang normoglikemik.
Selain genetik, faktor lingkungan juga mempengaruhi kondisi resistensi insulin.
Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting
yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon yang dikeluarkan oleh
sel beta pancreas. Dalam keadaan normal kadar insulin cukup sensitif, insulin akan
ditangkap oleh reseptor insulin yang ada pada permukaan sel otot, kemudian
membuka pintu masuk sel hingga glukosa dapat masuk ke dalam sel untuk
kemudian dibakar menjadi dibakar menjadi energi/tenaga. Akibatnya, kadar
glukosa dalam darah normal.

12
Pada diabetes didapatkan jumlah insulin yang kurang atau pada keadaan
kualitas insulin yang kurang atau pada keadaan kualitas insulinnya tidak baik
(resistensi insulin), meskipun insulin ada dan reseptor juga ada, tetapi karena ada
kelainan didalam sel itu sendiri pintu masuk sel tidak dapat terbuka (tertutup)
sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel untuk di bakar (dimetabolisme).
Akibatnya glukosa tetap berada di luar sel, hingga kadar glukosa dalam darah
meningkat.
Seiring dengan progresifitas penyakit, maka produksi insulin ini berangsur
menurun menimbulkan klinis hiperglikemia yang nyata. Hiperglikemia awalnya
terjadi pada fase setelah makan saat otot gagal melakukan ambilan glukosa dengan
optimal. Pada fase berikutnya dimana produksi insulin semakin menurun, makan
terjadi produksi glukosa hati yang berlebihan dan mengakibatkan meningkatnya
glukosa darah pada saat puasa. Hiperglikemia yang terjadi memperberat gangguan
sekresi insulin yang sudah ada dan disebut dengan fenomena Glukotoksisitas.
Kemungkinan dasar molecular DM tipe 2 antara lain defek enzim
glukokinase, protein transporter GLUT-2, enzim glikogen sintase, reseptor insulin,
RAD (Ras associated with diabetes), dan mungkin apolipoprotein III. Semua
kelainan yang menyebabkan gangguan transpor glukosa dan resistensi insulin akan
menyebabkan hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi DM.
Selain pada otot, resistensi insulin juga terjadi pada jaringan adiposa
sehingga merangsang proses lipolisis dan meningkatkan asam lemak bebas. Hal ini
juga mengakibatkan gangguan proses ambilan glukosa oleh sel otot dan
menganggu sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Fenomena ini yang disebut
dengan lipotoksisitas.
Dengan dasar pengetahuan ini maka dapatlah diperkirakan bahwa dalam
mengelola diabetes tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologi sangat
tergantung pada fase mana diagnosis diabetes ditegakkan yaitu sesuai dengan
kelainan dasar yang terjadi pada saat tersebut seperti:
a. Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
b. Kenaikan produksi glukosa oleh hati.
c. Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.

13
F. Faktor Resiko
Faktor Resiko Diabetes Melitus:
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa
darah, pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita
Diabetes Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma
insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien
Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi
> 4000 gram.
7. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan
peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidakaktifan
fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan
darilingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi
perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan

14
dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu metabolisme
gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.

G. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum),
poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu
hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan
bayi berat lahir lebih dari 4kg.
Patofisiologi gejala DM
Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui
terutama adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek
insulin yang tidak adekuat.
Hiperglikemia pada diabetes melitus terjadi akibat penurunan
pengambilan glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan
konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini
juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati
sebagai respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa
intrasel ini juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga
frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya
hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus
terus-menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi
dapat berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya

15
tekanan filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting
adalah kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga
disertai dengan kolapsnya sirkulasi. Dan perubahan volume sel akibat
keadaan hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat
mengganggu fungsi sel-sel dalam tubuh.
Kadar glukosa plasma yang tinggi (di atas 180 mg%) yang melewati
batas ambang bersihan glukosa pada filtrasi ginjal, yaitu jika jumlah glukosa
yang masuk tubulus ginjal dalam filtrat meningkat kira-kira diatas
225mg/menit, maka glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang atau
terekskresi ke dalam urin yang disebut glukosuria. Keberadaan glukosa dalam
urin menyebabkan keadaan diuresis osmotik yang menarik air dan mencegah
reabsorbsi cairan oleh tubulus sehingga volume urin meningkat dan terjadilah
poliuria. Karena itu juga terjadi kehilangan Na dan K berlebih pada ginjal.

H. Diagnosis
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah
sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa
lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya
diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM
pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.
Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan
dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun
cepat.
Tabel. Kriteria Diagnosis DM

16
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi,
riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr,
kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

17
Gambar. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi
Glukosa

I. Penatalaksanaan
Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi
yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan
jasmani dan penurunan berat badan bila didapatkan berat badan lebih atau obesitas.
Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu
mencapai sasaran pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan dengan
penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap
melakukan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai.
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan
titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia.

