Anda di halaman 1dari 17

POTENSI MIKROALGA Chlorella pyrenoidosa Chick AMOBIL SEBAGAI KONTROL

KUALITAS AIR DALAM AKUAKULTUR :

Chlorella pyrenoidosa merupakan salah satu mikroalga yang dapat dijebak


dalam matrik alginate dan digunakan untuk mengontrol kualitas air dalam akuakultur.
Sel Alga yang diamobilisasi pada awalnya digunakan untuk pengolahan limbah yaitu
proses penurunan kadar logam berat dari limbah industri. Metode amobilisasi sel alga
kemudian berkembang dan diaplikasikan dalam akuakultur antara lain untuk
mengontrol kadar amonium dan peningkatan oksigen terlarut dalam air.

Sel alga yang diimobilisasi dapat mempertahankan aktivitas respirasi, fotosintesis, dan
proses metabolisme seperti kondisi sel dalam keadaan normal. Proses amobilisasi
pada alga juga untuk mencegah terjadinya pemangsaan herbivor. Penggunaan alginat
dalam proses amobilisasi memiliki beberapa keuntungan yaitu harga murah, efisien,
dan lebih mudah digunakan bila dibandingkan menggunakan agar dan karagenan
dalam proses imobilisasi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui


kemampuan mikroalga Chlorella pyrenoidosa amobil dalam mengontrol kualitas air,
dengan mengukur kadar amonium, nitrat, nitrit, oksigen terlarut, suhu, pH,
turbiditas,dan biomassa ikan dalam akuarium. Biakan mikroalga yang diperoleh dari
Fakultas Perikan Universitas Padjadjaran, dimurnikan dan diperbanyak dalam medium
padat CP-1 di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Analisis Ekosistem Akuatik
Biologi ITB. Umur inokulum C. pyrenoidosa terbaik adalah 7 hari, ditentukan
berdasarkan kurva tumbuh dalam medium CP-1 dengan menghitung jumlah sel secara
langsung dengan menggunakan haemositometer setiap 24 jam selama 15 hari.

Penelitian dilanjutkan dengan amobilisasi sel C.pyrenoidosa dalam alginat 3%


(b/v) yang telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 20 menit. Butir C.
pyrenoidosa amobil dengan diameter 4 mm dihasilkan dengan meneteskan larutan
yang berisi alginat dari sel C. pyrenoidosa amobil ke dalam larutan CaCl2 0,3 M.Satu ml
larutan alginat dalam suhu ruang menghasilkan 10 butir sel amobil. Butiran sel amobil
mengeras di dalam larutan CaCl2 selama 30 menit, kemudian dibilas dengan akuades
steril untuk menghilangkan larutan CaC12. Sel amobil yang masih basah kemudian
disimpan dalam buffer Tris dan disimpan pada suhu 4°C dalam keadaan gelap. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan alga.

Lima akuarium berisi 40 liter air masing-masing berisi ikan nila (rata-rata berat
ikan 1,6-1,7 g). Sel alga amobil dibungkus dalam kantung nilon berpori-pori dengan
diameter 3mm. Optimasi dilakukan dengan pemberian jumlah C. pyrenoidosa amobil
yang berbeda untuk setiap akuarium yaitu dengan jumlah 3000 butir, 4000 butir, 5000
butir, dan 6000 butir. Sampling dilakukan setiap 24 jam selama 15 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan sel Chlorella amobil sebanyak 4000 butir mampu
menurunkan kadar amonium dengan rata-rata laju penurunan tertinggi yaitu 6,62
ppm/hari dengan efektivitas 81,25%, rata-rata penurunan kadar nitrat tertinggi yaitu
13,99 ppm/hari dengan efektivitas 51.61%, kenaikan oksigen terlarut tertinggi yaitu
0.766/hari, dan kenaikan biomassa ikan sebesar 1,56 gr/ekor selama 15 hari.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa C.pyrenoidosa yang dijebak dalam matrik
alginat dapat mempertahankan proses fisiologi secara normal seperti sel bila dalam
keadaan mobil. Oleh karena itu, penggunaan sel alga amobil dapat digunakan sebagai
pengontrol kualitas air dalam akuakultur.

