Anda di halaman 1dari 120

PENGEMBANGAN PUSAT KEUNGGULAN MARITIM-SELAT MALAKA

MENUJU MASYARAKAT BERBASIS PENGETAHUAN

© Penerbit Dewan Riset Nasional


Sekretariat Gedung I BPPT lantai 2
Jl. MH. Thamrin No.8 Jakarta

Tim Penyusun:
Hendro Sangkoyo
Tusy A.Adibroto
Tjahjo Prionggo
Dinar Rani Setiawan
Dyna Novieta Harahap
Urban Elfatih
Ahmad Faizal

Penyunting:
Wahyu Purwanta

Diterbitkan pertama kali oleh


Penerbit Dewan Riset Nasional
Jakarta 2011

www.drn.go.id

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
Seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit

ISBN 978-979-9017-29-1

1
KATA PENGANTAR

Dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2010 – 2014 dituliskan Semangat


Pembangunan Iptek sebagai penekanan pada upaya kegiatan iptek berdasarkan prioritas
dalam RPJMN 2010 – 2014. Jika prioritas pembangunan iptek bertumpu pada bidang –
bidang yang sifatnya lebih sektoral yaitu 1) Ketahanan Pangan, 2) Energi, 3) Teknologi
Informasi dan Komunikasi, 4) Teknologi dan Manajemen Transportasi, 5) Teknologi
Pertahanan dan Keamanan, 6) Kesehatan dan Obat, serta 7) Material Maju, maka
Semangat Pembangunan Iptek ditujukan untuk kemanfaatannya secara lintas sektor yaitu
a) terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan (pro-poor technology) yang juga
merupakan amanat Millenium Development Goals 2015 ; b) terkait dengan kesadaran
akan potensi kelautan Indonesia yang sedemikian besar, bahkan Indonesia sering disebut
sebagai Benua Maritim, dan c) pentingnya upaya orientasi pada kelestarian fungsi – fungsi
lingkungan dan besarnya potensi kebencanaan mengingat posisi geografis Indonesia
dalam ‘ring of fire’.
Buku Pengembangan Pusat Keunggulan Maritim – Selat Malaka Menuju
Masyarakat Berbasis Pengetahuan ini merupakan hasil kajian sebagai upaya agar
pembangunan iptek dapat memenuhi ketiga amanat pembangunan iptek tersebut. Kajian
berawal dari isu kemaritiman karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
panjang pantai mencapai 81.000 km – nomor 2 terpanjang di dunia setelah Kanada,
sehingga orientasi pembangunan perlu memperhatikan potensi besar kemaritiman
tersebut. Kemudian sebagai inti kajian adalah upaya melihat pembangunan dengan
paradigma baru melalui pendekatan RGB (red-green-blue) yaitu segala kegiatan
pembangunan hendaknya mempertimbangkan nilai tambah ekonomi, sekaligus
memperhatikan kelestarian fungsi – fungsi lingkungan dan mengikutsertakan seluruh
lapisan masyarakat untuk berpartisipasi maupun menikmati hasil – hasil pembangunan.
Kajian ini juga dikaitkan dengan upaya agar pembangunan ditujukan dalam rangka
menurunkan angka kemiskinan (pro-poor technology). Selain itu diperhatikan
perkembangan terakhir yaitu pelaksanaan MP3EI.
Kajian awal PKM-SM ini diharapkan dapat menarik minat berbagai lembaga untuk ikut
serta berpartisipasi dalam kajian lanjutan PKM-SM sampai terwujudnya sinergi berbagai lembaga
terkait menuju pembangunan masyarakat berbasis pengetahuan. Dalam hubungan ini sejak awal
perlu dipersiapkan infrastruktur seperti kesiapan di bidang teknologi informasi pada lembaga –
lembaga terkait maupun masyarakat umum. Hal terakhir ini sesuai dengan arah pembangunan
bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi di sentra – sentra pertumbuhan ekonomi
sebagaimana tercantum dalam ARN 2010-2014.
Semoga buku ini dapat bermanfaat

Jakarta, Oktober 2011


Ketua Dewan Riset Nasional

Prof. Dr. Ir. Andrianto Handojo

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
GLOSARIUM
BAB 1. PENDAHULUAN 9
1.1 Latar Belakang 9
1.2 Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka (PKM-SM) 11
1.3 Tujuan dan Lingkup Kajian 15
1.4 Struktur Laporan Akhir 16
BAB 2. KERANGKA TEORI DAN ANALITIK PKM-SM 18
2.1 Perkembangan Teoritik dan Kerangka Analitik 18
2.2 Konteks Global dan Regional Agenda Belajar PKM-SM 21
2.3 Konteks Lokal Ke-Indonesia-an Agenda Belajar PKM-SM 22
2.4 Analisis Chronospatial Red-Green-Blue (CS-RGB): Relevansinya untuk
Pemindaian Perubahan di Wilayah Selat Malaka 24
BAB 3. DINAMIKA EKONOMIK, SOSIAL DAN EKOLOGIS SELAT MALAKA 28
3.1 Tinjauan Umum Dinamika di Selat Malaka 28
3.2 Dinamika Rerantai Ekonomik 36
3.3 Dinamika Rerantai Ekologis 46
3.4 Dinamika Rerantai Sosial 49
BAB 4. PETA KEPENTINGAN DAN GAGASAN PERUBAHAN YANG BERPENGARUH PADA
WILAYAH SEKITAR SELAT MALAKA 54
4.1 Gagasan Integrasi Ekonomi Asia (CADP dan SCO) 54
4.2 Tinjauan Koridor Ekonomi Sumatera dalam MP3EI 58
4.3 Prospek Transformasi Ketiga Rerantai Pada Lokus Kajian 60
BAB 5. AGENDA BELAJAR PKM-SM DAN KNOWLEDGE-BASED SOCIETY (KBS) 67
5.1 Perlunya Agenda Belajar PKM-SM Dalam Konteks KBS 67
5.2 Program PKM-SM dan Learning Management Unit (LMU) 68
5.3 Prinsip dan Pedoman bagi Unit Pemerintah/ Pengurus Publik dalam
berbagai Agenda Ekonomik di Wilayah Selat Malaka 69
5.4 Knowledge Management dan Mekanisme Berbagi Pengetahuan
BAB 6. PENUTUP 81
6.1 Kesimpulan 81
6.2 Rekomendasi 82
DAFTAR PUSTAKA 84
LAMPIRAN 90

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lingkup Wilayah Kajian PKM-SM.....................................................................12


Gambar 2. Sistem dan Praktek Diskursif Untuk Representasi Fenomena
Perubahan Lewat Kerangka Urai CS-RGB…………………………………………….…….….25
Gambar 3. Representasi Skematis dari Perubahan Vektor antar Ketiga Rerantai..............26
Gambar 4. Kerangka Agenda Belajar GESER…………………………………………………….…………...27
Gambar 5. Batas Wilayah Agenda Belajar PKM-SM ..………………………………………………..…28
Gambar 6. Antarmuka dari Social-Ecological Accounting Matrix (SEAM)……………………....28
Gambar 7. Posisi Riset PKM-SM diantara Riset Lain Skala Global......................................29
Gambar 8. Pola Koridor Ekonomi Regional Yang Dapat Mempengaruhi Selat Malaka.....30
Gambar 9. Selat Malaka sebagai Pusat Rerantai Ekonomi Dunia : Dulu dan Sekarang…..32
Gambar 10. Volume Lalu-lintas Berbagai Jenis Kapal (1999-2009)……………………………..….33
Gambar 11. Perluasan Rerantai Ekonomi Maritim Global dan Domestik
di Wilayah Selat Malaka …………………………………………………………………………...37
Gambar 12. Pola Arus Laut di Selat Malaka dan Sekitarnya…………………………………………....42
Gambar 13. Konsentrasi Tanah Gambut di Indonesia.........................................................43
Gambar 14. Titik Lepasan Karbon dari Estuari di Pesisir Timur Sumatera………………….…….44
Gambar 15. Praktik Dominan Alokasi Ruang di Pesisir Timur Provinsi Riau…………….……….45
Gambar 16. Satuan Administrasi Wilayah Kecamatan di Lokasi Kajian………………….………..46
Gambar 17. Peta Sebaran Mortalitas Cardiopulmonary Global…………………………….…………47
Gambar 18. Rasio Pengidap HIV/AIDS Terhadap Jumlah Penduduk…………………….………….48
Gambar 19. Kepadatan Penduduk Sumatera Timur dan Semenanjung Melayu
awal Abad 20………………………………………………………………………………………………49
Gambar 20. Perbedaan Mencolok dari Infrastruktur Wilayah di Kedua Sisi Selat Malaka..52
Gambar 21. Lingkup Wilayah dalam Rencana CADP dan SCO………………………………………….52
Gambar 22. Skema Umum Koridor Ekonomik Mekong-India.............................................56
Gambar 23. Analisis ex-ante dari Penciptaan Infrastruktur Produksi Industrial Asia……....56
Gambar 24. Kerangka Desain MP3EI……………………………………………………………………………….58
Gambar 25. Ke Enam Koridor Pengembangan Ekonomi dalam MP3EI…………………………...58
Gambar 26. Logo SCO (kiri) dan Cakupan Geografis SCO (kanan)…………………………………..59
Gambar 27. Inisiatif Strategis Koridor Ekonomi Sumatera……………………………………………..60
Gambar 28. Logika Maksimisasi Nilai Rente Batu-bara Di Balik Rencana Investasi
Infrastruktur Perangkutan di Koridor Pembangunan Ekonomi nomor I,
Sumatera Timur dan Jawa Barat-Laut..............................................................62
Gambar 29. Zonasi Ruang-Waktu Kepaulauan Riau dan Pesisir Timur Riau Menurut
Warna Perubahan dalam Analisis RGB……………………………………………………..63
Gambar 30. Zonasi Ruang-Waktu Kepulauan Riau dan Pesisir Riau Menurut Kedekatan
pada Sumber Pendorong Perubahan.............................................................63
Gambar 31a. Vektor-Vektor Interaksi Laut-Darat-Udara di Wilayah Selat Malaka………….65
Gambar 31b. Vektor-Vektor dan Fokus Rerantai Yang Dikelola Selama Ini……………………..66

4
Gambar 32. Pembaruan dan Inovasi Pengurusan Publik Lewat Moda Belajar-Bersama
Antar Wilayah Pengurusan Publik Di Selat Malaka dan Sekitarnya……………..66
Gambar 33. PKM-SM Program Alpha………………………………………………………………………………70
Gambar 34. PKM-SM Program Beta………………………………………………………………………………..71
Gambar 35. PKM-SM Program Gamma…………………………………………………………………………..71
Gambar 36. Kerangka Strategis Pelaksanaan LMU………………………………………………………….75
Gambar 37. Jejaring Informasi dan Komunikasi LMU dan Partisipan Belajar………………….75
Gambar 38. Proses Produksi/Kreasi Pengetahuan………………………………………………………….76
Gambar 39. Siklus KM Mendukung Fungsi PKM-SM Center…………………………………………...77
Gambar 40. Pola Alir Pengetahuan PKM-SM dengan Institusi Negara Tetangga…………….78
Gambar 41. Diagram Alir Informasi Komunitas dalam PKM-SM……………………………………..79

5
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pelabuhan Peti Kemas di Wilayah Selat Malaka………………………………………………35


Tabel 2. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka ( Sumatera) Indonesia………………………...51
Tabel 3. Demografi Pesisir Timur Selat Malaka, Malaysia dan Singapura (2010)………..51
Tabel 4. Demografi Singapura………………………………………………………………………………………52
Tabel 5. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka, Provinsi Riau dan Provinsi Kepri…………..53
Tabel 6. Gambaran Skematis Prospek Vektor RR-RB-RG bagi Wilayah Kelola Publik…….64
Tabel 7. Rancangan Kelompok Program Belajar dalam Prakarsa PKM-SM......................72
Tabel 8. Garis-Besar Rancangan dalam Prakarsa PKM-SM...............................................73
Tabel 9. Rencana Tindak Lanjut Program Belajar PKM-SM dalam Jangka Pendek...........74

6
DAFTAR ISTILAH

COFOG Classification of the Functions Of Government adalah kerangka


akuntansi kinerja pengurusan publik yang dikembangkan oleh PBB
khususnya sejak 1994

Diskursus (Sistem Sebuah jejaring semantik beserta seluruh kelengkapan konvensi


Bertutur/ pemaknaan, penggunaan kata-nya dan konteks representasi sosial-
Discursive System) ekologisnya.

GESER Governance of Energy and Materials Prosumptions for Social-


Ecological Recovery, kerangka GESER menggambarkan imperatif
pembalikan krisis beserta turunan agenda belajar dan syarat
pembalikan, yaitu adanya sistem-pengetahuan dan protokol kunci
yang baru serta agenda yang tajam untuk secara bertahap
memperbaharui praktek institusional pengelolaan serta praktek sosial
produksi-konsumsi bahan dan
energi, guna mencapai keselamatan manusia dan kelangsungan
fungsi-fungsi ekologi.

KBS Knowledge Based Society, istilah ini mulai muncul ketikalahirnya


kesadaran tentang peran penting iptek dalam pertumbuhan ekonomi.
Ada definisi sederhana bahwa KBS adalah suatu kemapanan ekonomi
dengan dasar atau basis iptek dan informasi untuk proses produksi,
distribusi, aplikasi dan konsumsi.

KM Knowledge Management, proses mencari sumber pengetahuan,


menyebarkan dan menerapkannya dalam suatu metode yang dapat
memberi nilai tambah pada organisasi, individu dan masyarakat.

Rerantai MHB Rerantai MHB/RGB terdiri dari gugus-gugus rerantai proses tak setara
(RGB) yang mencakup domain kebumian atau ekologis (H); domain
kemasyarakatan atau spesies manusia (B); dan domain ekonomi (M).
Relasi antar ketiga domain tersebut dikodifikasi berdasarkan pangkal
dan ujungnya. Dengan demikian bisa diuraikan vektor BH, BM, BB,
MH, MB, MM, HB, HM, dan HH. Interaksi rumit diantara ketiga
domain rerantai tersebut dikemukakan lewat parametrisasi axiologis
berdasarkan sift pengaruh dari vektor interaksi pada domain yang
ditujunya. Untuk vektor berpengaruh positif digunakan indeks 1(satu)
dan negatif digunakan indeks 2 (dua), untuk yang sifatnya
“indeterminate”/belum dapat ditentukan diberi indeks X.

SEAM Social-Ecological Accounting Matrix, adalah sebuah alat bantu

7
pemetaan vektor-vektor interaksi antar ketiga rerantai Ekonomi-
Sosial-Ekologi yang dirancang untuk dapat digunakan oleh berbagai
pihak.

TEU Twenty-foot Equivalent Unit, adalah satuan kapasitas kargo yang


digunakan untuk mendeskripsikan kapasitas kapal peti kemas
berdasarkan volume dari peti kemas dengan panjang 20 ft.

Holarki Kata “holarki” menunjukan sebuah topologi jejaring proses dan aktor
yang berskala majemuk, beserta kerumitan relasi antar komponen-
komponennya.

Pengurusan Publik Seluruh proses pengurusan untuk mencapai sasaran-sasaran yang


dimandatkan oleh rakyat pada pengurus negara yaitu sebuah
kerangka keselamatan manusia dalam konteks kemasyarakatan, serta
keutuhan fungsi-fungsi fisiologis dari ekosfera.

Poros Kata ‘Pusat pada judul “Pengembangan Pusat Keunggulan Maritim


Selat Malaka Menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan” pada
awalnya berasal dari kata “Poros” yang mengacu pada imajinasi poros
dan ruji dalam teori jejaring yang lazim digunakan dalam dunia
transportasi, telekomunikasi, dan informatika; sehingga dalam
membacanya di buku ini agar seperti keterangan yang tertera dalam
Daftar Istilah ini.

Praktek Bertutur Turunan dari sistem bertutur dominan.

Praktek Usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh suatu institusi/ lembaga
Institusional untuk mengurus keterpenuhan syarat sosial-ekologis dari perluasan
ekonomik dan dari pengurus publik sendiri.

Praktek Sosial Praktek sehari-hari yang dilakukan oleh orang biasa untuk mengurus
perbaikan sosial-ekologis.

Protokol Abstraksi luas dari sebuah ketentuan publik.

Energetika Seluruh proses/cara konversi dan penggunaan energi untuk mencapai


tujuan-tujuan untuk mereproduksi sebuah sistem.

8
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dinamika perubahan pada skala global yang kompleks dan cepat saat inipada dasarnya
merupakan konsekuensi dari suatu proses-jejaring-pelaku dalam perluasan dan
pembangunan ekonomi. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini juga merupakan konfirmasi
atas apa yang tengah terjadi tersebut. Pada masa lalu pembangunan ekonomi
dilaksanakan semata – mata demi mengejar kesejahteraan masyarakat melalui ekstraksi
sumber daya alam untuk menghasilkan produk – produk yang dibutuhkan tanpa
memperhatikan keterbatasan yang dimiliki oleh sumberdaya alam untuk memperbaharui
dirinya dan aspek keadilan bagi semua lapisan masyarakat dalam menikmati manfaat
hasil pembangunan. Di wilayah Asia Pasifik pada dekade terakhir ini hal yang sama terjadi
sehingga telah mengubah konteks kondisi ekonomi dan politik regional sedemikian rupa
yang mau tidak mau harus diantisipasi oleh bangsa Indonesia sebagai bagian dari wilayah
Asia Pasifik. Upaya antisipasi tersebut tentunya perlu dikaitkan dengan kekhasan wilayah
geografis, demografis dan kondisi lingkungan di Indonesia, yang terbentuk dari kesatuan
sosial-ekologis dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan.

Untuk dapat menghadapi perubahan tersebut dibutuhkan suatu bentuk pengelolaan


perubahan yang sesuai, dengan pendekatan yang lebih cerdas dalam rangka
mengendalikan dan mengadaptasi perubahannya. Dinamika pembangunan ekonomi
seharusnya mengikuti dan didorong untuk memenuhi syarat-syarat keselamatan manusia
dan kelangsungan fungsi ekologis wilayah daratan dan perairan kepulauan, yang pada
gilirannya akan menjadi dasar dari keberlanjutan kehidupan masyarakat Indonesia dalam
jangka panjang. Perubahan yang sangat cepat dan kompleks tadi hanya dapat diikuti dan
dikelola oleh suatu masyarakat pembelajar yang kegiatan pembangunannya didasarkan
pada akumulasi pengetahuan yang dikumpulkan secara terstruktur yang dikenal sebagai
masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge based society).

Akumulasi pengetahuan tersebut dihimpun secara komprehensif meliputi ke tiga rerantai


yaitu proses ekonomi, proses ekologi serta proses sosial kemasyarakatan yang akan
menjadi instrumen penting bagi pengambilan keputusan kegiatan pembangunan yang
berbasis pengetahuan yang memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Semua hasil penghimpunan pengetahuan tadi selanjutnya dapat diakses
bahkan di diseminasikan pada berbagai lapisan masyarakat guna memenuhi kontribusinya
melaksanakan pembangunan sesuai dengan kompetensinya masing – masing dan pada
gilirannya bersama – sama menikmati hasil pembangunan yang dilaksanakan. Dengan
kata lain, masyarakat berbasis pengetahuan tersebut diharapkan akan mampu melakukan
pembangunan ekonomi yang juga berbasis pengetahuan (knowledge based economy) dan
sekaligus dapat meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa baik di lingkup regional
maupun global.

9
Indonesia sebagai negara kepulauan yang bahkan disebut sebagai Benua Maritim sudah
seharusnya dapat melakukan pembangunan yang berbasis pengetahuan dengan konteks
kemaritiman. Seperti diketahui, kegiatan pembangunan itu sendiri merupakan suatu
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam
(energi dan bahan/materi) yang diolah menjadi produk–produk yang dibutuhkan oleh
konsumen, sehingga siklus kegiatan tersebut sering juga disebut sebagai suatu praktek
produksi dan konsumsi. Diawali dengan hasil kajian oleh School of Democratic Economics
(SDE), selanjutnya akan ditindaklanjuti melalui kegiatan bersama dengan jejaring
institusional/sosial sebagai mitra belajar dengan mengusulkan suatu program Pusat
Keunggulan Maritim Indonesia (PKM-Indonesia). Program tersebut merupakan agenda
belajar bersama (social/institutional learning) untuk mencapai kondisi masyarakat yang
berbasis pengetahuan agar dapat menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam
pengelolaan perubahan sosio-ekologis pada tataran lokal hingga nasional. Kata kunci
"keunggulan" dalam prakarsa ini mengacu pada konotasi terbaik/paling cerdas, bukan
sekedar keunggulan dalam konteks kompetisi. PKM-Indonesia dirancang untuk
mendorong para pelaku perubahan utama untuk belajar dan melakukan adaptasi praktek
sosial dan institusionalnya serta mengembangkan aturan dan ketetapan pengelolaan yang
adaptif untuk memulihkan kerusakan yang telah terjadi dan bahkan membalikkan
kecenderungan krisis yang makin memburuk.

Dalam konteks belajar tersebut dan sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai negara
maritim, fokus pada domain maritim akan mendorong perbaikan pada praktek produksi-
konsumsi bahan dan energi secara umum, baik pada matra darat maupun perairan. Lewat
PKM-Indonesia, komunitas warga, lembaga-lembaga riset dan pendidikan, serta instansi-
instansi pemerintah akan dapat mempertimbangkan langkah-langkah pembangunan
berdasarkan kekayaan pengetahuan yang diperoleh pada skala global yang telah diamati
selama beberapa dekade terakhir, terutama yang menyangkut interaksi kompleks di
antara domain daratan, perairan laut dan atmosfer. Partisipan atau peserta belajar
diharapkan akan dapat memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan dari proses belajar
bersama tersebut untuk memperbaiki proses kerja di masing-masing lingkup tugasnya
untuk suatu rencana pembangunan tertentu.

PKM-Indonesia sengaja dirancang untuk membuka wawasan dan membentuk watak serta
efek sinergi dari proses belajar tersebut yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai
pertimbangan internal dalam model agenda dan kurikulum belajar maupun dalam
implementasi hasil pembelajaran untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.
Berbeda dengan pendekatan teknokratis dalam pembangunan di masa lalu yang tidak
mempertimbangkan kompleksitas rerantai proses sosial dan ekologis dari suatu
perkembangan atau perluasan rerantai ekonomi, maka pendekatan umum pengelolaan
produksi-konsumsi energi dan bahan untuk menghasilkan kondisi sosial-ekologis yang

10
telah dikembangkan SDE dalam tiga tahun terakhir akan menjadi salah satu fokus belajar
bersama. Dibandingkan dengan pendekatan lama yang mempunyai titik berat pada sisi
pasokan berupa ekstraksi sumberdaya alam yang tidak memperhatikan keterbatasan
fungsi ekologis, maka pendekatan pembangunan baru akan sekaligus mempertimbangkan
kondisi – kondisi sosial dan ekologis secara bersamaan. Pendekatan yang dilakukan dalam
kajian ini dinamai Chronospatial–Red Green Blue (CS-RGB). Secara singkat CS-RGB
memetakan tiga rerantai dalam sebuah model pembingkaian ruang-waktu yang bersifat
simultan, dimana R (Red/Merah) kode warna yang merepresentasikan rerantai ekonomik,
G (Green/Hijau) merepresentasikan rerantai ekologis, dan B (Blue/Biru)
merepresentasikan rerantai sosial.

Dalam kajian awal ini status dari perubahan di ketiga rerantai dipetakan dan berdasarkan
analisis pengetahuan awal tersebut dirumuskan rekomendasi mengenai serangkaian
kegiatan tindak lanjut sebagai agenda belajar bagi jejaring institusi pemerintah/pengurus
publik yang ada di wilayah studi. Siklus pemindaian untuk mengamati adanya perubahan
yang mungkin terjadi di wilayah kajian dilakukan secara berkala. Hasil pemindaian
menjadi dasar pembelajaran dalam suatu unit pengelolaan pembelajaran (Learning
Management Unit-LMU) dimana personilnya atau tim pengelolanya berasal dari berbagai
institusi seperti Bappeda, Dewan Riset Daerah, Perguruan Tinggi, badan-badan otorita
setempat, maupun melibatkan masyarakat.

1.2 Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka (PKM-SM)


Merujuk pada latar belakang tersebut di atas dan mengingat luasnya wilayah Indonesia,
maka lingkup wilayah kajian PKM-Indonesia dibagi menjadi 6 (enam) zona.Pada tahap
pertama dirumuskan dan dirintis pembentukan Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka
(PKM-SM) sebagai bagian dari agenda pembelajaran PKM-Indonesia. Penting
dikemukakan sejak awal bahwa penggunaan kata "maritim" dalam seluruh prakarsa ini
tidak dimaksudkan terbatas matra laut semata.Prakarsa PKM-Indonesia menempatkan
ruang perairan laut di wilayah kepulauan Indonesia sebagai bagian vital dari rerantai
ekonomi-sosial-ekologi warga. Fokus pada dimensi maritim dari kesatuan ekonomi-sosial-
ekologi yang historis tersebut dirancang untuk mempertautkan proses-proses di ketiga
rerantai, dengan mempertimbangkan sepenuhnya interaksi matra daratan/pulau dengan
kawasan perairannya.

11
Sumber : SDE (2010)
Gambar 1. Lingkup Wilayah Kajian PKM-SM

Wilayah Selat Malaka adalah satu dari enam zona agenda PKM-Indonesia tersebut di atas.
Dengan fokus terbatas, serta pilihan pada zona dengan tingkat kerumitan proses di ketiga
rerantai yang relatif cukuptinggi, diharapkan produksi dan diseminasi pengetahuan dan
kecakapan institusional dalam strategi belajar berdimensi tiga rerantai tersebut di atas
dapat berjalan produktif dan efektif.

Dalam Gambar 1 di atas zona A dan zona A+ diperlakukan sebagai wilayah belajar
bersama dari segenap institusi pengelola/ pengurusan publik di wilayah tersebut. Zona A+
mencakup teritori di luar wilayah Republik Indonesia. Zona A adalah wilayah belajar bagi
aparat pemerintahan/ pengurusan publik di Indonesia, sementara Zona A+ merupakan
wilayah belajar kolaboratif lintas batas negara, yang ancangan batas-batas spasialnya
ditentukan dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari jejaring
keterkaitan/ holarki rerantai ekonomik, ekologis dan sosial Asia Tenggara.

Seperti telah disampaikan sebelumnya, serta menyadari sedemikian luasnya wilayah


Indonesia, maka proses pembelajaran perlu dilakukan secara bertahap. Untuk itu, skala
ruang-waktu dalam proses belajar-bersama dilakukan melalui pemilihan fokus belajar
dengan cakupan skala geografis tertentu, agar tidak terjadi pemborosan tenaga dan
waktu bagi kegiatan belajar yang terlalu luas dan tersebar. Wilayah perairan dan daratan
di wilayah Selat Malaka menjadi pilihan, berdasarkan pertimbangan kompleksitas
dinamika perubahan pada rerantai ekonomi, ekologi dan sosial, dimana keselamatan
kemanusiaan (rerantai sosial) dan kelangsungan fungsi ekologis dari ruang kehidupan dan
sistem ekologis pada skala lokal (rerantai ekologis) berjalan berdampingan dengan proses

12
produksi-konsumsi (rerantai ekonomik) berskala internasional. Proses belajar untuk
wilayah belajar Selat Malaka dirancang untuk dapat mengakomodasi pertukaran dan
penyebaran pengetahuan serta kemampuan bagi tercapainya sistem pengelolaan
perubahan pada wilayah daratan dan perairan pesisir serta kepulauan di Selat Malaka dan
pada gilirannya dapat direplikasi untuk bagian wilayah Indonesia lainnya.

Dalam aspek ekonomi Indonesia selama empat dekade terakhir, kekuatannya sangat
menurun di Selat Malaka, dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang di awal
1970-an berada pada posisi setara. Saat ini Indonesia dapat dikatakan merupakan negara
tetangga dengan kekuatan ekonomi yang relatif paling kecil di wilayah Selat Malaka.
Bukan hanya dalam stok kapital dan tingkat pelayanan industri saja Indonesia tumbuh
paling lambat, tetapi juga dalam konteks kehadiran internasional yaitu dalam aspek
inisiatif pada skala regional dimana saat ini Indonesia berperan bukan sebagai penentu
perubahan. Kesemuanya itu sangat bertolak belakang dengan kondisi pembangunan
fasilitas industri yang pesat di Batam dan sekitarnya, serta sosok Indonesia sebagai negara
terbesar dalam jumlah penduduk dan luas wilayah di wilayah Selat Malaka.

Pertimbangan kedua dari pemilihan fokus belajar di Selat Malaka adalah adanya
kenyataan tentang keberadaan pesisir timur Pulau Sumatera beserta serangkaian pulau-
pulau kecil di timurnya, yang mengapit jalur pelayaran internasional Selat Malaka,
dibandingkan dengan keberadaan negara-negara bagian Malaysia di pantai barat
semenanjung dan Singapura. Wilayah pantai timur Sumatera mencakup lebih dari 1.600
Km garis pantai serta lebih dari separuh hasil tangkapan perikanan di Selat disamping
kekayaan kelautan lainnya, sehingga dengan kondisi tersebut Indonesia diharapkan
mampu untuk dapat memetik manfaat besar. Kenyataannya, saat ini tujuh propinsi pesisir
timur Sumatera mengalami transformasi atau pembangunan yang lamban dalam banyak
aspek. Dari Aceh hingga Sumatera Selatan dan Lampung, urban primacy nyaris tidak
berubah, dan perubahan infrastruktur ekonomi serta ekologis di sepanjang pesisir timur
Sumatera berkorelasi rendah dengan perkembangan atau perluasan kegiatan ekonomi
internasional dan regional di wilayah tersebut. Masalah bajak laut yang tidak kunjung
reda dan terkesan menyolok menurut ukuran internasional memberikan konfirmasi awal
bahwa belum terjadi transformasi sosial yang penting di bagian wilayah Indonesia di Selat
Malaka dalam empat dekade pembangunan ekonomi.

Gambaran kasar tentang keadaan umum di Selat Malaka tersebut di atas sedikit banyak
juga mencerminkan visi dominan para pelaku pembangunan yang terkesan kurang
memberikan perhatian pada persoalan sosial - ekologi di wilayah pesisir dan laut. Hal ini
juga dikonfirmasi oleh hasil kajian School of Democratic Economy (SDE) yang memberikan
gambaran yang tak jauh berbeda bahwa apa yang terjadi di Selat Malaka sebenarnya juga
terjadi pada 137 teluk dan 47 selat lainnya yang ada di Indonesia. Adanya otonomi daerah
ditandai dengan bangkitnya kegiatan penataan ruang terdesentralisasi sejak tahun 2000-

13
an yang kurang memperhatikan wilayah pesisir dan perairan laut.Di kedua wilayah
tersebut (wilayah daratan dan wilayah pesisir-laut) pengelolaan perubahan sosial-ekologi
masih bersifat terfragmentasi.Moda pembangunan ekonomi pada wilayah daratan juga
merambah sampai ke pesisir dan laut. Belum ada tanda akan adanya suatu upaya
penguatan kerangka kebijakan pada tingkat nasional yang menempatkan domain pesisir
dan laut sebagai pusat penguatan rerantai sosial dan ekologi yang tidak hanya sekedar
kegiatan ekonomi. Untuk Selat Malaka, mengacu pada hasil kajian berbagai institusi dan
program, diperoleh suatu kesimpulan bahwa belum adanya respon yang memadai
terhadap dinamisme ekonomi yang terjadi di Selat Malaka dikaitkan dengan besarnya
potensi di wilayah tersebut. Hal ini merupakan petunjuk tentang titik lemah dalam
kebijakan nasional seperti telah disebutkan di atas.

Di hadapan rerantai proses peningkatan kegiatan ekonomi dan pengelolaan perubahan


yang selama ini berpengaruh atas dinamika perubahan di wilayah Selat Malaka tersebut,
berlangsung pula peningkatan kegiatan ekonomi di perairan Selat Malaka dan di daratan
semenanjung Malaysia serta belahan timur pulau Sumatera yang mengapitnya. Dalam
tempo satu dekade ke depan hal ini akan mendorong lebih jauh perubahan pada rerantai
ekonomi, ekologi dan sosial.

