Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Otitis eksterna (OE) adalah peradangan atau infeksi pada saluran pendengaran atau
infeksi pada saluran pendengaran bagian luar (CAE). Penyakit ini merupakan penyakit umum
yang dapat ditemukan pada semua kelompok umur. Otitis eksterna merupakan penyakit
umum yang dapat ditemukan pada semua kelompok umur. OE biasanya merupakan infeksi
bakteri akut kulit saluran telinga. Paling sering disebabkan pseudomonas aeruginosa atau
staphylococcus aureus, tetapi juga dapat disebabkan oleh bakteri lain, virus, atau infeksi
jamur.
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga tengah,
tuba eustachi, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. (Djaafar, Z.A, 2007). OMA biasanya
terjadi karena peradangan saluran napas atas dan sering mengenai bayi dan anak-anak.
Kecenderungan menderita OMA pada anak-anak berhubungan dengan belum matangnya
system imun. Pada anak-anak, makin tinggi frekuensi ISPA, makin besar resiko terjadinya
OMA. Bayi dan anak-anak mudah terkena OMA karena anatomi saluran eustachi yang masih
relative pendek, lebar, dan letaknya lebih horizontal. (Djaafar, Z.A, 2007).
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata(OMP) atau
dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media supuratif kronik ialah infeksi
kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari
telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening
atau berupa nanah (Djaafar, 2007)
Ketulian juga bisa dialami ketika anak pada masa pertumbuhan, misalnya pada saat lahir,
anak lahir normal hanya saja menjelang usia 10 tahun ia mengalami sakit sehingga diberikan
obat dengan dosis tinggi sehingga menyerang telinganya. Jadi ada gangguan pendengaran
karena obat-obatan yang memiliki efek samping menyebabkan ketulian. Seperti pil kina juga
mempunyai pengaruh yang besar pada telinga, maupun aspirin juga terbilang rawan, oleh
karena itu harus hati-hati bila digunakan.
Vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere, yang berarti memutar. Vertigo adalah suatu
perasaan gangguan keseimbangan (Japardi, 2010). Vertigo seringkali dinyatakan sebagai rasa

1
pusing, sempoyongan, rasa melayang, badan atau dunia sekelilingnya berputar-putar dan
berjungkir balik. Vertigo disebabkan karena alat keseimbangan tubuh tidak dapat menjaga
keseimbangan tubuh dengan baik (Greenberg, 2013).
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan otitis (OEA, OMA, OMP/OMSK)?
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan vertigo?
3. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan ketulian?
C. Tujuan
1. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan otitis (OEA, OMA, OMP/OMSK)
2. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan vertigo
3. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan ketulian

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. OTITIS EKSTERNA AKUT


1. Definisi Otitis Eksterna
Otitis eksterna adalah radang merata kulit liang telinga yang disebabkan oleh
kuman maupun jamur (otomikosis) dengan tanda-tanda khas yaitu rasa tidak enak di liang
telinga, deskuamasi, sekret di liang telinga dan kecenderungan untuk kambuhan.
Pengobatan amat sederhana tetapi membutuhkan kepatuhan penderita terutama dalam
menjaga kebersihan liang telinga

2. Etiologi Otitis Eksterna


Paling sering disebabkan oleh bakteri pathogen. Varietasnya antara lain oleh
jamur (Otomycosis). Dalam sebuah penelitian , 91% kasus OE disebabkan oleh karena
bakteri dan 40% kasus OE tidak memiliki mikroorganisme primer sebagai agen
penyebab. Bakteri penyebab yang paling umum adalah pseudomonas spesies (38%dari
semua kasus) Staphylococcus spesies dan anaerob dan organism gram negative.

3. Faktor Resiko Otitis Eksterna


 Suka membersihkan telinga dengan cotton buds, ujung jari, atau alat lainnya.
 Kelembaban merupakan factor penting terjadinya otitis eksterna.
 Sering berenang, air kolam renang menyebabkan maserasi kulit dan merupakan
sumber kontaminasi yang sering dari bakteri.
 Kanal telinga sempit
 Infeksi telinga tengah.

4. Patofisiologi Otitis Eksterna


Saluran telinga bisa membersihkan dirinya sendiri dengan cara membuang sel-sel
kulit yang mati dari gendang telinga melalui saluran telinga. Membersihkan saluran
telinga dengan cotton bud(kapas pembersih) bisa mengganggu mekanisme pembersihan

3
ini dan bisa mendorong sel-sel kulit yang mati ke arah gendang telinga sehingga kotoran
menumpuk disana.
Penimbunan sel-sel kulit yang mati dan serumen akan menyebabkan penimbunan
air yang masuk ke dalam saluran ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah dan
lembut pada saluran telinga lebih mudah terinfeksi oleh bakteri atau jamur.

5. Klasifikasi Otitis Eksterna


Otitis Eksterna Akut
Terdapat 2 kemungkinan otitis eksterna akut yaitu otitis eksterna sirkumskripta dan otitis
eksterna difus.

1. Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)

Oleh karena kulit di sepertiga luar liang telinga mengandung adneksa kulit seperti
folikel rambut, kalenjar sebasea dan kalenjar serumen maka di tempat itu dapat terjadi
infeksi pada pilosebaseus sehingga membentuk furunkel. Kuman penyebabnya
biasanya Staphylococcus aureus atau Staphylococcus albus(Sosialisman dan Helmi,
2001).

Gejalanya ialah rasa nyeri yang hebat, tidak sesuai dengan besar bisul. Hal ini
disebabkan karena kulit liang telinga tidak mengandung jaringan longgar
dibawahnya, sehingga rasa nyeri timbul pada penekanan perikondrium. Rasa nyeri
dapat juga timbul spontan pada waktu membuka mulut (sendi temporomandibula).
Selain itu terdapat juga gangguan pendengaran bila furunkel besar dan menyumbat
liang telinga (Sosialisman dan Helmi, 2001).

Terapinya tergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi abses, diaspirasi
secara steril untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal diberikan antibiotika dalam bentuk
salep, seperti polymixin B atau bacitrasin atau antiseptic (asam asetat 2-5% dalam
alcohol 2%). Kalau dinding furunkel tebal, dilakukan incise kemudian dipasang drain
untuk mengalirkan nanahnya. Biasanya tidak perlu diberikan obat simtomatik seperti
analgetik dan obat penenang (Sosialisman dan Helmi, 2001).

4
2. Otitis Eksterna Difus

Biasanya mengenai kulit liang telinga duapertiga dalam. Tampak kulit liang telinga
dalam. Tampak kulit liang telinga hiperemis dan edema dengan tidak jelas batasnya
serta terdapat furunkel. Otitis eksterna difus dapat juga terjadi sekunder pada otitis
media supuratif kronis (Sosialisman dan Helmi, 2001).

Gejalanya sama dengan otitis eksterna sirkumskripta. Kadang-kadang terdapat sekret


yang berbau. Sekret ini tidak mengandung lendir (musin) seperti sekret yang ke luar
dari cavum timpani pada otitis media. Pengobatannya ialah dengan memasukkan
tampon tampon yang mengandung antibiotika ke liang telinga supaya terdapat kontak
yang baik antara obat dengan kulit yang meradang. Kadang-kadang diperlukan
antibiotika sistemik (Sosialisman dan Helmi, 2001).

