Anestesi Dan Sistim Endokrin
Anestesi Dan Sistim Endokrin
I. KELENJAR TIROID
A. Metabolisme dan Fungsi Tiroid1
Tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) adalah regulator utama dari aktivitas metabolik
seluler. Kelenjar tiroid hanya bertanggung jawab untuk sekresi harian T4 (80-100 µg per
hari, waktu paruh 6-7 hari). Sekitar 80% T3 diproduksi oleh deiodinasi ekstratiroid dari
T4 (waktu paruh 24-30 jam). Sintesis hormon tiroid dihasilkan melalui empat tahap.
C. Hipertiroidisme
1. Perioperatif
1. Pemeriksaan Fisis
Menentukan pembesaran leher karena struma :
Kombinasi propanolol (efektif dalam mengurangi manifestasi dari aktivitas saraf simpatis
yang berlebihan, terbukti dengan denyut jantung <90 kali/menit) dan potasium iodida
(menghambat pelepasan hormon) efektif pada pasien “eutiroid” sebelum pemberian
anestesi dan pembedahan. Esmolol dapat diberikan terus-menerus secara intravena untuk
mempertahankan denyut jantung <90 kali/menit.
Tujuan penanganan intraoperatif adalah pencapaian anestesi yang dalam (biasanya
dengan isofluran atau desfluran) yang mencegah eksaggregasi sistem saraf simpatis yang
berespon terhadap rangsangan pembedahan. Obat-obat yang mengaktivasi sistem saraf
simpatis (ketamin) atau meningkatkan denyut jantung (pankuronium) tidak dianjurkan
untuk digunakan.
Apabila memilih anestesi regional, seharusnya tidak menambahkan epinefrin dalam
anestesi lokal.
3. Anestesi untuk bedah tiroid (subtotal tiroidektomi) adalah alternatif tindakan pada terapi medis
lanjutan. Komplikasi bedah lebih sering terjadi pada keadaan dimana persiapan preoperatif tidak
adekuat
Preoperatif Anestesia 2
Post Operatif
Penyulit pasca bedah :
1. Badai tiroid (Thyroid storm)1,2
Pasien dengan hipotiroid berat yang tidak terkoreksi (T4 < 1 µg/dl) atau koma
myxedema, harus dibatalkan untuk operasi elektif dan harus diterapi segera dengan
hormon tiroid terutama untuk operasi emergensi.2
Pasien yang telah dieutiroidkan biasanya menerima dosis obat tiroid pada pagi hari
pembedahan, harus di ingat bahwa rata rata preparat yang diberikan mempunyai waktu
paruh yang lama (t1/2 T4 adalah 8 hari).2
Tidak ada bukti yang mendukung untuk menunda bedah elektif (termasuk bedah by-pass
arteri koronaria) menyebabkan perubahan hipotiroidisme ringan ke hipotiroidisme yang
sedang.1
Intraoperatif
Pasien dengan hipotiroid lebih mudah mengalami hipotensi dengan obat-obat anestesi,
sebab obat anestesi menurunkan kardiak output, menumpulkan reflek baroreseptor dan
menurunkan volume intravaskular. Untuk ini ketamin sering dianjurkan untuk induksi.2
Masalah lain yang dapat timbul termasuk hipoglikemia, anemia, hiponatremia,kesulitan
intubasi karena lidah yang besar, dan hipotermia karena metabolisme basal rate yang