Secara garis-besar dipertimbangkan adanya tiga skenario dinamika pada rerantai tersebut
tentang apa yang terjadi di wilayah kajian yakni;
a. Skenario I: tidak terjadi perubahan penting dalam arah perubahan di ketiga rerantai
(ekonomik – ekologis – sosial) yang selama dua generasi ini berlangsung, sehingga
akan terjadi perluasan laju investasi dan infrastruktur ekonomi yang sama- sekali tidak
peka atau abai terhadap dinamika perubahan di kedua rerantai lainnya, dengan
dampak negatif akibat terjadinya peningkatan respon-balik dari kedua rerantai pada
rerantai ekonomi.
b. Skenario II: respon dan prakarsa pengendalian perubahan dilakukan lewat berbagai
cabang pengelolaan publik yang melakukan pembaharuan parsial dan sektoral sendiri-
sendiri, dari tingkat pusat sampai satuan pengelolaan daerah dan lokal. Maka
efektivitas pembaruan akan terkoreksi oleh fragmentasi dan ketidak-selarasan antar
fungsi-fungsi pengelolaan publik yang selama ini berjalan. Di samping itu, daya kendali
dan daya pulih kerusakan dari satuan pengelolaan publik daerah dan lokal yang sangat
terbatas tidak akan mampu menyodorkan alternatif pada moda perluasan produksi-
konsumsi energi dan bahan di wilayah tersebut yang selama ini belum secara
sistematis dipertimbangkan dalam konteks pemenuhan syarat keselamatan
kemanusiaan dan kelangsungan fungsi ekologis jangka panjang.
c. Skenario III: respon terhadap kecenderungan utama dinamika perubahan dilakukan
lewat sebuah proses belajar bersama yang dirancang untuk memungkinkan
berlangsungnya prakarsa inovasi pengelolaan perubahan, baik yang bersifat preventif,
korektif dan pemulihan kerusakan. Hal tersebut berkaitan dengan upaya menciptakan

14
dan mengembangkan sebuah ruang kolaborasi dan ruang pertukaran pengetahuan
dan ketrampilan untuk mengatasi dan mencari jalan keluar berbagai keterbatasan
institusional dan keterbatasan daya untuk mengatasi perusakan serta daya pulih dari
masyarakat di wilayah Selat Malaka. Hal ini dilakukan sekaligus dalam rangka upaya
menuju suatu masyarakat berbasis pengetahuan.

1.3 Tujuan dan Lingkup Kajian


1.3.1 Tujuan dan Sasaran
Tujuan kajian ini adalah terbentuknya suatu sebuah agenda belajar kolaboratif bagi
kesatuan-kesatuan (unit) instansi pemerintah dan masyarakat umum serta jejaring
kelompok dan institusi riset, yang berfokus pada wilayah perairan dan daratan di sekitar
Selat Malaka.Agenda belajar tersebut dinamai "Pusat Keunggulan Maritim-Selat Malaka"
(PKM-SM). Pengertian pusat keunggulan maritim di sini bukanlah sebuah lembaga,
melainkan sebuah status unggul dari moda pengelolaan perubahan ekonomi, sosial dan
ekologis untuk sebuah wilayah kelola publik yang dipertautkan oleh matra laut, di mana
berlangsung proses-proses sosial-ekologis yang rumit pada domain perairan dan daratan
pesisir serta domain lautan.

Sasaran kajian adalah terwujudnya konsep pembelajaran bersama PKM-SM sebagai


bagian dari knowledge based society (KBS) melalui; a) penghimpunan pengetahuan terkait
rerantai ekonomi, ekologis dan sosial, b) pengembangan proses belajar yang sistematis,
berbasis produksi pengetahuan dan penyebarluasannya yang demokratis, serta
berpandangan jauh ke depan untuk selanjutnya dapat dipakai untuk kepentingan
pembangunan, c) pelibatan tiga sektor belajar yaitu komunitas, masyarakat/ lembaga
riset dan pendidikan, serta pemerintah.

Untuk mencapai sasaran belajar tersebut di atas, secara khusus program PKM-SM dipilah
dalam tiga sub-program dengan masing-masing lingkup sebagai berikut:
A. PKM-SM Program Alpha: Bagian program dengan fokus pada pengembangan secara
bertahap dari kesepakatan dan aturan lintas sektor/institusi serta infrastruktur sosial-
ekologis daratan dan perairan pesisir serta kepulauan di wilayah Selat Malaka.
B. PKM-SM Program Beta: Bagian program dengan fokus pada penyiapan dan
operasionalisasi sebuah pusat pembelajaran institusional bagi pengelolaan/
pengurusan permasalahan maritim jangka panjang.
C. PKM-SM Program Gamma: Bagian program dengan fokus pada pengembangan
program-program riset dan pelatihan untuk mengantisipasi dan beradaptasi terhadap
berbagai kemungkinan perubahan di wilayah Selat Malaka

1.3.2 Lingkup Kajian


Kajian awal ini meliputi upaya mendapatkan informasi tentang berbagai institusi
pemerintahan, lembaga riset maupun perguruan tinggi di wilayah sekitar Selat Malaka

15
serta upaya dan tindakan apa saja yang telah dilaksanakan terkait berbagai perubahan
ketiga rerantai ekonomi – sosial dan ekologi. Pengumpulan informasi dilakukan melalui
data sekunder dari tiap institusi, wawancara, media massa maupun pengamatan lapangan.

Survei kelembagaan dilakukan terhadap Politeknik Batam di Provinsi Kepulauan Riau


sedangkan data sekunder berasal dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau
(Provinsi Riau).Kedua institusi tersebut boleh dibilang “baru” dalam hal studi ilmu
kelautan, dan belum memiliki agenda riset jangka panjang terhadap Selat Malaka. Survei
juga dilakukan terhadap Badan Pengusahaan Batam sebagai lembaga yang telah cukup
“lama” berdiri dan bersinggungan dengan Selat Malaka, khususnya dalam kaitan rencana
pendirian suatu learning management unit (LMU). Untuk wilayah Indonesia, kajian
berfokus pada institusi pengurus publik dan pendidikan tinggi di propinsi Kepulauan Riau
dan propinsi Riau.

Survei ke lembaga pendidikan tinggi di propinsi Kepulauan Riau berfokus pada Politeknik
Batam, sementara untuk propinsi Riau, kajian data sekunder difokuskan pada Universitas
Riau, Fakultas Perikanan dan Kelautan. Kedua badan tersebut baru mengembangkan
program studi ilmu kelautan belakangan, dan dapat dikemukakan di sini bahwa dalam hal
ini, belum ada sebuah agenda riset jangka panjang yang memadai untuk menyambut
perubahan di wilayah Selat Malaka. Di lain pihak, fokus pengurusan publik dalam riset
awal ini adalah pada penjajagan pendirian sebuah learning management unit yang terkait
dengan keberadaan Badan Pengusahaan Batam. Sejarah prakarsa pengembangan Batam
yang paling awal berdiri di wilayah Selat Malaka menjadi pertimbangan penting dalam
kajian.

Lembaga lain di luar Indonesia yang juga menjadi fokus kajian adalah otorita maritim dan
pelabuhan Singapura, Dewan Lingkungan Singapura, serta pengelola instalasi pemrosesan
daur-ulang air. Untuk Malaysia, difokuskan pada Malacca Straits Research and
Development Center (MASDEC) dan Maritime Institute of Malaysia (MIMA).Lembaga
MASDEC pada saat ini berstatus tidak operasional.Sementara MIMA merupakan pusat
produsen pengetahuan lanjut, bukan saja mengenai subyek kelautan, tetapi juga
persoalan ekonomi, sosial (termasuk politik internasional) dan ekologi di Selat Malaka.
Kajian juga meliputi pengamatan lapangan yang dilakukan di wilayah Bintan, Batam dan
sekitarnya, serta di Singapura dan semenanjung Malaya secara in-passing.

16
BAB 2. KERANGKA TEORI DAN ANALITIK PKM-SM

2.1 Pertimbangan Teoritik dan Kerangka Analitik


Agenda belajar PKM-SM merupakan satu kesatuan gagasan beserta turunan
programatiknya, tentang bagaimana berbagai pelaku/entitas sosial baik warga
masyarakat, lembaga pendidikan, instansi pemerintah dan badan riset bisa belajar
tentang pemenuhan syarat-syarat keamanan dan keselamatan manusia serta integritas
fungsi faal dari infrastruktur ekologis di wilayah perairan Selat Malaka dan daratan di
sekitarnya. Dasar pertimbangan utama dari prakarsa belajar tersebut adalah bahwa
diperlukan komitmen dan kesungguhan untuk menempatkan daur perluasan ekonomik
wilayah dalam sebuah agenda kemajuan dan keamanan sosial-ekologis di situ. Bagaimana
caranya? Komitmen tersebut harus dapat diterjemahkan ke dalam sebuah praktek
pemerintahan/ pengurusan publik dan praktek produksi-konsumsi yang taat pada syarat-
syarat tersebut di atas, termasuk di dalamnya adalah pembaruan serta penyelarasan
instrumen, mekanisme dan jejaring institusional, baik yang berlaku umum bagi semua
negara, maupun yang berada di bawah rejim politik-hukum negara-negara Selat Malaka.

Untuk mencapai tujuan dari agenda belajar di atas, berbagai pelaku kunci setidaknya
harus memiliki dua hal sebagai berikut.Pertama, pengetahuan kritis mengenai kerangka
pikir yang dominan dalam pengelolaan/ pengurusan perluasan ekonomi termasuk
keuangan dan industri.Kedua, kerangka ketaat-asasan, yang mencakup prinsip-prinsip
yang harus dipatuhi di sepanjang daur perluasan ekonomik serta pemerintahan/
pengurusan publik. Dengan kedua syarat tersebut, akibat jangka panjang dari sebuah
keputusan hari ini akan dapat dipertanggungjawabkan secara adil bagi generasi
berikutnya.

Dewasa ini, interaksi antara perluasan rerantai ekonomik dengan perubahan pada
rerantai sosial dan rerantai ekologis dianggap serba pasti dan sudah tentu. Dengan kata
lain, model yang dirancang sebagai dasar pertimbangan perumusan kebijakan atau
perencanaan investasi mengandaikan model interaksi tersebut di atas, dan
memperlakukan perubahan di kedua rerantai lainnya sebagai peubah exogenous.

Agenda belajar PKM-SM justru berangkat dengan mengkaji kembali asumsi-asumsi besar
mengenai kaitan di antara ketiga rerantai tersebut di atas, meletakkan dasar-dasar
pertimbangan dan kerangka analitik yang lebih tajam dan komprehensif, serta merintis
riset-riset dasar dan terapan disamping penerapannya dalam pembaruan dan
penyelarasan instrumen, mekanisme serta jejaring institusi pemerintah/ pengurusan
publik di wilayah Selat Malaka. Di samping soal keterkaitan antar ketiga rerantai yang
bersifat mendasar, pada tataran terapan, pemerintah/ pengurusan publik hendaknya
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam proses perumusan kebijakan ekonomik makro

17
pada skala Asia yang menjadi sumber dari rencana-rencana besar ekspansi ekonomi
tersebut di atas.

Selat Malaka pada dasarnya lokasi yang penting dan memiliki peran sentral dalam
perluasan kegiatan ekonomi wilayah Asia. Untuk itu lingkup kajian ini menaruh perhatian
khusus pada integrasi dan kerjasama ekonomi antar negara Asia secara umum. Dasar
pemikiran utama dan turunan model mengenai integrasi ekonomi untuk Asia, khususnya
Asia Tenggara, berpusat pada pertimbangan baru dalam teori tentang perdagangan dan
lokasi industri, yang secara eksplisit memasukkan dimensi spasial dalam penelitian
interaksi dan aliran faktor antar kesatuan produksi-konsumsi. Dikenalkan oleh Krugman di
awal 1990-an, perspektif baru itu disebut sebagai teori "Geografi Ekonomi Baru" (GEB).

Dalam perkembangannya, teori GEB menelurkan model-model potensi aglomerasi


produksi-konsumsi di luar model demand-supply konvensional, seperti model "pusat-
pinggiran" yang baru, eksternalitas positif, pendugaan pembesaran produk domestik bruto
(PDB) antar wilayah, serta berbagai efek aglomerasi dari perluasan ekonomi, maupun
hambatan bagi proses aglomerasi. Model-model baru tersebut menjanjikan kemungkinan
mempercepat perluasan ekonomi dan pembesaran nilai melebihi apa yang dimungkinkan
oleh model konvensional dari perdagangan antar wilayah.1

Meskipun menggunakan istilah "baru", teori GEB sesungguhnya tidak mengandung


perbedaan mendasar dari pendekatan umum ekonomika neoklasik, yang menaruh
perdagangan sebagai arena utama dari pembahasannya. "Terobosan" dalam proses
aglomerasi dalam hal ini juga bukan sebuah solusi permanen, tetapi sementara. Demikian
pula, kerangka konseptual GEB bersandar pada seperangkat sikap pikir dan asumsi lama
mengenai firma, manfaat/utility, serta daur-bisnis dalam kaitannya dengan perluasan
usaha.

Dari titik berangkat yang menaruh seluruh rerantai ekonomi sebagai subset dari rerantai
sosial dan rerantai ekologis, tidak ada sedikitpun pencerahan dalam teori GEB tentang
kerangka ruang dan waktu diferensial dari sebuah wilayah hidup. Dengan kata lain, satu-
satunya jenis kerangka waktu (chronotype) maupun kerangka ruang (spatiotype) yang
digunakan dalam teori GEB tersebut adalah kerangka ruang-waktu rerantai ekonomik
semata. Apabila kita lihat era dari munculnya kerangka teori GEB, yaitu pada awal 1990-
an, masalah “sobekan ekologis” (ecological rift) setidaknya telah menjadi bahan
pertimbangan penting selama dua dekade sebelumnya. Perluasan ekonomi di wilayah-
wilayah frontier dari industri ekstraktif yang vital artinya bagi kelangsungan moda
produksi-konsumsi bahan dan energi seperti yang kita kenal sekarang, juga merupakan
perluasan medan konflik sosial dan timbulnya kemiskinan struktural.

1
Krugman (1991;2010)

18
Seluruh dekade 1980-an bahkan mendapatkan konotasi suram dalam evaluasi badan-
badan PBB, karena kesadaran baru akan masalah kemiskinan laten (persistent poverty),
terus membesarnya pemusatan kekayaan dan kontrol atas sumberdaya alam pada sektor
korporasi global dan pengerutan proporsi hasil dan manfaat produksi-konsumsi bagi
warga masyarakat. Perlu dikemukakan di sini bahwa sumber inspirasi dari GEB bukanlah
pemburukan krisis yang menuntut pembaruan pola pikir tentang penggunaan ruang dan
waktu, melainkan peluang yang jauh lebih besar bagi akumulasi kekayaan lewat
pembebasan alir kapital dari ketentuan-ketentuan pengurusan publik yang menjaga
kelangsungan metabolisme sosial dan ekologis.

Salah satu unsur yang dianggap sebagai kendala utama bagi pendekatan perencanaan
aglomerasi skala besar, adalah "efek batas jurisdiksi pemerintahan/ pengurusan publik"
(border effect). Dalam model biaya transportasi dari teori GEB, efek batas
negara/teritori/wilayah tersebut dapat dikonversi ke dalam pembesaran jarak dan biaya
transportasi antar wilayah. Adanya perbedaan kebijakan dalam soal perdagangan,
investasi industri, pembiayaan, moneter, dan fiskal di antara dua wilayah pemerintahan
berpotensi menghambat aglomerasi dan oleh karenanya sedapat mungkin harus
ditiadakan.

Pertimbangan berkurangnya efisiensi uang yang hendak dicapai lewat aglomerasi spasial,
karena adanya efek batas tersebut, mendorong perumusan kebijakan regional antar
negara di wilayah Asia timur dan khususnya Asia tenggara untuk menghapuskan berbagai
regulasi tapal batas, termasuk yang sesungguhnya berpotensi memberikan perlindungan
pada syarat-syarat keselamatan dan keamanan manusia serta kelestarian ekologis jangka
panjang di sebuah wilayah. Masalah ini bukan saja menyangkut etika dan pemenuhan
berbagai syarat-syarat keamanan yang dijamin oleh PBB, tetapi juga menyangkut soal
yang lebih praktis, berkenaan dengan kinerja pemerintahan/ pengurusan publik secara
umum.

Teori GEB sendiri menunjukkan kemungkinan munculnya wilayah-wilayah "bayang-


bayang aglomerasi" (agglomeration shadow) di antara pusat produksi-konsumsi hasil
aglomerasi, di mana yang terjadi di sepanjang proses aglomerasi justru penurunan PDB.
Sebagai contoh, Lu-Ming et al. (2007) Lu-Ming et al. (2007) menunjukkan bahwa dalam
proses perkembangan sistem perkotaan dan industri di China, muncul wilayah-wilayah
bayang-bayang aglomerasi tersebut, meskipun syarat-syarat umum dari teori GEB seperti
restrukturisasi industri, penurunan ongkos transportasi, penerapan teknologi maju dalam
komunikasi dan manipulasi informasi dan pergeseran pola perdagangan terpenuhi.2

Sebagai alternatif tandingan dari pendekatan GEB di atas, kajian ini menerapkan

2
Lu-Ming et al (2007); Krugman (1993)

19
pendekatan investigasi simultan terhadap perubahan rerantai ekonomik, sosial dan
ekologis, lewat kerangka analisis CS-RGB (Chrono Spatial Red-Green-Blue). Uraian di atas
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan kritis bagi berbagai institusi
pemerintahan/ pengurusan publik dan bagi warga masyarakat pada umumnya dalam
memeriksa dan memberikan respon pada rencana-rencana aglomerasi produksi-konsumsi
untuk Indonesia, khususnya di wilayah belajar dari prakarsa PKM-SM.

2.2 Konteks Global dan Regional dari Agenda Belajar PKM-SM


Agenda belajar PKM-SM dipertimbangkan dalam konteks dinamika ekonomik pada awal
abad ke 21, di mana telah terjadi pergeseran geografis pusat kekuatan kapital industri dan
keuangan global dari wilayah Eropa dan Amerika Utara ke Asia dan Amerika Selatan.
China dan Rusia sejak 2001 merintis Organisasi Kerjasama Shanghai (Shanghai
Cooperation Organisation / SCO) yang mencakup pula negara-negara utama di Asia
Tengah serta negara-negara lain di Asia sebagai pengamat dan tamu, termasuk ASEAN.
Sementara, Jepang sebagai negara industri maju di Asia timur setidaknya sejak akhir
1990-an juga merintis prakarsa serupa dengan strategi pada penguatan pembagian kerja
di antara wilayah Asia Timur dengan Asia Tenggara. Sejak 2007 telah berlangsung
berbagai prakarsa riset dan pengembangan infrastruktur ekonomik dibawah koordinasi
Bank Pembangunan Asia (ADB), Institut Riset Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur (ERIA),
dan Sekretariat ASEAN.

Inisiatif berskala raksasa di atas menaruh wilayah Selat Malaka dalam rencana ekspansi
rerantai ekonomik yang jauh melampaui batas-batas rejim pemerintahan/ pengurusan
publik dan pengelolaan perubahan sosial-ekologis pada skala nasional dan sub-
nasional.Pada tahun 2009, sebagai contoh, ERIA menerbitkan sebuah laporan riset kajian
dengan tema Pembangunan Asia Komprehensif (CADP).3 Intensifikasi proses produksi
industrial menurut rencana tersebut akan dicapai lewat penciptaan serangkaian koridor
aliran faktor untuk Asia Tenggara daratan maupun kepulauan, mencakup antara lain
Koridor Ekonomi Utara-Selatan (NSEC), Koridor Ekonomi Mekong-India (MIEC), Koridor
Ekonomi Timur-Barat (EWEC), Koridor Ekonomi Selatan, semuanya di Asia daratan, serta
Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan Kepulauan Selatan serta
Brunei Indonesia Malaysia Philippines-East Asian Growth Area (BIMP-EAGA).

Perlu dikemukakan di sini bahwa saat munculnya secara resmi rencana-rencana tersebut
kurang lebih bersamaan dengan turbulensi arus perdagangan dunia yang merosot secara
dramatis sebagai akibat dari krisis berkepanjangan dari sektor keuangan di Amerika
Serikat yang merambat ke seluruh Eropa dan bagian dunia lainnya.

Wilayah Selat Malaka merupakan salah satu dari enam jejaring koridor yang disebut
sebagai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

3
ERIA, 2009(a)

20
yang mengacu pada kerangka Koridor Pembangunan Ekonomi Indonesia (IEDC). Di bawah
sebutan "Koridor Ekonomi Sumatera", wilayah propinsi Riau dan propinsi Riau Kepulauan
di wilayah Selat Malaka-Laut Cina Selatan akan berada di bagian tengah koridor, yang
membentang dari Medan ke Palembang. Koridor ini memiliki tema “Sentra Produksi dan
Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”. Disamping infrastruktur logistik
dan ekonomik, dalam selang waktu yang sama sejak awal berakhirnya krisis ekonomi Asia,
juga telah dilakukan serangkaian inistiatif integrasi infrastruktur keuangan dan
kebijakanmoneter, terutama langkah-langkah kerjasama untuk skala ASEAN yang
dilakukan antara lain lewat kerjasama dan koordinasi dari Bank Pembangunan Asia, di
samping prakarsa promosi perluasan investasi Jepang.4 Secara garis besar kerjasama
tersebut mencakup dua arena, yaitu kerjasama dalam penyelarasan ketentuan umum
untuk ekonomi makro, serta pembaruan dan pengembangan sektor keuangan.5

2.3 Konteks Lokal Ke-Indonesia-an dari Agenda Belajar PKM-SM


Di hadapan rencana rencana besar di atas, wilayah Selat Malaka yang merupakan bagian
dari wilayah Indonesia dalam selang waktu 10 tahun terakhir juga menjadi sasaran dari
kebijakan ekonomi, untuk memanfaatkan keuntungan dari lokasinya yang sentral itu.
Kepulauan Riau yang merupakan wilayah perbatasan, berada di bawah beberapa
kerangka kebijakan kewilayahan sekaligus. Tiga yang terpenting untuk dikemukakan disini
adalah rencana-rencana tata ruang propinsi (RTRWP), rencana kawasan ekonomi khusus
(KEK), penetapan status pelabuhan bebas dan wilayah perdagangan bebas untuk Pulau
Batam, Bintan dan Karimun. Di lain pihak, sebagai propinsi baru dalam rejim otonomi
daerah di era reformasi, pemerintahan/ pengurusan publik untuk provinsi Kepulauan Riau
juga mengalami desentralisasi. Sebagai konsekuensinya, sampai saat ini, dan boleh jadi
dalam sepanjang dekade mendatang, berlangsung dualisme moda pemerintahan/
pengurusan publik di wilayah ini, di mana pemerintah daerah/ pengurus-publik di daerah
(Pemprov Riau, Pemkot Batam, dll.) beroperasi bersamaan dengan badan-badan Otorita
dengan kekuatan dasar hukum yang sama.

Wilayah-wilayah provinsi, kabupaten dan kota di Selat Malaka merumuskan rencana tata
ruang wilayah pada tingkat provinsi dan kabupaten, berdasarkan pedoman umum
penataan ruang dari pemerintahan/ pengurus publik pusat. Meskipun demikian, posisi
istimewa dari wilayah Kepulauan Riau dan Riau secara keseluruhan menyebabkan
terjadinya proses paralel. Sementara rencana-rencana tata ruang yang bersifat
komprehensif berada dalam proses penyusunan, satuan wilayah administrasi/ kelola
publik yang sama juga menjadi sasaran dari kebijakan lain seperti KEK, dan yang paling
mutakhir, bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) Koridor Ekonomi Sumatera.

4
Lihat misalnya, JETRO (2010).
5
Lamberte, Mario B. dan Josef T. Yap (2003:2); ADB (2006).

21
Rencana Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan rencana peruntukan ruang yang
didedikasikan bagi perluasan ekonomi secara intensif di sebuah wilayah administrative/
wilayah-kelola-publik. KEK dibentuk berdasar UU KEK no. 39/2009 dengan status hukum
peruntukannya di bawah RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Di wilayah Selat Malaka, pulau Batam, Bintan dan Karimun merupakan fokus utama dari
pengembangan KEK sejak 2006, yang dikuatkan dengan seperangkat dasar hukum PP no.
46/2007 untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batan, PP no.
47/2007 untuk KPBPB Bintan dan PP no. 48/2007 untuk KPBPB Karimun.6 Pada tahun
2009 status KEK untuk ketiga wilayah administratif tersebut di atas diperkuat lagi dengan
penerbitan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus.

Sampai dengan saat ini, sasaran-sasaran perluasan ekonomik, penyerapan pekerja dan
peningkatan nilai PDB sejak diterapkan KEK untuk pulau Batam, Bintan dan Karimun dapat
dikatakan tidak tercapai seperti diharapkan.7 Sejauh ini belum ada sebuah upaya untuk
mengkaji secara lengkap interaksi di antara berbagai proses yang berskala majemuk di
wilayah kepulauan Riau dan sekitarnya untuk sepuluh tahun terakhir, khususnya setelah
krisis ekonomi global sejak 2008.

Pelajaran lain yang dapat ditarik dari rencana-rencana investasi berskala raksasa seperti
pada kasus KEK adalah bahwa prioritas dan titik berat pada pembangunan infrastruktur
untuk melayani perdagangan eksternal ternyata beresiko tinggi, hal ini dapat dipelajari
dari kasus "Strategi Lisbon 2000-2010" untuk Eropa. Meskipun strategi tersebut
mencakup pertimbangan yang lebih luas dari sekedar pembangunan ekonomi semata,
yaitu bagaimana menyelaraskan tuntutan penciptaan kohesi sosial pada tataran Eropa,
dengan tuntutan persaingan ekonomik antar negara anggota Uni Eropa, selama satu
dekade terbukti gagal mencapai tujuan-tujuannya, dan telah menuai kritik hebat karena
ketidak-pekaannya terhadap dinamika dari rerantai ekonomik yang lebih luas serta
rerantai sosial di Eropa dan kawasan pengaruhnya.8

Uraian berikut ini adalah beberapa kesimpulan dari evaluasi Strategi Lisbon yang
dilakukan oleh Komisi Eropa:
a. Derajat kepemilikan atas Strategi Lisbon beragam.
b. Lemahnya kemampuan pemerintahan/ pengurusan publik pada skala Eropa.

6
Ketiga PP itu adalah PP No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam, PP No 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Bintan. Dan PP No 48 Tahun 2007 Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Karimun. Ketiga PP juga menggunakan ketentuan pasal 4 dari Perpu Nomor 1
Tahun 2007 tentang perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas bahwa pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
7
"Target KEK BBK Meleset", Republika (21/05/2010);
8
Lihat misalnya, Vilpišauskas (2011);

22
c. Rekomendasi khas-negara/wilayah sulit diterapkan.
d. Komunikasi merupakan titik terlemah dari Strategi Lisbon.
e. Investasi kolektif dalam R&D tidak berubah banyak dalam sepuluh tahun, dengan
konsekuensi bahwa kesenjangan di antara Eropa dan negara industri maju
lainnya tidak berhasil dipersempit.
f. Kemampuan koordinasi kebijakan ekonomi nasional di "wilayah mata-uang Euro"
beragam.
g. Guncangan dari krisis ekonomik 2008 membawa Eropa mundur 20 tahun dalam
beberapa capaian konsolidasi.

Berdasarkan pelajaran dari pelaksanaan Strategi Lisbon – dimana penerusnya, "Strategi


Eropa 2020" membalik titik berat strategi dari fokus pada daya-saing antar negara
anggota menjadi fokus pada kohesi sosial. Dalam konteks PKM-SM, kasus Eropa tersebut
di atas mengingatkan pentingnya sebuah kerangka pemindaian dan evaluasi yang
sungguh-sungguh dari rencana-rencana besar di wilayah Selat Malaka dan sekitarnya,
termasuk prakarsa IMT-GT, SiJoRi-GT, KEK BBK, dan terakhir, rencana Koridor
Pembangunan Ekonomi Sumatera (MP3EI).

Evaluasi diperlukan untuk mengetahui sudah sejauh mana segitiga pertumbuhan pada
rencana tersebut di atas mencapai tujuan dan sasarannya? Mengapa meskipun syarat-
syarat segitiga pertumbuhan seperti kemiripan ekonomik, kedekatan geografis, dan
ikatan sejarah, kultural dan bahasa yang erat sudah terpenuhi, tetapi dinamika ekonomik,
apalagi dinamika sosial dan ekologis di wilayah-wilayah segitiga tersebut sampai saat ini
masih jauh dari selaras? Kini sudah saatnya untuk mengevaluasi moda promosi dan
fasilitasi perluasan ekonomi di pulau Sumatera dan kepulauan di sebelah timurnya, untuk
memahami permasalahan dari perubahan sosial-ekologis di wilayah tersebut secara utuh.
Dari sudut kepentingan pemerintahan/ pengurusan publik jangka panjang, pemahaman
permasalahan tersebut sangat vital bagi perumusan arahan baru bagi proses pengambilan
keputusan khususnya dalam penyusunan tata ruang.

2.4 Analisis Chronospatial Red-Green-Blue (CS-RGB): Relevansinya untuk Pemindaian


Perubahan di Wilayah Selat Malaka
Untuk memungkinkan berlangsungnya sebuah evaluasi dan proses belajar yang
mempertimbangkan perubahan sosial-ekologi di luar kerangka penglihatan eksklusif dari
rerantai ekonomik semata, diperkenalkan sebuah diskursus/ cara bertutur yang
memungkinkan pelaku proses belajar memetakan perubahan dalam rerantai sosial di
ruang hidupnya, dalam kerangka-ruang-waktu yang dikenali atau dipilih, melalui sebuah
pemeriksaan perubahan yang mencakup dimensi ekonomik, sosial dan ekologis, termasuk
dinamika dan interaksinya yang dikembangkan oleh School of Democratic Economic (SDE).
Pemeriksaan dilakukan dengan acuan pada koordinat ruang-waktu dari ketiga rerantai,
yang seperti telah disinggung di depan, memiliki jenis kerangka waktu dan ruang yang

23
berlainan, sesuai dengan logika reproduksi dan evolusinya. Berdasarkan konvensi kode-
warna yang digunakan, analisis tersebut dinamai kerangka-urai Chronospatial-Red-Green-
Blue (CS-RGB).

Gambar 2. Sistem dan Praktek Diskursif Untuk Representasi Fenomena Perubahan Lewat
Kerangka Urai CS-RGB

Gambar 2 di atas menunjukkan bagaimana pendekatan pemeriksaan simultan terhadap


ketiga rerantai dapat dilakukan dalam berbagai skala pemeriksaan. Gambar tersebut juga
menunjukkan konvensi penamaan vektor antar ketiga rerantai. Kerangka analisis CS-RGB
menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan analisis berbasis model-model
ekonomika matematis yang dikembangkan untuk dan dari rerantai ekonomik semata.
Pertama, konseptualisasi dari kerangka analisis CS-RGB secara sistematis
mempertimbangkan keunikan dan ketidak-setaraan kerangka waktu dan ruang di ketiga
rerantai, sehingga proses pendugaan ke depan (ex-ante estimation) atau evaluasi sebuah
daur pemerintahan/ pengurusan publik atau investasi kapital menjadi jauh lebih peka
terhadap jejak-sosial-ekologisnya.

Lebih jauh, konvensi kerangka analitis CS-RGB diperlihatkan dalam Gambar 3 yang terdiri
dari dua bagian.Di bagian kiri, ditunjukkan konvensi umum dari rentang interaksi di antara
ketiga domain perubahan. Di bagian kanan, pendekatan yang sama digunakan untuk
menunjukkan dinamika (pengerutan/pembesaran) vektor antar ketiga rerantai dalam
kasus perubahan iklim. Dari bagian kanan tersebut ditunjukkan bahwa seluruh usaha
mitigasi seharusnya berfokus pada pencegahan vektor negatif (berindeks 2) khususnya
dari perluasan rerantai merah ke rerantai ekologis (rerantai hijau). Evaluasi atau
perencanaan berbasis kerangka CS-RGB dapat berfungsi sebagai sebuah proses sensitisasi
atau pemekaan terhadap jejak ekonomik, jejak sosial dan jejak ekologis dari sebuah
rencana perubahan atau investasi. Dengan kata lain, ia dapat dipakai secara paralel atau
dalam kombinasi dengan beragam kerangka analisis maupun metoda statistik yang umum
digunakan.