6. Gejala Klinis Otitis Eksterna


 Rasa sakit di dalam telinga
Bisa bervariasi dari yang hanya berupa rasa tidak enak sedikit, perasaan penuh
didalam telinga, perasaan seperti terbakar hingga rasa sakit yang hebat, serta
berdenyut. Meskipun rasa sakit sering merupakan gejala yang dominan, keluhan ini
juga sering merupakan gejala sering mengelirukan. Rasa penuh pada
telinga merupakan keluhan yang umum pada tahap awal dari otitis eksterna difusa
dan sering mendahului terjadinya rasa sakit dan nyeri tekan daun telinga.
 Gatal
Merupakan gejala klinik yang sangat sering dan merupakan pendahulu rasa
sakit yang berkaitan dengan otitis eksterna akut. Pada kebanyakan penderita rasa
gatal disertai rasa penuh dan rasa tidak enak merupakan tanda permulaan
peradangan suatu otitis eksterna akuta. Pada otitis eksterna kronik merupakan
keluhan utama.
 Kurang pendengaran
Mungkin terjadi pada akut dan kronik dari otitis eksterna akut. Edema kulit
liang telinga, sekret yang sorous atau purulen, penebalan kulit yang progresif pada

5
otitis eksterna yang lama, sering menyumbat lumen kanalis dan menyebabkan
timbulnya tuli konduktif. Keratin yang deskuamasi, rambut, serumen, debris, dan
obat-obatan yang digunakan kedalam telinga bisa menutup lumen yang
mengakibatkan peredaman hantaran suara.

7. Penatalaksanaan
Terapi utama dari otitis eksterna melibatkan menajemen rasa sakit, pembuangan debris
dari kanalis auditorius eksternal, penggunaan obat topical untuk mengontrol edema dan
infeksi, dan menghindari factor pencetus.11
Dengan lembut membersihkan debris dari kanalis auditorius eksternal dengan
irigasi atau dengan menggunakan kuret plastic lembut atau kapasdibawah visualisasi
langsung. Pembersihan kanal meningkatkan efektifitas dari obat topical. Obat topical
aural biasanya termasuk asam ringan (untuk mengubah pH dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme), kortikosteroid ( untuk mengurangi peradangan) agen
antibiotic atau anti jamur.
Infeksi ringan : Otitis eksterna ringan biasanya merespon dengan penggunaan
kortikosteroid. Antibiotic oral digunakan pada pasien demam, imunodefisiensi, diabetes,
adenopati atau pada individu dengan ekstensi infeksi di saluran luar telinga.
Dalam bebrapa kasus, kasa dengan panjang ¼ inci dapat dimasukkan ke dalam
kanal, dan obat ototopic dapat di terapkan secara langsung ke kasa (2-4 kali sehari
tergantung frekuensi dosis yang dianjurkan). Setelah kasa digunakan harus dicabut
kembali 24-72 jam setelah insersi.

B. OTITIS MEDIA AKUT


1. Definisi
Otitis Media adalah infeksi telinga meliputi infeksi saluran telinga luar (Otitis
Eksterna), saluran telinga tengah (Otitis Media), dan telinga bagian dalam (Otitis
Interna). (Rahajoe, N. 2012).
Otitis media ialah radang telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak
yang biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas. (William, M. Schwartz.,
2004).

6
Otitis Media adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena
masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah (Smeltzer, S. 2001).
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga
tengah, tuba eustachi, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. (Djaafar, Z.A, 2007).

2. Etiologi
a. Bakteri
Contoh bakteri penyebab Otitis Media adalah Staphylococcus aureus,
Pneumococcus, Haemophilus influenza,Moraxella catarrhalis, Escherichia coli,
Streptococcus anhemolyticus, Streptococcus hemolyticus, Proteus vulgaris, dan
Pseudomoas aeruginosa.
b. Virus
Beberapa virus juga dapat menyebabkan Otitis Media Akut. Contoh: Virus
Influenza.

3. Patofisiologi
Otitis media awalnya dimulai sebagai proses peradangan setelah infeksi saluran
pernapasan atas virus yang melibatkan mukosa hidung, nasofaring, dan tuba eustachia.
Ruang anatomi yang sempit membuat edema yang disebabkan oleh proses inflamasi
menghalangi bagian tuba eustachia dan mengakibatkan penurunan ventilasi. Hal ini
menyebabkan kaskade kejadian seperti peningkatan tekanan negative ditelinga tengah
dan penumpukan sekresi mukosa yang memungkinkan kolonisasi organisme bakteri dan
virus ditelinga tengah. Pertumbuhan mikroba ditelinga tengah ini kemudian membentuk
nanah yang ditunjukkan sebagai tanda-tanda klinis otitis media akut (Danishyar &
Ashurst, 2017)

4. Faktor Resiko
Berikut factor resiko terjadinya Otitis Media Akut:
1. Usia (Bayi dan Anak-anak)
2. Konsumsi ASI yang menurun
3. Alergi

7
4. Kongenital
5. Trauma atau cedera

5. Manifestasi Klinis
Secara umum, manifestasi klinis yang biasa ditemukan pada pasien dengan Otitis
Media Akut adalah:
1. Othalgia (Nyeri telinga)
2. Demam, batuk, pilek
3. Membran timpani abnormal (sesuai stadium)
4. Gangguan pendengaran
5. Keluarnya secret di dari telinga berupa nanah
6. Anak rewel, menangis, gelisah
7. Kehilangan nafsu makan, dan lain-lain.

6. Pathway

8
7. Komplikasi
1. Intra-Temporal
1.1 Abses subperiosteal
1.2 Labirintitis
1.3 Paresis fasial
1.4 Petrositis
2. Intra-Kranial
2.1 Abses ekstradura
2.2 Abses perisinus
2.3 Tromboflebitis sinus lateral
2.4 Abses otak
2.5 Meningitis otikus

8. Pemeriksaan Penunjang
Dalam menegakkan diagnosis OMA terdapat tiga hal yang harus diperhatikan:
1. Penyakit muncul secara mendadak (akut)
2. Ditemukan tanda efusi pada telinga tengah, dengan tanda: menggembungnya
membran timpani(bulging), terbatas atau tidak adanya gerakan membran
timpani, adanya bayangan cairan dibelakang membran timpani, dan adanya
cairan yang keluar dari telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan pada telinga tengah, dengan tanda:
kemerahan pada membran timpani, adanya nyeri telinga yang mengganggu
tidur dan aktivitas
Berikut pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan:
i. Otoskopi
Adalah pemeriksaan telinga dengan menggunakan otoskop terutama
untuk melihat gendang telinga. Pada otoskopi didapatkan hasil adanya
gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga
menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang
telinga
ii. Otoskop Pneumatic

9
Merupakan alat pemeriksaan bagi melihat mobilitas membran timpani
pasien terhadap tekanan yang diberikan. Membrane timpani normal akan
bergerak apabila diberitekanan. Membrane timpani yang tidak bergerak
dapat disebabkan oleh akumulasi cairan didalam telinga tengah, perforasi
atau timpanosklerosis. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas
diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan
dengan otoskop biasa
iii. Timpanometri
Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan
timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas
membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Timpanometri
merupakan konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga
tengah.Timpanometri juga dapat mengukur tekanan telinga tengah dan
dengan mudah menilai patensi tabung miringotomi dengan mengukur
peningkatan volume liang telinga luar.Timpanometri punya sensitivitas
dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan telinga tengah, tetapi
tergantung kerjasama pasien. Pemeriksaan dilakukan hanya dengan
menempelkan sumbat ke liang telinga selama beberapa detik, dan alat
akan secara otomatis mendeteksi keadaan telinga bagian tengah.

iv. Timpanosintesis
Timpanosintesis diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah,
bermanfaat pada pasien yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika,
atau pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan pungsi pada
membran timpani, dengan analgesia lokal untuk mendapatkan sekret

10
dengan tujuan pemeriksaan dan untuk menunjukkan adanya cairan di
telinga tengah dan untuk mengidentifikasi patogen yang spesifik.
v. Uji Rinne
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang dan hantaran
udara telinga pasien.
Langkah:
Tangkai penala digetarkan lalu ditempelkan pada prosesus mastoid
(hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terderngar. Penala kemudian
dipindahkan ke depan telinga sekitar 2,5 cm. Bila masih terdengar disebut
Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-)
vi. Uji Webber
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri
dengan telinga kanan.
Langkah:
Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di
verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau dagu).
Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah
telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada
lateralisasi
vii. Uji Swabach
Tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang orang yang
diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Langkah:
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus
sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera
dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat

11
mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach
sama dengan pemeriksa.