rendah.2
Perhatian yang cermat harus diberikan untuk mempertahankan temperatur tubuh.1
Postoperatif
3. Koma miksedema adalah kegawatdaruratan medis yang membutuhkan terapi yang cepat.
Manisfestasi klisnis adalah hiperkalsemia yang bertanggung jawab kepada sebagian besar
gejala dan tanda (nefrolitiasis, pusing)1,2
Evaluasi preoperatif termasuk status volum harus dilakukan untuk menghindari hipotensi
selama induksi.2
Hidrasi cairan normosaline dan furosemid intravena sebelum operasi dapat menurunkan
konsentrasi kalsium serum.1
Penggunaan pelumpuh otot harus berhati-hati karena efek hiperkalsemia pada
neuromuskular junction yang tak terduga.1
Hipoventilasi harus di hindari karena asidosis dapat meningkatkan ionisasi ionisasi
kalsium.2
Penjagaan posisi pasien osteopenik selama operasi dibutuhkan untuk meminimalisasi
kemungkinan patah tulang yang patologis.1
C. Hipoparatiroidisme.
Gejala klinis dari hipokalsemia, dan pengobatannya adalah dengan kalsium glukonat 10% (10-20
ml - iv).
TABEL. Gejala Hipokalsemia 1
Saraf mudah terangsang
Spasme otot skelet
Gagal jantung kongestif
Interval Q-T memanjang pada elektrokardiogram
Pertimbangan Anestesi. 2
Kaslium harus dinormalkan pada pasien dengan manisfestasi pada jantung akibat
hipokalsemia.
Cegah pemberian zat anestesi yang mendepresi miokardium.
Tranfusi darah sebaiknya tidak diberikan secara cepat pada pasien yang mengalami
hipokalsemia, walupun produk darah yang mengandunng sitrat tidak selalu menurunkan
kalsium secara signifikan.
KORTEKS ADRENAL 1
A. Efek biologis dari disfungsi korteks adrenal adalah kelebihan ataupun defisiensi kortisol atau
aldosteron
Kerja Sedang
Triamsinolon 5,0 +/- 4,0
Kerja Panjang
Deksametason 30 +/- 0,75
*
Nilai glukortikoid dan mineralokortikoid dianggap ekuivalen dengan 1.
2. Pemberian anestesi
Tabel. Manajemen Pasien yang Menjalani Adrenalektomi
Regulasi hipertensi
Kontrol Diabetes
Normalisasi volume cairan intravaskuler (diuresis dengan spironolakton membantu memobilisasi cairan
dan normalisasi konsentrasi kalium)
Penggantian glukokortikoid (kortisol 100 mg IV tiap 8 jam)
Penempatan pasien dengan hati-hati pada meja operasi (osteopenik)
Penurunan dosis awal pelemas otot jika kelemahan otot muncul
Meskipun tidak ada bukti yang mendukung peningkatan insidens dari infeksi atau
penyembuhan luka abnormal pada saat pemberian akut steroid tambahan dosis
suprafisiologis, tujuan terapi adalah meminimalkan dosis obat yang diperlukan untuk
proteksi adekuat pasien.
MEDULLA ADRENAL 1
A. Medula adrenal analog dengan neuron postganglion, meskipun sekresi katekolaminnya berfungsi
sebagai hormon, tidak sebagai neurotransmitter.
B. Feokromositoma. Tumor ini memproduksi, menyimpan, dan mensekresi katekolamin yang
dapat mengakibatkan efek yang mengancam kardiovaskular.
1. Diagnosis feokromositoma ditegakkan dari pengukuran katekolamin dalam plasma dan
metabolit katekolamin (asam vanilimandelik) dalam urine. Computed tomography maupun MRI
dapat digunakan untuk melokalisasi tumor ini.
2. Pertimbangan anestetik
a. Persiapan preoperatif terdiri dari blokade inisiasi (fentolamin, prazosin) 10-14 hari sebelum
operasi jika memungkinkan, perbaikan volume cairan intravaskuler, dan pemberian blokade β.
Blokade β diindikasikan hanya jika disritmia kardiak atau takikardi menetap setelah pemberian
blokade α. Tujuan terapi medis adalah mengontrol frekuensi jantung, menekan disritmia kardiak,
dan mencegah peningkatan tekanan darah paroksismal.
REFERENSI
1. Barash PG, Cullen FB, Stoelting RK. Section V Management Of Anesthesia In Handbook
Of Clinical Anesthesia. 4th Ed, Philadelphia: Lipincott Williams And Wilkins Company.
p:593-606
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th Ed, McGraw-Hill’s