24
Gambar 3. Representasi Skematis dari Perubahan Vektor antar Ketiga Rerantai

Analisis CS-RGB menggunakan kode warna (color coding), merah (Red) mewakili rerantai
ekonomik, hijau (Green) mewakili rerantai ekologis dari level terbesar sampai terkecil
semisal kita belajar tentang cell signaling pada level biologi molekuler, dan biru (Blue)
mewakili rerantai sosial yang sangat rumit. Secara garis besar, posisi riset PKM-SM ini
dalam agenda belajar adalah pada pengembangan frontier pemahaman kritis atas
perubahan sosial ekologis pada skala global. Agenda belajar terbagi dalam Basic Research
dan Applied Research. Kedua ranah belajar tersebut secara simultan terbagibersama tiga
sektor belajar utama untuk membalikkan krisis, yaitu warga biasa dalam konteks
kemasyarakatan/sosial, badan riset/research group, serta unit-unit kerja pemerintah yang
bersedia memperbaharui sistem kerjanya.

Untuk itulah, penelitian-penelitian mengenai kerangka temporal dan jenis waktu


/chronotype dan hubungannya dengan dimensi ruang perlu terus didorong.Sebagai
contoh perlu diteliti chronotype aktivitas Gunung Merapi yang bila diteliti lebih jauh
ternyata terjadi pergeseran masa “tidur”. Jika di tahun 8000 SM masa dormancy Gunung
Merapi adalah 1378 tahun, ternyata terus mengalami perubahan dari 4 digit menjadi 3
digit dan di abad 19 telah menjadi 2 digit. Kajian seperti ini penting misalnya untuk
perencanaan penganggaran terkait bencana.

Itulah sebabnya penting mulai dilakukan satu penelitian dasar mengenai Chrono Spatial
Informatics yang saat ini juga dikembangkan oleh industri-industri besar TIK.Pentingnya
jenis penelitian ini didasarkan pada tesis dengan melalui satu pengamatan dan penelitian
panjang, bahwa kita sekarang berada dalam moda pemburukan krisis yang menimbulkan
positive-feedback.Berdasar pemodelan dan analisis skala makro yang dilakukan SDE,

25
penyebab utamanya adalah diskursus yang hanya berpusat pada rerantai ekonomi dan
diukur dengan nilai yang diukur dengan uang. Pada saat krisis semakin memburuk,
sebenarnya kita mengatasi dengan sistem diskursus yang sama, sehingga pemerintah
mengalami ’crisis-blind’. Kita harus mulai dari diri sendiri dengan menyatakan bahwa
setiap orang harus mulai membalik krisis.

Pemburukan krisis sosial ekologi di wilayah Selat Malaka tidak terlepas dari adanya
ekspansi rerantai ekonomi yang hanya semata mempertimbangkan faktor keuntungan
dan nilai uang.Pembalikan krisis hanya bisa dilakukan dengan menata kembali tata kelola
pemanfaatan material dan energi menjadi lebih berkelanjutan.Melalui penelitian
sebelumnya SDE mengembangkan kerangka pembalikan krisis yang dinamai GESER
(Energy and Materials Prosumptions for Social-Ecological Recovery), logika skematisnya
ditampilkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Kerangka Agenda Belajar GESER

Sasaran akhir dari agenda belajar bersama akan menentukan arah perubahan meliputi
tiga hal yakni; (a) pemahaman rasionalitas sosial-ekologis akan kebutuhan bahan dan
energi, (b) aturan dan kesepakatan utama dalam pemanfaatan bahan dan energi untuk
membalik krisis dan, (c) adopsi pengelolaan produksi dan konsumsi bahan dan energi
yang cerdas dan sistematik. Dengan sasaran belajar tersebut di atas, dapat dirumuskan
zona ruang-waktu dari program PKM-SM. Gambar 5 berikut menunjukkan fokus spasial
dari proses belajar sistematis untuk mempertautkan perubahan ekonomi yang
terintegrasi dengan rerantai sosial dan ekologi di lingkungan Selat Malaka dan cakupan
geografis regional yang akan menjadi sumber pertimbangan dalam keseluruhan proses
belajarnya.

26
Gambar 5. Batas Wilayah Agenda Belajar PKM-SM

Selanjutnya akan terlihat bahwa PKM-SM adalah bagian dari agenda belajar yang penting
segera dikerjakan sebagai pekerjaan rumah kita. Kemudian bagaimana caranya agar
ekspansi ekonomi dan pengelolaan perubahan yang mungkin terjadi harus dilihat secara
mendasar.Guna memahami pola interaksi di antara ketiga rerantai, maka SDE telah
mengembangkan Social-Ecological Accounting Matrix (SEAM) seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Antarmuka dari Social-Ecological Accounting Matrix (SEAM)

Masing-masing agenda riset dasar dan terapan tadi berkembang sangat cepat dimana
riset PKM-SM adalah bagian riset lainnya seperti GESER (Governance of Energy and
Materials Prosumptions for Social-Ecological Recovery), PEBD (Political Economy of
Biodiversity), serta ADOED (Alternative of Determination of Energy Demand) sebagaimana
diilustrasikan dalam Gambar 7. Dalam konteks ini kita fokus terlebih dahulu kepada Selat
Malaka dan mulai belajar tentang ketiga rerantai seperti soal bajak laut, nilai ekonomi
selat dan lain sebagainya.

27
Gambar 7. Posisi Riset PKM-SM diantara Riset Lain Skala Global

Arti penting riset PKM-SM dan penerapan analisis RGB dalam metodologinya juga dipicu
adanya berbagai skenario ke depan. Didepan kita, ada skema besar pembangunan yang
bisa menjadi potensi atau krisis seperti organisasi kerjasama Shanghai (SCO) dan rencana
pembangunan komprehensif Asia (CADP).SCO merupakan inisiatif China, yang didominasi
oleh pertimbangan keamanan energi jangka panjang. Sementara CADP, diinisiasi oleh
Jepang dan skenarionya adalah menyatukan seluruh Asia Tenggara bahkan Asia dengan
memakai sebutan "factory Asia", atau Asia sebagai satu komplek pabrik. Semua skenario
ini sebenarnya merupakan bagian dari kampanye lebih besar dari WTO yaitu "Made in
the World".

Meskipun secara de facto khususnya dalam dua dekade terakhir terjadi fragmentasi
proses produksi industrial dengan pembagian kerja antar unit-unit produksi komponen di
berbagai negara, tetapi dalam rencana CADP misalnya, yang hendak dilakukan adalah
menjadikan suatu negara atau wilayah sepenuhnya sebagai ruang ekonomi semata dalam
model “assembly line” regional dalam pipa aliran bahan dan energi dari perusahaan. Hal
serupa tercermin dalam arah dari integrasi di sektor kapital keuangan. Bagaimana sektor
pembangunan dan pemerintahan secara umum menanggapi reduksi kedaulatan tersebut
menjadi persoalan berdimensi jangka panjang bagi negara-negara anggota
ASEAN,khususnya Indonesia, karena potensinya dapat memicu vektor-vektor baru yang
belum pernah terjadi sebelumnya, di ketiga rerantai.

28
Gambar 8. Pola Koridor Ekonomi Regional Yang Dapat Mempengaruhi Selat Malaka

Di Indonesia CADP diaktualisasikan dengan percepatan pembangunan ekonomi yang


cetak birunya ada dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). CADP sendiri merupakan bagian dari 36 riset yang sangat strategis dari
Economic Research Institute ASEAN and East Asia (ERIA), yang didukung penuh oleh
pemerintah Jepang. Dalam implementasi perluasan ekonomi, kita harus dapat
memperhitungkan setiap wilayah dalam tiap koridor, serta mampu memetakan berbagai
strategi ekspansi ekonomi baik yang dilakukan China, Singapura maupun India. Dari India
akan ada jalur distribusi bahan dan energi dengan pelayaran langsung ke pesisir Myanmar,
diteruskan dengan “koridor ekonomi Timur Barat” yang membelah negara-negara Sungai
Mekong. Jika ini berkembang maka Selat Malaka kemungkinan akan relatif mengalami
penurunan aliran bahan dan energi serta lalu lintas kapalnya.

Dengan konteks tersebut, analisis CS-RGB dalam kajian Selat Malaka menjadi penting
sebagai tools pendukung pengambilan keputusan khususnya dalam pengelolaan
perubahan yang terjadi di wilayah pada ketiga rerantai secara lebih berkelanjutan.

29
BAB 3. DINAMIKA EKONOMIK, SOSIAL DAN EKOLOGIS

SELAT MALAKA

Sudut pandang geopolitik tentang Selat Malaka sejak awal abad ke 15 hingga awal abad
ke 21 relatif tidak banyak berbeda. Isunya tetap sama bahwa Selat Malaka adalah jalur
strategis sehingga harus dikuasai secara ekonomi dan politik. Hal inilah yang dilakukan
Portugis ketika menguasai Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Selama jeda Perang
Dunia I dan II, Inggris memposisikan Singapura sebagai pusat pertahanan untuk menjaga
teritorial Inggris di Asia Selatan (Samudera Hindia) dan memblokade pintu gerbang Selat
Malaka ke arah selatan agar Jepang tidak mudah masuk menuju Australia dan Selandia
Baru. Berbeda dengan isu geopolitik, konsentrasi kegiatan ekonomi di negara yang dilalui
Selat Malaka yaitu Indonesia (khususnya Kepulauan Riau), Singapura, Malaysia dan
Thailand mengalami perubahan yang sangat dinamis. Lanskap ruang ekonomi ataupun
geografi ekonomi kawasan Selat Malaka telah banyak berubah. Watak dan corak
perubahan apa yang paling dominan di wilayah Selat Malaka menjadi penting untuk
dipelajari. Dalam kajian ini, pemeriksaan data-data dasar (baseline) wilayah diperoleh dari
data sekunder guna mendapatkan gambaran mengenai status keadaan di ketiga rerantai.

Dalam kajian awal ini dipertimbangkan tiga komponen investigasi yaitu apa pendorong
utama terjadinya pembesaran rerantai ekonomik di wilayah, apa saja aturan-aturan dan
kesepakatan/ protokol-protokol kunci yang selama ini dipatuhi atau digunakan bagi
instansi pemerintah/ kesatuan-kesatuan pengurus publik di wilayah, serta bagaimana
moda umpan balik dan partisipasi dalam penentuan agenda perubahan dan
pengendaliannya. Ketiga komponen di atas pada dasarnya adalah komponen utama dari
moda pengelolaan/ pengurusan produksi-konsumsi dari materi dan energi yang telah
lama dikaji dan dikembangkan oleh SDE melalui berbagai kerjasama penelitian.

3.1 Dinamika Rerantai Ekonomi


Dalam konteks rerantai ekonomik global, pada saat ini Selat Malaka merupakan bagian
dari wilayah Asia yang tengah berubah posisinya dengan cepat di hadapan benua Amerika
dan Eropa.Sulit dibantah bahwa dominasi ekonomi global saat ini tengah bergeser dari
Eropa dan Amerika Utara ke Asia.Metropolitan-metropolitan baru juga muncul dalam
sebuah pembagian peran antar negeri dari kapital industri dan keuangan global, baik
pada tingkat regional maupun global.

Pada tingkat regional, Amerika Utara dengan pakta perdagangan bebas Amerika Utara
(NAFTA) yang berjalan sejak 1994, sekarang mulai diimbangi dengan rerantai ekonomi
dominan di Amerika Selatan, khususnya Brasil. Di Asia Pasifik, India, Rusia, dan yang
paling mencolok, Cina, merupakan raksasa ekonomi dominan, di samping Jepang, Korea

30
Selatan, dan Taiwan. Di hadapan rerantai ekonomik dominan di Asia tersebut, berdiri
negara-negara nan-yang (bawah angin), dengan Perhimpunan Negara Asia Tenggara
(ASEAN) sebagai representasi politiknya, dan dua entitas lain yaitu Australia dan Selandia
Baru. Apabila di akhir abad ke 19, dominasi ekonomik dunia berpindah lokasi dari Eropa
ke Amerika Utara, satu abad kemudian terjadi pergeseran kembali, kali ini dari Eropa dan
Amerika Utara ke Asia.

Kenyataan yang menyolok di sepanjang kurun waktu beberapa abad tersebut adalah
kedudukan Selat Malaka yang tak tergoyahkan dalam proses transformasi rerantai
ekonomik global. Gambar 9 menunjukkan sentralitas Selat Malaka dalam tiga abad
bangkitnya rejim ekspansi ekonomik dunia sejak abad ke 14 dan arti pentingnya di akhir
abad ke 20.

Gambar 9. Selat Malaka sebagai Poros Rerantai Ekonomik Dunia: Dulu dan Sekarang
Sumber: Seungbin Cho (2008-2011); IMO

Gambar 9 memberi gambaran mengenai konsentrasi aliran bahan dan energi lewat Selat
Malaka dewasa ini dari berbagai jenis kapal yang melintasi Selat sepanjang periode 1999
– 2009. Grafik tersebut juga bisa menggambarkan jenis energi primer utama yang
dominan yakni minyak bumi dibanding gas.Hal ini tergambar dari banyaknya armada jenis
kapal tanker raksasa (VLCC) yang mengangkut minyak dibanding gas alam.Selain itu juga
terlihat bahwa China adalah pengkonsumsi minyak dan gas terbesar di wilayah timur
Selat Malaka.

Data lalu lintas armada dari tahun 2009 tersebut juga menyiratkan bahwa resiko bencana
sosial-ekologis dari potensi kecelakaan angkutan sumber energi primer di Selat Malaka
masih tetap tinggi dan nyata. Dari sisi antisipasi bencana ini, Singapura saat ini memiliki
kemampuan pemodelan dan instrumentasi paling baik di kawasan Selat, untuk melakukan
pemindaian tumpahan minyak.Investasi besar-besaran dari pihak berwenang Singapura
dapat dipahami mengingat peran Singapura dalam memberikan pelayanan bagi lalu-lintas
global di Selat Malaka. Sementara Pemerintah/ pengurus publik Malaysia membangun

31
armada pemindaian lalu-lintas kapal tanker di Selat Malaka, ratusan stasiun pemindaian,
dan operasi serta pemeliharaannya.9

Usaha-usaha bersama untuk mempersempit diskrepansi dalam kelengkapan instrumen


hukum internasional sejauh menyangkut kepentingan pengelolaan resiko bagi rerantai
ekologis di wilayah pesisir Selat Malaka dalam dua dekade ini terus berjalan.

Gambar 10. Volume Lalu-lintas Berbagai Jenis Kapal (1999-2009)

Berdasarkan grafik jenis kapal yang melewati Selat Malaka, terlihat bahwa tanker dan
container atau peti-kemas adalah dua teratas, yang biasanya digunakan untuk
mengangkut komoditas dagang retail, wholesale, barang elektronik dan sebagainya. Bila
dilihat berdasarkan volumenya, energi dalam bentuk minyak mentah merupakan yang
terbesar (MIMA), dengan arah dari Utara-Barat Selat Malaka (Timur Tengah dan Afrika)
menuju Timur Utara (Jepang, China, Korea Selatan) dan hanya dikalahkan oleh Selat
Hormuz. Semenjak kerjasama dagang Eropa-China tahun 2000, jumlah impor dari China
meningkat dua kali lipat dalam 5 tahun, dan komoditi ini diangkut oleh kapal peti-kemas
yang menempati proporsi terbesar.

Di tahun 1985, sebuah kajian mengenai pola interaksi rumit dari rerantai ekonomik dan
ekologis di Selat Malaka mengidentifikasi adanya enam medan konflik utama, yaitu
perkapalan, perikanan, pertambangan, perlindungan lingkungan hidup, keamanan, dan

9
GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution
in the East Asian Seas. Marine Pollution Management in the Malacca/Singapore Straits:
Lessons Learned (1998:90-11)

32
resolusi sengketa tapal batas.10 Pada tahun 1998, program regional IMO dengan UNDP
menerbitkan hasil kajian mengenai ancaman dalam bentuk vektor negatif dari peran
sentral Selat Malaka dalam rerantai aliran sumber energi primer, khususnya minyak bumi,
dan barang industri, pada rerantai ekologi perairan dan pesisir di wilayah Selat. Salah satu
rekomendasi dari kajian tersebut adalah pengusulan status kawasan khusus (special area)
bagi Selat Malaka, berdasarkan UNCLOS pasal 211.11

Fasilitas Perkapalan dan Industri di Selat Malaka


Salah satu pertimbangan mengenai pentingnya pembaruan dan peningkatan kemampuan
pihak berwenang di wilayah Selat Malaka adalah kelangsungan rerantai ekonomik yang
berkaitan dengan aliran transportasi laut di perairan selat. Ketiga negara pesisir Selat
Malaka memiliki kekhasan potensi dan peluang untuk merespon kedudukan Selat Malaka
sebagai poros lalu lintas kapal terbesar dibandingkan dengan Terusan Suez dan Panama,
dalam memanfaatkan posisi sentral Selat Malaka bagi kepentingan produksi industrial
dalam negeri masing-masing. Berbeda dengan Malaysia dan Singapura, masyarakat
Indonesia yang hidup dalam cirri wilayah perairan/ kepulauan juga berkepentingan untuk
memenuhi syarat keterhubungan antar wilayah, dalam bentang laut yang sangat besar
skalanya. Tuntutan kebutuhan sosial lokal di pesisir timur Sumatera dan kepulauan Riau
sendiri merupakan sebuah medan investasi sosial yang penting. Fokus pada aturan
pengelolaan/ protokol pengurusan kegiatan di perairan pesisir dan kepulauan di wilayah
Selat, beserta industri pelayanan angkutan laut termasuk sarana perkapalan dan
komunikasinya, akan merupakan pendorong (vektor positif) dari rerantai ekonomik pada
pemenuhan syarat keselamatan manusia dan kelestarian fungsi ekologi wilayah.

Infrastruktur Pelayanan Pelabuhan dan Jasa Ikutan


Lengkap tidaknya fasilitas pelabuhan dapat terlihat dari jumlah berat dari barang yang
diangkut, banyaknya kapal yang berlabuh, atau jumlah peti-kemas yang dipindahkan
lewat pelabuhan.Dewasa ini perhimpunan-perhimpunan pengelola pelabuhan
kebanyakan menggunakan ukuran volume dan jumlah peti-kemas—diukur dengan satuan
setara duapuluh kaki/twenty-foot-equivalent-unit (TEU). S ementara untuk
membandingkan besar kecilnya kapasitas pelayanan antar pelabuhan sering digunakan
AnnualisedSlot Capacity (ASC).

Di samping prasarana pelabuhannya sendiri, daya saing pelabuhan juga diukur dari unsur
vital kedua yaitu kapal, termasuk asal-tujuannya, daya angkutnya (jumlah volume, berat
atau TEU-nya), dan jumlah serta frekuensi kunjungannya ke sebuah pelabuhan.Berbeda
dengan besaran fisik kapasitas pelabuhan yang bersifat statis, pertimbangan mengenai

10
Abu Bakar Jaafar dan Valencia M.J., Management of the Malacca/Singapore Straits: Some
Issues, Options and Probable Responses, Akademica No. 25, January 1985, pp. 93-117
11
GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution
in the East Asian Seas. Marine Pollution Management in the Malacca/Singapore Straits:
Lessons Learned (1998)

33
volume pelayanan aktual dirasakan lebih merepresentasikan kinerja pelayanan
pelabuhan.Potret dinamis tahunan yang sering dipakai dalam riset perkapalan adalah
Annualised Slot Capacity (ASC). Pertimbangan penting lainnya adalah kedudukan sebuah
pelabuhan sebagai sebuah holon atau simpul saling keterkaitan/ dalam holarki aliran
bahan/energi yang dilayaninya. Sebagai contoh, daya saing Singapura dalam keterkaitan/
holarki regionalnya berkaitan erat dengan pendorong/penarik lalu-lintas angkutan dari
industri di Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, dan negara-negara OPEC di Timur
Tengah.

Dari berbagai data dan informasi tersebut, jumlah volume peti-kemas internasional di
pelabuhan-pelabuhan di negara-negara Asia Pasifik (ESCAP) diperkirakan akan terus
tumbuh, bahkan sekalipun dengan terjadinya krisis keuangan Amerika yang merembet ke
Eropa. Bagian TEU dari aliran peti kemas internasional untuk pelabuhan-pelabuhan Asia
diperkirakan akan naik dari 51% (2002) menjadi 61% (2015). Jumlah volume peti kemas di
pelabuhan pelabuhan negara ESCAP diperkirakan akan naik dengan laju lebih dari 7%,
menjadi 352,3 juta TEU di tahun 2015.12

Tabel 1. Pelabuhan Peti Kemas di Wilayah Selat Malaka

Pelabuhan TEU/tahun Keterangan


Singapura 25,866,600 2009
Port Klang 7,309,779 2009
Tanjung Pelepas 5,835,085 2009
Johor Port 844,856 2009
Port of Penang 958,476 2010
Belawan Port 698 ribu 2010
Port of Dumai n.a
Batam Ports n.a Batu Ampar:70.000 (2010)
Tanjung Balai Karimun n.a
Tanjung Pinang n.a
Palembang n.a

Sumber: Kompilasi berbagai sumber

Selain itu dalam konteks aliran barang jarak jauh lewat Selat Malaka, Singapura juga harus
dipertimbangkan bersama dengan Shanghai yang sejak 2010 mencatat TEU terbesar di
dunia, dan dalam konteks lebih sempit di lingkungan Selat, dengan pelabuhan berukuran
besar dan sedang di Malaysia dan di Sumatera timur serta Kepulauan Riau. Moda operasi
dan pemilikan pelabuhan-pelabuhan utama terutama di negara-negara maju, yang pada
saat ini berwatak oligopolistik, juga berpengaruh besar pada daya saing antar pelabuhan

12
UNESCAP. Regional Shipping and Port Development Strategies, 2005.

34
dalam satu wilayah atau antar wilayah. Itulah sebabnya pembangunan atau
pengembangan pelabuhan baru di satu wilayah, meskipun merupakan faktor pendorong
kompetisi, akan harus berhadapan dengan integrasi pengoperasian jejaring pelabuhan
dari sejumlah kecil kartel pengelola pelabuhan.

Pertimbangan penting berikutnya adalah ketergantungan penuh dari seluruh aliran


barang lewat laut tersebut pada bahan-bakar minyak bumi, beserta fluktuasi harga dan
prospek kelangkaannya di masa depan. Besaran TEU atau ASC dari jejaring pelabuhan,
kapal dan peti-kemas di atas oleh karenanya juga harus mempertimbangkan faktor
penyesuaian bunker atau bunker adjustment factor (BAF) atau bunker surcharge, yaitu
bagian tidak tetap dari ongkos pengapalan barang yang menunjukkan tambahan biaya
karena harga minyak. Catatan tambahan mengenai pasar perkapalan peti kemas dalam
soal harga ini adalah bahwa sejak akhir 1990-an telah terjadi liberalisasi penentuan harga
dan tarif, dengan diterapkannya Undang-Undang baru di Amerika Serikat (OSRA 1998),
yang mempengaruhi moda transaksi di antara maskapai pengangkut dan maskapai
perkapalan.

Pembahasan awal di atas menguraikan beberapa pertimbangan penting untuk


memperkaya rumusan strategi belajar bersama di Selat Malaka, khususnya bagi aparat
pemerintahan/ pengurus publik di Indonesia dan atau pengelola belajar PKM-SM. Secara
ringkas, kajian awal ini menemukan bahwa untuk menyambut tuntutan pemenuhan
syarat sosial-ekologis di wilayah pesisir timur Sumatera dan kepulauan Riau,
pertimbangan mengenai potensi perluasan ekonomik dari aliran bahan dan energi
internasional di wilayah tersebut harus diperkaya dengan pertimbangan mengenai
potensi raksasa dari perkembangan tuntutan pemenuhan syarat sosial ekologis domestik
pulau Sumatera dan kepulauan di wilayah pesisir timur. Percepatan transformasi moda
transportasi barang lewat laut ke rejim peti kemas dan ukuran kapal yang jauh lebih besar
dalam konteks peningkatan/perluasan perdagangan antar wilayah dunia, tengah diuji
krisis berulang yang berwatak sistemik yang berasal dari dalam sistem produksi-konsumsi
industrial itu sendiri. Pemerintah/ Pengurusan Publik Indonesia sudah saatnya
menyiapkan diri untuk mendorong kreativitas dan pendekatan alternatif terhadap
pengembangan kemampuan maritim, yang berorientasi ke pemenuhan syarat-syarat
keselamatan dan keamanan manusia dan ekosistem dalam jangka panjang.

Beberapa persoalan yang menjadi pekerjaan rumah awal bagi agenda belajar PKM-SM
antara lain adalah moda perhubungan laut khas pesisir timur Sumatera, moda
perangkutan barang yang responsif terhadap aliran manusia dan barang berskala kecil
namun terdistribusi secara meluas, fasilitas pelayanan pelabuhan pesisir dan pelabuhan
sungai/pedalaman yang unggul, dan tak kalah pentingnya, kaitan di antara potensi
pengembangan lanjut pasokan fasilitas fisik di wilayah tersebut dengan kebutuhan
pengembangan ekonomi wilayah yang tepat bagi wilayah pesisir timur Sumatera. Gambar

35
11 memperlihatkan dua sisi rerantai ekonomi-maritim di wilayah Selat Malaka dan
perairan Indonesia umumnya, yaitu pertama, rerantai yang didominasi oleh aliran
material dan energi global dan rerantai kedua yang didominasi oleh pendorong
kebutuhan internal di wilayah.

Sumber: (SDE, LMU PKM-SM, 2011)


Gambar 11. Perluasan Rerantai Ekonomi Maritim Global dan Domestik di
Wilayah Selat Malaka

Hasil kajian awal ini menunjukkan bahwa pada saat ini dituntut pengerahan perhatian,
tenaga dan alokasi anggaran keuangan publik untuk mendorong peningkatan produksi-
konsumsi untuk melayani rerantai yang kedua tersebut. Khusus untuk wilayah Selat
Malaka, fokus pada perluasan kegiatan ekonomi yang bertujuan melayani metabolisme
sosial setempat tersebut akan memberikan manfaat jangka panjang yang tidak dapat
digantikan oleh pembesaran cabang rerantai yang pertama, yaitu sebuah ketahanan dan
kohesi sosial pada skala Sumatera dan kepulauan di sekelilingnya, beserta ekspresinya
pada penguatan rerantai sosial dan ekologis di wilayah tersebut.

Beberapa indikasi awal dari potensi perluasan ekonomi metabolik tersebut di wilayah
Selat Malaka adalah hal-hal sebagai berikut:
1. Belum ada sebuah kerangka kebijakanyang komprehensif untuk menyiapkan
infrastruktur wilayah di dataran rendah sisi timur Sumatera dan kepulauan Riau
bagian barat yang disiapkan untuk mendukung pengembangan kehidupan sosial
yang maju dan berkeadilan. Di lain pihak, infrastruktur yang terbangun dalam
kurun tiga dekade terakhir sebagian besar adalah prasarana pendukung rerantai-
pasokan dari industri ekstraktif, yang memang tidak dirancang untuk melayani
pemenuhan keamanan sosial atau kelestarian lingkungan.

36
2. Saat ini infrastruktur bagi cabang-cabang rerantai ekonomik yang menyangkut
ekonomi maritim yang melayani kebutuhan jejaring sosial lokal masih bersifat
terbatas (minimum). Untuk sabuk daratan dan perairan pesisir timur Sumatera di
sekitar Selat Malaka, potensi pembesaran cabang-cabang produksi-konsumsi
metabolik tersebut bersifat niscaya dan penting skalanya.
3. Provinsi Kepulauan Riau, dimana terdapat perbedaan yang menyolok dalam
kegiatan ekonominya antara klastertimur dan klasterbarat kepulauan,
membutuhkan pertimbangan yang khusus. Meskipun keduanya sama-sama
merupakan wilayah garis-depan perbatasan negara, perbedaan dalam rerantai
ekonomik, serta logika dari perubahan proses-proses sosial-ekologis di antara
keduanya sangat menyolok.

Rerantai ekonomik kepulauan Natuna dan Anambas didominasi oleh perluasan industri
ekstraktif perairan laut dalam dengan daratan pulau sebagai basis logistik dan dukungan
ekonomi ikutannya. Untuk klaster timur tersebut, dituntut sebuah kerangka konseptual
pengelolaan/ pengurusan perubahan sosial-ekologis yang tajam dan kuat dasar
pertimbangannya, serta sebuah tata kelola/ moda pengurusan —termasuk instrumen,
mekanisme dan jejaring institusionalnya— yang utuh rentang kewenangannya. Sistem-
sistem infrastruktur pulau dan perairan di klaster ini juga harus dirancang untuk
mencakup pertimbangan pencegahan dan mitigasi keadaan terburuk yang mungkin
terjadi sebagai konsekuensi dari proses produksi hidrokarbon laut dalam. Pengalaman
buruk dari blow-out di anjungan Montara di celah Timor dan di anjungan Deep Water
Horizon di Teluk Meksiko telah memaksa bukan saja pemerintah/ pengurus publik federal
Amerika Serikat, tetapi juga Uni Eropa, untuk mengubah kerangka kebijakanpengelolaan
produksi minyak dan gas dari negara-negara anggotanya. Indonesia lebih dari negara
produsen hidrokarbon manapun sudah saatnya merumuskan dan menerapkan protokol
pengelolaan yang cerdas dan ketat, yang juga mencakup terobosan dalam cara
penegakan hukumnya, karena ketatnya syarat keselamatan dan keamanan manusia dan
ekosistem yang harus dipenuhi.

Di lain pihak, kepulauan Karimun, Batam dan Bintan, serta Lingga-Singkep merupakan
wilayah spill-over dari perluasan serba cepat ekonomi éntrepot Singapura dan industri
manufaktur serta industri pengolahan lain di semenanjung Malaya bagian barat. Proses
pembesaran ekonomi industrial dan jasa-jasa lanjut di Singapura dan Malaysia dengan
kebutuhan bahan dan energi serta lokasi pengolahan juga terus membesar. Wilayah
Karimun, Batam dan Bintan adalah pasar tangkapan terdekat dan paling atraktif untuk
maksud tersebut.

Untuk menjaga jarak dari kemungkinan investasi dan pola dagang yang mungkin
dapatmengganggu rerantai sosial dan ekologis di wilayah kepulauan tersebut, segenap
jajaran institusi pengelola/ jejaring pengurusan perubahan tidak dapat hanya bersandar

37
pada penerapan standar-standar mutu lingkungan maupun regulasi prosedural yang ada
saat ini. Jajaran pemerintahan/ kesatuan-kesatuan pengurus publik Kepulauan Riau
membutuhkan sebuah kerangka dan cara pandang ke depan yang mempertimbangkan
keutuhan kedaulatan ekonomik dan politik di wilayah serta menggabungkan gagasan dan
inovasi terbaik mengenai pola ekonomik dan sistem infrastruktur pendukung di wilayah
perairan dan daratan kepulauan.

Secara umum kebijakan maupun regulasi pada proses produksi-konsumsi untuk pulau
beserta perairannya relatif tertinggal dibanding dengan wilayah lainnya. Daur-hidup (life
cycle) dari sistem-sistem produksi konsumsi energi, air, pangan, prasarana dan sarana
permukiman, transportasi intra dan antar pulau, belum menjadi sumber pertimbangan
utama dalam sistem "rencana tata-ruang pulau". Hal ini dibuktikan antara lain dengan
adanya krisis produksi-konsumsi air di berbagai pulau di wilayah lain dari kepulauan
Indonesia, bukan saja di wilayah klimatik peka seperti Nusa Tenggara, tetapi juga di
wilayah klimatik dekat khatulistiwa. Wilayah kepulauan Riau bagian barat dapat menjadi
sebuah arena belajar yang sangat baik guna mengembangkan sistem-sistem pendukung
kehidupan inovatif untuk daratan dan perairan di wilayah tersebut.