9. Penatalaksanaan Medis
1. Berdasarkan stadium
1.1 Stadium Oklusi. Bertujuan untuk membuka tuba eustachius. Diberikan obat
tetes hidung.
1.1.1 HCl Efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak <12 tahun
1.1.2 HCl Efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak >12 tahun atau
dewasa.
1.1.3 Sumber infeksi juga harus diobati dengan memberikan antibiotik.
1.2 Stadium Presupurasi. Diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgetik.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila membran timpani sudah
hiperemi difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Untuk terapi awal,
diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat dalam darah.
1.2.1 Ampisilin 4 x 50-100 mg/KgBB
1.2.2 Amoksisilin 4 x 40 mg/KgBB/hari
1.2.3 Eritromisin 4 x 40 mg/KgBB/hari
1.3 Stadium Supurasi. Pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila
membran timpani masih utuh. Selain itu, analgesik juga diperlukan agar nyeri
dapat berkurang.
1.4 Stadium Perforasi. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu.
1.5 Stadium Resolusi. Biasanya akan tampak sekret keluar. Pada keadaan ini
dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3 minggu, namun bila masih keluar sekret
diduga telah terjadi mastoiditis. Pada stadium ini, harus di follow up selama 1
sampai 3 bulan untuk memastikan tidak terjadi otitis media serosa.
2. Tindakan
2.1 Timpanosintesis

12
Tindakan dengan cara mengambil cairan dari telinga tengah dengan
menggunakan jarum untuk pemeriksaan mikrobiologi. Risiko dari prosedur
ini adalah perforasi kronik membran timpani, dislokasi tulang-tulang
pendengaran, dan tuli sensorineural traumatik, laserasi nervus fasialis atau
korda timpani. Timpanosintesis merupakan prosedur yang invasif, dapat
menimbulkan nyeri, dan berpotensi menimbulkan bahaya sebagai
penatalaksanaan rutin.
2.2 Miringotomi
Tindakan insisi pada membran timpani untuk drainase cairan dari telinga
tengah. Pada miringotomi dilakukan pembedahan kecil di kuadran posterior-
inferior membran timpani. Untuk tindakan ini diperlukan lampu kepala yang
terang, corong telinga yang sesuai, dan pisau khusus (miringotom) dengan
ukuran kecil dan steril. Indikasi untuk miringotomi adalah terdapatnya
komplikasi supuratif, otalgia berat, gagal dengan terapi antibiotik, pasien
imunokompromis, neonatus, dan pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif.

C. OTITIS PERFORATAL (OMP) / OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK


1. DEFINISI
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media sering diawali dengan
infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ket
elinga tengah melalui tubaeustachius (Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif, 2013).
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media
perforata(OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media
supuratif kronik ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani
dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Djaafar, 2007)
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah stadium dari penyakit telinga
tengah dimana terjadi peradangan kronis dari telinga tengah, mastoid dan membrane
timpani tidak intak (perforasi) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul.

13
Istilah kronik digunakan apabila penyakit ini hilang timbul atau menetap selama 2 bulan
atau lebih (Fung, K, 2004). OMSK adalah infeksi di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus- menerus atau hilang
timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Efiaty, 2007)

2. ETIOLOGI
Kejadian OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada
anak dengan cleft palate dan down’s syndrom. Faktor host yang berkaitan dengan insiden
OMSK yang relatif tinggi adalah defisiensi immune sistemik. Penyebab OMSK antara
lain:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi.Tetapi sudah hampir
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secaraumum, diet, tempat tinggal
yang padat.
2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insidenOMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktorgenetik.
Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapibelum
diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.
3. Otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitismedia
akut dan atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apayang
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadikronis.
4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir
tidakbervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukkan bahwa metode

14
kulturyang digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram-
negatif, flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.
5. Infeksi saluran napas bagian atas
Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafasatas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkanmenurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal beradadalam telinga tengah,
sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.
6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadapotitis
media kronis.
7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggidibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagianpenderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini
belum terbukti kemungkinannya.
8. Gangguan fungsi tuba eustacius
Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edematetapi
apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belumdiketahui. Pada
telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untukmengevaluasi fungsi tuba
eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tubatidak mungkin mengembalikan
tekanan negatif menjadi normal.

3. PATOFISIOLOGI
OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan maligna atau
tipe tulang. Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif juga dikenal
tipe aktif dan tipe tenang (Arif Mansjoer, 2011). Pada OMSK benigna, peradangan
terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang
menimbulkan komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. (Arif Mansjoer,
2011). OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak marginal,
subtotal, atau di atik. Sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya atau fatal (Arif
Mansjoer, 2011). Kolesteotoma yaitu suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel

15
(keratin). Deskuamasi terbentuk terus, lalu menumpuk. Sehingga kolesteotoma
bertambah besar.

4. PATHWAY

5. MANIFESTASI KLINIS
Pasien mengeluh otore, vertigo, tinitus, rasa penuh ditelinga atau gangguan
pendengaran. (Arif Mansjoer, 2011). Nyeri telinga atau tidak nyaman biasanya ringan
dan seperti merasakan adanya tekanan ditelinga. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi
secara terus menerus atau intermiten dan dapat terjadi pada salah satu atau pada kedua
telinga

16
 Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti
air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh
aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak,
cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya
sekretbiasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi
saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau
berenang.
Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adanya sekret telinga. Sekret yang sangat
bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk
degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada
OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah
berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan
tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa
nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
 Gangguan pendengaran. Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang
pendengaran. Biasanyadijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat,
karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan
efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari
20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi
dari rantai tulang pendengaran menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30
db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe
maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara
sehingga ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi
karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen rotundum) atau fistel labirin

17
tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi
tuli saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi kohlea.
 Otalgia ( nyeri telinga) Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada
merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat
hambatan pengaliran sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau
ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh
adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
 Vertigo. Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya.
Keluhanvertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi
dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan
tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat
terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan
labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam
labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat
komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi
kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga
timbul labirinitis dan dari sana mungkin berlanjut menjadi meningitis. Uji fistula
perlu dilakukan pada kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan
pemberian tekanan positif dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat
diteruskan melalui rongga telinga tengah.

6. PENATALAKSANAAN
Menurut Arief Mansjoer (2011), Terapinya sering lama dan harus berulang-ulang karena:

1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen


2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal,
3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid
4. Gizi dan kebersihan yang kurang.

18
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG

a. Pemeriksaan Audiometri

Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli


konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian
tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
sistim penghantaran suara ditelinga tengah. Paparela, pada penderita OMSK
ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam
skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan
ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada
lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan
pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan ketulian
total, tergantung dari hasil pemeriksaan ( audiometri atau test berbisik). Derajat
ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan intensitas
pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO Derajat ketulian dan nilai
ambang pendengaran

1. Normal : 10 dB sampai 26 dB
2. Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
3. Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
4. Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
5. Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
6. Tuli total : lebih dari 90 dB.

Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi


kohlea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang
serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat
diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk
perbaikan pendengaran. Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bias
membantu :

1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20 dB

19
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif 30-
50 dB apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang masih
utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun keadaan
hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.

Pemeriksaan audiologi pada OMSK harus dimulai oleh penilaian


pendengarandengan menggunakan garpu tala dan test Barani. Audiometri tutur
dengan maskingadalah dianjurkan, terutama pada tuli konduktif bilateral dan tuli
campur.

b. Pemeriksaan Radiologi.

Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis


nilaidiagnostiknya terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri.
Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik,
lebih kecil dengan pneumatisasi leb ih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya
atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan
kolesteatom. Proyeksi radiografi yang sekarang biasa digunakan adalah :

1. Proyeksi Schuller, yang memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid


dariarah lateral dan atas. Foto ini berguna untuk pembedahan karena
memperlihatkan posisi sinus lateral dan tegmen. Pada keadaan mastoid yang
skleritik, gambaran radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk
menghindari dura atau sinus lateral.
2. Proyeksi Mayer atau Owen, diambil dari arah dan anterior telinga tengah.
Akantampak gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver, memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosusdan
yang lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan

20
kanalis semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan
melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibatkolesteatom.
4. Proyeksi Chause III, memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga
dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan
atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom,
ada atau tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula
pada kanalis semisirkularis horizontal. Keputusan untuk melakukan operasi
jarang berdasarkan hanya dengan hasil X-ray saja. Pada keadaan tertentu
seperti bila dijumpai sinus lateralis terletak lebih anterior menunjukan adanya
penyakit mastoid.

D. ASUHAN KEPERAWATAN OTITIS

E. KETULIAN
1. Pengertian
Gangguan Pendengaran adalah istilah umum yang menandakan ketidak
mampuan dengan rentang keparahan dari ringan sampai berat dan meliputi tuli sebagian
dan kesulitan mendengar (Donna L Wong 2001)
Gangguan Pendengaran adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui
indera pendengarannya ( Somantri 2006 )
Gangguan Pendengaran dibedakan 2 kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar
(low of hearing), dimana deaf adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami
kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi. Dan low of
hearing adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih
berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan maupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing-aids),(Dwijosumarto 2006)
Jadi kesimpulannya, tuli adalah orang yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang disebabkan
oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian maupun seluruhnya alat pendengaran

21
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan terutama
melalui indera pendengarannya sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan
bahasanya.

2. Klasifikasi
Klasifikasi tuli atau gangguan pendengaran berdasarkan organ yang terganggu di
bedakan yaitu :
a. Gangguan dengar konduktif adalah gangguan dengar yang disebabkan kelainan di
telinga bagian luar dan atau telinga bagian tengah, sedangkan saraf pendengarannya
masih baik, dapat terjadi pada orang dengan infeksi telinga tengah, infeksi telinga luar
atau adanya serumen di liang telinga.
b. Gangguan dengar saraf atau Sensorineural yaitu gangguan dengar akibat
kerusakan saraf pendengaran, meskipun tidak ada gangguan di telinga bagian luar
atau tengah.
c. Gangguan dengar campuran yaitu gangguan yang merupakan campuran kedua jenis
gangguan dengar di atas, selain mengalami kelainan di telinga bagian luar dan tengah
juga mengalami gangguan pada saraf pendengaran.

3. Konsep Tuli Konduktif


a. Definisi
Gangguan pendengaran konduktif adalah gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga
tengah yang menghalangi penghantaran suara atau bunyi dengan tepat. Gangguan
pendengaran konduktif biasanya pada tingkat ringan atau menengah, pada rentang 25
hingga 65 desibel.
b. Etiologi
Penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh suatu masalah
mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga tengah yang menghalangi
penghantaran suara atau bunyi dengan tepat. Contohnya disebabkan karena :
1) Kongenital : atresia liang telinga.
2) Benda asing dalam MAE : serumen, corpus alienum.

22
3) Trauma : dislokasi oseus auditorius, oklusi tuba eustachius.
4) Tumor : osteoma liang telinga.
5) Infeksi : otitis media, otitis eksterna sirkumskripta.
6) Hemotimpanum.
7) Timpanosklerosis.
8) Otosklerosis.
Otosklerosis adalah penyakit primer dari tulang-tulang pendengaran dan kapsul
tulang labirin. Proses ini menghasilkan tulang yang lebih lunak dan berkurang
densitasnya (otospongiosis). Gangguan pendengaran disebabkan oleh
pertumbuhan abnormal dari spongy bone-like tissue yang menghambat tulang-
tulang di telinga tengah, terutama stapes untuk bergerak dengan baik.
Pertumbuhan tulang yang abnormal ini sering terjadi di depan dari fenestra ovale,
yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Normalnya, stapes yang
merupakan tulang terkecil pada tubuh bergetar secara bebas mengikuti transmisi
suara ke telinga dalam. Ketika tulang ini menjadi terfiksasi pada tulang
sekitarnya, getaran suara akan dihambat menuju ke telinga dalam sehingga fungsi
pendengaran terganggu.
c. Manifestasi Klinis
1) Rasa penuh pada telinga.
2) Pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar, biasanya dikarenakan proses
peradangan.
3) Tinnitus.
4) Apabila bercakap dengan lawan bicara kadang tidak sesuai dengan apa yang
dibicarakan oleh lawan bicaranya.
5) Sering meminta lawan bicaranya untuk mengulang apa yang disampaikan.
6) Pada anak usia sekolah biasanya terjadi penurunan prestasi.
7) Kurang bersosialisasi karena malu.
d. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya tuli pada umumnya tergantung pada faktor penyebab
tuli itu sendiri. Pada tuli konduktif biasanya terjadi akibat kelainan telinga luar,
seperti infeksi serumen, atau kelainan telinga tengah, seperti otitis media atau

23
otosklerosis. Pada keadaan seperti itu, hantaran suara efisien melalui udara ke telinga
dalam terputus.
e. Pemeriksaan Diagnostik
1) Test pendengaran.
Tujuan dari test pendengaran adalah untuk mengetahui apakah seseorang
mengalami kurang pendengaran, mengetahui sfat ketuliannya yaitu tuli kanduktif
ataukah tuli perseptif, serta juga untuk mengetahui derajat ketuliannya. Test
pendengaran berupa :
a) Test Bisik.
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal
penderita dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak dan
huruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak penderita dengan
pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yang
dibisikkan dengan benar.
Pada orang normal dapat mendengar80% dari kata-kata yang
dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter.Apabila kurang dari 5 – 6 meter berarti
ada kekurang pendengaran. Apabila penderita tak dapat mendengarkan kata-
kata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi. Sebaliknya bila tak dapat
mendengar kata-kata dengan huruf desis berarti tuli persepsi.
Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar dites
dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normal
dapat mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter.
b) Test Garputala.
- Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan
antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
 Garputala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan
tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang
meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar
bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus

24
akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih
dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak
dapat mendengarnya.
 Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan
tangkainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera
pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita
menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan meatus
akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus
skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien
mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras.
Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus
akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
 Normal : tes rinne positif.
 Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui
tulang lebih lama).
 Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
 Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran
garpu tala.
 Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes
rinne: +/-).
 Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi
pada posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal
sehingga mula-mula timbul.
- Test Weber
Tujuan melakukan tes weber adalah untuk membandingkan
hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes
weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan
tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang
mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar
atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi

25
telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-
sama mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh
tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan
ptologis pada MAE atau cavum timpani missal:otitis media purulenta pada
telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini
akan bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah
kanan.
Interpretasi:
 Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan
disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan
kiri sama kerasnya.
 Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya :
 Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media
disebelah kanan.
 Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada
telinga kanan lebih hebat.
 Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri
terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
 Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat
dari pada sebelah kanan.
 Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang
terdapat.
- Test Schwabach.
Tujuan dari test ini adalah untuk membandingkan daya transport
melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus.
Dasar : Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan
oleh:
 Getaran yang datang melalui udara.
 Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo temporale
c) Test Audiometri.

