Anda di halaman 1dari 8

HAKEKAT PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Definisi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


Pendidikan kewarganegaraan sangat erat kaitannya dengan pengembangan
kemampuan intelektual dan partisipasi peserta didik sebagai warganegara. Pendidikan
kewarganegaraan merupakan model pendidikan yang mengajarkan pengetahuan dan
pemahaman tentang kehidupan berbangsa dan bernegara kepada warganegara yang
erat kaitannya dengan hak dan kewajibannya.
Ditinjau dari kata, pendidikan kewarganegaraan merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris yaitu civics. Istilah civics sendiri berarti kewarganegaraan. Secara
historis kata civics menurut Komalina dan Syaifullah (2008:59) merupakan terjemahan
dari bahasa Yunani yakni civicus, yang berarti penduduk sipil (citizen) yang
melaksanakan kegiatan demokrasi langsung dalam polis (negara kota) atau city state.
Masih secara historis, Komalina dan Syaifullah (2008:1) menyebut timbulnya
pendidikan kewarganegaraan (civic education) tidak lepas dari Civic yang diajarkan di
Amerika Serikat mulai tahun 1791.
Beberapa negara di dunia, termasuk di Indonesia, mengadopsi pendidikan
kewarganegaraan yang mula-mulanya diajarkan di Amerika Serikat pada kerangka
kurikulum pendidikan negaranya. Beberapa contohnya dapat dilihat merujuk pada
temuan Kerr (1999:18) sebagai berikut:
Tabel 1. Istilah Pendidikan Kewarganegaraan di Berbagai Negara
Negara Terminologi
Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan
Amerika Serikat Civics/Civic Education
Inggris Education for Citizenship
Kanada Social Studies
Perancis Civics (sebagai bagian dari “Discovering the World”), Education
Civique, Juridique et Sociale
Jerman Sachunterricht
Belanda Social structure and life skills
Malaysia Pendidikan Sivik dan Kewarganegaraan
Spanyol Educacion ayat La Ciudadania
Norwegia Primary Mandate of Social Study
Korea Simin Gyoyung
Singapore Civics and Moral Education
Mexico Education Civicas
Timur Tengah Ta’limatul Muwwatanah, Tarbiyatul Al Watoniah
Australia Civics, Social Studies
Selandia Baru Social Studies
Hungaria People and Society
Afrika Selatan Life Orientation
Rusia Obscesvovedinie
Jepang Social Studies, Living Experience and Moral Education
China Daode Jiaoyu (Pendidikan Moral)