Untuk memulai pekerjaan awal yang bervisi ke depan tersebut di atas, institusi
pemerintahan/ kesatuan-kesatuan pengurus publik dan masyarakat, khususnya pengelola
dan partisipan proses belajar kolaboratif PKM-SM, dapat mulai melakukan penggagasan
dan perintisan awal energetika dari proses belajar, termasuk cara penghimpunan,
pengerahan dan berbagi sumberdaya yang mempertimbangkan sisi penganggaran dan
kapasitas sumberdaya manusia secara lebih inovatif.

3.2 Dinamika Rerantai Ekologis


Domain rerantai ekologis dalam cakupan agenda belajar akan mempertimbangkan
interaksi di antara matra daratan, termasuk daratan pulau serta matra pesisir atau
litoralnya; matra perairan pesisir dan laut, serta matra udara/ atmospherik. Adapun
program belajar nantinya juga akan mempertimbangkan kerjasama dengan beberapa
pihak. Beberapa mitra dengan pertimbangan antara lain;
1. Pengetahuan lanjut (advanced knowledge) yang dihasilkan oleh jejaring dan
program-program riset kelautan dalam konteks rerantai ekologis, seperti SOLAS
(a) Surface Ocean and Low Atmosphere Study, GESAMP (Joint Group of Experts on
the Scientific Aspects of Marine Environmental Protection), dan GOOS (Global
Ocean Observing System)
2. Pengetahuan khas wilayah dari lembaga-lembaga riset dan instansi pemerintah
serta program yang relevan baik di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pihak-pihak
di Indonesia yang berpotensi sebagai kolaborator dalam agenda belajar ini antara
lain adalah Dewan Riset Daerah, Pusat-Pusat Studi Lingkungan Hidup di Sumatera
dan Kalimantan bagian barat, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Kementerian

38
Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan
Hidup, Kementerian Riset dan Teknologi, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kota/Kabupaten di wilayah lingkungan Selat Malaka, jaringan organisasi advokasi
lingkungan hidup setempat, serta program-program riset yang relevan, seperti
SPICE (Science for the Protection of Indonesian Coastal Marine Ecosystems).
Sementara dari Singapura, telah dijajaki kemungkinan pertukaran informasi
dengan the Environment Council of Singapore dan dengan Malaysia telah dijajaki
TheMaritime Institute of Malaysia (MIMA) untuk tujuan yang sama.

Saling Keterkaitan/ Holarki Rerantai Ekologis Wilayah Belajar Selat Malaka


Wilayah belajar PKM-SM menyajikan peluang untuk memahami dan merumuskan
tindakan belajar menyangkut interaksi rumit di antara proses-proses produksi-konsumsi
dari wilayah yang mengapit perairan Selat Malaka. Kajian awal pola hidrodinamika
perairan Selat Malaka dan sekitarnya juga menyarankan kesaling-tergantungan di antara
interaksi daratan-perairan di pesisir timur Sumatera dan pesisir barat Semenanjung
Melayu di satu pihak, dengan interaksi serupa di Laut Jawa, dengan pesisir selatan
Kalimantan dan pesisir utara Jawa.

Hidrodinamika Perairan Selat Malaka dan Sekitarnya


Wilayah Selat Malaka berada di bawah rejim Angin Musim dengan daur osilasi antara sisi
utara dan selatan khatulistiwa.Arus Selat Malaka sepanjang tahun bergerak dari selatan
tenggara menuju ke barat laut. Hal ini mengindikasikan besarnya pengaruh massa air dari
bagian utara dan selatan perairan selat. Pergerakan massa air dari bagian selatan
tenggara ini tidak selamanya dipengaruhi oleh pergerakan massa air dari Laut Cina
Selatan.

Kawasan Selat Malaka sangat dipengaruhi oleh dua jenis angin musim, yaitu Northeast
Moonsoon (Desember ke Maret) dan Southeast Moonsoon (Mei hingga Oktober). Pada
saat Northeast Moonsoon berhembus, angin bergerak dari arah utara Indonesia ke arah
timur sehingga menyebabkan massa air dari Laut Cina Selatan masuk secara dominan ke
perairan Selat Malaka. Sedangkan pada saat Southeast Moonsoon angin berhembus dari
arah selatan ke arah barat sehingga massa air dari Laut Jawa dominan memasuki perairan
Selat Malaka (Keller dan Richards, 1967; Wyrtki,1961).

Ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi pergerakan arus di Selat Malaka (dari selatan ke
barat laut) yakni; (a) pola angin passat terhadap permukaan laut, (b) topografi garis pantai
di sepanjang pesisir daratan Asia dan Sumatera dan, (c) pola pasang surut. Pada saat
musim barat atau Northeast monsoon, di Laut Andaman berhembus angin passat timur
laut dari daratan Asia ke arah barat dan berputar di atas Samudera Hindia menuju ke
Australia. Pola ini menyebabkan pergerakan arus permukaan di Laut Andaman di bagian
utara pulau Sumatera menuju ke barat. Selanjutnya, pergerakan arus ini menyebabkan

39
massa air di Selat Malaka bagian utara ikut tertarik dan bergerak menuju ke barat laut
mengikuti pola arus ke barat, dan berimbas pada reduksi massa air permukaan di Selat
Malaka bagian utara. Reduksi tersebut menyebabkan massa air dari selat malaka bagian
selatan bergerak untuk mengisinya sehingga membentuk pola arus ke barat laut. Lebih
lanjut lagi, pergerakan ini berakibat pada kekosongan massa air di bagian selatan
sehingga massa air dari Laut Cina Selatan bergerak memasuki Selat Malaka sebagaimana
disajikan dalam Gambar 12.

Masuknya massa air laut dari Laut Cina Selatan bukan karena memiliki massa yang sangat
besar, namun karena pengaruh sirkulasi massa di Laut Andaman yang disebabkan oleh
pola angin passat timur laut yang menarik massa air dari Selat Malaka dan Laut Cina
Selatan menuju ke barat laut. Pada musim timur (southwest monsoon), terjadi angin
passat tenggara dimana di atas Laut Jawa terjadi pola angin menuju ke barat, arus di
utara Selat Karimata berputar menuju ke timur laut. Pola angin tersebut mendorong arus
di Laut Jawa berbelok memasuki Selat Karimata, dan sebagian memasuki Selat Malaka,
mendorong massa air di Selat Malaka menuju ke barat laut. Gambar 12 menunjukkan
bagaimana dinamika dari pola arus laut mempunyai peran penting dalam mekanisme
alami dari rerantai ekologi perairan di wilayah tersebut.Pola arus di Selat Malaka
cenderung bergerak menuju ke utara-barat laut. Pola pergerakan arus tersebut
dipengaruhi oleh adanya sirkulasi massa air di Laut Andaman yang cenderung berputar
menyusuri sepanjang pesisir daratan Asia.

Pembelokan arus tersebut disebabkan oleh topografi berupa tanjung dan keberadaan
Pulau Sumatera sebagai penghalang arah arus. Hal ini menyebabkan massa air di Selat
Malaka bergerak ke barat laut, dan mengikuti pola arus ke barat. Banyaknya Pulau di
bagian selatan Selat Malaka serta selat yang sempit (lebar sekitar 800 meter)
menyebabkan kondisi pasang surut cukup tinggi mencapai 5,5 meter, yang berimbas
pada elevasi muka air laut yang tinggi di bandingkan dengan perairan laut lepas, sehingga
arus mengikuti pola ke barat laut.

40
Gambar 12. Pola Arus Laut di Selat Malaka dan sekitarnya

Pada bulan Agustus, arus laut lepas berasal dari barat menuju ke pesisir barat daratan
Asia dan Sumatera.Bentuk topografi pesisir Asia mengarahkan sebagian besar arus
menuju ke selatan dan sebagian lagi berbelok ke barat di bagian utara di Pulau Sumatera.
Adanya arus laut lepas dari barat menekan arus pesisir menyusur ke selatan memasuki

41
Selat Malaka melalui pesisir barat Thailand dan Malaysia.Sementara arus yang berbelok
ke barat mempengaruhi pola arus di pesisir timur Pulau Sumatera menuju ke barat laut.
Adanya pengaruh musim timur, menyebabkan arus laut dari Samudera Pasifik melalui
Laut Banda dan Selat Makassar memasuki laut Jawa menuju ke barat dan melewati Selat
Karimata ke utara menuju Laut Cina Selatan. Sebagian arus memasuki Selat Malaka
menuju barat laut, melalui selat antar pulau di pesisir timur Pulau Sumatera. Arus
tersebut, menguatkan arus di pesisir timur Sumatera, dan mempengaruhi arus di pesisir
barat Malaysia yang menuju ke selatan sebagian berbelok ke barat laut menyusuri pesisir
timur Sumatera.

Pada bulan Oktober (musim pancaroba), arus laut lepas dari barat melewati bagian utara
Pulau Sumatera dan berbelok ke utara dan selatan ketika tiba di pesisir barat
Thailand.Arus ke selatan menyusur memasuki Selat Malaka dan berputar di ke arah barat
laut.Meskipun sebagian besar arus memasuki Selat Malaka bagian utara, hal ini tidak
mempengaruhi pola umum arus Selat Malaka yang tetap menuju ke barat laut. Diduga
faktor elevasi muka air laut di Selat Malaka lebih tinggi di banding laut lepas oleh
pengaruh pasang surut, sehingga tekanan arus dari Selat Malaka lebih kuat sehingga tetap
menuju ke barat laut. Sementara arus di Selat Malaka bagian selatan, mengikuti pola
seperti bulan Februari dan April.

Konsentrasi tanah gambut terbesar di Indonesia berada di pesisir timur Sumatera


(Gambar 13). Wilayah Indonesia sendiri menyimpan lebih dari 80% sisa tanah gambut di
Asia, dengan konsentrasi ikatan karbon tanah sangat tinggi. Dalam konteks pendalaman
krisis di rerantai ekologis bumi yang direpresentasikan oleh isu perubahan iklim, tuntutan
bagi pemerintah/ pengurus publik Indonesia adalah harus mampu mengelola sisa lahan
gambut ini agar tidak mengemisikan gas rumah kaca secara berlebihan.

Gambar 13. Konsentrasi Tanah Gambut di Indonesia

Kajian mengenai lepasan karbon dari sistem estuari pesisir timur Sumatera menyarankan
bahwa kurang lebih 33% lepasan karbon daratan ke laut (doC) dari wilayah kepulauan
Indonesia (setara dengan 6.4 Tg C yr-1) berasal dari Selat Malaka. Besaran doC dari

42
Indonesia sendiri adalah 21 Tg C yr-1, hampir sebanding dengan besaran lepasan karbon
daratan ke perairan laut dari sistem Amazon yaitu 26 Tg C yr-1. Lebih jauh, kerusakan
tanah gambut di wilayah sungai-sungai besar di pesisir timur Sumatera mengalami
kenaikan pesat karena perluasan kebun kelapa sawit di wilayah tersebut.Salah satu
estuari utama di wilayah tersebut, Siak, mengalami kenaikan pelepasan nutrien dua kali
lipat dalam beberapa dekade terakhir (Baum, 2008).

Gambar 14 memperlihatkan sumber lepasan karbon dari lima estuari utama di pesisir
timur Sumatera yang menuntut pembaruan dalam pengelolaan perubahan, bukan
sekedar perbaikan kinerja dalam moda pengelolaan yang sama. PKM-SM diharapkan
dapat mendorong inovasi di sektor pemerintahan/ publik dan di tingkat warga, untuk
merintis dan mengembangkan prakarsa-prakarsa praktek produksi-konsumsi yang tepat
dan berkelanjutan. Sedangkan Gambar 15 memberikan gambaran bahwa tanpa kemauan
dan kesepakatan antar institusi dan kesediaan untuk merintis inovasi di sektor
pemerintahan, sulit membayangkan bahwa pihak Indonesia bisa berperan positif dalam
mengelola Selat Malaka.

Gambar 14. Titik Lepasan Karbon dari Estuari di Pesisir Timur Sumatera

43
Gambar 15. Praktek Dominan Alokasi Ruang di Pesisir Timur Provinsi Riau

Dikaitkan dengan rerantai ekonomik, kajian awal menyimpulkan bahwa harus segera ada
sebuah agenda bersama dan sedapat mungkin melibatkan pelaku riset dari ketiga negara
untuk melakukan penelitianwilayah daratan dan perairan Selat Malaka secara
menyeluruh dan terpadu. Sejauh ini visi mengenai Selat Malaka didominasi oleh nilai
ekonomi dalam konteks lalu lintas perkapalan.

Dalam moda perluasan ekonomi tanpa kendali, seperti ditunjukkan oleh peta alokasi
ruang peruntukan dari sektor industri ekstraktif pada Gambar 15, salah satu fungsi utama
pemerintahan/ pengurusan yaitu menjaga prinsip allometry dalam rasio ekspansi
penggunaan ruang dan sumberdaya alam dapat dikatakan tidak berjalan. Keempat
subsektor industri dalam Gambar 15 yakni, ekstraksi minyak dan gas, ekstraksi kayu lewat
konsensi wilayah tebang (HPH), perkebunan pohon industri, dan perkebunan bahan
industri, khususnya kelapa sawit, memiliki siklus proses kegiatannya masing-masing.

Meskipun durasi dari siklus kegiatan tersebut beragam, keempatnya terikat oleh sebuah
jenis kerangka-waktu (chronotype) yang spesifik bagi rerantai ekonomik dominan saat
ini.Chronotype tersebut mengacu pada siklus produksi nilai dari kapital keuangan, yang
tidak ada sangkut pautnya dengan pertimbangan CS-RGB untuk pemenuhan syarat sosial-
ekologis setempat.Konsekuensinya, kenaikan "produk domestik" dalam statistik tahunan
tidak mencerminkan kemajuan, karena diskonto sosial dan ekologis tidak dapat dibaca
dalam besaran produktivitas ekonomi tersebut. Kenaikan jumlah anak sekolah,
penurunan angka kunjungan ke fasilitas kesehatan, misalnya, tidak akan berarti banyak
dalam jangka panjang, karena syarat-syarat reproduksi ekologis dan sosial yang
mendasarinya justru dilanggar.

44
Gambar 16. Satuan Administrasi Wilayah Kecamatan di Lokasi Kajian.

Proses ekspansi penggunaan ruang dan sumberdaya alam tersebut dapat terus
berlangsung dengan sistem perijinan dan pengesahan oleh aparat pemerintah/ aparatus
pengurus publik pada tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan bahkan sampai Desa.
Praktek ini terus berlangsung tanpa panduan rasionalitas aspek dampak sosial dan
ekologis.

Kesehatan Masyarakat di Wilayah Sekitar Selat Malaka


Posisi sentral Sumatera Timur khususnya kepulauan Riau bagian barat di Selat Malaka
yang merupakan urat-nadi aliran bahan dan energi global tidak sepenuhnya berdampak
positif Sektor transportasi laut berkontribusi besar pada pencemaran udara. Saat ini dua-
per-tiga aliran barang dalam perdagangan dunia berlangsung lewat transportasi laut.13
Lalu-lintas perkapalan lewat Selat yang dalam setahun dapat mencapai angka 80 ribu
(lebih dari 200 lintasan kapal dalam sehari) menciptakan vektor negatif (pendorong dari
rerantai ekonomi ke rerantai manusia/sosial yang bersifat negatif) yang sedikit sekali
dipahami oleh institusi pemerintah, bukan saja di Indonesia atau negara tetangganya,
tetapi di seluruh dunia. Gambar 17 menunjukkan sebaran geografis beserta intensitas dari
kegiatan pelayaran kapal samudera dalam kaitannya dengan prevalensi mortalitas akibat
penyakit cardio-pulmonary.

Berbagai kajian epidemiologis menunjukkan konsistensi kaitan di antara kandungan


partikel cemaran di udara dengan dampak negatif pada kesehatan manusia. Tiap tahun,
seluruh armada kapal samudera diperkirakan mengeluarkan emisi 1,2-1,6 juta metrik ton

13
WTO dan IDE-JETRO (2011)

45
(Tg) bahan partikel, 4,7-6,5 Tg sulfur Oksida (SOx), dan 5,0-6,9 Tg Nitrogen-Oksida (NOx).
Diperkirakan 15% dari emisi NOx dan 5-8% emisi SOx di seluruh dunia berasal dari
pelayaran samudera. Dalam Gambar 17 ditunjukkan bahwa wilayah Selat Malaka
merupakan salah satu hot spot untuk kasus penyakit jantung dan paru-paru.

Gambar 17. Peta Sebaran Mortalitas Cardiopulmonary Global

Penyebaran penyakit HIV/AIDS


Penyebaran HIV/AIDS di Kepulauan Riau harus menjadi salah satu perhatian
utama.Penderita pertama terdeteksi tahun 1992, dan dalam waktu 17 tahun jumlahnya
meningkat menjadi 330 orang.Saat ini Provinsi Kepulauan Riau berada pada urutan
keempat berdasarkan rasio penderita AIDS kumulatif terhadap jumlah penduduk seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 18.

Beberapa daerah di Kepulauan Riau merupakan daerah tujuan wisata terutama dari
Singapura. Survai yang dilakukan pada bulan Juli - September 2005 terhadap 979
wisatawan laki-laki asal Singapura sebanyak 70% nya mengatakan seks sebagai salah satu
alasannya baik dengan pasangan maupun PSK. Kebanyakan pekerja seks di Kepulauan
Riau berasal dari Jawa Barat dan Jabodetabek. Dari informasi penduduk setempat,
meskipun data resmi menunjukkan bahwa industri seks di Kepulauan Riau mengalami
penurunan di akhir tahun 2005, hal ini belum tentu mencerminkan kenyataan
sesungguhnya. Semenjak pihak kepolisian menyatakan tidak menolerir perjudian
memang angka perjudian menurun dan jumlah pekerja seks juga ikut turun.Dalam hal ini
kemungkinan yang terjadi adalah pemecahan konsentrasi spasial yang tadinya
terlokalisasi.14 Kajian awal dinamika perubahan rerantai ekologi di wilayah Selat Malaka
ini memberikan gambaran pentingnya untuk memiliki sebuah agenda belajar yang yang
terus menerus berlangsung untuk pembaruan sistem pengelolaan/ pengurusan di wilayah
tersebut.

14
Ford, Mand Lyons (2007).

46
Sumber: Diolah dari data Statistik Departemen Kesehatan, 2009; BPS (2010)
Gambar 18. Rasio Pengidap HIV/AIDS Akumulatif Terhadap Jumlah Penduduk

3.3 Dinamika Rerantai Sosial


Bagian dari program belajar yang diagendakan yang membutuhkan energi paling banyak
adalah bagaimana melibatkan pelaku belajar yang jauh lebih luas dari sekedar institusi
pemerintah/ badan-badan pengurus publik, institusi riset, dan pelaku institusional lainnya.
Suatu keharusan di sini adalah partisipasi kesatuan-kesatuan sosial ekologis warga
wilayah di sepanjang Sumatera bagian timur, berbagai kepulauan di busur Selat Malaka
sampai dengan Laut China Selatan, Semenanjung Malaya khususnya bagian barat, dan
Singapura. Mengingat dimensi waktu, ruang, dan cakupan perubahan, dapat disimpulkan
bahwa program belajar yang telah dirintis ini hanya akan mampu untuk terus bergulir dan
menciptakan perubahan nyata, apabila melibatkan warga, lembaga-lembaga pendidikan
formal lintas tingkatan, serta instansi-instansi pemerintahan/ kesatuan-kesatuan
pengurusan publik dari tingkat pengurus desa sampai tingkat provinsi.

Dalam tiga dekade terakhir, kedudukan relatif Indonesia di hadapan Malaysia dan
Singapura relatif menurun, dari status on par dalam rerantai ekonomik dan sosial,
menjadi status terbelakang. Ketiga negara pesisir Selat sendiri belum dapat dikatakan
berhasil mengurus dinamika sosial-ekologis dari perluasan ekonomik di wilayah tersebut.
Salah satu petunjuk yang penting dikaji dalam hal ini adalah persistensi tindak pidana
perompakan di wilayah perairan Selat Malaka dan sekitarnya, yang sesungguhnya
merupakan gejala yang telah berlangsung selama beberapa abad terakhir (Warren, J.F;
Wade, G. 2003; Tagliacozze, E. 2001; Teitler, G., n.a). Dalam lima tahun terakhir, kegiatan
perompakan atau percobaan perompakan bahkan telah meluas ke wilayah Selat Sunda,
pesisir utara Jawa, pesisir selatan dan timur Kalimantan, bahkan Nusa Tenggara. Riset SDE
dalam empat semester terakhir merekomendasikan bahwa petunjuk kecil tentang salah
satu "sektor" dari black economy tersebut adalah puncak dari gunung es permasalahan
yang terus memburuk, dan belum ada solusi.

47
Pendekatan dengan teori kemiskinan yang menistakan prinsip kemanusiaan dan
solidaritas kemanusiaan, adalah salah satu alur penjelasan yang dapat menjadi pintu
masuk dari penelitian yang lebih mendalam mengenai gejala perompakan tersebut.
Tanpa ada penyelesaian alternatif mengenai masalah-masalah seperti perompakan,
penyelundupan, dan transaksi ekonomi gelap lainnya, gagasan-gagasan besar dan
investasi-investasi pembangunan fisik yang spektakuler macam apapun akan rentan
terhadap faktor kejut di luar perhitungan dan jaminan keamanan dari apparatus Negara/
pengurusan publik. Sama pentingnya, tanpa sebuah proses benchmarking yang sungguh-
sungguh mengharapkan partisipasi dari segenap pihak khususnya dalam rantai umpan-
baliknya, kemajuan di ketiga rerantai perubahan telah terbukti tidak berdaya untuk
mengatasi pendalaman krisis yang berwatak sistemik.

Sumber: Seungbin Cho (2008-2011)


Gambar 19. Kepadatan Penduduk Sumatera Timur dan Semenanjung Melayu awal Abad 20

Dalam kajian awal ini, pemeriksaan saling keterkaitan/ holarki dalam rerantai sosial
dimulai dengan menelaah dokumen-dokumen hasil riset yang dilakukan dalam satu
setengah abad terakhir dan dokumen dari media cetak, mengenai berbagai gejala penting
dalam rerantai. Transformasi peran ekonomik dari perairan Selat Malaka, terutama sejak
awal epos "penemuan wilayah geografis baru" dari bangsa-bangsa Eropa, berjalan dalam
tempo dan chronotype yang lain daripada transformasi rerantai sosial di pesisir barat dan
timurnya.

Gambar 19 menunjukkan bahwa konsentrasi rerantai sosial di Selat Malaka satu abad lalu
berada di wilayah Aceh sekarang, sementara Semenanjung Melayu berada dalam status
di mana intensitas tinggi dari produksi bahan tambang ekspor (timah) dan perkebunan
(terutama karet) berlangsung dalam konteks wilayah frontier industri ekstraktif, dengan

48
buruh impor, terutama dari Cina dan India. Paparan dari dua zona kronospasial Selat
Malaka, yang terpaut sekitar satu abad tersebut di atas, memberikan petunjuk bagaimana
perubahan dramatis atau sebaliknya, stagnasi dalam rerantai sosial dapat berlangsung
dalam beberapa generasi. Konteks pasca dekolonisasi dari perubahan sosial di pesisir
barat dan timur Selat Malaka berlangsung dalam perbedaan yang menyolok.

Dalam konteks pemenuhan syarat sosial dan ekologis yang dikemukakan di depan,
masyarakat Indonesia dan instansi pemerintahannya/ pengurus publik, khususnya di
wilayah administrasi/ wilayah-kelola-publik sisi timur pulau Sumatera dan kepulauannya,
dituntut untuk mengerti logika di balik dinamika alam dan sosial di situ, dan kemudian
segera menyusun agenda belajar untuk membalik arah pemanfaatan ruang dalam
Gambar 15. Gejala land-grab skala besar seperti ditunjukkan oleh Gambar 15 tersebut
tidak hanya berlangsung di pulau Sumatera atau Indonesia saja. Peta jejaring pelaku dan
peran-peran kunci di sepanjang proses penciptaan atau pemburukan krisis tersebut
bukan saja mencakup instansi pemerintahan dan pelaku investasi lokal, tetapi sudah
berwatak transnasional. Sebuah kajian terbaru mengenai masalah ini, menunjukkan
peran penting negara-negara Eropa dalam proses pencaplokan tanah yang berlangsung di
Kamboja, Filipina dan Indonesia.15 Beberapa kesimpulan yang patut dipertimbangkan dari
riset tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asumsi mengenai adanya tanah pertanian cadangan (idle, marjinal dan tak
berpenghuni) di wilayah Selatan Bumi yang dapat memecahkan krisis pangan dan
energi dunia adalah salah.
b. Pengakuan negara atas wilayah hutan dan tindakan untuk membuka jalan
selebar-lebarnya bagi penguasaan lahan skala besar, dan untuk mengkonversi
penggunaan tanah secara besar-besaran sesungguhnya merugikan kepentingan
masyarakat dalam jangka panjang, melemahkan dan melanggar hak-hak
masyarakat yang hidup dan bekerja di ruang geografis tersebut.
c. Pencaplokan tanah di wilayah non-urban akan menyerap warga menjadi bagian
dari kompleks produksi food-feed-fuel berskala global, yang memiliki logika biaya-
manfaatnya sendiri, bukan logika pemenuhan syarat keamanan sosial di wilayah
lokasi industri.
d. Kebijakan pertanahan yang pro-pasar semata,selama ini telah mendorong
percepatan pencaplokan tanah di ketiga negara sekitar Selat Malaka tersebut.
e. Disamping kebijakan negara di Selatan, peran penting kebijakanperdagangan
negara-negara maju, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa, yang ikut
mempromosikan arena dan logika perluasan kompleks produksi pangan, pakan
dan bahan bakar tersebut.

Dapat ditambahkan pula bahwa dewasa ini, muncul sebuah faktor pendorong baru dari
gejala pencaplokan tanah skala gergasi/raksasa di Selatan, yaitu penanaman pohon

15
Borras Jr., Saturnino M. dan Jennifer C. Franco (2011)

49
(termasuk perluasan perkebunan monokultur skala besar) sebagai cara penurunan biaya
mitigasi dari peningkatan emisi industrial di 42 negara industri-maju. Di bawah tema
"ekonomi-rendah karbon", beberapa negara anggota Uni-Eropa misalnya menyatakan
minatnya untuk mengkonversi wilayah di dataran rendah pulau Sumatera dan Kalimantan
yang telah dibabat hutannya (logged-over area) menjadi lahan perluasan perkebunan.
Sebuah kajian perencanaan potensi "perluasan ekonomi rendah karbon" dari
Departemen Pembangunan Internasional Pemerintah Inggris mengemukakan rendahnya
biaya dan besarnya manfaat dari penguasaan lahan-lahan tersebut di atas. Laporan kajian
tersebut mengemukakan rendahnya ongkos kompensasi lahan bagi warga setempat (yang
dalam episode pembalakan sebelumnya kemudian menjadi kuli dari industri kayu), yaitu
sebesar ± $700 per hektar. Angka tersebut bahkan hanya seperlima dari nilai uang lahan
dalam perluasan perkebunan di dekade 1990-an yang berkisar pada angka Rp.35 juta
(±$ 3500) per hektar.16 Dengan tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah di
wilayah bekas hutan di Sumatera sekalipun, angka $700 per hektar lahan tidak akan dapat
menjadi modal dari sebuah pemberantasan kemiskinan, atau sebuah model ekspansi
ekonomi lokal yang menyejahterakan dan memulihkan kerusakan.

Tabel 2. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka ( Sumatera) Indonesia


Propinsi Penduduk Luas Wilayah Kepadatan
daratan (Km )
2
Penduduk
(Jiwa/Km2)
DI Aceh 2.964.667 22.677,14 131
Sumatera Utara 5.653.667 12.510,32 452
Riau & Kepulauan Riau 3,359,520 113.790,90 30
Jambi 825.082 16.202,00 51
Sumatera Selatan 2.038.450 56.510,46 36
Bangka Belitung 1.173.732 18.836,54 62
Lampung 1.347.653 12.176,35 111
TOTAL 17.362.771 252.703,70 69
Sumber: BPS, 2010

Tabel 3. Demografi Pesisir Timur Selat Malaka, Malaysia(2010)


State/FT Penduduk Luas Wilayah Kepadatan
daratan (Km2) Penduduk
(Jiwa/Km2)
Perlis 227.025 821 277
Kedah 1.890.098 9.500 199
Penang 1.520.143 1.048 1,451
Perak 2.258.428 21.035 107
Selangor 5.411.324 8.104 668

16
Data Consult (2009)

50
FT Kuala Lumpur 1.627.172 243 6,696
FT Putra Jaya 67.964 49 1,387
Negeri Sembilan 991.071 6.686 149
Johor 3.233.434 19.210 168
Total 17.232.659 66.696 258

Tabel 4. Demografi Singapura


State Penduduk Luas Wilayah Kepadatan
Daratan (Km2) Penduduk
(Jiwa/km2)
Singapura 5.076.700 710,2 7.022
Sumber: a. Laporan Kiraan Permulaan 2010. Jabatan Perangkaan Malaysia. p. iv.
b. Time Series on Population (Mid-Year Estimates). Statistics Singapore (2010)

Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa populasi kedua sisi Selat saat ini cukup
berimbang.Kedua tabel juga menunjukkan bahwa kepadatan penduduk rata-rata di
Malaysia adalah hampir empat kali lebih besar daripada kepadatan penduduk rata-rata di
pesisir timur pulau Sumatera. Pemeriksaan lebih detail untuk ketujuh propinsi di pesisir
timur Sumatera juga menunjukkan kesenjangan yang mencolok antar kesatuan wilayah
administrasi/ pengurusan publik di dalam satu propinsi dan antar propinsi.

Gambar 20. Perbedaan Menyolok dari Infrastruktur Wilayah di Kedua Sisi Selat Malaka

51
Konsentrasi rerantai ekonomi untuk Kota Medan (kepadatan 7.957 jiwa/km 2)
dibandingkan dengan seluruh wilayah lain di pesisir timur menunjukkan tidak adanya
perkembangan yang bermakna dari neksus rerantai sosial dan rerantai ekonomik.
Sebaliknya, di sisi timur Selat, konsentrasi sebanding Medan dari metropolis terbesar
yaitu Singapura (kepadatan 7,.022 jiwa/km2) diikuti dengan konsentrasi di Kuala Lumpur,
Penang dan Putra Jaya (masing-masing 6.696; 1.451; dan 1.387 jiwa/km2). Telaah lebih
detail pada wilayah Riau dan Kepulauan Riau (Tabel 5) memberikan gambaran mengenai
ketidakselarasan dinamika ekonomik dan sosial di wilayah Selat.

Tabel 5. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka, Provinsi Riau dan Provinsi Kepri
Provinsi Kota/Kabupaten Penduduk Luas Kepadatan
Kabupaten/ Wilayah Penduduk
Kota Daratan (Jiwa/Km2)
(Km2)
Riau Kab. Rokan Hilir 475,011 8,941 53
Riau Kab. Kota Dumai 254,337 1,727.39 147
Riau Kab. Bengkalis 498,384 11,482 43
Riau Kab.Kep. Meranti 176,371 3,707.84 48
Riau Kab. Pelalawan 303,021 12,647.29 24
Kepulauan Kab. Bintan 142,382 59,850.00 2
Riau
Kepulauan Kab. Karimun 174,784 7,984.00 22
Riau
Kepulauan Kab. Kep. Anambas 37,493 634.40 59
Riau
Kepulauan Kab. Lingga 86,150 2,117.70 41
Riau
Kepulauan Kab. Natuna 69,319 3,420.00 20
Riau
Kepulauan Kota Batam 949,775 1,040.00 913
Riau
Kepulauan Kota Tanjung Pinang 192,493 239.50 804
Riau
Total 3,359,520 113,790.89 30
Sumber: BPS

Dengan luas seluruh wilayah daratan sekitar 25 juta hektar, pesisir timur Selat Malaka
termasuk kepulauannya mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi sebuah jejaring
rerantai sosial-ekologis yang bermartabat dan memenuhi syarat-syarat keselamatan
sosial dan kelestarian ekologis antar generasi. Apabila dipertimbangkan keadaan dengan
kepadatan penduduk rata-rata sekitar 1.000 jiwa/km2, dengan moda produksi-konsumsi
bahan dan energi yang mengacu pada metabolisme sosial setempat, perkiraan

52
konservatif SDE menunjukkan bahwa sabuk pesisir timur Sumatera akan dapat menjadi
wilayah yang layak bagi lebih dari 60-80 juta warga.