26
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level
pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran seseorang da[at dinilai. Tes
audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang
memerlukan ketajaman pendengaran.
Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran.
Kehilangan Klasifikasi
dalam Desibel
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai
berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

d) Test Timpanometri.
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang
mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah.
Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli
konduktif.
Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan
biasanya digunakan pada anak-anak.Timpanometer terdiri dari sebuah
mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara
dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak
suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara yang dipantulkan
kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.
Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa:

27
- Penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan telinga
tengah dengan hidung bagian belakang ).
- Cairan di dalam telinga tengah.
- Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengraan yang menghantarkan
suara melaui telinga tengah.
e) MRI/CT-Scan.
Dilakukan untuk melihat apakah terjadi malformasi pada telinga
bagian dalam juga untuk melihat integritas nervus koklearis. Dan biasanya
ditemukan defisiensi nervus koklearis baik pada satu sisi telinga atau
keduanya.
f. Penatalaksanaan
Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran konduktif bersifat
sementara. Pengobatan atau bedah dapat membantu tergantung pada penyebab khusus
masalah pendengaran tersebut. Jika penurunan fungsi pendengaran konduktif
disebabkan oleh adanya cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka
dilakukan pembuangan cairan dan kotoran tersebut. Jika penyebab tidak dapat diatasi,
gangguan pendengaran konduktif juga dapat diatasi dengan alat bantu dengar atau
implan telinga tengah.

4. Konsep Tuli Sensorineural


a. Definisi
Gangguan pendengaran sensorineural yaitu : kerusakan pada telinga dalam,
saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak. Gangguan pendengaran
sensorineural disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya sel saraf (sel rambut) dalam
rumah siput dan biasanya bersifat permanen. Perlu diketahui bahwa untuk
mendengar dan mengerti suatu bunyi diperlukan suatu proses penghantaran,
pengolahan di telinga dalam, dan dilanjutkan dengan interprestasi bunyi (di otak).
Kadang dijumpai suatu kasus fungsi penghantaran dan pengolahan baik, namun
karena ada gangguan di otak, maka bunyi tidak dapat diartikan.
b. Etiologi
1) Degeneratif : Presbikusis (penurunan pendengaran karena usia lanjut).

28
2) Kongenital : aplasia.
3) Trauma : fraktur pars petrosa os temporalis, trauma kapitis, pajanan bising.
4) Radang, bisa karena : syndrom rubella kongenital, sifilis kongenital.
5) Ototoksik, disebabkan karena : aspirin, streptomicin, alkohol.
6) Tumor, contoh pada neuroma akustik, multiple myeloma.
7) Penyakit Susunan saraf pusat : perdarahan otak.
d. Manifestasi Klinik
Pada dasarnya manifestasi klinis pada tuli sensorineural hampir sama dengan
tuli konduktif.
1) Rasa penuh pada telinga.
2) Pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar, biasanya dikarenakan proses
peradangan.
3) Tinnitus.
4) Apabila bercakap dengan lawan bicara kadang tidak sesuai dengan apa yang
dibicarakan oleh lawan bicaranya.
5) Sering meminta lawan bicaranya untuk mengulang apa yang disampaikan.
6) Pada anak-anak biasanya ditemukan :
a) Pada pasien dengan gangguan pendengaran sejak lahir biasanya akan
mengalami gangguan tumbuh kembang terutama pada proses bicara. Hal ini
disebabkan anak tidak mampu menangkap semua elemen pembicaraan
dengan jelas sehingga anak akan mengalami kesulitan meniru ucapan dengan
betul dan baik. Anak juga akan mengalami gangguan pola berbicara yang
sering rancu dengan masalah intelegensinya.
b) Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan mencari
petunjuk dari gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat informasi
tambahan apa yang diucapkan.
c) Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi disekitarnya,
kecuali yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak mudah tertarik
dengan pembicaraan atau suara-suara yang ada disekelilingnya.
d) Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak dengan
gangguan pendengaran akan mengalami penurunan kemampuan mendengar

29
dan memahami arti kata-kata sehingga menghambat proses perkembangan
bicara.
e) Pada anak usia sekolah biasanya terjadi penurunan prestasi.
f) Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana.
g) Kesulitan menangkap huruf mati atau konsonan.
h) Kurang bersosialisasi karena malu.
e. Patofisiologi
Pada tuli sensorineural terjadinya gangguan pendengaran adalah karena
terdapat kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran, dan jalur saraf
pendengaran di otak, sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.
Berdasarkan kerusakan yang timbul pada tuli sensorineural dibagi dua, yaitu :
sensori koklea dan sensori retrokoklea. Pada sensori koklea, gangguan pendengaran
dikarenakan terjadi perubahan struktur koklea dan nervus pendengaran sehingga
terjadi penurunan pendengaran. Sedangkan pada sensori retrokoklea bisa terjadi
karena infeksi, trauma kepala, dan gangguan pembuluh darah yang menyebabkan
kelumpuhan pada saraf pendengaran.
f. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah sama dengan yang dilakukan
pada tuli konduksi.
g. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk penurunan fungsi pendengaran tergantung kepada
penyebabnya.Jika penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh adanya
cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka dilakukan pembuangan
cairan dan kotoran tersebut.Jika penyebabnya tidak dapat diatasi, maka digunakan
alat bantu dengar atau kadang dilakukan pencangkokan koklea.
1) Alat bantu dengar.
Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan
dengan batere, yang berfungsi memperkuat dan merubah suara sehingga
komunikasi bisa berjalan dengan lancar.
Alat bantu dengar terdiri dari:
a) Sebuah mikrofon untuk menangkap suara.

30
b) Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara.
c) Sebuah speaker utnuk menghantarkan suara yang volumenya telah
dinaikkan.
Jenis alat bantu dengar :
a) Alat Bantu Dengar Hantaran Udara.
b) Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan.
c) Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Belakang Telinga.
d) CROS (Contralateral Routing Of Signals).
e) BICROS (bilateral CROS).
f) Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang.
2) Pencangkokan koklea
Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat
yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat
ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:
a) Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar
b) Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara
yang tertangkap oleh mikrofon
c) Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal
dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik
d) Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan
mengirimnya ke otak.
5. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1) Biodata :
Yang dikaji adalah : nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status,
agama, alamat. Pada usia lanjut biasanya terjadi proses degeneratif serta
penurunan kemampuan fungsi organ telinga. Pada anak-anak biasanya karena
kelainan kongenital.
2) Riwayat Kesehatan :
a) Keluhan utama

31
Pasien biasanya mengeluhkan pendengaran berkurang baik ringan maupun
berat, bisa pada satu sisi telinga atau keduanya. Kadang disertai suara
berdenging. Rasa nyeri yang timbul dari dalam telinga.
b) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pernah menderita penyakit rubella dengan penanganan yang kurang adekuat,
pernah mendapatkan trauma kepala, pernah menderita infeksi telinga dengan
penanganan yang kurang adekuat, terjadi kelainan kongenital seperti atresia
liang telinga.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Gangguan pendengaran juga bisa diturunkan oleh gen yang dominan dan
resesif. Kelainan yang diturunkan dapt berupa gangguan pendengaran yang
ringan hingga sampai yang berat.
Pada seorang ibu yang mempunyai kebiasaan minum minuman yang
mengandung alkohol, perokok bisa menimbulkan efek otositoksik pada
janinnya. Riwayat keluarga dengan karsinomagenik.
3) Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breath) :-
b) B2 (Blood) :-
c) B3 (Brain) : Nyeri dari dalam telinga, tinitus, vertigo, bengkak pada
telinga yang mengalami infeksi. Tumor otak, trauma kepala, penyakit pada
susunan saraf pusat.
d) B4 (Bladder) :-
e) B5 (Bowel) :-
f) B6 (Bone) : Kelainan bentuk yang terjadi pada telinga luar atau
tengah, proses degeratif pada saraf-saraf pendengaran.
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Test Weber :
Pada tuli konduksi di dapatkan hasil garputala akan mengalami lateralisasi
pada telinga yang lebih sehat sedangkan pada tuli sensorineural, telinga yang
sakit akan lebih jelas dalam menerima rangsangan.
b) Test Rinne :

32
Pada tuli konduksi didapatkan hasil negatif (-) BC > AC. Sedangkan pada
tuli sensorineural didaptkan hasil positif (+) AC > BC.
c) Uji audiometri :
Uji ini untuk menentukan derajat keparahan tuli dari skala frekwensi 250 Hz
hingga 8000 Hz.
d) Radiologi (MRI/CT) :
Biasanya didapati kelainan pada koklea seperti hipoplasia atau aplasia.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada telinga tengah.
2) Gangguan persepsi sensori berhubungan kerusakan pada telinga tengah.
3) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan proses pendengaran.
4) Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi
c. Intervensi Keperawatan.
1) Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada telinga tengah.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
Nyeri yang dirasakan kien berkurang dengan skala 2-0 dari rentang skala 0-10
Intervensi Keperawatan :
a) Ajarkan teknik relaksasi pada klien dengan mengajarkan teknik relaksasi
(misalnya bernafas perlahan, teratur, atau nafas dalam).
b) Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
c) Kaji kembali nyeri yang dirasa oleh klien setelah 30 menit pemberian
analgetik.
d) Beri informasi kepada klien dan keluarga tentang penyebab yeri yang dirasa.
Rasional :
a) Teknik relaksasi yang benar dan efektif dapat membantu mengurangi nyeri
yang dirasa.
b) Analgetik dapat menekan pusat saraf rasa nyeri, sehingga nyeri dapat
berkurang.
c) Untuk mengetahui keefektifan pemberian analgetik.