Sebagai program pendidikan yang bertujuan untuk membentuk warganegara


yang mengetahui dan memahami tentang posisi dan peran dirinya dalam
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, pemberian pendidikan
kewarganegaraan berkonsekuensi logis terhadap muatan materi yang sarat dengan
nilai-nilai moral, sosial, politik, demokrasi, hak asasi manusia, hukum, dan
pemerintahan. Oleh karenanya tidak berlebihan jika tujuan besar dari pendidikan
kewarganegaraan adalah warganegara yang cerdas dan baik (smart and good citizen).
Tujuan tersebut dapat dimaknai sebagai gambaran warganegara yang mengetahui dan
memahami mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk kepada pengetahuan, pemahaman, dan analisis
mengenai ideologi dan konstitusi negara, sistem pemerintahan dan sistem politik
negaranya, etika dan sistem hukum yang berlaku di negaranya, serta keberadaan
dirinya sebagai warganegara dan warga global.
Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang
bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat
lokal, negara, dan nasional. Somantri (2001:279) menguraikan tujuan umum
pendidikan kewarganegaraan ialah mendidik warganegara agar menjadi warganegara
yang baik, yang dapat dilukiskan warganegara yang patriotik, toleran, setia terhadap
bangsa dan negara, beragama, demokratis, pancasila sejati.
Winataputra (2014) mengatakan secara holistik pendidikan kewarganegaraan
bertujuan agar setiap warganegara muda (young citizens) memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, nilai dan norma Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan komitmen Bhinneka
Tunggal Ika, dan komitmen bernegarakesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Maftuh
dan Sapriya (2005:30) mengatakan bahwa tujuan negara mengembangkan pendidikan
kewarganegaraan agar setiap warganegara menjadi warganegara yang baik (to be good
citizens) yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics intelegence) baik
intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual: memiliki rasa bangga dan
tanggungjawab (civics responsibility) dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memberlakukan pendidikan
kewarganegaraan dalam kurikulum pendidikannya. Dalam kerangka sistem pendidikan
di Indonesia, menurut Winataputra dan Budimansyah (2007:70) status pendidikan
kewarganegaraan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Sebagai mata pelajaran di sekolah
2. Sebagai mata kuliah di perguruan tinggi
3. Sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial dalam
kerangka program pendidikan guru
4. Sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentuk Penataran
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4) atau
sejenisnya yang pernah dikelola pemerintah sebagai crash program
5. Sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan
kelompok pakar terkait yang dikembangkan sebagai landasan dan kerangka
berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam status pertama,
kedua, ketiga dan keempat.
Diberlakukannya pendidikan kewarganegaraan dalam status-status tersebut
mengacu pada alasan diberikannya pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.
Winataputra (2006) mengemukakan beberapa alasan diberikannya pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia, yakni:
a. Alasan Historis : Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda
1928 dan Proklamasi 1945.
b. Alasan Legalistik : Pesan konstitusional UUD 1945, perundang-
undangan lainnya antara lain UU No. 2 tahun 1989
yang diubah menjadi UU No. 20 tahun 2003.
c. Alasan Epistemologis : Citizenship transmission dalam social studies,
citizenship education, dan civic education.
d. Alasan Pedagogis : Kurikulum SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi
serta pendidikan demokrasi.
e. Alasan Sosio-Politis : Pancasila, masyarakat madani dan negara
kesatuan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 37 ayat (2) mengatur bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa. Dalam penjelasannya,
disebutkan bahwa pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Dalam konteks itulah, pendidikan kewarganegaraan juga diberikan pada mahasiswa di
perguruan tinggi.
Dalam kerangka tersebut maka pendidikan kewarganegaraan termasuk pada
kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Menurut Widisuseno
(2006:2) matakuliah pengembangan kepribadian adalah suatu program pendidikan
nilai yang dilaksanakan melalui proses pembelajaran di perguruan tinggi dan berfungsi
sebagai model pengembangan jati diri dan kepribadian para mahasiswa, bertujuan
membangun manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME,
berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri, serta mempunyai rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Ada beberapa landasan yang menjadikan pendidikan kewarganegaraan sebagai
MPK di perguruan tinggi, yakni:
1. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000, tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar
Mahasiswa, yang menetapkan bahwa pendidikan agama, pendidikan
pancasila dan pendidikan kewarganegaraan merupakan kelompok mata
kuliah pengembangan kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum
setiap program studi/kelompok program studi.
2. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.045/U/2002 tentang kurikulum
inti pendidikan tinggi, yang menetapkan bahwa pendidikan agama,
pendidikan pancasila, dan pendidikan kewarganegaraan merupakan
kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian yang wajib diberikan
dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi.
3. Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang rambu-
rambu pelaksanaan pembelajaran kelompok mata kuliah pengembangan
kepribadian di perguruan tinggi yang menetapkan status dan beban studi
kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian.
Merujuk pada Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 43/Dikti/Kep/2006,
kelompok MPK, termasuk pendidikan kewarganegaraan, memiliki visi sebagai sumber
nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna
mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia
seutuhnya, dengan misi membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar
secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan,
rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dimilikinya dengan
rasa tanggung jawab.
Visi dan misi tersebut dibingkai dalam standar kompetensi kelompok MPK yang
wajib dikuasasi mahasiswa yang meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama,
budaya, dan kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis: bersikap
rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan bersikap demokratis yang
berkeadaban. Sedangkan untuk matakuliah pendidikan kewarganegaraan, kompetensi
dasar yang telah dirumuskan adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis yang berkeadaban; menjadi warga
negara yang memiliki daya saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam
membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
Sebagai matakuliah pengembangan kepribadian, tak berlebihan juga bila
pendidikan kewarganegaraan dikatakan mengusung misi pendidikan nilai dan moral.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Winataputra (2008:38) yang mengatakan bahwa:
1. Materi PPKn adalah konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 1945 beserta
dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.
2. Sasaran belajar akhir PPKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam
perilaku nyata kehidupan sehari-hari.
3. Proses pembelajarannya menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan
sosial, sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif), tetapi
dihayati (bersifat objektif) dan dilaksanakan (bersifat perilaku).
Selain itu, diberikannya pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi juga
berupaya untuk mengembangkan kompetensi kewarganegaraan (civic competence)
yang mencakup kompetensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge),
kompetensi keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan kompetensi watak
kewarganegaraan (civic dispositions). Menurut Branson (1999:9), komponen
kompetensi pengetahuan kewarganegaraan ini diwujudkan dalam bentuk lima
pertanyaan penting yakni: (1) Apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan
pemerintahan?; (2) Apa dasar-dasar sistem politik?; (3) Bagaimana pemerintahan yang
dibentuk oleh konstitusi mengejawantahkan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-
prinsip demokrasi?; (4) Bagaimana hubungan antara suatu negara dengan negara-
negara lain dan posisinya dalam masalah-masalah internasional?; dan (5) Apa peran
warga negara dalam demokrasi?.
Kompetensi keterampilan kewarganegaraan mencakup keterampilan intelektual
dan keterampilan partisipasi. Keterampilan intelektual menurut Centre for Civic
Education (1994:127-135) meliputi kecakapan mengidentifikasi,
menggambarkan/mendeskripsikan, menjelaskan, menganalisis, mengevaluasi,
menentukan dan mempertahankan pendapat yang berkenaan dengan masalah-masalah
publik. Sedangkan kecakapan partisipasi meliputi kecakapan berinteraksi, memantau,
dan mempengaruhi, dimana masing-masing kecakapan tersebut mencakup rincian
keterampilan yang lebih khusus yang memang sangat potensial mendukung partisipasi
secara cerdas dan baik dalam kehidupan masyarakat.
Kompetensi watak kewarganegaraan menurut Branson (1999:23)
mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan
dan pengembangan demokrasi konstitusional. Karakter privat seperti tanggungjawab
moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap
individu adalah wajib. Karakter publik juga tidak kalah penting. Kepedulian sebagai
warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan
kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi.
Pemberian pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dengan mengacu
pada visi, misi, standar kompetensi, kompetensi dasar, capaian pembelajaran, tujuan,
dan muatan materi matakuliah, setidaknya dapat diklasifikasikan sebagai upaya
pendidikan politik, pendidikan kebangsaan, pendidikan hukum, dan pendidikan nilai
kepada mahasiswa. Sebagai pendidikan politik, pendidikan kewarganegaraan berusaha
untuk membentuk dan mengembangkan pengetahuan politik dan perilaku politik yang
bermuara pada melek politik dan partisipasi politik. Sebagai pendidikan kebangsaan,
pendidikan kewarganegaraan berusaha untuk memberikan pengetahuan, pemahaman,
dan penginternalisasian nilai-nilai dari ideologi dan konstitusi negara; memberikan
pengetahuan dan pemahaman mengenai paham kebangsaan dan wawasan kebangsaan;
memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai hakekat negara-bangsa, dan hak
dan kewajiban warganegara; serta memberikan pengetahuan, pemahaman, dan analisis
mengenai kemajemukan dalam bernegara. Sebagai pendidikan hukum, pendidikan
kewarganegaraan berusaha untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman
mengenai negara hukum; serta mampu bersikap dan berperilaku sesuai kaidah hukum
yang berlaku. Sebagai pendidikan nilai, pendidikan kewarganegaraan berusaha untuk
memberikan pengetahuan, pemahaman, analisis, dan pengaplikasian nilai moral-etika,
nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dalam kaitannya sebagai warganegara dan
warga dunia; serta mampu memahami dan menampilkan sikap antikorupsi.