53
BAB 4. PETA KEPENTINGAN DAN GAGASAN PERUBAHAN
YANG BERPENGARUH PADA WILAYAH SEKITAR SELAT MALAKA

4.1 Gagasan Integrasi Ekonomi Asia (CADP dan SCO)


Sebagaimana dikemukakan secara garis besar di depan, agenda belajar PKM-SM
dipertimbangkan dalam konteks transformasi cepat dari proses-proses pengambilan
keputusan, pengaliran kapital serta bahan dan energi, praktek tata kelola pemerintahan/
pengurusan publik di wilayah Selat Malaka dan sekitarnya. Kajian awal ini meneliti dua
sumber pendorong utama dari perubahan cepat tersebut, yaitu rencana pembangunan
Asia komprehensif (CADP), serta Organisasi Kerja-sama Shanghai (SCO). Gambar 21
menunjukkan wilayah yang tercakup dalam agenda SCO dan CADP.SCO merupakan
inisiatif China, yang didominasi urusan energi. Sementara CADP, diinisiasi oleh Jepang dan
skenarionya adalah menyatukan seluruh Asia Tenggara dan dikenal sebagai "pabrik Asia",
Asia sebagai satu kompleks pabrik dan bagian dari kampanye lebih besar lagi dari WTO
yaitu "Made in the World".

Gambar 21. Lingkup Wilayah dalam Rencana CADP dan SCO

Gagasan Comprehensive Asia Development Plan (CADP)


Agenda pokok dari CADP adalah transformasi wilayah, khususnya wilayah negara anggota
ASEAN, untuk dijadikan sebagai ruang-ekonomi dan jejaring infrastruktur produksi dan
supply barang produk antara dan produk jadi yang melampaui batas-batas kedaulatan
politik masing-masing negara tersebut. Seluruh kerangka pertimbangan di balik rencana
raksasa tersebut berada dalam system diskursus/ bertutur rerantai ekonomik semata.
Basis institusional dari pelaksanaan rencana besar tersebut adalah Institut Riset Ekonomi

54
ASEAN dan Asia Timur (ERIA), bagian dari jejaring badan-badan resmi pemerintah/
pengurus publik Jepang, termasuk Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri,
Institut Ekonomi-Sedang-Berkembang (IDE), Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang
(JETRO), dan jejaring badan-badan multilateral seperti ADB dan WTO.

Dalam rentang tiga tahun (2007-2009), secara intensif, ERIA menyelesaikan tidak kurang
dari 36 proyek riset yang saling terkait sasarannya.Riset-riset tersebut juga sekaligus
merupakan serangkaian penyusunan rencana investasi dan skema pembiayaan jangka
menengah dalam kerangka-waktu umum 15 tahun. Bentang geografis dari CADP
mencakup India di barat daya dan Indonesia di tenggara, Vietnam, Kamboja dan Laos di
Utara, serta Malaysia dan Singapura di semenanjung Malaya.

Untuk mencapai tujuan yang digariskan, harus dilakukan investasi skala besar guna
membangun infrastruktur untuk aliran faktor produksi lintas wilayah dan lintas batas
negara. Transformasi spasial yang akan berlangsung sudah tentu akan mencakup interaksi
kompleksdari vektor-vektor dari dan ke ketiga rerantai. Dalam hal ini CADP hanya
mempunyai fokus tunggal dari penciptaan rejim produksi skala benua tersebut, dengan
asumsi yang sangat liberal mengenai vektor-vektor Red-Red (interaksi ekonomi dari
pelaku lokal dengan pelaku global di satu wilayah), Red-Blue/Blue-Red (kaitan ke depan
dan ke belakang dari kaitan antara rencana perluasan ekonomik dengan tingkat
pemenuhan syarat keselamatan dan keamanan manusia), dan Red-Green/Green-Red
(jejak ekologis dari perluasan ekonomik menurut rencana, dan potensi backlash dari
rerantai ekologis setempat pada kelangsungan proses-proses ekonomik setempat).

Gambar 22 menunjukkan potensi perubahan dramatis akibat pengembangan poros India-


Mekong, salah satu koridor rerantai pasokan bahan dan energi dalam rejim produksi Asia
yang baru. Untuk mencapai efek reduksi ongkos transportasi yang signifikan, aliran bahan
di antara sub-kontinen India bagian timur dengan wilayah produksi di sub-wilayah
Mekong Raya (Greater Mekong subregion) hendak dilancarkan lewat penciptaan jalur
pelayaran dan transportasi darat secara pintas, tidak melewati Selat Malaka. Bagaimana
konsekuensi dari pembangkitan arus perkapalan kargo skala besar ini pada pelayaran di
Selat Malaka dan Laut China Selatan? Di Sumatera dan perairan sekitarnya, bagaimana
Batam, Bintan dan Karimun akan harus melakukan antisipasi dari perubahan pola
perdagangan dan skema biaya transportasi di wilayah Selat Malaka, serta restrukturisasi
industri yang dilayani oleh Selat Malaka? Apakah Daerah Istimewa Aceh akan memetik
manfaat utama dari pergeseran ini? Bagaimana nasib dari terusan Tanah Genting Kra
dengan munculnya pola aliran perkapalan yang baru ini?

55
Sumber: ERIA (2008)
Gambar 22. Skema Umum Koridor Ekonomik Mekong-India

Sumber: ERIA (2008)


Gambar 23. Analisis ex-ante dari Penciptaan Infrastruktur Produksi Industrial Asia

Di lain pihak, untuk merealisasi penghematan tersebut, dibutuhkan pembangunan koridor


infrastruktur industri di Asia daratan, dari Myanmar sampai Vietnam, dengan nama sandi
Koridor Ekonomi Timur-Barat (EWEC). Bagaimana skema perubahan raksasa tersebut
akan mengubah rerantai kehidupan sosial dan rerantai sosial di Myanmar sampai
Vietnam?

56
Gambar 23 adalah representasi skematis dari proyeksi perubahan PDB di wilayah-wilayah
negara anggota ASEAN, 15 tahun setelah implementasi investasi pembangunan
infrastruktur koridor-koridor aliran faktor dalam CADP (2025). Bagan di atas menunjukkan
wilayah-wilayah yang justru diperkirakan mengalami penurunan PDB karena pergeseran
interaksi spasial sebagai akibat dari pola aglomerasi yang diperkuat.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pelajaran dari Eropa, di mana dinamika pada
skala geografis dan skala persoalan di luar cakupan model menyebabkan tidak
berjalannya rencana sesuai harapan, negara-negara anggota ASEAN sudah semestinya
secara sungguh-sungguh menyelesaikan pekerjaan rumahnya untuk mengembangkan
moda pengelolaan/ pengurusan perubahan sosial dan ekologis yang cerdas, bukan saja
lewat ekspansi ekonomi, apalagi ekspansi ekonomi eksternal, tetapi juga lewat
pemenuhan syarat-syarat keamanan manusia dan kelestarian ekologis jangka panjang
atau lebih dari 15 tahun ke depan.

Dalam perkembangan lain, Indonesia sendiri kemudian meluncurkan Master Plan


Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2012-2025. Pola pikir dan
kerangka desain MP3EI diperlihatkan dalam Gambar 24.Dalam perencanaan ini,
pengembangan kegiatan ekonomi difokuskan dalam 6 (enam) koridor sebagaimana
diperlihatkan dalam Gambar 25. Pembangunan infrastruktur dalam koridor MP3EI
membutuhkan dukungan dari sektor lain, antara lain penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, kebijakan Hak Guna Usaha, pengusahaan lahan, serta kesepakatan
publik di masing-masing wilayah yang termasuk dalam koridor. MP3EI merupakan hasil
dari skenario yang lebih besar yakni bagian dari 36 riset yang sangat strategis yang
dikembangkan oleh ERIA serta didukung penuh oleh pemerintah Jepang. Kalau kita mau
memperhitungkan setiap wilayah dalam tiap koridor, kita harus tahu persis strategi CADP
Indonesia seperti apa, juga mengetahui strategi negara lainya, terutama yang memiliki
posisi strategis terhadap Indonesia.

Untuk wilayah Selat Malaka, dari hasil kajian awal menunjukkan bahwa masalah utama di
sisi timur Sumatera, kepulauan di perairan pesisirnya, dan di semenanjung Malaya,
utamanya bukanlah soal efisiensi dalam ekonomi regional, tetapi tidak adanya rencana
pihak pemerintah/ pengurusan publik yang mampu mempertautkan investasi publik di
ketiga rerantai untuk memperkuat ketahanan dan kelengkapan infrastruktur sosial dan
keutuhan infrastruktur ekologis. Penting dicatat, yang dibutuhkan di sini bukanlah sebuah
koridor pengaliran sumber energi primer, khususnya batu-bara, yang membujur dari
Sumatera bagian utara sampai selatan, atau pembesaran perkebunan monokultur untuk
barang ekspor karet dan kelapa sawit.

57
Gambar 24. Kerangka Desain MP3EI

Gambar 25. Ke Enam Koridor Pengembangan Ekonomi dalam MP3EI

58
Gambar 25 adalah representasi skematis dari keenam koridor perluasan ekonomi untuk
Indonesia. Pertanyaan yang sama seperti yang kita ajukan untuk Selat Malaka, berlaku
pula untuk pulau Jawa bagian utara, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
dan Papua. Sebagai catatan penting, dari 22 aktivitas ekonomi dalam MP3EI, lebih dari
separuhnya tergolong kategori Dirty Industry berdasarkan pengklasifikasian World Bank,
dimana secara sistematis terjadi penurunan jumlahnya di negara maju dan pada saat yang
bersamaan terjadi peningkatan di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Shanghai Cooperation Organization (SCO)


Melihat cakupan geografisnya, Organisasi Kerja-sama Shanghai (SCO) lebih mirip sebuah
pakta, seperti pendahulunya pakta Warsawa, dalam konteks pasca Perang
Dingin.Penelaahan lebih detail menunjukkan bahwa China—bukan Rusia—memegang
peranan sentral dalam pencetusan gagasan dan strategi penguatannya. Dalam satu
dekade terakhir prakarsa SCO melakukan serangkaian proses belajar sistematis untuk
merajut kohesi sosial di Asia daratan. Konteks politik makro dari bangkitnya SCO adalah
cerai berainya negara negara di bekas wilayah Uni Soviet, menguatnya ekonomi Rusia
terutama dengan cadangan sumber energi primernya, dan kebutuhan China untuk
berkoalisi. Meskipun pada saat ini SCO belum masuk ke rencana-rencana investasi
infrastruktur skala besar, prospek perkembangan tersebut cepat atau lambat akan
menjadi pendamping, pesaing, atau rerantai terpadu dengan apa yang dirintis lewat CADP.

Peran kunci China dalam seluruh proses kebangkitan SCO menaruh cerita CADP dalam
konteks yang lebih luas. Kedua prakarsa tersebut menunjukkan bahwa pendorong utama
dari peningkatan proses produksi-konsumsi bahan dan energi di sebuah wilayah negara
sedang bergeser konteksnya: dari upaya pemenuhan syarat keamanan manusia dan
kestabilan sosial setempat, menjadi spesialisasi dalam hirarki proses produksi barang
industrial berskala ruang global yang lebih besar.

Gambar 26. Logo SCO (kiri) dan Cakupan Geografis SCO (kanan)

59
4.2 Tinjauan Koridor Ekonomi Sumatera bagian timur dan Jawa bagian barat laut dalam
MP3EI
Proses perubahan di wilayah Selat Malaka dalam 15 tahun ke depan akan bergantung
pada tingkat realisasi rencana-rencana ambisius untuk penyatuan wilayah-wilayah politik
di Asia Tenggara di bawah agenda tunggal penyiapan sisi produksi barang dan rerantai
supply skala benua. Di bawah bayang-bayang rencana integrasi Asia tersebut, wilayah sisi
barat Selat Malaka pada saat ini tengah diskenariokan dengan rencana penyiapan
infrastruktur untuk koridor ekonomi Sumatera (dan Jawa bagian barat laut) sebagai
bagian dari MP3EI. Di bawah skenario MP3EI, koridor ekonomi Sumatera memiliki tema
“Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”. Secara
geostrategis, Sumatera diharapkan menjadi “Gerbang ekonomi nasional ke pasar Eropa,
Afrika, Asia Selatan, Asia Timur serta Australia. Secara diagramatis, rencana inisiatif
ekonomi koridor Sumatera diperlihatkan dalam Gambar 27.

Gambar 27. Inisiatif Strategis Koridor Ekonomi Sumatera

Penjajakan melalui kajian awal telah mendapatkan peta kasar dari pendorong-pendorong
utama di ketiga negara pesisir Selat Malaka, dengan potensi interaksi antar ketiga rerantai
perubahan. Di luar dimensi politik tapal batas dan kompetisi dalam rerantai ekonomik
antar ketiga negara, Malaysia dan Singapura berada lebih di depan dibanding Indonesia,
dalam gagasan, ketentuan politik, dan investasi untuk menjawab berbagai ancaman dan
resiko di wilayah perairan dan daratan pesisir Selat Malaka. Survei pendahuluan ke

60
Institut Maritim Malaysia (MIMA) dan ke Dewan Lingkungan Hidup Singapura juga
mendapatkan kesediaan dan keterbukaan di kedua negara untuk merintis moda
kolaborasi riset dan belajar dalam pengelolaan perubahan di wilayah Selat. Dengan
demikian berbagai masalah yang muncul karena berbagai faktor, dalam pengembangan
fasilitas ekonomi khususnya yang berlangsung untuk kepentingan Singapura, seperti
pengambilan pasir dan tanah urug dari kepulauan Riau, belum adanya rantai pemindaian
pembuangan limbah ke perairan Selat, dan sebagainya, dapat dibahas secara terbuka
sebagai agenda bersama.

Di lain pihak, dorongan pembesaran nilai untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam
soal infrastruktur wilayah, termasuk wilayah pesisir timur Sumatera, juga telah menjadi
obyek bagi pembesaran sirkulasi keuangan dan ekstraksi bahan mentah serta sumber
energi primer untuk kepentingan outsourcing negara-negara industri Asia. Rencana
"enam koridor pembangunan ekonomi" yang telah mulai diluncurkan merupakan sebuah
contoh dari ketergesa-gesaan tersebut.

Penyiapan Sumatera sisi timur sebagai poros "industri kotor" atau "industri dengan
kandungan karbon tinggi", perlu mendapat perhatian mengingat Pemerintah/ pengurus
negara RI telah memberikan janji pada angka penurunan emisi GRK sebesar 26% pada
2020. Rencana investasi pembangunan kompleks industri ekspor bahan mentah dan
setengah jadi, termasuk konstruksi jejaring prasarana transportasi darat lewat rel untuk
poros Medan-Palembang, harus melihat kembali vektor ekonomik jangka panjangnya,
serta jejak sosial dan jejak ekologinya. Investasi infrastruktur fisik dalam rencana koridor
Sumatera hendak dikaitkan sepenuhnya dengan ekstraksi batu-bara, khususnya untuk
menekan ongkos angkutan bagi batu-bara kalor rendah yang emisi karbonnya paling
tinggi, dari lubang tambang di wilayah pedalaman ke pelabuhan di pesisir.

61
Gambar 28. Logika Maksimisasi Nilai Rente Batu-bara Di Balik Rencana Investasi
Infrastruktur Perangkutan di Koridor Pembangunan Ekonomi nomor I, Sumatera Timur
dan Jawa Barat-Laut

Pengkajian lebih detail juga harus secepatnya dilakukan atas fokus pada kelapa sawit dan
karet, dalam koridor tersebut.Keduanya telah menjadi obyek identifikasi atas jejak ekologi
dan sosialnya sebagai moda industri monokultur. Krisis di rangkaian estuari besar dan
kecil di sepanjang pesisir timur Sumatera, yang mengecilkan kemungkinan
pengembangan lahan pertanian pangan jangka panjang, harus dipertimbangkan dan
diperhitungkan dalam keseluruhan perencanaan. Demikian pula, kedudukan dari jejaring
pusat-pusat permukiman lokal perdesaan, yang akan mengalami krisis sebagai akibat dari
konsentrasi penguasaan ruang/tanah berskala raksasa/ gergasi di sepanjang pesisir timur.
Sebagai catatan, di depan telah disinggung bahwa dengan sebuah moda transformasi
wilayah yang cerdas, wilayah yang diperlakukan sebagai koridor ekstraksi tersebut
berpotensi menjadi rumah yang layak bagi lebih dari 60 juta warga Indonesia di masa
depan. Saat ini sebenarnya sudah ada produk hukum yang dinamakan Rencana Tata
Ruang Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera yang dalam proses Perpres, serta
Rencana Tata Ruang Wilayah Perbatasan. Suatu agenda belajar bersama yang melibatkan
banyak pihak dan aktor, memungkinkan untuk terjadinya pengawasan yang efektif pada
implementasi produk rencana tata ruang tersebut.

4.3 Prospek Transformasi Ketiga Rerantai Pada Lokus Kajian


Dari pembahasan sebelumnya khususnya rencana-rencana regional maupun nasional
dalam konteks perluasan ekonomi, maka didapati adanya zona-zona pengaruh yang bisa

62
memberikan dampak baik positif maupun negatif pada aspek sosial dan ekologi.
Setidaknya untuk wilayah pesisir timur Sumatera khususnya Provinsi Riau akan didapati
zona pengaruh perluasan industri ekstraktif. Sementara di wilayah Kepulauan Riau bagian
barat, didapati zona pengaruh akibat perkembangan Singapura dan Johor serta
meningkatnya lalu lintas kapal di Selat.Sedangkan wilayah kepulauan Riau sebelah timur
termasuk zona pinggiran Selat Malaka.Pengaruh ke tiga zona diperlihatkan dalam Gambar
29.Pada Gambar 29 diperlihatkan juga hasil analisis spasial dalam kajian awal untuk
pesisir Provinsi Riau dan Kepulauan Riau bagian barat. Agenda belajar PKM-SM
diharapkan dapat merespon corak dari dinamika perubahan di ketiga zona yang ada. Dari
Gambar 29 tersebut, selanjutnya dilakukan pembagian wilayah ke dalam gugus-gugus
wilayah kelola kolaboratif berupa klaster 1 sampai dengan klAster 3 sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 30.

Gambar 29. Zonasi Ruang-Waktu Kepaulauan Riau dan Pesisir Timur Riau Menurut Warna
Perubahan dalam Analisis RGB

Gambar 30. Zonasi Ruang-Waktu Kepulauan Riau dan Pesisir Riau Menurut Kedekatan pada
Sumber Pendorong Perubahan

63
Pada ketiga zona itulah kemudian dirumuskan program dan sistem atau prinsip belajar
yang meliputi berbagai aspek pertimbangan, baik yang bersifat ilmiah maupun bersifat
politik pemerintahan. Dalam banyak kasus, aspek politik terkait otonomi daerah justru
terkadang lebih dominan dibanding aspek lainnya. Dalam banyak kasus, apabila diurutkan
berbagai permasalahan, barangkali masalah di rerantai hijau selalu nomor satu atau dua,
namun dalam penganggarannya selalu nomor satu atau dua dari bawah. Untuk itulah
dalam penentuan program dan mekanisme belajar bersama ini perlu kerjasama lintas
daerah melampaui batas administratif agar dicapai efisiensi sumberdaya.

Berdasarkan karakter masing-masing program, seluruh prakarsa PKM-SM dalam suatu


rencana yang lebih lengkap dan komprehensif nantinya dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa kelompok agenda atau program. Tabel 6 memberikan gambaran skematis
tentang prinsip sederhana dari pengelolaan proses belajar.

Dari karakter masing-masing program, seluruh prakarsa PKM-SM dapat dikelompokkan ke


dalam tiga kelompok agenda atau program. Program pertama disebut sebagai program
Alpha, yang akan menjadi semacam public interface bagi berbagai pihak peserta belajar,
khususnya dalam perintisan moda energetika belajar jangka pendek dan menengah.

Tabel 6. Gambaran Skematis Prospek Vektor RR-RB-RG bagi Wilayah Kelola Publik
Picu Perubahan Oleh Picu Perubahan Oleh Picu Perubahan Oleh Picu Perubahan
Adanya Investasi Adanya Perluasan Absennya Rencana Oleh Adanya
Industri Ekstraktif Lanjut & Relokasi Pengelolaan Rencana
dan Infrastruktur Industri Manufaktur Perubahan RGB Pengelolaan
Koridor Sumatera Padat Bahan/Energi Komprehensif Perubahan RGB
MP3EI dari Singapura (a) Komprehensif
dan Malaysia (b)
vRRgl/ vRB/ vRG/v vRRgl/ vRB/ vRG/v vRRgl/ vRB/ vRG/v vRRgl/ vRB/v vRG/
VRRlg
vBR GR VRRlg
vBR GR VRRlg
vBR GR VRRlg BR
vGR
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2

Cluster Pulau-
Pulau Pesisir
Propinsi Riau
Cluster Pulau-
Pulau Garis-
Depan
Perbatasan
B+B+K+
Cluster Pulau-
Pulau Lingga-
Singkep dan
Sekitarnya
Skala vektor: 1: Dapat diabaikan; 2: Kecil; 3: Berdampak nyata; 4: Berdampak Dominan; 5: Transformatif

64
Hasil akhir dari kajian awal adalah untuk menyiapkan apa yang akan dikembangkan
bersama termasuk siapa partisipannya. Saat ini secara umum banyak terjadi diskrepansi
antara sistem aturan hukum internasional dan nasional, kemudian “tabrakan”
kepentingan antara KEK Batan-Bintan-Karimun dengan RTRD misalnya. Untuk itu maka
harus segera dimulai proses belajar dengan mengacu pada beberapa penelitian strategis
pada tingkat global misalnya GESAMP (joint Group of Experts on the Scientific Aspects of
Marine environmental Protection, 1969 & 2001) atau SOLAS(b) International Convention
for the Safety of Life at Sea, 1974).

Dengan memisahkan domain spasial kedalam kategori sink dan source berdasarkan
fungsinya, kita bisa menautkan hubungan antara laut-darat-udara seperti yang terlihat
pada Gambar 31a. Sementara dalam Gambar 31b tanda lingkaran di dalam kotak
menunjukan bahwa selama ini pendekatan itulah yang difokuskan untuk dikelola yakni
hanya dari sisi rerantai ekonomik. Padahal, sebenarnya akan banyak sekali
keuntungannya kalau dapat melihatnya lebih utuh dan menyeluruh seperti pada Gambar
31a.

Gambar 31a. Vektor-Vektor Interaksi Laut-Darat-Udara di Wilayah Selat Malaka

65
Gambar 31b. Vektor-Vektor dan Fokus Rerantai Yang Dikelola Selama Ini

Naiknya produksi dan konsumsi bahan dan energi––seperti yang tertulis pada baris kode
merah––di laut-darat-udara akan membawa jejak sosial-ekologis. Selanjutnya
diperlihatkan hasil perhitungan dengan vectoring dan keluar dengan titik-titik yang paling
penting untuk dikembangkan lebih dulu di wilayah PKM-SM. Model ini bisa menjadi alat
bagi Pemda untuk mengelola pemerintahan bahkan dengan interface yang jauh lebih
canggih. Matriks dalam Gambar 31a dan 31b juga memungkinkan sebuah pemindaian
cepat pada berbagai wilayah administrasi pemerintahan/ daerah-daerah pengurusan
publik, untuk memprediksi jejak sosial-ekologis dari faktor-faktor pendorong perubahan
dan menggunakannya sebagai panduan dalam pengambilan keputusan. Bila dilakukan
dalam misalnya seluruh Pulau Sumatera seperti pada Gambar 32, pengelolaan secara
utuh satu pulau bisa dimulai dari visi akan fokus kebutuhan yang sama setelah
pemindaian menggunakan matriks interaksi ketiga rerantai pada tiga matra di atas.

Gambar 32. Pembaruan dan Inovasi Pengurusan Publik Lewat Moda Belajar-Bersama Antar
Wilayah Pengurusan Publik Di Selat Malaka dan Sekitarnya

66
BAB 5. AGENDA BELAJAR PKM-SM
DAN KNOWLEDGE-BASED SOCIETY (KBS)

5.1 Perlunya Agenda Belajar PKM-SM Dalam Konteks KBS


Dalam konteks roda pemerintahan di Propinsi Kepulauan Riau yang berjalan saat ini, dan
khususnya di pulau-pulau Batam, Bintan dan Karimun, beban tanggung-jawab terbesar
bagi institusi-institusi/ kesatuan-kesatuan pengurus publik di wilayah ini adalah desakan
dari berbagai pihak untuk mendorong ekspansi ekonomi dalam berbagai bentuk dan
warnanya. Meskipun secara normatif, aparat pemerintah harus selalu bekerja by the book,
artinya taat pada seluruh hirarki peraturan perundang-undangan, akan tetapi di tengah
tumpang-tindih kewenangan, fragmentasi kebijakan antar sektor dan antar jenjang
peraturan dan perundang-undangan, ketertiban seringkali tidak berarti banyak. Untuk
wilayah administrasi pemerintahan/ wilayah-kelola-publik yang tepat berada di wilayah
perbatasan yang sangat terbuka sifatnya, dimensi ekonomi-abu-abu bahkan ekonomi-
hitam juga merupakan realitas yang sulit sekali diatasi, apalagi dihilangkan.

Sementara itu, tekanan dan tawaran untuk berbagai macam investasi, seringkali sangat
menantang dan bahkan relevan bagi wilayah yang bersangkutan. Hasil rangkaian
wawancara dengan pihak Badan Pengusahaan Batam sejak tahun lalu juga menunjukkan
bahwa dualisme wewenang seperti yang disinggung di depan, bukan saja merupakan
masalah koordinasi antar institusi, tetapi bahkan telah menciptakan masalah-masalah
baru yang bersumber pada kebutuhan pembangkitan revenue bagi aparat pemerintah/
apparatus pengurus publik provinsi, kabupaten dan kota. Salah satu contoh masalah yang
sangat nyata adalah penciptaan pasar lahan untuk perluasan industri properti di pulau-
pulau tersebut dan wilayah sekitarnya. Demikian pula berkembang berbagai instrumen
dan mekanisme regulasi yang berpotensi menciptakan rente baru dan oleh karenanya
justru menyulitkan proses belajar untuk mengurus wilayah yang lebih luas, seperti yang
diharapkan oleh agenda PKM-SM.

Masalah lain yang bersifat sentral dalam PKM-SM adalah linkage diantara proses
perubahan di wilayah Kepulauan Riau dengan stagnasi sosial dan ekonomi di sepanjang
pesisir timur Sumatera khususnya di lokasi-lokasi yang menjadi konsentrasi dari industri
ekstraktif dan perkebunan monokultur skala besar. Tanpa adanya prakarsa terobosan dari
instansi pemerintahan/ pengurusan publik di ketiga pulau tersebut, terutama di Batam,
maka perubahan yang bersifat substansial sulit diharapkan terjadi.

Dalam konteks PKM-SM, pemerintahan/ pengurus publik di wilayah Batam, Bintan,


Karimun sangat diharapkan untuk dapat melihat lebih jauh mengenai peran kuncinya
dalam mengatasi kemiskinan dan kemandegan proses sosial serta kerusakan ekologis di
tepi timur Sumatera sebagai bagian yang seharusnya memacu inovasi dalam moda

67
ekspansi ekonomik serta tata kelola pemerintahan/ moda pengurusan publik dari masing-
masing satuan administratif di ketiga wilayah tersebut.

Melalui sebuah proses belajar yang sistematis dan kontinyu, partisipasan belajar
khususnya satuan-satuan aparat pemerintah setempat akan dapat berlatih mengelola
berbagai macam moda investasi dengan sekaligus melakukan praktek pengambilan
keputusan yang cerdas beserta pengembangan aturan-aturan baru yang inovatif. Seiring
dengan bergesernya paradigma technology based economy (TBE) menjadi knowledge
based economy (KBE) maka keterlibatan dan peran masyarakat menjadi penting dalam
rangka membentuk knowledge based society (KBS). Bagi masyarakat dan warga
Kepulauan Riau yang secara geografis dekat dengan dan berada dalam zona pengaruh
Singapura serta Johor, maka perintisan menuju KBS adalah keniscayaan mengingat kedua
wilayah lainnya tersebut sudah bergerak ke arah KBE.

Pemindaian pada saat riset awal ini berjalan menyarankan bahwa dengan jejaring institusi
institusi publik, institusi pendidikan tinggi dan institusi riset di wilayah Selat Malaka,
proses belajar tersebut sesungguhnya dapat dilakukan. Sebagai suatu cita-cita jangka
panjang, mewujudnya KBS yang dirintis oleh agenda belajar PKM-SM perlu ditopang
setidaknya oleh 4 (empat) pilar, yaitu; (1) Sistem Pendidikan, yang menjamin masyarakat
dapat memanfaatkan iptek secara luas, (2) Sistem Inovasi, yang mampu membawa
peneliti dan kalangan bisnis menerapkan secara komersial hasil riset dan teknologi
maupun pertukaran informasi iptek diantara jejaring, (3) Insfrastruktur masyarakat
informasi, yang menjamin masyarakat dapat melakukan akses secara efektif terhadap
informasi dan komunikasi, (4) Kerangka kelembagaan dan ekonomi, yang menjamin
kemantapan lingkungan makroekonomi, persaingan, lapangan kerja dan keamanan sosial
ekologi. Dalam Pola pikir KBS, fokus utama adalah menjadi kompetitif secara global, area
utama adalah berbasis komunitas, sedangkan peran pemerintah adalah menjadi
integrator.Untuk itu dalam konteks perintisan PKM-SM perlu diawali dengan penyusunan
sejumlah program dan konsep mekanisme institusionalnya.

5.2 Program PKM-SM dan Learning Management Unit (LMU)


Salah satu bentuk inovasi dalam pemerintahan daerah/ pengurusan publik setempat,
maka pada tahap awal dari proses belajar PKM-SM adalah merintis pembentukan
beberapa satuan tugas (task force) yang anggotanya berasal dari unit-unit kerja instansi/
gugus-gugus pengurusan di seluruh wilayah. Perlu diantisipasi kemungkinan tidak
efektifnya gugus tugas ini seperti sering terjadinya mutasi pegawai atau orang yang
bertugas sering tidak berani mengambil keputusan karena harus menunggu instruksi
atasannya.Untuk menghindari efek ketidakberdayaan dari gugus tugas tersebut
diperlukan sebuah terobosan untuk menghasilkan peta kesamaan tugas pokok dan fungsi
dari berbagai institusi yang selama ini kurang dalam berkoordinasi guna memberikan
landasan dan pembenaran tindakan bagi gugus tugas.

68
Sebagai contoh sebuah gugus tugas dapat dibentuk untuk melakukan pemetaan investasi
dari berbagai sektor ekonomi, menurut klasifikasi jenis industri yang umum dipakai
sebagai acuan. Dengan metoda GESER dan dengan menggunakan berbagai instrumen
pemindaian lanjut, seperti klasifikasi fungsi pemerintahan (COFOG), Matriks Pengurusan
Sosial-Ekologis (SEAM) dan modul-modul analisis lain yang lebih lazim, gugus tugas yang
bersangkutan akan dapat memberikan masukan yang jauh lebih tepat mengenai apa yang
harus dilakukan oleh unit-unit kerja instansi di wilayah tersebut, untuk meningkatkan
kinerja pengelolaan wilayah pulau dan perairan dibawah tanggung jawabnya masing-
masing.

5.3. Prinsip dan Pedoman bagi Unit Pemerintahan/ Pengurus Publik dalam berbagai
Agenda Ekonomik di Wilayah Selat Malaka (II): Menuju Sebuah Regulasi
Keamanan dan Keselamatan Manusia/Sosial dan Keutuhan Ekologis Untuk
Seluruh Wilayah Selat Malaka

Pada tanggal 27 Desember 2010 Malaysia meratifikasi International Convention on the


Control of Harmful Anti-Fouling System on Ships. Dua bulan sebelumnya, Malaysia juga
meratifikasi International Convention for the Control and Management of Ship's Ballast
Water and Sediments. Kedua konvensi tersebut merupakan contoh dari protokol
pengelolaan/ pengurusan produksi-konsumsi bahan dan energi yang bersifat vital dan
genting bagi keselamatan manusia dan alam. Dengan skala perairan pesisir, jumlah teluk
dan selat serta jumlah bandar-laut di Indonesia yang jauh lebih besar dari Malaysia,
Indonesia pada saat buku ini ditulis belum meratifikasi kedua konvensi internasional
tersebut. Di samping keduanya tentu banyak lagi instrumen regulasi internasional yang
mendesak bagi pemerintahan/ pengurus negara Republik Indonesia untuk meratifikasinya.