Deskripsi Alternatif :

Bayangkan bila Anda dapat memanen lobster dan sayuran sekaligus di halaman 
belakang rumah. Tentu sangat menyenangkan, bukan? Dengan sistem ekoponik,
semuanya bisa terwujud di lahan seluas 10-20 m2. Lobster dan selada hidroponik 
tumbuh sehat di dalam air yang bersirkulasi terus-menerus. Lantaran tidak
menggunakan nutrisi hidroponik dan nirpestisida, dijamin biayanya murah. Teknik itulah
yang diterapkan David Attawater, hobiis lobster asal Australia.

               Setiap 4-5 bulan, ia memamen lobster dan selada dari halaman belakang
rumah. Padahal di sana tak terlihat kolam pembesaran atau akuarium berukuran besar
layaknya peternak lobster. Yang tampak hanya barisan selada di atas talang hidroponik
dan beberapa kolam fiber tertutup styrofoam. Namun, saat penutup putih itu diangkat
tampak ratusan crayfish-nama lain lobster air tawar-berukuran 10-12 cm berkecipak.
               Ini lobster ekoponik, ujarnya. Dengan menggunakan jaring, ia mengangkat 5-6
lobster berbobot sekitar 80-90 g itu ke dalam ember. Ia lalu melangkah ke kolam lain
yang jaraknya hanya 2-3 langkah. Di sana 12 ikan silver perch berbobot 250 g/ekor
dipanen. David mengambil 2 ekor Bidyanus bidyanus kesukaannya lalu memetik
beberapa helai selada dari talang hidroponik. Hari itu sup lobster lengkap dengan
sayuran hasil dari kebun ekoponik menjadi menu spesial.
Lobster ekoponik
               Terobosan terbaru di dunia lobster yang diterapkan pakar di bidang hidroponik
itu kini mulai dilirik di Indonesia. David menyebutnya sistem ekoponik karena
memadukan akuaponik dan hidroponik. Prinsip teknik ini, air berputar dari satu kolam
ke kolam lain tanpa ada yang terbuang. Meski di lahan sempit dan sumber air terbatas,
David bisa membesarkan lobster, selada, dan tanaman hias sekaligus.
               Ekoponik yang dibuat David terdiri dari kolam ikan berukuran 3,4 m x 1 m x 1
m berisi ikan air tawar. Lalu 3 talang NFT sepanjang masing-masing 3 m ditanami
selada hijau, 2 tumpukan styrofoam sebagai biofi lter, kolam permanen yang dilengkapi
tanaman air sebagai fi lter alami, tangki pembersih racun, dan kolam lobster berukuran
1,5 m x 0,5 m x 0,5 m. Setiap bagian dihubungkan dengan pipa PVC berdiameter 3,5
cm sepanjang 2-3 meter. Di ujung pipa diberi lubang sebanyak 15-20 buah sebagai
tempat keluar air sekaligus aerator. Air didorong menggunakan 2 pompa otomatis yang
beroperasi setiap 15 menit. Dengan cara itu kebutuhan oksigen terlarut tetap terjamin.
Posts tagged with "BUDIDAYA Tetraselmis sp. SKALA
LABORATORIUM"

BUDIDAYA Tetraselmis sp. SKALA LABORATORIUM
Salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan usaha budidaya ikan adalah ketersediaan
pakan, dimana penyediaan pakan merupakan faktor penting di samping penyediaan induk.
Pemberian pakan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup akan memperkecil persentase larva
yang mati. Pakan alami merupakan pakan yang sudah tersedia di alam, sedangkan pakan buatan
adalah pakan yang diramu dari beberapa macam bahan yang kemudian diolah menjadi bentuk
khusus sesuai dengan yang dikehendaki.
Sasaran utama untuk memenuhi tersedianya pakan adalah memproduksi pakan alami,
karena pakan alami mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga dapat
menunjang kelangsungan hidup larva selama budidaya ikan, mempunyai nilai nutrisi yang tinggi,
mudah dibudidayakan, memiliki ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva, memiliki
pergerakan yang mampu memberikan rangsangan bagi ikan untuk mangsanya serta memiliki
kemampuan berkembang biak dengan cepat dalam waktu yang relatif singkat dengan biaya
pembudidayaan yang relative murah.
Salah satu jenis fitoplankton yang digunakan pada kegiatan pembenihan ikan, yaitu Tetraselmis
sp. Pembudidayaan plankton jenis Tetraselmis sp. tergantung pada kondisi lingkungan
perairannya, serta diperlukan paket teknologi budidaya yang baik. Budidaya plankton berbeda di
tiap-tiap Negara sesuai dengan kondisi alamnya, misalnya Indonesia adalah Negara tropis
dimana suhu airnya relatif sama sepanjang tahun dibandingkan dengan Negara lain termasuk
Jepang (Mujiman, 1984).
A. Tujuan
1. Mengetahui cara budidaya Tetraselmis chuii skala laboratorium
2. Mengetahui pertumbuhan Tetraselmis chuii pada medium yang berbeda dengan skala
laboratorium
B. Manfaat
1. Dapat mengetahui cara budidaya Tetraselmis chuii secara skala laboratorium
2. Dapat mengetahui pertumbuhan Tetraselmis chuii pada medium tumbuh yang berbeda.

I. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
1) Alat
1. Erlemeyer
2. Pengaduk
3. Botol film
4. Mikroskop
5. Gelas objek
6. Cover glass
7. Pipet
8. Aerator
9. Gelas ukur
10. Toples
11. Tissue
12. Ember
13. Refraktometer
14. Kertas pH

2) Bahan
1. Air laut
2. Air tawar
3. Mikro alga Tetraselmis
4. Medium f/2 (NaNO3, NaH2PO4.H2O, Trace element @ 1ml dan 0,5 ml vitamin)
5. Medium walne (macro element, trace elemen @ 1 ml dan 0,1 ml vitamin)
6. Aquades
7. Formalin

B. Cara Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Melakukan pengenceran menggunakan air laut dengan aquadest untuk mendapatkan salinitas
yang diinginkan
3. Membuat medium f/2 dan medium walne dengan bahan yang sudah ditentukan
4. Membagi campuran antara medium dengan mikroalga yang sudah dibuat kedalam erlemeyer
(dua kali ulangan)
5. Tempatkan di dalam ruangan yang dingin dan diberi aerator
6. Melakukan pengamatan salinitas, pH dan kepadatan mikroalga selama waktu yang telah
ditentukan
B. Pembahasan
Teteraselmis sp. memiliki ciri-ciri antara lain termasuk dalam golongan alga hijau karena
memiliki klorofil, mempunyai sifat selalu bergerak, berbentuk oval elips, memiliki empat buah
flagelata pada ujung depannya (Burlew, 1995).
Menurut Burlew (1995) mengklasifikasikan kedudukan Tetraselmis chuii sebagai berikut :
Filum: Chlorophyta
Kelas: Chlorophyceae
Ordo: Volvocales
Sub ordo : Chlamidomonacea
Genus : Tetraselmis
Spesies : Tetraselmis chuii
Menurut (Erlina dan Hastuti, 1986), Teteraselmis sp. dapat melakukan reproduksi secara seksual
dan vegetataif aseksual. Setiap sel Teteraselmis sp. memiliki sel gamet yang identik (isogami),
kemudian dengan bantuan substansi salah satu gamet tersebut menyebabkan bersatunya
kloroplast yang kemudian menurunkan zygote yang sempurna sehingga terjadi reproduksi secara
seksual. Sedangkan reproduksi Teteraselmis sp. secara aseksual terjadi ketika protoplasma
membelah menjadi dua, empat, delapan dalam bentuk zoospore setelah masing-masing
melengkapi diri dengan flagella.
Tetraselmis tumbuh dengan kondisi salinitas optimal antara 25 dan 35 ppm Tetraselmis chuii
masih dapat mentoleransi suhu antara 15-350C, sedangkan suhu optimal berkisar antara 23-
250C(Mujiman, 1984).
Parameter Pertumbuhan Fitoplankton :
1. pH
Derajat keasaman atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen. Variasi pH pada
dapat mempengaruhi metabiolisme dan pertumbuhan kultur mikroalga antara lain mengubah
keseimbangan karbon anorganik, mengubah ketersediaan nutrien dan mempengaruhi fisiologi
sel. Variasi pH dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan fitoplankton dalam beberapa
hal, antara lain mengubah keseimbangan dari karbon organic, mengubah ketersediaan nutrient,
dan dapat mempengaruhi fisiologis sel. Kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9,
kisaran optimum untuk alga laut antara 7.5-8.5 sedangkan untuk Tetraselmis chuii optimal pada
7-8 (Cotteau, 1996; Taw, 1990).
2. Salinitas
Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi dan menghadap pertumbuhan
dari mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi tetapi ada
juga mikroalga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang rendah. Pengaturan salinitas
pada medium yang diperkaya dapat dilakukan dengan pengenceran dengan menggunakan air
tawar. Hampir semua jenis fitoplankton yang berasal dari air laut dapt tumbuh optimal pada
salinitas sedikit di bawah habitat asalnya. Tetraselmis chuii memiliki kisaran salinitas yang
cukup lebar, yaitu 15-36 ppt sedangkan salinitas optimal untuk pertumbuhannya adalah 27-30
ppt (Cotteau, 1996; Taw, 1990).
3. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia, biologi dan fisika, peningkatan suhu dapat
menurunkan suatu kelarutan bahan dan dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme
dan respirasi mikroalga perairan. Suhu optimal kultur fitoplankton secara umum antara 20-24 °C.
hampir semua fitoplankton toleran terhadap suhu antara 16-36 °C. Suhu di bawah 16 °C dapat
menyebabkan kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu di atas 36 °C dapat menyebabkan
kematian pada jenis tertentu (Cotteau, 1996; Taw, 1990).
4.Cahaya
Intensitas cahaya sangat menentukan pertumbuhan mikroalga yaitu dilihat dari lama
penyinaran dan panjang gelombang yang digunakan untuk fotosintesis. Cahaya berperan penting
dalam pertumbuhan mikroalga, tetapi kebutuhannya bervariasi yang disesuaikan dengan
kedalaman kultur dan kepadatannya. Cahaya merupakan sumber energi dalam proses fotosintetis
yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organic. Kebutuhan akan cahaya bervariasi
tergantung kedalaman kultur dan kepadatannya. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan fotoinbihisi dan pemanasan. Intensitas cahaya 1000 lux cocok untuk kultur dalam
Erlenmeyer, sedangkan intensitas 5000-10000 lux untuk volume yang lebih besar (Mujiman,
1984).
5. Karbondioksida
Karbondioksida diperlukan fitoplankton untuk membantu proses fotosintesis.
Karbondioksida dengan kadar 1-2 % biasanya sudah cukup untuk kultur fitoplankton dengan
intensitas cahaya yang rendah. Kadar karbondioksida yang berlebih dapat menyebabkan ph
kurang dari batas optimum (Cotteau, 1996; Taw, 1990).
6. Nutrient
Mikroalga mendapatkan nutrien dari air laut yang sudah mengandung nutrien yang cukup
lengkap. Namun pertumbuhan mikroalga dengan kultur dapat mencapai optimum dengan
mencapurkan air laut dengan nutrien yang tidak terkandung dalam air laut tersenut. Nutrien
tersebut dibagi menjadi makronutrien dan mikronutrien, makronutrien meliputi nitrat dan fosfat.
Makronutrien merupakan pupuk dasar yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.
Mikronutrien organik merupakan kombinasi dari beberapa vitamin yang berbeda-beda. Vitamin
tersebut antara lain B12, B1 dan Biotin. Mikronutrien tersebut digunakan mikroalga untuk
berfotosintesis.(taw, 1996)
Nutrient dibagi menjadi menjadi makronutrien dan mikronutrien. Nitrat dan fosfat
tergolong makronutrien yang merupakan pupuk dasar yang mempengaruhi pertumbuhan
fitoplankton. Nitrat adalah sumber nitrogen yang penting bagi fitoplankton baik di air laut
maupun air tawar. Bentuk kombinasi lain dari nitrogen seperti ammonia, nitrit, dan senyawa
organik dapat digunakan apabila kekurangan nitrat (Cotteau, 1996; Taw, 1990).
7. Aerasi
Aerasi dalam kultur mikroalga diguanakan untuk proses pengadukan medium kultur.
Pengadukan sangat penting dilakukan yang bertujuan untuk mencegah dari pengendapan sel,
nutrien dapat tersebar sehingga mikroalga dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama,
mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke medium. (Taw, 1996)
Laju pertumbuhan Tetraselmis chuii adalah pertambahan jumlah Tetraselmis chuii dalam
periode tertentu. Pada kultur skala lab parameter waktu per jam. Pertumbuhan microalgae secara
umum dapat dibagi menjadi lima fase meliputi fase lag, fase eksponensial, fase penurunan
kecepatan pertumbuhan, fase stasioner, dan fase kematian. Pada fase lag pertambahan densitas
populasi hanya sedikit bahkan cenderung tidak ada karena sel melakukan adaptasi secara
fisiologis sehingga metabolisme untuk tumbuh lamban. Pada fase eksponensial pertambahan
kepadatan sel (N) dalam waktu (t) dengan kecepatan pertumbuhan (µ) sesuai dengan rumus
fungsi eksponensial. Pada fase penurunan kecepatan tumbuh pembelahan sel mulai melambat
karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai membatasi pertumbuhan. Pada fase stasioner factor
pembatas dan kecepatan pertumbuhan sama karena jumlah sel yang membelah dan yang mati
seimbang. Pada fase kematian kualitas fisik dan kimia kultur berada pada titik dimana sel tidak
