Anda di halaman 1dari 9

DD 1.

BELL'S PALSY SYNDROME

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial
perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar
sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex)
atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes
serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di
bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion
genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita
berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap
kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga
bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan
gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

DEFINISI

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa
penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan
banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca
dingin

EPIDEMIOLOGI

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada
umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy
sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden
antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya
riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan .

ANATOMI

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :


1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.

Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi


otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke
kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan
juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi
pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar
ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar
sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius
atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada
lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan
lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya
di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari
saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan
keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di
antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus
VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan
nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis
dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui
foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.

PATOFISIOLOGI

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s
palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu
minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal.

Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis
yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai
foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls
motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena
adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa
inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bell’s palsy.

Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen


stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa
terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons
yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus
fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia
(tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah
seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup
dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas.
Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun disitu.

ETIOLOGI

Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan


sebagai berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut
bell’s palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara
lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di
lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetic.
B. Kongenital
- anomali kongenital (sindroma Moebius)
- trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
- Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
- Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
- Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
- Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
- Sindroma paralisis n. fasialis familial

GEJALA KLINIK

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala


kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas
yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa
tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera
diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
 Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmos).
 Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar
ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
 Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang
lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :
 Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang
sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang
terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus
menerus.
 Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti
pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian
depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan
pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan
lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan
nervus fasialis di kanalis fasialis.
 Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya
hiperakusis.
 Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di
membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer
yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi
herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
 Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b),
(c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

DIAGNOSA
A. Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir

C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s palsy.

D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke,
sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy
akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau
pada telinga, ganglion genikulatum.

DIAGNOSA BANDING

1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)

Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam
yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
· Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga,
saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah
· Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
· Kesulitan menutup satu mata
· Sakit telinga
· Pendengaran berkurang
· Dering di telinga (tinnitus)
· Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
· Perubahan dalam persepsi rasa

2. Miller Fisher Syndrom


Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang
dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan
rasa kebas, pusing dan mual.

TATA LAKSANA

1.Istirahat terutama pada keadaan akut

2. Medikamentosa

a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau
1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset
penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan
nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.

b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat


digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan
prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang
tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika
diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.

c. Perawatan mata:
· Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan
lakrimasi yang hilang.
· Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika
air mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat.
Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.
· Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan
pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap
kornea
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit
pagi-sore atau dengan faradisasi.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.

Tindakan operatif dilakukan apabila :


· tidak terdapat penyembuhan spontan
· tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

KOMPLIKASI

 Crocodile tear phenomenon.


Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

 Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau
berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang
mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.

 Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme


Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini
terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau
1-2 tahun kemudian.

PROGNOSIS

Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis
yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85%
memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit.
15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa.
1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan
baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat
seumur hidup.

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.

Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis
lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam
waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60
tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi
meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya
perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala
sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme
hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya
23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada
10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor
N. VII atau tumor kelenjar parotis.

KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan
gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis
perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison,
fisioterapi dan kalau perlu operasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta


neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,
“http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses tanggal 11
desember 2011)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses tanggal
22 Desember 2011).
4. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-
palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,
(diakses tanggal 12 Desember 2011)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,
http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12 desember
2011)
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian
Rakyat, 1985 : 311-17

Anda mungkin juga menyukai