33
d) Informasi yang cukup dapat mengurangi kecemasan yang dirasa oleh klien
dan keluarga.
2) Gangguan persepsi sensori berhubungan kerusakan pada telinga tengah.
Tujuan : Persepsi / sensoris membaik.
Kriteria hasil :
Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran sampai pada
tingkat fungsional.
Intervensi Keperawatan :
a) Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
b) Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman dalam
perawatan telinga (seperti: saat membersihkan dengan menggunakan cutton
bud secara hati-hati, sementara waktu hindari berenang ataupun kejadian
ISPA) sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
c) Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
d) Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang
diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional :
a) Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian,
pemakaian serta perawatannya yang tepat.
b) Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang
tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi.
c) Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah
pendengaran rusak secara permanen.
d) Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan
organisme sisa resisten sehingga infeksi akan berlanjut.
3) Resiko cedera berhubungan dengan penurunan proses pendengaran.
Tujuan : Tidak terjadi cedera
Kriteria hasil :
Pasien dapat melakukan aktifitasnya dengan aman.
Intervensi Keperawatan :

34
a) Berikan pengetahuan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan
komplikasi serta resiko cedera yang bisa terjadi.
b) Anjurkan pasien untuk selalu berhati-hati pada saat melakukan kegiatan di
luar rumah.
Rasionalisasi :
a) Agar pasien mengerti dan memahami tentang penyakitnya, serta dapat
mencegah resiko cedera.
b) Pada saat pasien berada di lingkungan luar rumah seperti di jalan raya akan
sangat berbahaya karena tidak dapat mendengar bunyi peringatan.
4) Resiko kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan komunikasi.
Tujuan : pasien tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi.
Kriteria hasil :
Resiko kerusakan interaksi sosial dapat di minimalkan
Intervensi keperawatan:
a) Kaji kesulitan mendengar.
b) Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang di alami klien.
c) Jika mungkin bantu klien memahami komunikasi non verbal.
d) Anjurkan klien menggunakan alat bantu dengar setiap di perlukan jika
tersedia.
Rasionalisasi
a) Menentukan derajat gangguan proses pendengaran.
b) Untuk menentukan implementasi selanjutnya.
c) Untuk mempermudah komunikasi dengan orang lain.
d) Memperbaiki proses pendengaran.

F. VERTIGO
1. Definisi
Vertigo berasal dari bahasa latin yaitu “vertere” yang berarti berputar dan “igo” yang
berarti kondisi. Gangguan orientasi dimana seseorang merasa berputar terhadap
lingkungannya, atau lingkungan sekitar bergerak terhadap dirinya dinamakan vertigo. Apabila
perasaan seseorang berputar terhadap lingkungan sekitar, maka dinamakan vertigo subjektif,

35
sedangkan perasaan seolah-olah ruangan bergerak terhadapnya disebut vertigo objektif
(George, 2009).

2. Klasifikasi
Vertigo merupakan suatu bentuk gangguan orientasi. Vertigo dapat diklasifikasikan
berdasarkan letak kelainannya, klinis dan kejadiannya. Berdasarkan letak kelainannya, vertigo
diklasifikasikan menjadi :
1. Vertigo sentral: disebabkan kelainan di batang otak, cerebellum dan otak, atau sering
disebut secondary vestibular disorder, misalnya akibat stroke batang otak, Transient
Ischemic Attact (TIA) vertebrobasiler, neoplasma, migren basiler, trauma, epilepsi,
perdarahan cerebellum, infark batang otak, degenerasi spinoserebelar.
2. Vertigo perifer: disebabkan oleh kelainan di telinga dalam, n.vestibular atau sering
disebut primary vestibular disorder, misalnya akibat BPPV pasca trauma, labirintis,
meniere’s disease, toksin obatobatan seperti streptomisin, neuritis vestibular, tumor
di fossa posterior (neuroma akustik), fisiologis (motion sickness), fistula labirin,
otitis media, neuritis iskemia akibat diabetes mellitus dan infeksi herpez (Sjahrir,
2012).
Secara klinis, vertigo bisa dibagi menjadi:
1. vertigo paroksismal yaitu serangan vertigo yang muncul mendadak dan sangat
menganggu serta mendadak hilangnya.
2. vertigo kronis yaitu vertigo yang terus menerus dan konstan.
3. vertigo akut yaitu vertigo yang berangsur-angsur berkurang secara bertahap
(Lumbantobing, 2007).
Pembagian vertigo berdasar kejadiannya yaitu:
A. vertigo spontan
Vertigo ini timbul tanpa pemberian rangsang. Rangsang timbul dari penyakitnya
sendiri misalnya penyakit Meniere.
B. vertigo posisi
Vertigo posisi timbul apabila ada perubahan posisi kepala, vertigo ini dapat pula
timbul karena adanya perangsangan pada ampula kanalis semisirkularis.
C. vertigo kalori

36
Vertigo ini timbul karena ada pemeriksaan kalori (Soepardi, 2012).

3. Etiologi
Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang
menghubungkan antara telinga dengan otak dan di dalam otak sendiri. Vertigo juga
berhubungan dengan kelainan lainnya, selain kelainan pada telinga, saraf yang
menghubungkan telinga dalam dengan otak, serta di otak, misalnya kelainan penglihatan atau
perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba tiba. Penyebab umum dari vertigo:
1. Keadaan lingkungan misalnya motion sickness (mabuk darat, mabuk laut).
2. Obat-obatan seperti alkohol dan gentamisin.
3. Kelainan sirkulasi seperti Transient Ischemic Attack (gangguan fungsi otak sementara
karena berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan
arteri basiler.
4. Kelainan di telinga seperti adanya endapan kalsium pada salah satu kanalis
semisirkularis di dalam telinga bagian dalam (menyebabkan Benign Paroxysmal
Positional Vertigo), infeksi telinga bagian dalam karena bakteri atau infeksi Herpes
zoster, labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga), peradangan saraf vestibuler,
penyakit Meniere (Lumbantobing, 2007).
Selain itu, vertigo juga disebabkan oleh penyakit sistemik yang menimbulkan gangguan
di bagian perifer atau sentral dari susunan vestibularis, misalnya aritmia jantung, anemia,
pengaruh obat–obat tertentu, gangguan endokrin misalnya hipoglikemia, kelainan psikiatri
seperti depresi, neurosa (Suratno, 2008). Vertigo okuler dapat timbul pada orang yang baru
memakai kaca mata bifokal dan pada penderita yang mendapat paralisis dari salah satu otot
ekstra okuler secara mendadak. Vertigo ini timbul karena adanya diplopia (Ngoerah, 1991).