18
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibat adanya
infeksi, stress akut (gagal jantung, iskemi jantung akut), tanda-tanda defisiensi
insulin yan berat ( penurunan berat badan yang cepat, ketosis, ketoasidosis) atau
pada kehamilan yang kendali glikemiknya tidak terkontrol dengan perencanaan
makan, maka pengelolaan farmakologis umumnya memerlukan terapi insulin.
Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di Rumah Sakit.
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
5. Cangkok pankreas
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes
memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara
mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan

19
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan
energi.
o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
o Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang
berserat tinggi.
o Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang
lain.
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula,
asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-
Daily Intake)
o Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan
karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan
makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori.
Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

20
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak
jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
Protein
 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan pro-tein menjadi 0,8
g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologiktinggi.
Natrium
 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan
6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan na-trium nitrit.
Serat
 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes di-anjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternative
 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol danfruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol
danxylitol.

21
 Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek
samping pada lemak darah.
 Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI).
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 2530 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg.
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI 10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,522,9
BB Lebih ≥ 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity
and its Treatment.
 Dengan risiko 23,024,9

22
 Obes I 25,029,9
 Obes II > 30
Faktorfaktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade
antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan
dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,
20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50%
dengan aktivitas sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila
kurus ditambah sekitar 2030% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
10001200 kkal perhari untuk wanita dan 12001600 kkal perhari untuk pria.
3. Latihan Jasmani
ada diabetes tipe 2, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali glukosa
secara menyeluruh, terbukti dengan penurunan konsentrasi HbAIc, yang cukup
menjadi pedoman untuk penurunan resiko komplikasi diabetes dan kematian.
Selain mengurangi resiko, latihan jasmani akan memberiikan pengaruh
yang baik pada lemak tubuh , tekanan arteri, sensitivitas barorefleks, vasodilatasi
pembuluh yang endothelium-dependent, aliran darah pada kulit, hasil perbandingan
antara denyut jantung dan tekanan darah (baik saat istirahat maupun aktif. 9,10
Pada DM tipe 1, latihan jasmani akan menyulitkan pengaturan metabolik,
hingga kendali gula darah bukan merupakan tujuan latihan. Tetapi latihan
endurrance ternyata terbukti akan memperbaiki fungsi endotel vaskular. Dari
penelitian epidemiologi retro dan prospektif , juga ternbukti bahwa latihan jasmani
yang teratur akan mencegah komplikasi makro maupun mikrovaskular serta
meningkatkan harapan hidup. 9,10

23
Pada kedua tipe diabetes, manfaat latihan jasmani secara teratur akan
memperbaiki kapasitas latihan aerobik, kekuatan otot, dan mencegah osteoporosis.
Tabel. Aktivitas Sehari-hari

4. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.

24
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan
sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas IIV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek
samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e. DPPIV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa
usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1
merupakan

25
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat
sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang
tidak aktif.
Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP4
(penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP4
inhibitor, mampu menghambat kerja DPP4 sehingga GLP1 tetap dalam
konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang
penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
Suntikan
1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

26
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi
insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi
oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi
belum tercapai.

27
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan
A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa
darah prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk
mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam
bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1
kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali
prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat
sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat
penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain
rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah,
untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar
glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-

28
combinationdalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari
kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar
glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari
kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah
adalah 610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi
dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Penilaian Hasil Terapi
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah. Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada
waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin,

29
atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 812 minggu sebelumnya. Tes ini
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam
setahun.

c. Pemeriksaan Glukosa Urin


Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.
Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar
glukosa darah. Batas ekskresi glu-kosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat
bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka
waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak
dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

d. Pemantauan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar

glukosa darah>300 mg/dL). Peme-riksaan benda keton juga diperlukan pada

30
penyandang diabe-tes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar
asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta
hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta
hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus.
Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0
mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD.
Pengukuran kadar glukosa darah dan benda ke-ton secara mandiri, dapat
mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diper-lukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes
terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan
serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian
pula status gizi dan tekanan darah.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran
kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125
mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid,
tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian
sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan
juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia
dan interaksi obat.
Tabel. Target Pengendalian DM

31
J. Komplikasi
Diabetes mellitus atau DM jika tidak ditangani dengan baik akan
mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata,
ginjal, jantung, pembuluh darahkaki dan syaraf. Sejak ditemukanya insulin
gambaran komplikasi DM bergeser dari komplikasiakut seperti koma ketoasidosis
dan infeksi ke arah komplikasi kronik. Penyakit jantung koroner (PJK) dan
penyakit pembuluh darah otak 2 x lebih besar, 50x lebih mudah menderita ulkus
atau gangren , 7x lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal dan 25x lebih
cenderung mengalamikebutaan akibat kerusakan retina daripada pasien non DM.
Komplikasi DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh
bagian tubuh (Angiopati diabetik).
Akut
1) Ketoasidosis diabetik
2) Hiperosmolar non ketotik
3) Hipoglikemia
Kronik
1) Makroangiopati :
- Pembuluh koroner
- Vaskular perifer
- Vaskular otak
2) Mikroangiopati :
1.Kapiler retina
2.Kapiler renal
3) Neuropati
4) Gabungan :Kardiopati (PJK,Kardiomiopati)
5) Rentan infeksi
6) Kaki diabetic, disfungsi ereksi