Ilustrasi di atas menunjukkan sebuah contoh lain yang menyarankan dibutuhkannya


model-model terobosan atau inovasi dalam pemerintahan/ pengurusan publik agar
proses belajar dapat berlangsung lebih hemat ‘energi’ dan lebih cepat. Dalam hal ini
syarat keselamatan dan keamanan manusia di masing-masing wilayah kelola, termasuk
didalamnya indikator-indikator kesehatan masyarakat yang dapat dipantau bersama, bisa
menghasilkan moda regulasi beserta instrumen regulasinya yang dapat mendorong
pembaruan proses produksi-konsumsi di wilayah kelola khususnya yang bersifat industrial.

Riset awal ini juga berkonsultasi dengan beberapa riset yang menemukan berbagai
bentuk perubahan ekologis dan perubahan pada rerantai sosial di wilayah perairan Selat
Malaka, termasuk riset UNEP mengenai hotspot pencemaran di Asia Tenggara, rangkaian
riset dari MIMA, riset tentang penambangan pasir dari BPPT. Disamping itu, riset juga
telah memetakan berbagai instrumen regulasi internasional yang dapat memberikan
inspirasi mengenai tahapan belajar seperti apa yang harus dilalui oleh kesatuan-kesatuan

69
publik di ketiga pulau. Mendesak untuk membentuk sebuah learning management unit di
lingkungan Badan Pengusahaan Batam dengan awak yang yang masih memiliki waktu
luang untuk mengurus proses belajar bersama

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam pembangunan di wilayah Selat Malaka
yang berkelanjutan serta proses pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan
sebagai wujud KBS maka diperlukan sejumlah program awal. Secara garis besar,
berdasarkan riset-riset terdahulu maupun hasil survei terkini, maka sejumlah program
dalam rangka PKM-SM dijabarkan sebagai berikut;

Program Alpha: Pengembangan aturan dan kebijakan/ protokol lintas sektor dan institusi
termasuk dalam penyelarasan infrastruktur sosial-ekologis daratan dan perairan pesisir
serta kepulauan di wilayah Selat Malaka. Mengingat kompleksnya hubungan yang
multidimensi di antara proses ekonomik-sosial-ekologis di daratan dan di perairan Selat
Malaka maka perlu dilaksanakan proses belajar yang dapat menekan dan mendorong bagi
diterapkannya protokol-protokol khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang
berkelanjutan, disesuaikan dengan segenap kemampuan daerah yang ada. Program ini
terbagi dalam 2 (dua) tema yakni, peningkatan kemampuan dalam pengelolaan
perubahan di wilayah dan pengembangan jejaring insfrastruktur sosial-ekologi wilayah.

Gambar 33. PKM-SM Program Alpha

Program Beta: Pendirian dan operasionalisasi sebuah pusat belajar institusional atau
Learning Management Unit (LMU) dalam kaitannya untuk mendukung pengelolaan dan
pengambilan keputusan persoalan kemaritiman dalam jangka panjang. Program ini
bertujuan menghimpun, memproduksi dan mendiseminasi serta saling tukar informasi,
pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan berbagai perubahan baik di rerantai
proses ekonomik, sosial dan ekologis yang bersifat multidimensi dan skala yang beragam.
Program ini dapat diwujudkan dalam jangka pendek.

70
Gambar 34. PKM-SM Program Beta

Program Gamma: Pengembangan agenda kegiatan riset, pengkajian dan pelatihan dalam
pengelolaan masalah maritim jangka panjang. Dalam program gamma ini dikembangkan
berbagai “software” (dalam arti luas) terkait pengembangan LMU pada program beta di
atas.Dalam program ini dikembangkan berbagai bidang pengetahuan yang menyangkut
domain maritim dan rerantai ekonomik-sosial-ekologis yang terkait. Dalam pelaksanaan
program PKM-SM tahap awal, fokus kegiatan dari program ini akan ditujukan pada
perintisan kesepakatan luas dari berbagai lembaga riset dan pendidikan baik di dalam dan
di luar negeri serta pengembangan beberapa regu-kerja (working group). (Tabel 7, 8 dan
9) menunjukkan rencana kerja PKM-SM, sesuai dengan proses pengkajian menjelang riset
awal yang baru lalu.

Gambar 35. PKM-SM Program Gamma

Program kedua, program Beta, mencakup pendirian dan pengoperasian sebuah Pusat
Belajar Institusional yang akan menjadi dapur dari sebuah sistem dan mekanisme belajar
yang melibatkan peserta belajar dengan latar belakang yang sangat berbeda-beda.
Program ketiga, program Gamma, merupakan pasangan dari program Beta, sebagai
sistem pengelolaan living software bagi proses belajar menerus jangka panjang. Ia
mencakup konseptualisasi, perancangan, dan perintisan sebuah basis pengetahuan dan

71
kecakapan serta protokol pengurusan kolaboratif pada berbagai skala penerapan dan
insitusi, yang akan dapat diakses oleh kesatuan-kesatuan sosial lokal serta kesatuan-
kesatuan pengurus publik di seluruh Indonesia yang harus cakap mengurus dinamika
perubahan di bentang pesisir dan laut. Untuk menjamin kendali mutu serta kesahihan
data dan meta-data sebagai basis dari pengetahuan dan kecakapan lanjut dalam
pengurusan ketiga rerantai dalam konteks maritim, dirancang berfungsinya tiga regu-
kerja atau working group, yaitu regu-kerja I dengan fungsi "riset dan bagi pengetahuan";
regu-kerja II dengan fungsi "perintisan pengembangan sistem-sistem pendukung"; dan
regu-kerja III dengan fungsi "pengembangan moda kolaborasi antar partisipan belajar.

Tabel 7. Rancangan Kelompok Program Belajar dalam Prakarsa PKM-SM

Sumber: SDE, LMU PKM-SM (2011)

Tabel 8. Garis-Besar Rancangan dalam Prakarsa PKM-SM

72
Sumber: SDE, LMU PKM-SM (2011)

Tabel 7 menunjukkan rencana penahapan pelaksanaan ketiga kelompok program


tersebut di atas.Kajian potensi kolaborasi dengan berbagai badan pengelolaan publik
selama riset awal berlangsung memberikan gambaran bahwa langkah lanjut dari PKM-SM
secara keseluruhan dapat berjalan.Saat ini telah didapatkan informasi lebih rinci
mengenai rencana-rencana perluasan rerantai ekonomik untuk wilayah pesisir timur
Sumatera dan kepulauan Riau.Masukan dari berbagai pihak dan informasi dari berbagai
sumber lainnya telah menajamkan peletakan urutan prioritas bagi mata-program dalam
ketiga kelompok program tersebut di atas.

73
Tabel 9. Rencana Tindak Lanjut Program Belajar PKM-SM dalam Jangka Pendek

Sumber: SDE, LMU PKM-SM (2011)

Pelaksanaan kajian awal telah memperkaya peta pelaku pengelolaan publik dan pelaku
perubahan di wilayah Selat Malaka. Selanjutnya harus terus dikaji potensi dari berbagai
badan riset dan cabang pengelola publik serta badan pendidikan di wilayah Selat Malaka,
Asia, dan wilayah lain, untuk memastikan bahwa dalam langkah belajar selanjutnya, bisa
dilakukan pertukaran pengetahuan dan pengalaman praktek social maupun praktek
institusional pengelolaan publik yang seintensif mungkin.

Institut Maritim Malaysia juga menawarkan sebuah kolaborasi untuk mengisi sebuah side-
event. Begitu pula, pada saat ini LMU PKM-SM tengah mengkaji berbagai prakarsa dalam
dua dekade terakhir yang telah diluncurkan oleh berbagai pihak di Singapura, Malaysia,
dan badan-badan riset PBB yang berbasis di Asia.

Kesuksesan pelaksanaan ke 3 program di atas akan sangat bergantung pada pola dan
metode komunikasi, apalagi posisi geografis wilayah yang tersebar dalam pulau-pulau
akan berbeda tantangannya dengan wilayah kontinen. Program pembentukan LMU
sebagai pusat belajar bersama dengan key enabler adalah komunikasi, maka menjadi
penting untuk meningkatkan aksesabilitas dengan cara membangun infrastruktur
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Pendirian LMU yang berbasis TIK harus

74
diletakkan dalam kerangka strategis e-development sebagaimana ditampilkan dalam
Gambar 36. Suatu e-development juga memerlukan prasyarat penerapane-society, e-
business yang ditunjang oleh e-leadership sebagai sentral kebijakan.

3
E-Government

1
5
e-Leadership, 4
E-Business Kebijakan & e-Society
Kelembagaan

2 Infrastruktur Knowledge
Management Terpadu
Gambar 36. Kerangka Strategis Pelaksanaan LMU

Program beta dan program gamma akan sangat terkait erat, mengingat LMU akan
menjadi dapur dari sebuah sistem dan mekanisme belajar yang melibatkan peserta
belajar dengan latar belakang yang sangat berbeda-beda.

Gambar 37. Jejaring Informasi dan Komunikasi LMU dan Partisipan Belajar

Program gamma akan menjadi sistem pengelolaan living software bagi proses belajar
menerus jangka panjang mencakup konseptualisasi, perancangan, dan perintisan sebuah
basis pengetahuan dan keahlian serta aturan pengelolaan kolaboratif pada berbagai skala
penerapan dan insitusi, yang akan dapat diakses oleh organisasi-organisasi sosial lokal
serta instansi-instansi pemerintahan di seluruh Indonesia yang harus terampil mengelola
dinamika perubahan di bentang pesisir dan laut.

75
5.4 Knowledge Management dan Mekanisme Berbagi Pengetahuan
Dengan memahami penting dan mendesaknya penyusunan agenda belajar bersama
sebagai inti kegiatan PKM- SM, maka harus disadari perlunya pengelolaan pengetahuan di
dalam proses-proses selanjutnya dalam operasionalisasi unit belajar ini. Perlu disadari,
PKM-SM sebagai sebuah sistem yang terorganisir hanya akan terus dirasakan
eksistensinya bila didukung oleh knowledge creation process, atau di dalamnya terus
melakukan proses produksi pengetahuan serta melakukan knowledge management (KM)
dalam bentuk sistem pengelolaan pengetahuan untuk keberlanjutan organisasi.

Proses produksi atau kreasi pengetahuan merupakan serangkaian proses mulai dari
memungut fakta dari alam kemudian diolah menjadi data. Data yang diolah dan dianalisis
akan menjadi bentuk informasi. Informasi akan diserap oleh otak manusia menjadi
pengetahuan (knowledge) yang dibedakan atas tacit knowledge (tersembunyi dalam otak
yang “sulit” ditransfer ke orang lain) dan explicit knowledge (berwujud nyata seperti
rumus, gambar, tulisan dan lain sebagainya). Walaupun sulit, tacit knowledge dapat
ditransfer ke orang lain dalam bentuk tacit juga melalui proses sosialisasi. Selanjutnya
bentuk tacit dapat menjadi ekspisit melalui proses eksternalisasi (Nonaka dan Takeuchi,
1995).

Gambar 38. Proses Produksi/Kreasi Pengetahuan

Dalam konteks PKM-SM maka organisasi ini perlu terus menggali berbagai pengetahuan
tidak saja dari kelompok centre of excellent seperti universitas dan lembaga riset namun
juga saling berbagi dan memproduksi pengetahuan yang datangnya dari komunitas
seperti dalam bentuk local wisdom. Proses produksi dan kreasi pengetahuan oleh Nonaka
dan Takeuchi diilustrasikan pada Gambar 38.

Selain melakukan proses produksi pengetahuan, maka pusat belajar institusional dalam

76
PKM-SM juga perlu melaksanakan KM. Pengelolaan pengetahuan terdiri atas berbagai
strategi dan praktek yang digunakan dalam sebuah organisasi untuk mengidentifikasi,
menciptakan, menghadirkan, mendistribusikan dan mengadopsi wawasan dan
pengalaman. Wawasan dan pengalaman tersebut terdiri atas pengetahuan baik yang
terdapat dalam otak manusia maupun praktek keseharian organisasi.KM pada umumnya
telah dilakukan secara baik oleh perusahaan-perusahaan besar karena memang mereka
sangat memerlukan dalam kaitan eksistensi dan serapan pasar produknya. Alasan lain
adalah, perusahaan-perusahaan tersebut memang membentuk khusus divisi yang
menangani KM dan tentu dengan segala konsekuensi pembiayaannya. Namun
sesungguhnya KM adalah proses yang sudah seharusnya dilakukan juga di organisasi
manapun baik pemerintah atau organisasi masyarakat lainnya dengan bentuk yang
disesuaikan.

Pusat belajar institusional PKM-SM dalam wujud LMU perlu melakukan KM agarorganisasi
ini tetap mampu mengelola perubahan dan memberikan masukan yang cerdas dan tepat
khususnya dalam dinamika rerantai ekonomi-sosial-ekologi di Selat Malaka. Secara
diagramatis proses KM dalam agenda PKM-SM disampaikan dalam Gambar 39.

Gambar 39. Siklus KM Mendukung Fungsi PKM-SM Center

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kunci utama berjalannya knowledge sharing
process dalam PKM-SM adalah dengan meningkatkan infrastruktur TIK serta dukungan
administratif lainnya dari instansi pemerintah. Sering disalahpahami bahwa KM adalah TIK
itu sendiri, padahal TIK adalah tools untuk memperlancar dan mengefektifkan KM. Disini
menjadi penting bagaimana sebaiknya pusat belajar institusional PKM-SM disajikan dan
bagaimana mekanisme kerjanya.

Sebagai mitra kajian, telah disebutkan sebelumnya bahwa PKM-SM akan diawali berada
di Badan Pengusahaan Batam atau di Politeknik Batam yang secara sumberdaya manusia

77
lebih menjamin bagi terlaksananya kegiatan. Seperti diketahui program awal PKM-SM
yakni perintisan review atas aturan dan perjanjian lintas sektoral dan lintas negara, oleh
karena itu PKM-SM harus berada dalam pola keterhubungan dengan instansi dari
Singapura dan Malaysia yang telah dipilih sebagai mitra hasil dari kajian awal ini yang
keterkaitan (connectedness) dan knowledge sharing-nya dapat diilustrasikan pada
Gambar 37.

Gambar 40. Pola Alir Pengetahuan PKM-SM dengan Institusi Negara Tetangga

Disadari, revolusi teknologi informasi dan komunikasi menandai pula sebuah peradaban
dimana informasi menjadi kekuatan.Ungkapan bahwa informasi adalah kekuasaan
sungguh terjadi di era ini. Artinya siapa saja yang mampu mengelola informasi dengan
baik, maka dia akan memiliki posisi yang kuat. Dampak lain dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi adalah terbukanya kesempatan bagi pihak yang lemah untuk
memperkuat dirinya melalui pengelolaan informasi. Selama ini komunitas yang berada
pada posisi terpinggirkan seperti petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, masyarakat
miskin pesisir maupun kota, kerap menjadi obyek. Kini mereka bisa menempatkan dirinya
sebagai subyek yang mampu mengelola informasi sesuai kepentingannya serta
memediasikannya ke berbagai pihak, terutama instansi atau lembaga pemerintah. Inilah
salah satu manfaat dari keberadaan pusat belajar institusional PKM-SM.

Inti mekanisme dalam PKM-SM adalah produksi informasi dan pengetahuan, berbagi
pengetahuan dan alirannya serta mediasi dalam dinamika jejaring khususnya terkait
perubahan-perubahan ketiga rerantai ekonomi-sosial-ekologi di Selat Malaka untuk
selanjutnya dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan. Berbagai pola dan
mekanisme kerja dalam pusat belajar dapat dibangun dengan mengambil contoh yang

78
sudah ada.Sebagai gambaran, mekanisme berbagi pengetahuan dan peran tiap komunitas
bisa dilihat dalam Gambar 41.

Internet based
PKM-SM Center
(BP Batam)

Media Media Kel.


Kel. Komunikasi
Warga Komunikasi Nelayan

DRD KEK
Kota/Kab. DRD BBK
BKPM
Provinsi
Pemprov Poltek
UNRI Kadin, Pemprov Pemkot/ Batam
Kepri
Bank Riau Pemkab

Gambar 41. Diagram Alir Informasi Komunitas dalam PKM-SM

Pada pusat belajar seperti LMU bisa dibangun laman internet dalam menyampaikan
berbagai perkembangan atau perubahan di Selat Malaka maupun membagi informasi dan
pengetahuan tentang kemaritiman. Setiap komunitas partisipan dapat saling bertukar
pengetahuan dan pengalaman yang semua difasilitasi oleh LMU.Masalahnya tidak semua
lapisan masyarakat atau wilayah memiliki infrastruktur TIK yang memadai seperti wilayah
pesisir dengan warga nelayannya atau warga pedesaan. Untuk hal ini perlu dikembangkan
moda komunikasi lain seperti radio komunitas, atau menggandeng radio komunitas yang
ada sebagai mitra.

Untuk menjamin adanya kontrol kualitas serta validitas data dan meta-data sebagai basis
dari pengetahuan khususnya bagi pengelolaan ketiga rerantai dalam konteks maritim,
perlu dibentuk setidaknya tiga regu-kerja atau working group. Regu kerja pertama
bertanggungjawab atas kegiatan litbang dan sharing pengetahuan. Regu kerja kedua
dengan tugas perintisan pengembangan sistem-sistem pendukung, dan regu kerja ketiga
dengan fungsi pengembangan moda kolaborasi antar partisipan belajar.

Dengan membangun infrastruktur jaringan informasi berbasis komunitas yang dilakukan


oleh regu ketiga, akan memungkinkan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan dua
arah, baik antar anggota komunitas maupun antara komunitas-komunitas dengan pihak
lain seperti pemerintah selaku penyusun kebijakan dan pengambil keputusan untuk
publik. Bagi komunitas, pertukaran informasi dan pengetahuan lokal secara swakelola

79
menguntungkan bukan hanya sebagai alternatif terhadap informasi arus
utamasebagaimana ditampilkan dalam media nasional dan internasional, tetapi juga
sebagai basis lokal untuk melakukan perubahan dalam kehidupannya. Selain itu
mengartikulasikan kepentingan melalui wacana dan proses pengambilan keputusan
publik yang berpihak pada kepentingan rakyat. Contoh moda seperti ini telah sukses
digunakan antara lain oleh Combine Institute di Yogyakarta yang mengembangkan
berbagai moda komunikasi seperti dengan internet dan radio komunitas serta media
cetak.

Bagi pemerintah dan pelaku ekonomi, jaringan ini turut menguntungkan dalam hal
diseminasi/sosialisasi kebijakan pemerintah secara efektif, pemantauan dini terhadap
aspirasi masyarakat, dan pengembangan pengertian terhadap potensi produksi dan
konsumsi masyarakat yang berada di dasar piramida ekonomi.

80
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dari bahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka didapati adanya
peluang dan sekaligus tuntutan bagi pemerintahan di ketiga negara pesisir Selat Malaka
untuk memperbaharui cara atau metode (moda) dalam pengelolaan perubahan dalam
batas kewenangan dan tanggungjawabnya.

Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari kajian awal ini adalah sebagai berikut;
a. Wilayah yurisdiksi dan pengelolaan di kawasan Selat Malaka yang dimiliki
Indonesia sangatlah luas, dimana daratan pesisir dan kepulauannya mencapai
250.000 km2 ditambah sabuk 5 mil laut dari garis pantai, maka besaran ruang ini
menjadikan Indonesia sebagai aktor kunci dalam proses belajar bersama ke depan.
b. Indonesia menghadapi tantangan terberat dibandingkan kedua tetangganya,
dalam kemampuan dan kapasitas institusionalnya serta kemampuan keuangan
publiknya, untuk mengendalikan perubahan sosial ekologis di sepanjang pesisir
timur Sumatera dan kepulauannya dengan baik.
c. Warga di sepanjang sabuk pesisir Sumatera dan Kepulauan Riau saat ini berada
dalam keadaan yang jauh dari ideal. Pusat-pusat produksi sektor primer di wilayah
tersebut secara umum masih bergantung pada moda perburuhan sektor ekstraktif
yang sulit diandalkan untuk memenuhi syarat keselamatan dan keamanan sosial.
Pusat-pusat permukiman yang ada sekarang di sepanjang dataran rendah di
pesisir timur Sumatera dapat dikatakan bersifat pedesaan atau peri-urban, dan
sebagian cukup besar menginduk pada ibukota kecamatan/kabupaten yang terlalu
jauh untuk dapat menjadi sebuah jejaring efektif dalam mengelola proses-proses
ekonomik-sosial-ekologis secara kolektif.
d. Munculnya konsentrasi rerantai ekonomik di Kepulauan Riau bagian barat dalam
waktu dua setengah dekade ini, diwakili terutama oleh pulau Batam, dan sekarang
akan diikuti oleh rencana pengembangan untuk Pulau Bintan dan Pulau Karimun,
memberikan pelajaran mengenai potensi sekaligus keterbatasan dari strategi
investasi integratif. Pengenaan status pelabuhan bebas dan zona perdagangan
bebas untuk ketiga metropoli kecil tersebut diharapkan dapat menjadi kelanjutan
dari proses munculnya Batam, dan kemudian Bintan serta Karimun, sebagai sentra
produksi industri manufaktur, pemrosesan dan jasa-jasa perkotaan di wilayah
Selat Malaka. Di lain pihak, pengkajian lapangan mengenai perubahan sosial-
ekologis di pesisir Sumatera timur, khususnya Provinsi Riau dan Kepulauan Riau
menunjukkan watak enclave dari intensifikasi proses ekonomi yang telah dan
tengah berlangsung di ketiga pulau tersebut.
e. Kepulauan Riau sebagai salah satu kawasan terpenting dari fokus spasial PKM-SM
memerlukan sebuah model perancangan perubahan yang mampu menciptakan

81
vektorpositif antar ketiga rerantai. Dengan kendala skala ruang dan keterbatasan
kemampuan integrasi pengelolaan perubahan saat ini, prakarsa belajar harus
dimulai dengan sebuah praktek pengelolaan perubahan dengan moda bagi peran,
sumber daya dan resiko yang memungkinkan pengambilan keputusan dan
pengerahan energi oleh jejaring kesatuan-kesatuan belajar setempat.
f. Dengan kesiapan jejaring institusional yang telah terbangun dalam tempo lebih
dari satu dekade, aparat pemerintahan/ pengurus publik di wilayah Batam dapat
mengambil peran fasilitator bagi jejaring belajar di Bintan dan Karimun, serta
pesisir timur Sumatera. Keberadaan Politeknik Batam juga telah mengembangkan
moda pelayanan pendidikan yang baik bagi konteks sosial-ekologis setempat yang
akan menjadi salah satu faktor pendorong bagi agenda belajar PKM-SM.
g. Prakarsa belajar bersama dalam domain pemerintahan/ pengurusan publik yang
berjalan selama ini harus memberikan tanggapan pada praktek institusional
pengelolaan/ pengurusan termasuk politik. Dalam semester I 2011 ini
pemerintahan/ pengurus publik Indonesia meluncurkan prakarsa “Enam Koridor
Pembangunan Ekonomi” yang didasari oleh sebuah studi perencanaan untuk
mendorong percepatan perluasan rerantai ekonomik di pulau-pulau utama
Indonesia. Koridor pertama yang hendak segera dimulai proses-proses
investasinya mencakup wilayah Sumatera. Tujuan dan sasaran-sasaran praktis dari
rencana pembesaran rerantai ekonomik tersebut mengandung resiko cukup
genting bagi proses belajar yang tengah dirintis di wilayah lingkungan Selat Malaka.
Sebuah proses belajar bersama lewat pertukaran pendapat dan pengetahuan
kritis dengan cabang-cabang pengurusan publik yang bertanggung jawab atas
rencana besar tersebut harus secepatnya dimulai.
h. Dengan telah diluncurkannya rencana pembangunan ekonomi (MP3EI) dan salah
satu koridornya adalah Koridor Sumatera dimana tujuan dan sasaran-sasaran
praktis dari rencana ekspansi rerantai ekonomik tersebut mengandung resiko
cukup besar bagi aspek sosial dan ekologis, maka sebuah proses belajar bersama
melalui sharing pendapat dan pengetahuan dengan instansi-instansi setempat
yang bertanggung jawab atas rencana besar tersebut harus secepatnya dimulai.

6.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil kajian yang telah disimpulkan hasilnya di atas, maka beberapa
rekomendasi tindak lanjut untuk PKM-SM adalah sebagai berikut;
a. Perintisan pusat belajar institusional beserta jejaringnya, yang melibatkan
beberapa institusi pemerintah/ pengurus publik khususnya yang berwenang
dalam penataan ruang, kegiatan ekonomi, lingkungan hidup dan pendidikan.
b. Sejak awal PKM-SM didesain sebagai bentuk knowledge based society dengan key
enabler-nya adalah komunikasi, untuk itu pengembangan jejaring pada butir a) di
atas perlu didukung insfrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan
media komunikasi lain seperti radio komunitas untuk menjangkau kalangan warga

82
yang belum tersentuh atau tidak terbiasa dengan TIK.
c. Sebagai langkah awal perlu dibentuk task force yang mempersiapkan dan
mengkaji aturan lintas sektor, mengembangkan materi belajar serta aktif
mengikuti berbagai konferensi atau seminar terkait Selat Malaka termasuk yang
diselenggarakan negara tetangga.
d. Melaksanakan rencana program riset lapangan lanjutan untuk pulau-pulau kecil
dan perairan Batam, Rempang, Galang, untuk mendapatkan pengetahuan yang
lebih utuh mengenai perubahan di ketiga rerantai
e. Untuk test case kesiapan sumberdaya manusia dan infrastrukturnya dalam
pengelolaan pusat belajar, task force perlu merintis sebuah kerjasama dalam
program skala kecil dan praktis sifatnya dengan beberapa institusi pendidikan
tinggi dan lembaga riset di wilayah Selat Malaka seperti Dewan Riset Daerah,
Universitas Riau dan Politeknik Batam.
f. Dalam jangka menengah, pusat belajar PKM-SM perlu berkolaborasi dengan
beberapa lembaga riset internasional seperti di Asia dan Eropa untuk agenda-
agenda riset yang paling mendesak bagi aparat pemerintah di Provinsi Riau dan
Kepulauan Riau.
g. Melalui dukungan Badan Pengusahaan Batam atau Politeknik Batam selaku calon
host bagi pusat belajar PKM-SM perlu dirintis penerbitan berkala untuk
mempromosikan agenda PKM-SM bagi para pembaca dari berbagai latar belakang.
h. Merintis kerjasama dengan jejaring institusi dan entitas penyelenggara pelayanan
kesehatan dan asuransi kesehatan untuk mulai mengidentifikasi model jaminan
pelayanan kesehatan bagi wilayah pesisir timur Sumatera dan Kepulauan Riau,
yang unggul serta dapat menjangkau lapisan ekonomi lemah di wilayah tersebut.

83
DAFTAR PUSTAKA

__________ . 2008. Multi-Scale Integrated Analysis of Societal of Societal and Ecosystem


Metabolism (Musiasem): An Outline of Rationale and Theory.

_________. 1991. Increasing Returns and Economic Geography. Journal of Political


Economy.99 (1991): 483-99.

Abu Bakar Jaafar dan Valencia M.J., Management of the Malacca/Singapore Straits: Some
Issues, Options and Probable Responses, Akademica 25 (1985): 93-117.

Alkhatib, M., T.C. Jennerjahn, dan Joko Samiaji. 2007. Biogeochemistry of the Dumai River
Estuary, Sumatera, Indonesia, a Tropical Black-Water River. Limnology Oceanograph 52
(2007): 7.

Arifin, Z. Heavy Metal Polllution in Sediments of Coastal Waters of Indonesia. Asian


Development Bank. Jakarta.

Baum, Anjte. 2008. Tropical Blackwater Biogeochemistry: The Siak River in Central
Sumatera, Indonesia. University of Bremen.

Bellwood, P. 2007. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. 3rd ed: ANU E Press,
2007.

Bird, M.I., W.C. Pang, dan K. Lambeck. 2006. The Age and Origin of the Straits of
Singapore. Elsevier (2006): 8.

Borras Jr., Saturnino M. dan Jennifer C. Franco. 2011. Political Dynamics of Land-grabbing
in Southeast Asia: Understanding Europe’s Role. Amsterdam. Transnational Institute.

Buang, A. 2006. Selat Melaka 1992 - 2006: Iktibar Beberapa Aspek Permasalahan
Dalam Mengurus Kesejahteraan Sumber Sekitaran Serantau. GEOGRAFIA Online-
Malaysian Journal of Society and Space.2 (2006): 58 - 71.

Bunnel, T., H. Muzaini, dan J.B. Sidaway. 2006. Global City Frontiers: Singapore's
Hinterland and the Contested Socio-Political Geographies of Bintan, Indonesia.
International Journal of Urban and Regional Research 30.1 (2006): 20.

Chua, C.A., Y.S. Leo dan C.C. Lee. 2008. Building Partnerships to Address the HIV Epidemic.
Singapore Med Journal (2008): 4.

1
Chua T.E., R. Natarajan, S. A. Ross. 1998. Analysis of the State of the Marine Environment
of the Straits of Malacca and Singapore. Singapore Journal of International and
Comparative Law (1998): 323-49.

Corbett, J. J., et al. 2007. Mortality from Ship Emissions: A Global Assessment.
Environmental Science Technology (2007).

Cribb, Robert, and Michelle Ford. 2009. Indonesia Beyond the Water's Edge: Managing an
Archipelagic State. Indonesia Update Series. Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian
Studies Singapore.

Elson, D. 2011. Apakah Ekonomi Rendah Karbon Menguntungkan Indonesia. Analisa


Manfaat dan Biaya Ekonomi "Low Carbon" di Sektor Pengguna (sic) Lahan.

Emran, A. 2007. The Regulation of Vessel-Source Pollution In the Straits of Malacca and
Singapore. University of Wollongong.

ERIA. 2007a. Developing a Roadmap toward East Asian Economic Integration. Economic
Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).

ERIA. 2007b. Deepening Economic Integration in East Asian - the Asean Economic
Community and Beyond, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).

ERIA. 2007c. International Infrastructure Development in East Asia - Towards Balanced


Regional Development and Integration. Economic Research Institute for ASEAN and East
Asia (ERIA).

ERIA. 2007d. Industrial Agglomeration, Production Networks and Fdi Promotion. Economic
Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).

ERIA. 2007e. Development Strategy for Cmlv in the Age of Economic Integration. Economic
Research Institute for ASIAN and East Asia (ERIA).

ERIA . 2009. Deepening East Asian Economic Integration. Economic Research Institute for
ASEAN and East Asia (ERIA).

ERIA. 2009. Mekong-India Economic Corridor Development. Economic Research Institute


for ASEAN and East Asia (ERIA).

2
ERIA. 2009. 3r Policies for Southeast and East Asia. Economic Research Institute for ASEAN
and East Asia (ERIA).

ERIA. 2009. Mainstreaming Sustainable Development Policies in East Asia. Economic


Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).

ERIA. 2010. The Comprehensive Asia Development Plan. Economic Research Institute for
ASEAN and East Asia (ERIA).

ERIA. 2010. Energy Market Integration in the East Asia Summit Region: Review of
Initiatives and Estimation of Benefits. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia
(ERIA).

Flecker, M. 1996. Magnetometer Survey of Malacca Reclamation Site. Nautical


Archaeology 24.2 (1996): 122-34.

Geyer, R. A. 1981. Marine Environmental Pollution: Dumping and Mining. Elsevier


Oceanography. Vol. 2. New York: Elsevier Scientific.