mampu lagi mengalami pembelahan. Waktu generasi mikroalga adalah waktu yang dibutuhkan
oleh mikroalga untuk sekali membelah menjadi dua.
Praktikum budidaya Tetraselmis chuii skala laboratorium dilakukan dengan menggunakan
air laut yang diperkaya medium Guillard f/2 dan walne pada salinitas 28‰, pH 7-8. Kemudian
kultur stok ditempatkan pada tempat yang dingin dengan diberi aerator. Pengamatan dilakukan
setiap 3 jam sekali dengan dua kali ulangan. Pengamatan dilakukan dengan mengambil 0,5 ml
stok kultur kemudian ditambah dengan 0,5 ml formalin dan catat nilai salinitas dan pH. Setelah
itu diamati dengan mikroskop, catat banyaknya Tetraselmis chuii yang teramati dan hitung
kepadatannya.
Bedasarkan praktikum budidaya Tetraselmis chuii pada skala laboratorium, pertumbuhan
pada medium f/2 dan walne relative sama atau tidak beda nyata. Hal tersebut dapat disebabkan
karena kedua medium tersebut sama-sama mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh Tetraselmis
chuii untuk tumbuh meskipun komponen pada kedua medium berbeda. Sehingga pertumbuhan
pada kedua medium tersebut tidak begitu berbeda.
1. Cara budidaya Tetraselmis chuii dilakukan pada skala laboratorium budidaya Tetraselmis
chuii dilakukan dengan menggunakan medium Guillard f/2 dan Walne.
2. Berdasarkan hasil praktikum pertumbuhan Tetraselmis pada medium yang berbeda pada skala
laboratorium tidak terdapat beda nyata yang ditunjukkan pada pertumbuhannya setelah dilakukan
pengujian menggunakan tabel anova
Pengaruh Sedimen Berminyak terhadap Pertumbuhan Mikroalga
Isochrysis sp.
Pencemaran laut adalah suatu proses dimana masuknya zat pencemar ke dalam lingkungan
perairan, khususnya laut. Dari semua polutan yang mencemari laut, polutan yang berasal dari
hidrokarbon memperoleh perhatian yang sangat besar, karena dapat menurunkan kualitas laut, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk dapat melihat pengaruh toksiksitas dari bahan pencemar
tertentu dapat dilakukan pengambilan sampel dari daerah yang tercemar atau melakukan simulasi
pengaruh biota terhadap lingkungan yang tercemar dalam skala laboratorium. Pengujian toksiksitas
suatu pencemar dapat diujikan terhadap satu biota tertentu yang  berpengaruh terhadap perubahan
lingkungan, dalam hal ini dapat berupa organisme bentik atau organisme yang memegang peranan
penting dalam jaring-jaring makanan, seperti halnya fitoplankton.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kadar toksiksitas dari sedimen bioremediasi hidrokarbon
terhadap pertumbuhan mikroalga Isochrysis sp.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kerja sama antara Laboratorium Ekotoksikologi P2O LIPI dengan
Laboratorium Mikrobiologi P2O LIPI serta  NITE (sebuah organisasi asing yang berasal dari Jepang).
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan April 2009 di Laboratorium
Ekotoksikologi, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O-LIPI), Ancol,
Jakarta Utara. Sampel yang digunakan adalah sedimen yang berasal dari Pulau Pari. Proses pengambilan
sedimen dilakukan oleh tim yang berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Puslit Oseanografi LIPI.
Sedimen dalam penelitian ini digunakan sedimen hasil mesoskom dengan menggunakan minyak
dan pupuk (Tabel 1). Sedimen hasil mesoskom adalah sedimen yang diberikan perlakuan sebagai
simulasi terhadap pencemaran. Sedimen yang telah terkontaminasi ini kemudian diujikan dalam
laboratorium untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan fitoplankton, khususnya Isochrysis sp.
Prosedur yang digunakan adalah prosedur ASTM (2006) dengan lama uji 96 jam. Biota uji yang
digunakan adalah Isochrysis sp. yang berperan penting dalam rantai makanan sebagai produsen dalam
lingkungan akuatik dan sensitive terhadap perubahan lingkungan.
Tabel 1. Berbagai perlakuan pada masing-masing tabung.