Referensi
Branson. M.S, 1999. Making The Case for civic Education: Where We Stand at the End of
the 20th Century. Washington: CCE.
Center for Civic Education. 1994. National Standards for Civics and Government.
Calabasas : CCE.
Kerr, D. 1999. Citizenship Education: an International Comparison. London: National
Foundation for Educational Research – NFER.
Komalina, K dan Syaifullah. 2008. Memahami Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:
Laboratorium PKn Universitas Pendidikan Indonesia.
Maftuh, B dan Sapriya. 2005. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui
Pemetaan Konsep. Jurnal Civicus 1, (5), 319-321.
Somantri, M.N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Widisuseno, I. 2006. Pengembangan MPK dalam Perspektif Filosofi. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Winataputra, U. S dan Budimansyah. D. 2007. Civic Education: Konteks, Landasan,Bahan
Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Prodi PKn SPs UPI.
Winataputra, U.S.. 2008. Multikulturalisme Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa
Indonesia. Acta Civicus. 2, (1), 1-16
Winataputra, U.S. 2014. Diskursus Aktual Tentang Paradigma Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dalam Konteks Kurikulum 2013. Makalah Pada Seminar
Nasional PKn-AP3KNI
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000, tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.045/U/2002 tentang Kurikulum Inti
Pendidikan Tinggi
Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 43/Dikti/Kep/2006 tentang Rambu-rambu
Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi

Anda mungkin juga menyukai