Giampietro, M. 2006. Can Biofuels Replace Fossil Energy Fuels? A Multi-Scale Integrated
Analysis Based on the Concept of Societal and Ecosystem Metabolism: Part 1.
International Journal of Transdiciplinary Research 1 (2006): 36.

Giampietro, M., K. Mayumi, dan Jesus Ramos-Martin.2008. An Application of Msiasm to


Chinese Exosomatic Energy Metabolism.

Gilmartin, H. 2008. EU-U.S-China: Cooperation in the Malacca Straits. Universitat


Hamburg. 2008.

Hussin, N. 2008. Geography and Trade: Importance of the Straits of Malacca to World
Trade, Asia and the Malay World 1700-1800. Akademika 73 (2008): 3 - 26.

International Maritime Organisation (IMO). 1998. Marine Pollution Management in the


Malacca/Singapore Straits : Lessons Learned.

JETRO. 2010. 2010 Jetro Global Trade and Investment Report: a Global Strategy for
Japanese Companies to Open New Frontiers in Overseas Markets. Tokyo: Japan External
Trade Organization.

JBIC. 2002. Water Supply from Indonesia to Singapore: Feasibility Report; Nippon Steel
Corporation. Japan Bank for International Corporation.

3
Ji, Y. 2007. Dealing with the Malacca Strait Dilemma : China`S Efforts to Enhance Energy
Transportation Security. EAI Background Brief 329 (2007).

Kathirithamby-Wells, J. 1993. Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East


Sumatera before the Mid-Nineteenth Century. Archipel 45 (1993): 19.

Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Sucofindo. 2011. Hasil Survey Nasional
Pelabuhan Perikanan. Jakarta

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan


Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI 2011-2025.

Khurana, G.S. 2005. Cooperation among Maritime Security Forces: Imperatives for India
and Southeast Asia. Strategic Analysis 29.2 (2005): 295-316.

Krugman, P. 1991. Geography and Trade. Cambridge: MIT Press.

Lamberte, Mario B., and Josef T. Yap. Financial and Monetary Cooperation in Asean.
Manila: Philippine Institute for Development Studies, 2003.

Leifer, M. Malacca Singapore and Indonesia. Vol. II: Sitjhoff & Noordhoff International
1978.
Long, N. 2008. States of Uncertainty: Resolving the Illegal Occupation of Land in Kepulauan
Riau. Indonesian Studies Working Papers 5 (2008): 17.

Lu, Jingxuan, et al. 1998. Oil Pollution Statistic in Southeast Asian Waters Compiled from
Ers Sar Imagery.

Maritem Institute of Malaysia(MIMA). 2010. Ship Carrying Capacity of the Strait of


Malacca (Som).

Marsden, W. 2005. The History of Sumatera. Containing An Account Of the Government,


Laws, Customs and Manners Of the Native Inhabitants

Mimura, N. 2008. Asia-Pacific Coasts and Their Management: States of Environment. The
Netherlands: Springer EMECS.

Ministry of Marine Affairs and Fisheries & Japan International Corporation Agency. 2009.
Indonesian Fishing Ports 2009. Ed. Ministry of Marine Affairs and Fisheries Directorate
General of Capture Fisheries. Jakarta

4
Pauly, D., C. Thia-Eng. 1988. The Overfishing of Marine Resources: Socioeconomic
Background in Southeast Asia. Ambio 17.3 (1988): 7.

Purwaka, T.H. 1998. Control of Marine Pollution in the Straits of Malacca and Singapore:
Modalities for International Co-Operation. Singapore Journal of International &
Comparative Law 2 (1998): 12.

Richardson, M. Asia's Middle East Oil Dependence: Chokepoints on a Vital Maritime


Supply Line. http://www.iseas.edu.sg/pub.html

Shaofeng, C. 2010. China's Self-Extraction from The Malacca Dilemma And Implications.
International Journal of China Studies 1 (2010): 24.

Situmorang, Agustina, dan Sri Sunarti Purwaningsih. 2010. Local Government Responses
to HIV and AIDS in the Border Areas: A Case Study of Batam. Journal of Indonesian Social
Sciences and Humanities 3 (2010): 16.

Susilaningsih, D., M.D. Siburian, dan T. Murniasih. 2008. Biodivertity of Hydrocarbon-


Producing Microalgae from Oil Contaminated in Coastal Zone of Batam Island. Marine
Research Indonesia 33 (2008): 5.

Tagliacozzo, E. 2004. A Necklace of Fins: Marine Goods Trading in Maritime Southeast


Asia, 1780–1860. International Journal of Asian Studies 1.1 (2004): 23–48.

Tia-Eng, C., L. R. Garces. 1992. Waste Management in the Coastal Areas of the Asean
Region: Roles of Governments, Banking Institution, Donor Agencies, Private Sector and
Communities. Manilla: Ministry of the Environment and Canada-ASEAN Center, Asian
Development Bank, ASEAN, Resource Management Project (Phillipines).
Valencia, M. J. 1998. Marine Pollution Management in the Malacca/Singapore Straits:
Lesson Learned. Quezon City: GEF, UNDP, IMO Regional Programme for the Prevention and
Management of Marine Pollution in the East Asian Seas.

Verchot, L. V., et al. 2006. Nitrogen Availability and Soil N2O Emissions Following
Conversion of Forests to Coffee in Southern Sumatera. Global Biogechemical Cycles, Vol.
20

Vilpišauskas, Ramūnas. Does Europe 2020 Represent Learning from the Lisbon Strategy?
Biannual European Union Studies Association (EUSA) Conference.

5
Vincent, J.R., R. Mohamed. Managing Natural Wealth: Environment and Development in
Malaysia. Singapore: Resources for the Future, 2005.

Wolanski, Eric. 2006. The Environment in Asia Pacific Harbours. Townsville, Australia:
Springer.

Wong, J., Catherine CHONG Siew Keng. 2010. The Nanning-Singapore Economic Corridor:
Its Promises and Problems . EAI Background Brief.

Yulius. 2009. Islands Identification in Lingga County Riau Archipelago Province Based on
Toponymy Method. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 1.2 (2009): 42-59.

Zubir, M., M.N. Basiron. 2011. The Straits of Malacca : The Rise of China, America's
Intentions and the Dilemma of the Litoral States. 25 January 2011.

6
Lampiran 1
Ringkasan Hasil Seminar PKM-SM

A. Pemaparan Oleh Dr. Hendro Sangkoyo (SDE)


Secara garis-besar, dipaparkan dimana letak riset PKM-SM ini dalam agenda belajar SDE
untuk Perioda belajar 2007-2012.Dari sisi pengembangan frontier pemahaman kritis atas
perubahan sosial ekologis pada skala planeter/sub-planeter, agenda belajar SDE terbagi
dua, Basic Research dan Applied Research.Kedua ranah belajar tersebut secara simultan
dibagibersama tiga sektor-belajar utama untuk pembalikan krisis, yaitu orang biasa dalam
konteks kemasyarakatan/sosial, badan/regu-regu riset, serta kesatuan-kesatuan
pengurusan publik yang bersedia memperbaharui diri.

Dalam analisis studi ini digunakan color coding, merah mewakili rerantai ekonomi, hijau
mewakili rerantai ekologi dari level terbesar sampai terkecil seperti misalnya kita belajar
tentang cell signaling pada level biologi molekuler, dan biru mewakili rerantai sosial yang
sangat rumit.

Saat ini SDE sedang mendorong riset mengenai berbagai kerangka temporal dan jenis-
waktu/chronotype, dan pertautannya dengan dimensi ruang.Contoh kasus adalah studi
mengenai Gunung Merapi.Selama ini kita tidak mengetahui chronotype dari gunung
tersebut.Ternyata sejak kurang-lebih 8000 tahun SM, Merapi mengalami perubahan
kepribadian. Sebelumnya, masa "tidur" Merapi adalah 1378 tahun, kemudian dormancy-
nya dari 4 digit menjadi 3 digit, kemudian menjadi 2 digit, dan mulai dari 1848 menjadi
sub-annual. Sementara upaya penanggulangan bencana kita masih dihitung berdasarkan
tahun anggaran, dengan imajinasi yang sangat statis mengenai bencana.

7
Itulah sebabnya SDE memulai dengan satu penelitian dasar mengenai Chrono Spatial
Informatics.Tesis yang diacu adalah, berdasarkan satu pengamatan dan penelitian
panjang, kita sekarang berada dalam moda pemburukan krisis yang menimbulkan
positive-feedback.Karena kita melakukan pemodelan skala makro maka di dalam
analisisnya penyebab utama adalah diskursus yang hanya berpusat pada rerantai
ekonomi dan diukur dengan nilai yang diukur dengan uang. Pada saat krisis makin
memburuk, sebenarnya kita mengatasi dengan sistem diskursus yang sama, sehingga
pemerintah mengalami "crisis-blind". Hal inilah yang juga tengah dipecahkan oleh
lembaga-lembaga PBB. Kalau ini terus berlangsung maka kita akan menuju krisis yang
semakin dalam, apa yang harusnya di pindai tidak terpindai karena kita menggunakan
semua kosakata dari model pengelolaan yang lama. Disampaikan bawa kita harus
memulai dari diri sendiri dengan menyatakan bahwa setiap orang harus mulai membalik
krisis.

Dengan demikian, PKM-SM adalah bagian dari agenda belajar yang penting dan menjadi
pekerjaan rumah kita.Kemudian bagaimana caranya, yaitu ekspansi ekonomi dan
pengelolaan perubahan harus dilihat secara mendasar.SDE mengembangkan Social-
Ecological Accounting Matrix (SEAM). Masing-masing agenda riset dasar dan terapan tadi
berkembang cepat sekali dalam 8 semester ini. GESER adalah Governance of Energy and
Materials Prosumptions for Social-Ecological Recovery.PEBD adalah Political Economy of
Biodiversity, ADOED adalah Alternative of Determination of Energy Demand.

8
SDE memulai kajian dengan fokus dulu ke wilayah Selat Malaka dengan belajar tentang
ketiga rerantai seperti soal bajak laut, naiknya keasaman air laut, nilai ekonomi Selat
Malaka, dan sebagainya. Disampaikan juga ke depan ada skema besar pembangunan yang
bisa menjadi potensi atau krisis yakni SCO dan CADP. SCO merupakan inisiatif China, yang
didominasi oleh pertimbangan keamanan energi jangka panjang. Sementara CADP,
diinisiasi oleh Jepang dan skenarionya adalah menyatukan seluruh Asia Tenggara, bahkan
dengan memakai sebutan "factory Asia", atau Asia sebagai satu kompleks pabrik. Cerita
yang sama merupakan bagian dari kampanye lebih besar lagi dari WTO yaitu "Made in the
World". Seluruh perhitungan trade balance di sekolah-sekolah ekonomi akan berubah
sekali untuk memfasilitasi cerita ini.

Meskipun de facto memang dalam dua dekade terakhir khususnya terjadi fragmentasi
proses produksi industrial dengan pembagian kerja antar unit-unit produksi komponen di
berbagai negara, tetapi dalam rencana CADP misalnya, yang hendak dilakukan adalah
menjadikan wilayah kelola publik sepenuhnya sebagai ruang ekonomi semata dalam
model “assembly line” regional dalam pipa alir bahan dan energi dari perusahaan. Hal
serupa juga tercermin dalam arah dari integrasi di sisi kapital keuangan.

Bagaimana sektor publik dan pemerintahan secara umum menanggapi reduksi


kedaulatan tersebut menjadi persoalan berdimensi jangka panjang bagi negara-negara
anggota ASEAN, khususnya Indonesia, karena potensinya untuk memicu vektor-vektor
baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, di ketiga rerantai.

Di Indonesia CADP kemudian “dipasarkan” dengan sebutan Master Plan Percepatan


Pembangunan Ekonomi Indonesia, yang merupakan hasil dari skenario yang lebih besar
tadi. CADP sendiri merupakan bagian dari 36 riset yang sangat strategis yang

9
dikembangkan oleh ERIA, yang disupport penuh oleh pemerintah Jepang.Kalau kita mau
memperhitungkan setiap wilayah dalam tiap koridor, kita mustinya harus punya berbagai
strategi. Strategi CADP kita seperti apa, strategi Singapura seperti apa, strategi China
seperti apa.

Semua yang termuat dalam laporan SDE memang relatif singkat sebab ini adalah bagian
dari riset yang mendalam dari apa yang terjadi pada skala Asia. Ke depan dari India akan
ada jalur distribusi bahan dan energi dengan pelayaran langsung ke pesisir Burma,
diteruskan dengan “koridor ekonomik Timur Barat” yang membelah negara-negara
Sungai Mekong. Selat Malaka kemungkinan akan relatif mengalami penurunan alir bahan
dan energi beserta perkapalannya. Namun juga perlu diingat dari 22 aktivitas ekonomi
dalam MP3EI, lebih dari separuhnya tergolong kategori penting dalam konteks dirty
industry migration.

Hasil akhir dari kajian awal untuk menyiapkan apa yang akan dikembangkan bersama
termasuk siapa pelajarnya. Ini adalah gambaran umumnya, dan disini ada banyak sekali
diskrepansi antara rezim-rezim hukum baik internasional, nasional, wilayah khusus,
tabrakan antara BBK dengan RTR, semua ada di wilayah studi dimana semua harus
memulai tanpa menunggu lagi. Kita mulai belajar dengan beberapa penelitian strategis
pada level global, misalnya GESAMP, SOLAS.Di sini SDE menautkan link antara laut-darat-
udara.Tanda lingkaran di dalam kotak menunjukan bahwa selama ini itulah yang
difokuskan untuk diurus, hanya dari sisi ekonomi. Kita melihat akan banyak sekali laba-
nya kalau kita melihatnya lebih menyeluruh. Naiknya prosumsi bahan dan energi di laut-
darat-udara semua akan membawa jejak sosial-ekologis. Ini adalah hasil perhitungan
dengan vektoring dan keluar dengan titik-titik yang paling penting untuk dikembangkan
lebih dulu di wilayah PKM-SM. Al ini bisa menjadi alat bagi Pemda untuk mengelola,
dengan interface yang jauh lebih canggih.

10
Kedua gambar di atas menunjukkan secara berurutan, algoritma umum dari
pemindaian untuk ketiga matra di wilayah PKM-SM, serta cluster perubahan-
perubahan terpenting di ketiga rerantai di setiap matra. Dengan moda pemindaian
perubahan berkala seperti ini, unit-unit kerja pemerintaan di sisi Indonesia dari Selat
Malaka dapat mengembangkan aturan pengelolaan wilayah yang cerdas dan bersifat
membalik krisis (gambar berikut di bawah ini).

11
B. Tanggapan Terhadap Pemaparan Riset PKM-SM
B.1.Ir. Iman Sudrajat, MPM - Kementerian PU (Pembahas)
Persoalan pengelolaan pemerintahan, memang masih didominasi oleh diskursus
rerantai ekonomi. Kalau kita melihat kondisi di lapangan, dalam upaya membangun
daerah semua berlomba untuk mempertahankan putaran ekonominya, karena itu
pengelolaan sosial-ekologis banyak ditinggalkan.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa pembangunan masih pada rantai ekonomik. Ini
terlihat dari perkembangan sejak 1970, Indonesia-Malaysia-Singapura berada pada
level setara, tapi sekarang Indonesia jauh tertinggal. Didalam laporan ini ditunjukkan
perbedaan infrastruktur antara Indonesia (dalam hal ini pulau Sumatera) dan Malaysia
(Semenanjung Malaysia). Karena infrastrukturnya sudah cukup, maka perhatian
terhadap rerantai ekologis dan sosial lebih tinggi. Apalagi pada pengurusan Selat Malaka
sendiri.

Di Sumatera sendiri mengalami transformasi yang sangat lamban dan terjadi


perubahan struktur ekonomi-sosial-ekologis di pesisir timur Sumatera yang
berkorelasi rendah dengan perkembangan ekonomi nasional dan regional wilayah
tersebut. Yang menjadi perdebatan sekarang adalah tata ruang provinsi Aceh, ada
agenda untuk memperluas wilayah hutan tapi menemui benturan pada tingkat
kabupaten. Itulah fragmentasi pengelolaan yang terjadi.

Bagaimana setiap orang peduli terhadap pembalikan krisis, harus digaungkan dan
terkait juga dengan isu perubahan iklim dan pengurangan gas rumah kaca. Pada
satu sisi, kita memiliki kebijakan nasional untuk mengurangi gas rumah kaca, tapi
disisi lain kita mendorong rerantai ekonomi. Kemudian disampaikan juga bahwa ada
skenario besar dari pengembangan ekonomi regional Asia dan Sumatera menjadi salah
satu hub strategis. Sehingga dinyatakan bahwa ada kemungkinan dorongan untuk
merubah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yaitu perlintasan di laut Jawa. Ini
diperkirakan akan mempengaruhi skema pembangunan di pulau Jawa.

Kalau dikaitkan dengan kebijakan di Indonesia, kita sudah mempunyai Rencana Tata
Ruang Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera yang sedang dalam proses
menjadi Perpres, kemudian Rencana Tata Ruang Wilayah Perbatasan. Dari RTR yang
sudah kita miliki, mulai dari perbatasan hingga nasional tersebut, prinsip-prinsip
yang disampaikan dalam riset ini terkait pengurusan rerantai ekonomi-sosial-ekologis,
menjadi syarat didalam penataan ruang yang terkemuka dalam dokumen
perencanaan tersebut. Misalnya pulau Berhala yang berada di perbatasan dan
merupakan habitat penyu.

Kebijakan-kebijakan tersebut harus diimplementasikan menjadi program-program di


kawasan-kawasan terkait. Isi dari rencana tata ruang pada ketiga level tadi mencakup
tiga rerantai tersebut. Didalam MP3EI memang dilakukan pemetaan komoditas apa

12
yang bisa dikembangkan dari koridor-koridor yang dirancang. Kita memberikan
peringatan bahwa perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya. Sulitnya di tata ruang
sendiri, mana yang sifatnya ekosistem atau ekonomi maupun nilai sosial diterjemahkan
didalam tata ruang kabupaten/kota. Ini yang menjadi perdebatan kita, karena pada
saat implementasi tata ruang nasional misalnya, barangkali tidak menjadi satu hal
yang konkret. Rancangan dari tata ruang pulau misalnya, sangat besar dan ada
ketidakmampuan dari pengurus publik. Memang pada beberapa hal, apa yang sudah
dirancang dalam tata ruang nasional, pulau, maupun perbatasan menjadi tidak
terimplementasikan dengan konkret di lapangan.

B.2. Ir. Wahyu Purwanta, M.Sc - Pusat Teknologi Lingkungan BPPT (Pembahas)
Saya pada kesempatan ini diminta untuk mencermati sisi metodologi dari studi ini.
Laporan ini penting karena bukan saja menjadi hasil DRN tapi juga akan dibaca
oleh masyarakat dan institusi lain, karena itu haruslah mudah dimengerti dan efektif
dalam penyampaiannya. Saya coba sederhanakan, bahwa ada perubahan besar di
dunia termasuk dari sisi ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan di Selat
Malaka. Tetapi selama ini, dorongan terbesar adalah rerantai ekonomi, sehingga
kurang memperhatikan rerantai sosial-ekologis, karena itu perlu mengelola Selat
Malaka secara berkelanjutan. Lalu, dibuatlah kerangka CS-RGB, Chrono Spatial-Red Green
Blue.

Studi ini melibatkan lembaga-lembaga yang dipindai secara awal, ada Universitas Riau,
Poltek Batam, Dewan Lingkungan Singapura, Singapore Port, MASDEC, dan MIMA
misalnya. Apa alasan pemilihan lembaga-lembaga ini? Karena menurut saya, jika
ingin melakukan pemindaian sosial-ekologis, bagaimana dengan lembaga-lembaga
seperti KLH, KKP apakah juga dilihat sebagai pertimbangan?

Ada tiga program yang akan ditempuh, apakah itu merupakan hasil-hasil dari
pemeriksaan seksama dari CS-RGB tersebut? Lalu institusi pembelajaran, memang
biasanya hasil dari sebuah pemodelan adalah dibuat semacam learning laboratory,
apakah akan ada lembaga baru atau memberdayakan lembaga yang sudah ada?
Karena ini semua terkait knowledge management, kira-kira kerangka knowledge
management dalam LMU ini bagaimana, ini yang belum tergambarkan secara utuh.

Kemudian hasil studi yang penting, ada lima, yaitu :


Dibutuhkan strategi skala majemuk nasional, wilayah-kelola-publik, yuridiksi,
kesatuan sosial-ekologis menyejarah yang cukup tangguh untuk menyambut dinamika
perubahan, saya kira ini memang normatif.

Proses belajar PKM-SM diharapkan dapat menerapkan pola pengelolaan kolaboratif


melalui serangkaian inovasi dalam dokumen sektor publik. Apakah dalam studi ini
telah dirancang moda pengelolaan kolaboratif tersebut? Apakah ini terkait
penguatan institusi daerah, jika demikian bagaimana mekanisme-nya?

13
Mendesak untuk dilakukan adalah pemeriksaan interaksi vektoring antar rerantai
ekonomi-sosial-ekologis dari rencana besar MP3EI khususnya untuk koridor I.
Apakah artinya dalam laporan ini belum memasukkan faktor MP3EI? Bagaimana juga
mengaitkan dengan pengembangan yang sudah ada seperti IMT (Indonesia-Malaysia-
Thailand Growth Triangle), Sijori (Singapore-Johor-Riau Growth Triangle) maupun BBK,
padahal konteks waktunya juga berbeda, nah apakah CS-RGB ini bisa mengatasi itu?
Mungkin bisa dijelaskan kira-kira seperti apa cara mengintegrasikannya; Segera
membentuk dan mengoperasionalkan sebuah LMU yang melibatkan institusi
pengurus publik, warga, dan lembaga riset yang relevan yang telah dipetakan selama
riset awal ini. Bagaimana mekanisme pelaksanaan LMU ini? Kerangka strategi-nya seperti
apa dan mekanisme yang lebih konkret-nya seperti apa?

Sebagai penutup, pembahasan tentang proses belajar kelembagaan harusnya ada


regu-regu belajar, dan ini masih sebatas ide, proses learning-nya musti diwujudkan agar
pihak-pihak semakin aware terhadap permasalahan besar yang dihadapi. Bagaimana
agar kondisi ekonomi-sosial-ekologis menjadi pertimbangan, institutional learning-nya
belum dibahas. Kemudian, proses belajar sendiri, dikemukakan hal-hal yang perlu dikaji
adalah pertautan pengetahuan yang tak ditafsirkan dengan proses formulasi
kebijakan publik, ini belum disinggung dalam laporan ini.

Laporan ini juga memuat pernyataan umum terkait penataan ruang, belum secara
langsung membahas bagaimana penataan ruang harus dijalankan. Tapi sebetulnya, apa
yang disampaikan oleh penyaji sudah terakomodasi dalam rencana tata ruang
nasional, pulau, maupun perbatasan tadi. Ada satu kekhawatiran dari pengurusan
satu skema pembangunan, di dalam kajian perencanaan sudah memuat dan
memetakan aspek ekologis, tapi kembali kendalanya adalah ketika diturunkan pada
level kebijakan daerah, konversi lahan yang diperuntukkan untuk menjaga ekosistem
masih terus terjadi. Ini yang kita maksud bahwa roadmap pada level pulau sudah
mengakomodir ketiga rerantai tapi implementasinya tidak demikian.

14
C. Sesi Tanya Jawab
C.1. Dr. Rosmalati Rusman - Komisi Teknis Sosial Kemanusiaan-DRN
Dari apa yang disampaikan oleh SDE, saya sangat tertarik karena menurut saya
inilah yang dibutuhkan dalam satu proses pembangunan. Kemarin saya dari Aceh dan
MP3EI ini dipersoalkan disana, dari kacamata antropolog, betul sekali bahwa suatu
desain besar pembangunan seringkali dilihat hanya dari perspektif ethic dan
mengabaikan perspektif emic. Dari kunjungan ke Aceh beberapa saat lalu, Gubernur
dan Walikota Aceh Besar merasa MP3EI melalaikan hal-hal lain diluar 3 kegiatan
utama dalam koridor satu, dan karena Aceh fokus pada kegiatan pertanian pangan,
maka mereka sudah menyampaikan kemungkinan bahwa Aceh akan menyimpang dari
fokus kegiatan tersebut.

C.2. Ir. Agus Susarso, Meng.Sc., MM - Komisi Teknis Teknologi Pertahanan & Keamanan
- DRN
Kita mempunyaidatabase inventori yang selalu di perbaraui, mencakup berbagai
parameter, puluhan hingga ribuan soal kemaritiman yang barangkali bisa dijadikan
referensi agenda belajar ini.

C.3. Ir. Abdul Alim Salam, M.Sc - Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregional Sumatera
Hal yang paling sulit dalam kemaritiman adalah merubah mind set, dan ini
merupakan program prioritas. Kalau kita melihat buku tingkat SD tidak sampai 5%
mengandung gambar laut, atau yang berhubungan dengan laut. Pertanyaan lain di
kemaritman, adalah bagaimana seorang maritim juga bisa berpikir future oriented,
sehingga kita bisa berharap Indonesia ke depan berbeda dari sekarang.

Pertanyaannya adala kenapa lokus penelitiannya adalah Selat Malaka, pasti ada
alasan selain karena disana dianggap yang paling sibuk, karena kalau hanya itu, Selat
Makassar, Sunda dan Lombok juga sibuk. Dan selat-selat tersebut memiliki keunggulan
yang sangat besar, mengingat kapal-kapal terbaru banyak diproduksi dalam skala
yang sangat besar, sekitar 13.000 TEUs, kapal 300.000 Tf atau sekitar 4-5 kali
lapangan bola. Walaupun Asia Highway sedang dibangun, kemaritiman tetap banyak
keunggulan dibanding transportasi darat.

Mengutip almarhun A.B Lapian, beliau mengatakan bahwa inti yang mengawali
kemampuan maritim Indonesia berasal dari Timur, para nelayan Bugis, Ternate,
Tidore. Terutama serta adanya Amanagapa, yang memproduksi hukum laut pertama di
dunia, yang menjadi acuan hukum laut kemudian. Mudah-mudahan penelitian ini yang
mengambil fokus di Selat Malaka hanya masalah waktu dan prioritas paling baik
untuk saat ini, tetapi untuk ke depannya semoga yang lain juga bisa dimasukkan.

15
C.4. Ir. Prasetyo Sunaryo, MT
Dalam pemaparan di awal, hanya menyinggung masalah sosial, ekologis dan
ekonomi, tetapi kalau berdasarkan apa yang kami temukan di lapangan, masalah
politik menjadi yang dominan terutama di pelaksanaan sistem pemerintahan daerah.
Sebagai gambaran dalam pertemuan, permasalahan di daerah dnomor satu atau dua
yang dikemukakan selalu tentang lingkungan, tetapi saat pembagian anggaran,
lingkungan biasanya menjadi prioritas satu atau dua dari bawah. Ini yang menurut saya
berkaitan dengan keberpihakan secara politik, yang manakala riset ini kita
implementasikan, masalah ini bisa menjadi lebih jelas di lapangan. Berkaitan dengan
otonomi daerah, ternyata juga harus mempertimbangkan apa yang menjadi turunan
dari UU no. 32 dimana wilayah yang satu dengan yang lain harusnya bekerjasama
untuk lebih efisien dalam menghasilkan beberapa kegiatan. Ini sudah kita coba
dalam lingkup kerja lingkungan, dengan tidak semata-mata mengadopsi batas
administratif, tetapi melihat semata-mata dari batas ekologisnya. Termasuk
didalamnya dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Batas administratif justru
akan membuat kita menjadi semakin tidak efisien.

Dalam RGB itu, dimana letak pertahanan kemanan? Dalam dinamika RGB itu
apakah pertahanan kemanan adalah akibat atau sebab? Jadi ketika terjadi sebuah
dinamika, maka apakah memang dasarnya manusia cenderung akan melakukan
kejahatan atau perampasan sehingga perlu ada dimensi pertahanan keamanan?
Atau apakah ada pertahanan kemanan itu maka kriminal bisa jadi hilang. Dalam
khayalan saya dalam integrasi Hijau-Merah-Biru tadi, mungkin harus ditambah
integral Kemanan, karena kalo Merah-nya tidak karuan maka akan menyebabkan
keadaan chaotic.

Dalam suatu seminar, saya mendengar tentang ekonom dari MIT yang mengomentari
di perdebatan gedung putih mengenai Bogota, saya menyimpulkan bahwa ini tidak
dapat diselesaikan tanpa pendekatan ideologis, jadi market mechanism saja tidak
bisa, jadi harus kembali ke pendekatan ideologis. Apakah ideologisnya seperti
Merah-Hijau-Biru yang tadi, atau ada yang lain, atau market mechanism ini tadi
sudah tidak bisa dipakai lagi. Kalau kita sempitkan dalam konteks Selat Malaka,
maka Indonesia merupakan korban antara financial determinism dan social
determinism, artinya aset sosial berkelahi melawan aset finansial. Kalau aset sosialnya
kalah, maka modal sosialnya boros dan akan hancur lebur. Dan disinilah
keprihatinan kita ketika modal sosial kita mulai terkikis oleh modal finansial. Oleh
karena itu alat yang diperkenalkan tadi bila di “booming”-kan bisa menjadi perspektif
bagi berbagai macam kepentingan.

Pada tataran praktis, dari pengalaman tahun 1999, saya bertemu dengan wakil
gubernur Riau, beliau mengatakan sulitnya mengatur perikanan di Selat Malaka,
karena ikan yang ditangkap di Selat Malaka dijualnya di Pelabuhan Malaka, ditukar
di sana dengan beras dan lain lain, sehingga ikan tidak ada yang kembali ke Sumatera

16
Timur. Kemudian dari Aceh dan Medan, sekarang untuk menyekolahkan anak lebih
baik ke Penang daripada ke Bandung, karena transport dan lain-lain. Berhubungan
dengan pasar bersama ASEAN yang studinya dilakukan oleh Iwan Jaya Asis itu
sebenarnya akan menyebabkan transfer of wealth dari Sumatera bagian timur ke
seberangnya, termasuk Singapura. Dalam skema ini akan muncul lagi sisi pertahanan
keamanan, misalnya karena munculnya “Somalia-Somalia Kecil”. Bila demikian apakah
masih relevan KomTek (Komisi Teknis) karena semua harus dilihat dalam multi-
dimensi, jadi seharusnya ada komtek “gado-gado”, ada bermacam-macam tapi masih
terasa enak.

Berkaitan dengan tata ruang dan infrastruktur, kita selalu masuk dan menjadikan
infrastruktur itu sebagai faktor determinan, tetapi kalau ini tidak ditandem dengan
produktivitas maka infrastruktur yang kita bangun di Indonesia, akan hanya
melancarkan barang impor dan harganyapun semakin murah. Perhatikan diskursus
yang terjadi mengenai infrastruktur, atau istilah Pak Yoyok disebut “sistem bertutur”
atau diskursus, memang seharusnya oleh DRN ini harus dikoreksi. Salah satu contoh lain
misalnya adalah saat ini kopi Kapal Api saja diproduksinya di Malaysia.

Terakhir, ekonom mainstream kita ini tidak bisa diharapkan sebagai mitra diskusi.
Karena sejak Pak Daud Yusuf menjadi Menteri Pendidikan, political economy dan
geopolitic dilarang diajarkan di fakultas ekonomi, sehingga lulusan ekonomi paska
1978 tidak kenal dengan hal-hal terkait, mindset-nya semua adalah ekonometrik.
Akibatnya masalah tata ruang dan sebagainya detailnya tidak masuk ke dalam
penelitian mereka. Inilah kenapa Pak Djatun tiba-tiba senang dengan tata ruang,
karena beliau baru sadar kalau bila ditetapkan pertumbuhan misalnya sekian persen,
maka seharusnya pertumbuhan itu terjadi dimana? dan ini diakomodasi dalam tata
ruang. Ini yang mungkin harus dibicarakan antara tata ruang dan ekonom mainstream
ini, supaya ketika bicara pertumbuhan, jelas letak spasialnya dimana.