Data pertumbuhan mikroalga selama 96 jam, kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan
ICPIN untuk mengetahui konsentrasi penghambatan jumlah sel sebesar 50 % (IC50) dan menggunakan
software TOXSTAT untuk mengetahui pengaruh signifikan perlakuan terhadap pertumbuhan serta
mengetahui konsentrasi terendah dan tertinggi (NOEC dan LOEC) dalam hal ini merupakan perlakuan
sedimen yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga Isochrysis sp.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan adalah biosintesis yang menyebabkan bertambahnya substansi atau protoplasma berupa
perbanyakan, pembesaran sel, dan penggabungan berbagai materi dari sekitar sel. Untuk organisme
bersel satu, seperti Isochrysis sp. pertumbuhan diartikan sebagai pertambahan jumlah sel
(Dwidjoseputro, 1986). Pertumbuhan yang terjadi diukur berdasarkan jumlah sel dalam setiap mililiter
yang dihitung di bawah mikroskop. Kurva pertumbuhan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar
1.

Dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan Isochrysis sp. dalam beberapa kali kultur
mengalami tingkat pertumbuhan yang semakin bagus. Pada kultur ke 1 pertumbuhan maksimum
Isochrysis sp berada pada hari ke 4 yaitu sebesar 151.3 x 104 sel/ml, sedangkan pada saat kultur ke 2
pertumbuhan maksimum Isochrysis sp. berada pada hari ke 4 yaitu sebesar 164.75 x 104 sel/ml.
Terdapat peningkatan jumlah sel yang cukup signifikan dari kedua kultur pendahuluan ini, hal ini
dikarenakan mikroalga tersebut mulai beradaptasi kembali terhadap proses kulturasi. Pada kultur untuk
memulai pengujian,  pertumbuhan maksimum Isochrysis sp. berada pada hari ke 4 yaitu sebesar 9.6 x
106 sel/ml. Kultur ini merupakan kultur ke 7 sejak pertama kali dilakukan kultur. Jumlah sel tersebut
cukup untuk mulai dilakukan pengujian karena jumlah sel minimal yang dapat digunakan adalah 1 x 106
sel/ml.   
Sebelum dilakukan pengujian toksiksitas terhadap mikroalga, dilakukan terlebih dahulu
pengukuran kualitas air. Pengukuran kualitas air ini  meliputi pengukuran DO, pH, suhu dan salinitas.
Tabel 2. Kisaran beberapa parameter kualitas air