4. Manifestasi Klinis
Jika fungsi keseimbangan terganggu, gejala yang paling sering dirasakan pasien yaitu :
- perasaan berputar terhadap sekitar
- perasaan seperti hendak terjatuh
- pingsan
- pandangan kabur dan

37
- bingung.
Gejala lainnya seperti :
- penderita datang ke dokter untuk konsultasi medis karena sakitnya
- izin dari pekerjaan
- mempengaruhi aktivitas sehari-hari
- dan menghindari untuk meninggalkan rumah karena gejala tersebut (Neuhauser et al., 2008).

5. Patofisiologi
Vertigo atau perasaan berputar disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh.
Tubuh mampu mengendalikan keseimbangan dan merasakan posisi melalui organ
keseimbangan yang ada pada telinga dalam. Organ pada telinga dalam ini memiliki saraf yang
berhubungan dengan area tertentu di otak. Adanya gangguan pada alat keseimbangan tubuh
tersebut mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang
dipersepsi oleh susunan saraf pusat (Lumbantobing, 2007).
Menurut Joesoef (2006) dan Wreksoatmodjo (2004), ada beberapa teori yang dapat
menerangkan terjadinya vertigo, yaitu:
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Menurut teori ini, hiperimia canalis semisirkularis timbul akibat adanya rangsang yang
berlebihan. Fungsi canalis semisirkularis akan terganggu, sehingga menimbulkan
keluhan vertigo, nistagmus, mual serta muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini, ketidakcocokan terjadi antara input sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensori perifer yaitu vestibulum, mata / visus, propioseptik, serta
ketidakseimbangan input sensori dari sisi kanan dan kiri tubuh. Kebingungan sensorik
di sentral akibat ketidakcocokan akan menimbulkan beberapa respon tubuh yang
berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan
vestibuler, cerebellum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi
kortikal). Teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai
penyebab jika dibandingkan dengan teori konflik sensorik.
3. Teori neural mismatch

38
Menurut teori ini, otak memiliki ingatan/memori tentang pola tertentu, apabila ada
suatu gerakan yang aneh dan tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan di
dalam otak, akan muncul reaksi dari susunan saraf otonom. Pola gerakan baru tersebut
apabila dilakukan secara berulang-ulang akan menimbulkan mekanisme adaptasi
sehingga keluhan tersebut menghilang dan tidak muncul kembali. Teori ini merupakan
pengembangan dari teori konflik sensorik.
4. Teori otonomik
Penekanan teori ini terletak pada reaksi susunan saraf otonom. Perubahan gerakan /
posisi akan menimbulkan reaksi dari sistem saraf otonom, sebagai mekanisme adaptasi.
Apabila sistem simpatis lebih banyak berperan / lebih dominan, gejala klinis akan
muncul. Sebaliknya, jika sistem parasimpatis berperan maka gejala klinis akan hilang.
5. Teori neurohumoral
Terdiri atas beberapa teori yaitu teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan
teori serotonin (Lucat). Teori ini menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam
mempengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya keluhan vertigo.
6. Teori sinap
Teori ini menekankan pada peranan neurotransmiter dan perubahan biomolekular yang
terjadi selama proses belajar, adaptasi dan daya ingat. Peningkatan sekresi dan kadar
CRF (corticotropin releasing factor) akan memicu aktifasi sistem saraf simpatis akibat
adanya impuls gerakan yang menimbulkan stres. Aktivasi sistem saraf simpatik akan
mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistem parasimpatis.
Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat,
berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang
menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi
aktivitas susunan saraf parasimpatis.

39
6. Pathway

7. Pemeriksaan Pada Penderita Vertigo


1. Tes Romberg yang dipertajam
Sikap kaki seperti tandem, lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup.
Orang yangnormal mampu berdiri dengan sikap yang romberg yang dipertatam selama 12
detik atau lebih
2. Tes Melangkah ditempat (Stepping Test )

Penderita disuruh berjalan ditempat dengan mata tertutup sebanyak 50 langkah.


Kedudukan akhir dianggap abnormal jika penderita beranjak lebih dari satu meter atau
badan berputar lebih dari 12derajat
3. Salah tunjuk( post-pointing)

Penderita merentangkan lengannya, angkat lengan (sampai vertikal) kemudian


kembali kesemula
4. Manuver Nylen Barang atau manuver Hallpike
Penderita duduk ditempat tidur periksa lalu direbahkan
sampai kepala bergantung dipinggir tempat tidur dengan sudut 30 kepala ditoleh kekiri

40
lalu posisi kepala lurus kemudian menoleh lagi kekanan pada keadaan abnormal akan
terjadi nistagmus.

8. Penatalaksanaan
1. Terapi Kausal
Terapi sesuai dengan penyebab.
2. Terapi Simptomatis
Terapi dengan obat–obatan untuk mengurangi keluhan vertigo.
1) Anti kolinergik
Obat anti kolinergik, seperti skopolamin bermanfaat untuk menghilangkan gejala mual
dan muntah yang merupakan manifestasi dari kegiatan susunan saraf simpatik, namun
sedikit gunanya untuk vertigo. Sekarang penggunaan obat ini telah ditinggalkan
karena efek samping seperti konstipasi dan mulut kering.
2) Anti histamin
Obat ini sangat banyak dipakai untuk mengurangi rasa pusing. Mekanisme kerja obat
anti histamin adalah memiliki efek antikolinergik, sedative, blockade reuptake
monoamine, maupun kombinasi dari ketiga efek tersebut. Obat yang sering dipakai
adalah dimenhidrinat, prometasin dan betahistin mesilat.
3) Fenotiazin
Obat golongan ini selain memblokasi dopamin juga mempunyai efek anti kolinergik
dan anti histamine, misalnya klorpromazin.
4) Butirofenon
Bila semua obat anti histamin tidak menolong, maka dapat dipakai obat ini.
5) Flunarizin
Obat ini adalah golongan Calcium Entry Blocker, yang mencegah akumulasi dari ion
kalsium intraselular pada keadaan patologis. Flunarizin jauh lebih mengurangi keluhan
vertigo dibandingan dengan obat yang lain, juga keluhan lain seperti nyeri kepala
(Suratno, 2008).

41
9. ASUHAN KEPERAWATAN VERTIGO
1. Pengkajian
a. Aktivitas / Istirahat
• Letih, lemah, malaise
• Keterbatasan gerak
• Ketegangan mata, kesulitan membaca
• Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala
• Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja) atau karena
perubahan cuaca
b. Sirkulasi
• Riwayat hypertensi
• Denyutan vaskuler, misal daerah temporal
• Pucat, wajah tampak kemerahan.
c. Integritas Ego
• Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
• Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi
• Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
• Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik)
d. Makanan dan cairan
• Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang, keju, alkohol,
anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus, hotdog, MSG (pada migrain).
• Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri)
• Penurunan berat bada
e. Neurosensoris
• Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
• Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.
• Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
• Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.
• Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
• Perubahan pada pola bicara/pola pikir
• Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.

42
• Penurunan refleks tendon dalam
• Papiledema
f. Nyeri/ kenyamanan
• Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain, ketegangan otot,
cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
• Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah
• Fokus menyempit
• Fokus pada diri sndiri
• Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.
• Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal
g. Keamanan
• Riwayat alergi atau reaksi alergi
• Demam (sakit kepala)
• Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
• Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus)
h. Interaksi sosial
• Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang berhubungan dengan
penyakit
i. Penyuluhan / pembelajaran
• Riwayat hypertensi, migrain, stroke, penyakit pada keluarga
• Penggunaan alcohol/obat lain termasuk kafein. Kontrasepsi oral/hormone,
menopause.