K. Pencegahan
 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk

32
mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi
program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan
kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan
memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas
yang memadai dalam upaya pencegahan primer.
 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak
awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru,
yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan
berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan
kardiovaskular pada penyandang diabetes.
 Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat
komplikasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari
komplikasi menjadi kecatatan tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin
bagi penderita yang mengalami kecacatan. Sebagai contoh, acetosal dosis rendah
(80-325 mg) dapat dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang
sudah mempunyai penyakit makroangiopati. 13
Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien pasien
dengan dokter mapupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang
terkait dengan komplikasinya. Penyuluhan juga sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit DM. Dalam
penyuluhan ini yang perlu disuluhkan mengenai :
1. Maksud, tujuan, dan cara pengobatan komplikasi kronik diabetes
2. Upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan
3. Kesabaran dan ketakwaan untuk dapat menerima dan memanfaatkan
keadaan hidup dengan komplikasi kronik.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait juga
sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama
disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli

33
disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi,
rehabilitasi, medis, gizi, pediatri dan sebagainya.

BAB II

KESIMPULAN

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang


mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Efek kronik dari penyakit DM
juga menjadi perhatian yang serius selain dari segi epidemologi. Penyakit Diabetes
Mellitus merupakan the great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu
menyebabkan kerusakan organ secara menyeluruh secara anatomis maupun fungsional.
Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Patogenesis diabetes mellitus melibatkan
faktor–faktor genetik, biomolekuler, imunologi, dan lingkungan. Penyakit diabetes
mellitus memerlukan penatalaksanaan medis dan keperawatan untuk mencegah komplikasi
akut seperti ketoasidosis dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang
dapat menyebabkan kematian dan juga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang,
seperti penyakit makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya.

34
Penyakit diabetes mellitus perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik oleh
dokter serta petugas medis lainnya. Secara kuratif dan rehabilitatif seperti pengontrolan
kadar gula darah, melakukan perawatan luka dan mengatur diet makanan yang harus
dimakan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar gula darah. Selain itu dokter juga
berperan secara preventif yaitu dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang
penyakit diabetes melitus untuk meningkatkan pemahaman pasien dan mencegah
terjadinya komplikasi. Komplikasi DM akut dan kronik frekuensinya masih sangat tinggi
di Indonesia, karena kesadaran/kepatuhan penderita masih rendah, tenaga medis yang
belum memadai dalam pencegahan primer, sekunder, dan tersier, dan fasilitas RS belum
memadai dan merata.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association; Standards of Medical Care in Diabetes 2014.


American Diabetes Association. Diabetes CareVolume 38, Supplement 1, January 2015.
USA.
American Diabetes Association (ADA) Diabetes Guidelines Summary Recommendations
from NDEI. 2016.
American Diabetes Association (ADA) Physical Activity/Exercise and Diabetes Mellitus.
Diabetes Cae 2003;26 S73-S77.
Foster DW, et al. Diabetes melitus. Dalam: Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi V.
Jakarta : balai penerbit FKUI, 2009.
Harding, Anne Helen et al. Dietary Fat and Risk of Clinic Type Diabetes. American
Journal of Epidemiology.2003;15(1);150-9.

35
Hawkins M, Rossetti L. Insulin Resistance and Its Role in the Pathogenesis of Type 2
Diabetes. In : Kahn CR, King GL, Moses AC, Weir GC, Jacobson AM, Smith RJ
(Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg
425-448, 2005
Kasper, dkk. 2015 Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th Edition. New York: Mc
Graw Hill Educatio
Leahy JL. B-cell Dysfunction in Type 2 Dia betes In: Kahn CR, King GL, Moses AC,
Weir GC, Jacobson AM , Smith RJ (Eds) Joslin’s Diabetes Mellitus. Lippincott
Williams & Wilkin. Philadelphia. Pg 449-462, 2005
Nathan MN, Buse JB, Mayer BD, Ferrannini E, Holman RR, Sherwin R et al. Medical
management of Hyperglycemia in Type 2 Diabetes A consensus Algorithm for the
Initiation and Adjustment of Therapy. A consensus statement of the American
Diabetes Association and the European Association for the Study of Diabetes.
Diabetes Care 2008; 31:1-11.
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
2011. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2011.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia 2015. Konsesus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Persi, dkk. Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes. 2008.
Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. Patofisiologi
: Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc
Soegondo S, Purnamadari D, Waspadji S,Saksono D, Prevalence of Diabetes Mellitus in
Jakarta. The Jakarta Primary Non-Communicable Disease Risk Factor
Surveillance.2006. Unpublished.
Stadies dan Lipid. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo/ Fakultas Kedokteran. Universitas
Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2005 : hal 17-28
WHO. Definition. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complication.
World Health Organization Departement of Noncommunicate Disease Surveil,lance.
Geneva 1999
WHO Technical Report Series No.884: Prevention of Diabetes Melitus 1994

36

Anda mungkin juga menyukai