Kualitas air yang diukur ini masih dalam batas toleransi mikroalga untuk dapat tumbuh. ACCPMS (1995)
menyatakan kisaran suhu yang normal untuk uji toksiksitas mikroalga adalah sebesar 27 ± 1 °C dengan
pH ideal sebesar 8.0 hingga 8.2 dan salinitas yang optimal adalah 20-35 ‰. Kadar oksigen terlarut yang
berada pada < 1 mg/l (Tabel 2) diakibatkan oleh adanya lapisan minyak yang terbentuk dalam larutan uji
sehingga menghalangi pertukaran oksigen dengan media luar.
Untuk membandingkan pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan mikroalga, maka uji toksisitas
sedimen ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : Lapisan atas (kedalaman 50 cm), lapisan tengah
(kedalaman 110 cm) dan lapisan bawah (kedalaman 170 cm). Jumlah sel mikroalga antar lapisan ini
menunjukan kontaminan berpengaruh hingga kedalaman 50 cm dari permukaan air dan ditunjukan
dengan jumlah sel mikroalga terendah (Gambar 2). Jumlah sel yang diinterpretasikan sebagai
pertumbuhan untuk mikroalga bersel satu dapat dilihat pula pengaruhnya selama waktu pengamatan
(96 jam). Pada pengamatan jumlah sel selama 96 jam, pertumbuhan yang lambat terjadi pada lapisan
atas (lapisan 5) jika dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lain (Gambar 3).
Selain jumlah sel yang diamati berdasarkan lapisan kedalaman, dapat pula diamati pengaruh jumlah sel
berdasarkan perlakuan yang berbeda (Gambar 4). Perlakuan penambahan osmocot untuk merombak
hidrokarbon juga dapat mempengaruhi jumlah sel dalam larutan uji. Perlakuan dengan menambahkan
ALCO tanpa dilakukan penambahan osmocot (C2) memberikan pengaruh terhadap jumlah sel Isochrysis
sp. yang rendah. Pada perlakuan penambahan ALCO 200gr + osmocot 60 gr (C6) terjadi penambahan
jumlah sel dalam lapisan 5. Perlakuan ini pula dapat dilihat pengaruhnya terhadap jumlah sel selama 96
jam pengamatan (Gambar 5). Pertumbuhan yang lambat terjadi pada perlakuan ALCO dengan
penambahan osmocot jika dibandingkan dengan kontrol.
Sedimen yang digunakan adalah sedimen hasil bioremediasi selama 125 hari. Hasil bioremediasi ini
adalah berupa kadar TPH residu yang terdapat dalam sedimen, kemudian dapat terlarut dalam Overlying
Water yang digunakan sebagai larutan uji (Tabel 2)  Kaitan kadar TPH (Total Petroleum Hydrocarbon)
dengan jumlah sel dalam masing-masing larutan uji dapat dilihat dari nilai penghambatannya terhadap
pertumbuhan (Gambar 6 dan 7)
Nilai akhir dari pengujian toksiksitas ini adalah diperolehnya perlakuan yang berpengaruh terhadap
penghambatan jumlah sel (NOEC dan LOEC serta IC50).  Pada sedimen terkontaminasi ini diperoleh hasil
IC50 sebesar 30.4 gr TPH yang berada pada lapisan 5. Perlakuan terendah yang berpengaruh signifikan
adalah perlakuan dengan penambahan ALCO 200 gr+ osmocot 2 gr (C3) sedangkan perlakuan dengan
penambahan ALCO 200 gr + osmocot 60 gr (C6) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
jumlah sel mikroalga tersebut.

Kesimpulan
1.  Pertumbuhan sel mikroalga Isochrysis sp. pada masing- masing   perlakuan dipengaruhi oleh
konsentrasi crude oil, osmocot yang diberikan serta konsentrasi TPH yang berada pada larutan uji.       
Semakin tinggi konsentrasi atau kadar TPH residu yang berada pada sedimen akan mengakibatkan
penghambatan metabolisme dalam sel mikroalga yang akan berpengaruh pada kemampuan
bereproduksi dalam perbanyakan sel.
2.  Kadar toksiksitas dari suatu pencemar dipengaruhi oleh lama pemaparan, konsentrasi serta
sensitivitas dari biota uji tersebut.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kultur Mikroalga
1. Mikro alga tidak bisa tumbuh dalam lingkungan selektif
2. Iklim sering tidak mendukung untuk pertumbuhan
3. Memerlukan keahlian
4. Tumbuh terutama pada batch culture
5. Culture systems kadang tidak efisien
6. Biaya produksi sangat dipengaruhi oleh skala ekonomi produksi

Peluang dalam kultur (budidaya) mikroalgas


1. Pengontrolan yang terkomputerisasi/automatisasi
2. Peningkatan skala produksi
3. Penurunan jumlah unit kultur
4. Kultur dengan sistem kontinyu
5. Penggunaan nutrisi pre-mixed
Tugas:

BUDIDAYA PAKAN ALAMI

MIKROALGA DARI SKALA LEB

WULAMNI
I1A2 08 055

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010

Anda mungkin juga menyukai