2. Diagnosa Keperawatan (Doengoes, 1999 : 2021)


1) Nyeri (Akut/kronis) b.d stres dan ketegangan, iritasi,/tekanan syaraf,vasospressor,
peningkatan intrakranial ditandai dengan adanya nyeri yang dipengaruhi seperti perubahan
posisi, perubahan pola tidur dan gelisah.
2) Nausea berhubungan dengan penyakit meniere, labirintitis
3) Resiko jatuh berhubungan dengan pusing ketika menggerakan kepala.
4) Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan

43
b.d keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh
memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.
2) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Nyeri (akut/kronis) Nyeri hilang atau - Pantau tanda-tanda vital,
intensitas/skala nyeri
berhubungan dengan stress dan berkurang
- Anjurkan klien istirahat ditempat
ketegangan, iritasi/ tekanan tidur
- Atur posisi pasien senyaman
syaraf, vasospasme,
mungkin
peningkatan intrakranial - Ajarkan teknik relaksasi dan napas
ditandai dengan menyatakan dalam
Kolaborasi untuk pemberian
nyeri yang dipengaruhi oleh
analgetik
faktor misal, perubahan posisi,
perubahan pola tidur, gelisah.

2. Nausea berhubungan dengan nausea berkurang / 1. Patient / family teaching


hilang - Anjurkan pasien agar pelen-pelan
penyakit meniere, labirintitis
nafas dalam dan menelan untuk
menurunkan rasa mual dan muntah.
- Ajarkan pasien untuk tidak
minum 1 jam sebelum,1 jam
setelah dan sewaktu makan.

2.NUTRITIONAL MONITORING
- Monitor tipe kehilangan berat
badan dan pertumbuhan
- Monitor kelembaban,turgor kulit
dan depigmentasi.
- Monitor tingkat energi ,malaise,
fatigue dan kelemahan pasien.
-Monitor asupan kalori dan nutrisi.
-Kolaborasi;
kelola pemberian
anticmetic sebelum makan atau
sesuai jadwal
3. Fluid managmen:
- Awasi secara akurat intake dan
output
- Monitor vital sign
- Monitor status nutrisi pasien
- Monitor status hydrasi misal
kelembaban membranmukosa,
tekanan nadi dan orthostatic BP
Kelola pemberian terapi IV
3. Resiko jatuh berhubungan Pasien diharapkan 1. Environmental Management:
Safety: awasi dan gunakan

44
dengan pusing ketika tidak terjatuh dan lingkungan fisik untuk meningkatkan
keamanan
menggerakan kepala menambah injury 2. Falls Prevention:
Kaji penurunan kognitif
dan fisik pasien yang mungkin
dapat meningkatkan resiko jatuh
Kaji tingkat gait,
keseimbangan dan kelelahan
dengan ambulasi
Instruksikan pasien agar
memanggil asisten ketika
melakukan pergerakan
3. Teaching: disease proles
jelaskan pada pasien tanda
dan gejala dari penyakit yang
diderita
Anjurkan pasien untuk
bedrest pada fase akut
Jelaskan pada pasien
tentang terapi rehabilitatif pada
pasien vertigo

4. Kurang pengetahuan pasien mengutarakan - Kaji tingkat pengetahuan klien dan


(kebutuhan belajar) pemahaman tentang keluarga tentang penyakitnya.
mengenai kondisi dan kondisi, efek - Berikan penjelasan pada klien
kebutuhan pengobatan b.d prosedur dan proses tentang penyakitnya dan
keterbatasan kognitif, tidak pengobatan kondisinya sekarang.
- Diskusikan penyebab individual
mengenal informasi dan
dari sakit kepala bila diketahui.
kurang mengingat ditandai - Minta klien dan keluarga
oleh memintanya informasi, mengulangi kembali tentang
ketidak-adekuatannya materi yang telah diberikan.
mengikuti instruksi. - Diskusikan mengenai pentingnya
posisi atau letak tubuh yang
normal
- Anjurkan pasien untuk selalu
memperhatikan sakit kepala yang
dialaminya dan faktor-faktor yang
berhubungan.

45
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Otitis eksterna adalah radang merata kulit liang telinga yang disebabkan oleh kuman
maupun jamur (otomikosis) akibat sering mengorek telinga dengan tanda-tanda khas yaitu
rasa tidak enak di liang telinga, deskuamasi, sekret di liang telinga dan kecenderungan untuk
kambuhan. Klasifikasi otitis eksterna terbagi atas otitis eksterna sirkumskripta, otitis eksterna
difusa, dan otomikosis. Diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dan
jika diperlukan pemeriksaan penunjang. Pengobatan amat sederhana tetapi membutuhkan
kepatuhan penderita terutama dalam menjaga kebersihan liang telinga.
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga
tengah, tuba eustachi, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang disebabkan karena
masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah. Bakteri penyebab otitis media antara
lain Staphylococcus aureus, Pneumococcus, Haemophilus influenza, Escherichia coli,
Streptococcus anhemolyticus, Streptococcus hemolyticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomoas
aeruginosa.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata(OMP) atau
dalam sebutan sehari-hari congek. Yang disebut otitis media supuratif kronik ialah infeksi
kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari
telinga tengah terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening
atau berupa nanah (Djaafar, 2007)
Penatalaksanaan gangguan pendengaran bergantung pada penyebabnya. Pada
umumnya dapat dilakukan dengan perawatan kebersihan telinga, pembedahan ataupun
dengan menggunakan alat bantu dengar.
Prognosis dari gangguan pendengaran konduktif apabila dilakukan penatalaksanaan
dengan tepat dan cepat pada umumnya akan baik. namun pada gangguan pendengaran
sensorineural umumnya irreversible karena bersifat menetap dan tidak dapat di obati secara
medikamentosa maupun pembedahan.
Vertigo adalah Gangguan orientasi dimana seseorang merasa berputar terhadap
lingkungannya, atau lingkungan sekitar bergerak terhadap dirinya dinamakan vertigo. Apabila

46
perasaan seseorang berputar terhadap lingkungan sekitar, maka dinamakan vertigo subjektif,
sedangkan perasaan seolah-olah ruangan bergerak terhadapnya disebut vertigo objektif
(George, 2009).
B. Saran
Setelah mengetahui tentang asuhan keperawatan pada Otitis (OMA, OMP/OMSK, OEA),
vertigo dan ketulian diharapkan mahasiswa mempunyai kemampuan dalam melaksanakan proses
asuhan keperawatan di lapangan dengan baik dan profesional.

47
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Chaker Rahul T., Eklare, Nishikant. 2013. Vertigo in Cerebrovaskuler Disease. Otolaryngology

Clinics : An International Journal. 4 (1): 46-53 [online], [diunduh 3 Januari 2019],

tersedia dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala & Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Greenberg DA, Simon, RP, 2013. Mononeuropathy Simplex. A Lange Medical Book Clinical

Neurology. 3rd ed. USA : Appleton Lange; 171.

Grill E., Muller M., Brantdt M., 2013. Vertigo and Dizziness: challenges for epidemiological

research. OA Epidemiology. 1(2): 12 [online], [diunduh 8 September 2016], tersedia dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

Guyton, AC. 2014. Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.

Haryono, R & Utami, M. 2019. Keperawatan Medikal Bedah II. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Japardi, I, 2010. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta.

Joesoef AA, Suryamihardja A, Dewanti et al., 2012. Pedoman Tatalaksana Vertigo, Kelompok

Studi Vertigo, PERDOSSI.

Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif. 2013. Asuhan Keperawatan anak. Jakarta: EGC

Mitchell, Richard N. 2008. Pocket Companion to Robbins and Cotran Pathologic Basis of

Disease, 7th ed. New York : Elsivier Inc.

Pearce, E.C. 2016. Anatomi dan Fisiologi Tubuh untuk paramedis. Jakarta : Gramedia pustaka.

48
Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan

Tenggorokan. Surabaya : RSUD Dr Soetomo

Revai, R, et al. 2007. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper

Respiratory Tract Infection. Journal of The American Academy Pediatrics

Sjahrir H. 2012. Nyeri Kepala dan Vertigo. Yogyakarta. Pustaka Cendekia Press

Soepardi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher Edisi 6. Jakarta

: Balai penerbit FKUI. 2010

Tambayong, Jan, dr. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan Edisi I. Jakarta : Buku Kedokteran

ECG.

Waitzmann., (2004)., Otitis Externa., www.emedicine.com

49

Anda mungkin juga menyukai