C.5. Prof. Dr. Masbach R.T Siregar - Komisi Teknis Sains Dasar, DRN
Tadi kita membahas topik tentang Selat Malaka, dan sebenarnya saya
membayangkan sesuatu yang lebih detail atau fokus. Karena kami di Dewan Riset
Nasional ini menghadapi hal-hal yang seperti itu, bagaimana kita menentukan
sesuatu yang mempunyai dampak ekonomi atau dampak pada Hijau dan Biru. Misalnya,
menurut saya tiap negara itu harus menentukan fokus-nya, misalnya Amerika
menentukan Apollo dahulu, tetapi dalam prosesnya dampaknya sangat banyak,
misalnya dari munculnya satelit hingga ke telepon seluler. Pertanyaannya, untuk Selat
Malaka apakah kita bisa mencari sesuatu seperti itu karena kita punya keterbatasan-
keterbatasan.

C.6. Ir. Tjahjo Prionggo – Badan Pengusahaan Batam


Menurut kami apa yang disampaikan oleh Pak Hendro Sangkoyo ini sangat menarik
dan perlu mendapat tanggapan dari seluruh instansi pemerintah yang terkait.

17
Artinya ketika kami mencoba ini dengan sungguh-sungguh di lapangan, saya sendiri
kelabakan. Ketika kami - Badan Pengusahaan Batam - merupakan kawasan khusus
dan betapa terperangahnya ketika pihak SDE mengatakan bahwa “apa yang anda
rencanakan di masterplan itu, sebenarnya adalah plan yang “ecek-ecek””. Setelah kami
praktekkan, ternyata itu benar.

Sebagai gambaran, andai beberapa investor besar mau masuk katakanlah dari Cina atau
Amerika, kemudian mereka minta untuk pelabuhan besar , kemudian untuk stok bahan
bakar juga kita harus menyediakan, maka Indonesianya tidak akan kebagian dan itu
semua akan menjadi pusat pertumbuhan yang manfaatnya diambil oleh pihak luar. Oleh
sebab itu saya merasa perlu memberikan masukan berdasarkan pengalaman dari
hasil diskusi kami yang panjang sebelumnya dengan pihak SDE. Pertama, mungkin ada
baiknya, yang sekarang ini di rintis oleh DRN, hanya satu pembicaraan dengan satu
instansi terkait untuk membicarakan masalah-masalah dengan konsep cukup rumit
dari SDE, dimana kita lebih tahu permasalahnnya. Kedua, mengenai kawasan khusus,
kebetulan ada Pak Iman dari PU tata ruang, kami mengusulkan untuk adanya
fleksibilitas di dalam perencanaan tata ruang, jangan seperti sekarang.

Oleh sebab itu khususnya berkaitan dengan Kawasan Khusus yang banyak sekali
peminatnya, bila tidak direncanakan, dievaluasi dan dianalisis dengan matang saya
kawatir kita akan rugi sendiri. Ketiga, pada intinya, mungkin pertanyaannya apa yang
sebenarnya kita harapkan dari hijau yang besar? (dari gambar spiral) karena masih
banyak yang harus kita lihat. Juga intinya, banyak orang yang peduli, salah satunya baru
saja kami bertemu dengan masyarakat yang memperhatikan semua aliran sungai di
Kalimantan berdampak apa dan apa rencananya mereka. Semoga dengan forum ini bisa
kita tindak lanjuti.

Selain itu kami sampaikan bahwa kami sangat memaklumi bahwa apa yang disampaikan
Pak Hendro Sangkoyo tidak bisa memungkinkan seluruh permasalahan Selat Malaka
diselesaikan pada saat ini. Jadi kami memang membuat komitmen, supaya tidak ada
banyak pertanyaan “kenapa kok ini dan itu belum masuk”, justru dulu kami mencoba
semuanya masuk akhirnya sampai puluhan dan akhirnya kita hanya berani
mengambil 9 dan setelahnya hanya mengambil 2. Jadi disini kami sangat
memaklumi apa yang disampaikan pihak DRN, untuk memperluas dari batasan itu,
tetapi saya juga bisa memahami bahwa apa yang disampaikan pihak SDE, belum bisa
ditambahkan di sini, karena dari pertemuan kali ini saja, saya masih mendapat banyak
lagi hal yang baru.

D. Tanggapan Pemapar (Dr. Hendro Sangkoyo dari SDE)


Memang banyak yang tidak bisa disampaikan lengkap dalam laporan tersebut. Ibaratnya,
kita ini seperti anak kecil dalam fase language acquisition sehingga sulit untuk
menggunakan idiom-idiom yang telah banyak dipakai dan rancu semantiknya,
bahkan mendorong apa yang tadi disebut sebagai topological mixing di antara logika

18
perubahan, chronotype, dan spatiotype dari masing-masing rerantai. Sebenarnya tidak
ada yang baru ketika kita bicara tentang rerantai merah, tetapi kita membaca
kembali secara kritis. Seperti menghentikan otak kiri kita sebentar, agar kita terbebas
dari doktrin tentang segala sesuatu yang telah menjadi banal.

Seperti penelitian dari Harvard, yang meminta seseorang yang bukan ahli
menggambar, lalu diminta menggambar kuda dan hasilnya jelek sekali. Ketika
diminta lagi tapi kali ini dengan melumpuhkan sementara otak kirinya, kali ini hasil
menggambarnya ternyata sangat mendekati bentuk asli kuda.

Jika melihat peta transek daerah pangan di Indonesia, tiba-tiba kita tidak bisa melihat
regulasi ini berguna sampai sejauh mana? Kemudian peta USGS mengenai provinsi
geologi dunia, konsekuensi dari peta semacam ini, terlihat bahwa setiap tempat itu
sudah terpetakan, terlepas seperti apa kehidupan di atasnya.

Berkatian dengan pertanyaan Pak Prasetyo, mengenai sisi pertahanan keamanan,


kalau menurut kami itu hanya sebuah fungsi dari pengurusan publik untuk mencapai dua
syarat, pertama keselamatan dan keamanan manusia dalam konteks sosialnya, kedua
kelangsungan fungsi-fungsi fisiologis dari ekosfera. Jadi kalau mau bongkar-bongkar sana
sini, bisa saja tetapi harus diingat ini adalah bumi kita, rumah kita yang akan di
bongkar.

Berikut ini adalah hasil kesimpulan yang dikeluarkan oleh PBB dalam salah satu
konferensinya mengenai pangan:

a. Tata guna tanah dan penguasaan properti membagi bentang alam jauh dari proses-
proses ekosistem alami, salah satunya adalah ketika chronotype rerantai hijau
tidak diperhitungkan, dan hanya fokus pada chronotype rerantai merah atau biru
yang biasanya didorong oleh rerantai merah.
b. Pasar keuangan dan siklus bisnis punya pola dan putarannya sendiri, putaran
modal butuh keuntungan dan keamanan, serta penguasaan tanah yang sering
tidak selaras dengan daur-daur alami.
c. Kebijakan kebanyakan dirancang dalam setting yang terlalu sederhana dan gagal
mengenali kerumitan dari berbagai rerantai dan siklus beserta interaksinya

Jadi itulah sebabnya, menciptakan suatu ruang diskursus, lebih dari sekedar
pemodelan yang memungkinkan semua orang berbicara versi chronotype-nya. Jadi yang
dimaksud dengan rerantai Biru (social nexii) mencakup aktor-jejaring-proses politik
juga, seperti yang dibayangkan pak Prasetyo. Kami ingin bisa berpikir lain, mulai dari
zaman pleistocene, apakah ada perubahan dari chronotype seperti yang terjadi dengan
Merapi. Kemudian bagaimana perusakan di wilayah timur kepulauan Sunda Kecil
mengalami percepatan chronotype-nya, sejak zaman perdagangan China tepatnya pada
masa Dinasti Tang di abad VII-VIII, hingga masuknya gelombang perluasan rezim

19
dagang dan produksi “tropis” dari bangsa-bangsa Eropa, yang juga memperkenalkan
monokultur skala besar dan menerapkan monopoli dagang, dan membawa habisnya
sumber seperti cendana dan kayu manis dari kepulauan Nusa Tenggara.

Hingga saat ini, ceritanya tetap tentang pembongkaran wilayah-wilayah bahan


mentah industrial untuk keamanan rantai pasokan industri maju. Saat ini giliran non-
ferous metal seperti Manganese yang dibongkar. Apabila setiap pulau di kepulauan
Sunda Kecil diperlakukan sebagai gudang bahan, imajinasi tandingannya mungkin
semacam konfederasi dari pengelolaan wilayah, dimana
yang ada bahkan bukan membongkar apa yang ada di tiap pulau, tetapi kita harus
membongkar teori perdagangan, karena inovasi pengelolaan harus dimulai dari on-
island production-consumption dan bukan inter-insular trade. Jadi kalau pulaunya beres,
dimana 50% atau lebih tanahnya dicadangkan untuk makanan dan semua basic survival,
baru kita bisa bicara external trade. Apabila hal itu bisa menjadi kebijakan dari
sekitar 800 pulau di Nusa Tenggara, mungkin kemudian kita bisa punya harapan.

Beberapa pulau yang punyachance untuk bukan “barely surviving” tetapi bisa menjadi
tujuan pengungsi dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan dari kepulauan
sekitarnya ternyata tidak banyak. Pulau pulau kecil ini tidak akan bertahan ketika air
laut naik, merusak lensa air dan tidak dapat ditinggali.

Ini semua sedang dirusak secara sistematis dan kita tidak punya radarnya.
Bagaimana pemerintah bisa menciptakan radar sehingga cerita ini ada koreksi
hariannya. Untuk bisa mencapai itu, seperti apa inovasi di sektor publiknya. Ini salah
satu yang kita kembangkan, seperti apa mengukur ecological nexii, social nexii,
investasi yang seperti apa yang sesuai dan lain sebagainya. Dari skema spiral pembesaran
produksi-konsumsi, di sini terlihat bahwa ekspansi ekonomi itu bukan pantangan, boleh
sebesar mungkin, tetapi perlu mempertimbangkan untuk social-ecological recovery,
sehingga misalnya tidak ada lagi TKW, minimal tidak terus meningkat.

Seperti kita ini yang ada di daerah Nanyang (bawah angin) untuk diambil sumber daya
alam atau bahan tambangnya dan sekaligus penyedia buruhnya. Jadi kita ini sedang
menciptakan satu generasi kuli. Kalau MP3EI ini kita terima mentah-mentah, dimana
memang memang ada agenda lain, dalam hal ini baik atau jahat itu tidak relevan.
Efek pada perluasan rerantai merah, ini yang paling parah, yaitu apa yang disebut
indulgence prosumption. Mula-mula kita mendengarkan radio bersama-sama, lalu mulai
beli kasetnya, lalu CD-nya, lalu beli iPod-nya, itu terus dan seperti tanpa akhir.

Dalam satu generasi terakhir 1970-2000, yang rhijau ini justru mengerut, dan yang
membesar adalah dua lainnya. Hal ini yang mau dilayani terus oleh CADP dan SCO
tadi.Perubahan boleh diukur dari uangnya, tetapi belakangan dan lihat relevansinya,
yang penting seharusnya adalah ada sebuah recovery process di sepanjang ekspansi
ekonomi.

20
Walaupun itu terkesan sulit, tapi seharusnya masih lebih mudah dibanding dengan
pengelolaan perluasan ekonomi yang ada seperti sekarang. Mungkin ada beberapa
pertanyaan yang tidak bisa dijawab satu persatu, tetapi mungkin bisa melalu kata
kunci. Catatan untuk cerita dari Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregional Sumatera-KLH,
kita senang pendekatan ekoregion saat ini mulai betul-betul digunakan. Tahun lalu kita
bersama 21 pelajar/periset dari isntansi pusat dan daerah berlatih menggunakan
kerangka penglihatan SDE, melalui kelompok-kelompok belajar dengan fokus di lima
wilayah, salah satunya adalah Provinsi Riau. Disitu kami mengetahui misalnya,
bahwa umur dari perselisihan tapal batas dan tanah, rata-rata usianya di atas 10
tahun. Ini artinya, pemindaian mungkin dilakukan, tetapi tidak ada tindakan koreksi, jadi
fragmentasi dari institusi pemerinta pada tingkatan operasional dan kemudian pada
tingkatan informatikanya itu berantakan dan heavily fragmented.

Oleh karena itulah LMU (Learning Management Unit) adalah yang kami pikir harus
dikembangkan sendiri atau region-specific, dan tidak ada rumusnya, jadi tidak bisa
dituliskan di laporan. Harus ada upaya pengembangan protokol yang bisa
memaknai sejarah perubahan sosial dan sejarah perubahan ekologis di situ. Mengenai
pertanyaan kenapa Selat Malaka, sebenarnya boleh saja Selat yang lain, sejarahnya
teman belajar yang pertama bertemu kebetulan dengan BP Batam dan DRN yang
memiliki kegiatan fokus pada Selat Malaka.

Untuk pertanyaan Pak Wahyu mengenai alasan pemlihan partner belajar yang
dilibatkan dalam penelitian ini. Kita bukan hendak mengkoordinasikan seluruh
pengurus publik, karena tentu saja kita tidak mampu dan tidak berhak. Adalah
kemewahan kalau kita bisa mengajak banyak.

Ketika kita melakukan diskusi di MIMA, ceritanya juga sama, diskusi ini lebih
mengenai riset yang lebih independen dan terbuka sifatnya. Pertanyaan yang kita
ajukan ke MIMA adalah agar mereka menyiapkan 5 pertanyaan tentang apa-apa yang
“paling menjengkelkan” tentang Indonesia dan begitu juga dari kami. Ketika kita masuk
ke dalam cerita Selat Malaka, kami menyampaikan pertimbangan bahwa bila di
pesisir timur Sumatera terus dibuka untuk ekspansi sawit, maka ketika diterapkan
sistem sediment budgeting per negara, Indonesia bisa menjadi negara “kotor” dan
boleh jadi harus membayar denda besar sekali. Malaysia di lain pihak berhasil
menjalankan policy pertanahan lewat FELDA, dan menahan urban sprawling,
termasuk mengatur porsi atau rasio perkebunan sawitnya dan tanaman pangan.

Beberapa waktu yang lalu, SDE diminta untuk mereview low carbon economy yang
dipromosikan oleh pemerintah Inggris cq. DFID. Menurut kami pendekatannya
kurang sesuai, karena sangat ekonomistik, ahistoris, dan praktis tanpa empati pada
proses stagnasi bahkan pemburukan di rerantai sosial di wilayah-wilayah yang
hendak dituju, termasuk dataran rendah Sumatera timur. Dalam salah satu penelitian
konsultannya, dikatakan bahwa harga tanah marjinal itu sekarang jatuh menjadi 700

21
USD per hektar, kurang-lebih seperlima dari nilai uang penguasaan tanah pada 1970-
an di awal ekspansi sawit, ketika harga beli adalah sekitar 3.500 USD per hektar. Low
carbon-nya ada dimana? Apakah uang sedemikian bisa membantu pengentasan
kemiskinan?

Untuk Pak Alim, kita memindai perluasan berbagai cabang industri pada matra laut,
khususnya deep sea exploration, dan kita ikut membaca laporan BP mengenai
bencana ekologis karena ledakan bawah-tanah di anjungan Gulf of Mexico, juga
anjungan Montara di Celah Timor. Seandainya itu terjadi di Selat Makassar, lalu habis
semua biota lautnya, lalu apa yang bisa kita lakukan? Amerika Serikat saja berbulan-
bulan jungkir balik untuk mengatasi bencana di Teluk Meksiko itu. Waktu itu Obama
gigih sekali meminta supaya BP membayar 30 milyar dolar dulu di depan, untuk jaminan
usaha mitigasi. Dia berani melakukan itu karena sebenarnya dialah yang membuka
kembali ijin pengeboran di Teluk Mexico yang telah disepakati untuk dihentikan
oleh gubernur-gubernur di sekitar lokasi sumur. Jadi bila dilihat dari Precautionary
Principle, itu semua hampir seluruhnya dilanggar.

Salah satu pertanyaan yang kita tanyakan ke MIMA, mengenai pertahanan


keamanan, “apakah alam pikiran kalian masih seperti di zaman Perang Dingin atau tidak?”
Mereka mengatakan bahwa kerangka mereka pada saat ini dalam melihat Selat
Malaka adalah sebagai aset regional. Waktu kita periksa, ternyata memang mereka
telah mengeluarkan puluhan juta dollar untuk membuat stasiun-stasiun pemindai
yang dapat diganti tabungnya setiap bulan untuk mengecek sumber asal pencemaran.

Aktivitas MIMA ini berlangsung sudah lama, dan meliputi 4 negara bagian dengan 250
tabung. Dari sini ternyata mereka menemukan bahwa pencemaran minyak di
permukaan justru bukan datang dari kapal tanker, tetapi dari kapal nelayan mereka
sendiri. Keberanian untuk bicara jujur dan melihat kenyataan secara empiris, berani
berpikir mandiri dan bukan dari teori teori yang dibilang dari para ahli itulah yang
ingin kita dorong.

Dalam imajinasi kami mungkin sedikit aneh, kita mau menempatkan diri di atas
Malaysia, Indonesia dan Singapura. Artinya kita ingin orang biasa di pulau-pulau
kecil dengan ribuan rekaman kejadian pembajakan terjadi di wilayah itu. Ketika kita
menghubungi International Maritime Bureau untuk mencari data pembajakan,
awalnya takut tetapi kemudian kita tahu bahwa harus ada yang berpikir, khususnya
di Indonesia, harus ada yang berpikir beyond the narrow national interest. Kalau
kita perlakukan selatnya, orangnya, perairan dan daratnya dengan penuh hormat,
kira kira akan seperti apa caranya.

Disini kita menggunakan Social-Ecological Accounting Matrix, di down-scale untuk


membicarakan Selat Malaka. Disini ada ecological nexii, lalu social nexii seperti
bagaimana rumah untuk warga setempat, lalu peran Selat sebagai material energy

22
container dan transport medium. Selama ini yang dihitung dari Selat Malaka adalah
economic value-nya sebagai transport medium. Bagaimana menghitungnya, adalah
dengan menghitung berapa jumlah uang yang harus dibayar kalau kita tidak boleh
lewat Selat Malaka. Pada titik ini munculah cerita koridor energi “Mekong-India-West
East Corridor” yang dirancang oleh Jepang, dan didesain untuk mengatasi five choke
points dari wilayah Asia bawah.

Terakhir yang penting adalah edited preventatif atau corrective measure for damages
from human resource. Ini harus serentak dan dilakukan melalui kerjasama dan belajar
bersama. Di sini harus ada satu model -bukan database- tetapi knowledge-base dan
bukan knowledge management sebagai kata kuncinya, tetapi Learning Management.

Dalam upaya mendapatkan basis informasi, SDE tidak ingin mengikatkan diri dengan
institusi pendanaan. Konsekuensinya, kadang-kadang soal “ongkos oplet” menjadi
hambatan dalam riset lapangan untuk mendapatkan guna mendapatkan data primer
secara langsung. Meskipun demikian, kami berusaha melakukanscholarly research
terbaik yang bisa kami lakukan.

23
Lampiran 2
Peta Jejaring Pelaku Kunci untuk PKM-SM

I. Instansi Pemerintah
A. Pusat
1. Departemen Pertahanan
2. Departemen Keuangan
3. Departemen Pertanian
4. Departemen Perindustrian
5. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
6. Departemen Perhubungan
7. Departemen Kesehatan
8. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
9. Departemen Sosial
10. Departemen Kehutanan
11. Departemen Kelautan dan Perikanan
12. Departemen Pekerjaan Umum
13. Kementerian Koordinator Bid.Politik, Hukum dan Keamanan
14. Kementerian Koordinator Bid.Perekonomian
15. Kementerian Koordinator Bid.Kesejahteraan Rakyat
16. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
17. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara
18. Kementerian Negara Riset dan Teknologi
19. Kementerian Negara Lingkungan Hidup
20. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
21. Dewan Riset Nasional
22. Badan Pertanahan Nasional
23. Badan Koordinasi Penanaman Modal
24. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
25. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
26. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional

B. Daerah
1. Badan Pengusahaan Batam
2. Bappeda Propinsi
3. Bappeda Kota
4. Badan Pengembangan (Otorita)
5. Bappeda Kabupaten
6. Badan Lingkungan Hidup
7. Dinas Kesehatan
8. Dinas Pekerjaan Umum
9. Dinas Pertambangan dan energi
10. Dinas Perhubungan
11. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
12. Dinas Kelautan dan Perikanan
13. Dinas Perindustrian dan Perdagangan

24
14. Dinas Sosial
15. Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah
16. Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah
17. Dewan Riset Daerah

II. Lembaga Pendidikan Tinggi/Menengah/Dasar dan Lembaga Riset


1. Maritime Institute of Malaysia (MIMA)
2. Politeknik Negeri Batam
3. Universitas Riau
4. Universitas Syiah Kuala, Aceh
5. Politeknik Negeri Lhokseumawe
6. Universitas Negeri Medan
7. Politeknik Negeri Medan
8. Universitas Sumatra Utara
9. Universiti Putra Malaysia
10. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kep.Riau
11. Cy Tung International Center for Maritime Studies, The Hong Kong Polytechnic
University
12. Department of Industrial Engineering & Innovation Science, Eindhoven
University of Technology, The Netherlands
13. Department of Shipping, Trade & Transport (STT), University of the Aegean
Greece
14. European Network for Port Studies
15. Institute of Transport and Maritime Management (ITMMA), University of
Antwerp, Belgium
16. International Transport Research Service
17. Malacca Straits Research and Development Centre (MASDEC)
18. Ports and Shipping Research Institute, Dalian Maritime University
19. Surface Ocean and Low Atmosphere Study (SOLAS)
20. Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Environmental
Protection (GESAMP)

III. Kampung/Komunitas/Warga
Setiap kampung, komunitas, maupun warga yang bersepakat untuk melakukan
praktek sosial pembalikan krisis pada skala lokal.

25
Lampiran 3
Rekaman Proses Workshop dan Kunjungan ke Politeknik Negeri Batam

Pada tanggal 15 April 2011 diselenggarakan workshop pemaparan dan diskusi atas hasil
sementara dari program PKM-SM, di kantor Badan Pengembangan Batam. Workshop ini
dihadiri oleh perwakilan lembaga maupun asosiasi industri yang sebagian besar
beraktivitas di Pulau Batam.

Dibuka oleh ibu Tusy dari Dewan Riset Nasional, sebagai jejaring institusional dari
program PKM-SM. Poin-poin yang disampaikan sebagai berikut:
 Dalam kerangka agenda Dewan Riset Nasional, program ini hendak mendorong
pengembangan “knowledge-based society”.
 Pelaksanaan riset sendiri adalah bagian dari amanah agenda riset nasional, baik
agenda sektoral maupun lintas-sektoral.
 Indonesia sebagai negara maritim masih belum secara optimal menata pengurusan
pada domain maritim-nya.
 Pembangunan yang dilaksanakan harus mampu menjaga keberlangsungan fungsi
ekologis dan keamanan masyarakat.
 Pembentukan “Learning Management Unit” yang akan menjadi pusat belajar.

Dilanjutkan dengan pemaparan mengenai program Poros Keunggulan Maritim olehSchool


of Democratic Economics. Poin-poin yang disampaikan sebagai berikut:
 Dinamika perubahan sosial-ekologis di wilayah belajar dipindai secara utuh pada
ketiga rerantai dominan, sosial-ekologis-ekonomik.
 Zona A (wilayah belajar bagi pengurusan publik di Indonesia) dan Zona A+ (wilayah
belajar kolaboratif lintas batas negara) diperlakukan sebagai wilayah belajar bersama,
dalam konteks Poros Keunggulan Maritim-Indonesia.
 Poros Keunggulan Maritim menggunakan kerangka analitik makro untuk menemukan
tautan antara domain daratan dan laut. Berbagai penelitian oleh banyak pihak juga
telah dilakukan dan menjadi sumber penting dalam penelitian ini.
 Penelitian ini hendak merumuskan agenda belajar kolaboratif mengenai pengurusan
wilayah daratan dan lautan, dengan menggunakan kerangka urai yang bersifat multi
skalar sehingga memungkinkan pembacaan secara utuh bagi setiap sektor belajar.
 Sektor Belajar yang dituju adalah institusi pengurusan publik, lembaga-lembaga
penelitian, dan orang biasa.
 Beberapa perubahan-perubahan utama yang ditemukan di wilayah pulau Batam dan
pulau-pulau sekitarnya antara lain: kecenderungan naiknya level keasaman,
gelontoran NOx dari daratan ke wilayah pesisir pulau Batam, krisis air bersih di pulau-
pulau kecil sekitar Batam.
 SDE menjelaskan mengenai proses kajian pustaka dan pengembangan kerangka urai
pada tahapan awal penelitian ini. Pemeriksaan dilakukan pada setiap instrument
hukum internasional terkait Selat Malaka maupun perairan lain di Indonesia maupun
regulasi yang diterbitkan oleh pengurus publik. Kesimpulan awal, hampir seluruhnya
menjerat Indonesia.
 Kajian terhadap nilai ekonomi dari Selat Malaka sendiri menunjukan bahwa Pulau

26
Batam seperti berada pada “tambang emas” dihadapan pertumbuhan ekonomi Selat.
Ini salah satu alasan menjadikan pulau Batam sebagai pusat belajar. Tetapi apakah
rerantai ekonomik yang tengah berlangsung saat ini berarti baik, untuk menjawabnya
diperlukan alat pindai yang dapat merefleksikan secara nyata dorongan positif/negatif
dari rerantai ekonomik terhadap rerantai sosial-ekologis pulau.
 MIMA sendiri, sebagai jejaring belajar PKM-SM di Malaysia, mengukuhkan diri untuk
berada di garis depan dalam pengurusan Selat Malaka. Pada saat diskusi, mereka
mengungkapkan beberapa hambatan dalam kolaborasi pengurusan dengan pihak
Indonesia, terutama mengenai ketersediaan data dan informasi.
 Untuk memulai sebuah agenda belajar kolaboratif hendaknya diawali dari satu focus
wilayah belajar yang paling memungkinkan untuk pertukaran pengetahuan, misalnya
saat ini yang paling memungkinkan adalah di pulau Batam.
 Batam sebagai jangkar pengembangan agenda belajar kolaboratif untuk PKM-SM.
Pada tahapan awal, LMU-MEH terdiri dari: BP-Batam (1 orang); Pemerintah Kota (1
orang); Pihak industri/perusahaan swasta (1 orang); dan Akademisi (1 orang dari
Politeknik Negeri Batam).

Selanjutnya, pada tanggal 16 April 2011 dilakukan diskusi dengan perwakilan dari
Politeknik Negeri Batam dan kunjungan ke kampus tersebut. Proses diskusi mengenai
program PKM-SM dan agenda riset Politeknik Negeri Batam, menyimpulkan sebagai
berikut:
 Pengurusan Selat Malaka dan wilayah sekitarnya adalah jangkar awal dari kajian Poros
Keunggulan Maritim-Indonesia.
 Berbagai penelitian Politeknik Negeri Batam hingga saat ini lebih banyak fokus pada
teknologi industri dan kelautan. Mereka merancang untuk lima tahun kedepan akan
lebih fokus pada pulau-pulau sekitar Batam untuk melihat krisis yang terjadi dan
kemungkinan mengatasinya.
 Politeknik Negeri Batam memiliki kesiapan infrastruktur dan berkeinginan untuk
menjadi pusat pengelolaan pengetahuan bagi program PKM-SM.

MIMA menyelenggarakan konferensi internasional setiap 2 tahun dan mengundang


banyak pihak yang terkait dengan pengurusan Selat Malaka. Pertemuan tahun ini akan
diselenggarakan di Melaka, Malaysia, dan mereka menyarankan agar program PKM-SM
dipaparkan secara lebih komprehensif di pertemuan tersebut.

27
Lampiran 4
Daftar Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia

Daftar Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia yang terkait dengan PKM-SM:


1. Undang-Undang No.39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
2. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.12/2006 tentang Komite Pengarah
Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau
Karimun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.46/2007 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.47/2007 tentang Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.48/2007 tentang Kawasan Perdangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26/2008 tentang Kawasan Strategis
Nasional
7. Keputusan Menteri Perhubungan No.33/2003 tentang Pemberlakuan Amandemen
SOLAS 1974 tentang Pengamanan Kapal dan fasilitas Pelabuhan di Wilayah Indonesia
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.61/2009 tentang Kepelabuhanan
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.5/2010 tentang Kenavigasian
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.21/2010 tentang Perlindungan
Lingkungan Maritim
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.36/2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.17/1974 tentang Pelaksanaan Eksplorasi
dan Eksploitasi Minyak dan Gas Alam Lepas Pantai
13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20/1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang
Nasional
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.29/1986 tentang Analisis Dampak
Lingkungan
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.37/2002 tentang Alur Laut Kepulauan
Indonesia
18. ALKI/ASL: 19 Conditions of Passage
19. Keputusan Menteri ESDM No.1158.K/1989 tentang Ketentuan Pelaksanaan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Dalam Usaha Pertambangan dan Energi
20. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.185.K/1988
21. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.4/1973
22. Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Pertambangan dan Energi No DKP.
49/1/2/27Kpts./ DM/MIGAS/1981
23. Keputusan Presiden No.23/1990 tentang Pembentukan Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (BAPEDAL)

28
24. Keputusan Presiden No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
25. Keputusan Presiden No.26/1986 tentang Ratifikasi Perjanjian ASEAN tentang
Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam
26. Peraturan Menteri No.28/2009 tentang Usaha Pelayanan Pertambangan
27. Undang-Undang No.18/2004 tentang Perkebunan
28. Undang-Undang No.25/2007 tentang Investasi
29. Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah
30. Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
31. Undang-Undang No.39/2009 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
32. Undang-Undang No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
33. Undang-Undang No.5/1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati
34. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.03/2000 tentang Bisnis atau Kegiatan Yang
Harus Dilengkapi Dengan Analisis Dampak Lingkungan
35. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.05/2000 tentang Pedoman Penyusunan
Analisis Dampak Lingkungan Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah
36. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.42/1996 tentang Standar Mutu Limbah Cair
untuk Kegiatan Industri Perminyakan, Gas, dan Panas Bumi
37. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/1995 tentang Standar Mutu Limbah Cair
bagi Kegiatan Industri
38. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.52/1995 tentang Standar Mutu Limbah Cair
bagi Kegiatan Perhotelan
39. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.55/2995 tentang Analisis Dampak
Lingkungan Hidup Daerah
40. Keputusan Kementerian Negara Lingkungan Hidup No.57/1995 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan untuk Kegiatan Bisnis Multi-Sektor Terintegrasi
41. Keputusan Kementerian Negara Lingkungan Hidup No.58/1995 tentang Standar Mutu
Limbah Cair bagi Kegiatan Rumah Sakit
42. Keputusan Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.103/1992
tentang Standar Mutu Limbah Cair (limbah dari pembangunan di pesisir)
43. Keputusan Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.3/1991
tentang Standar Kualitas Air untuk Kegiatan Yang Sudah Beroperasi

29
Daftar Ratifikasi Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Laut

30
31
Lampiran 5
Daftar Peraturan Perundang-Undangan Internasional
yang Menyangkut Wilayah Perairan Indonesia

1. Agriculture Ministerial Decree No. 607 1976 on Fish Catching Zone


2. Athens Convention relating to the Carriage of Passengers and their Luggage by Sea
(PAL) 1974
3. Basel Convention
4. Bilateral Maritime Agreements
5. 1997 Indonesia-Australia Maritime Delimitation Treaty
6. Indonesia-Singapore: Territorial Sea Boundary Agreement (May 25, 1973)
7. Communication Ministerial Decree No. 167 1986: International Certificate for
Petroleum Ships and Hazardous Waste
8. Convention on limitation of liability for maritime claims 1976 (1976 Limitation
Convention)
9. International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974
10. International Convention on Civil Liability for Bunker Oil Pollution Damage, 2001
11. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC 1969)
12. International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for
Seafarers (STCW)
13. International Convention on the Establishment of an International Fund for
Compensation for Oil Pollution Damage (Fund 1971)
14. International Convention relating to the Limitation of Liability of Owners of Sea-Going
Ships (1957 Limitation Convention).
15. International Maritime Organization Protocol of 1992 to amend the International
Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil
Pollution Damage, of 18th December 1971 (Fund 92)
16. International Ship and Port Facility Security Code
17. Loss Prevention Circulars-April 2010
18. MARPOL 73/78-Protocol of 1997
19. MARPOL-Protocol of 1978
20. Package Limitation-Rules and Conventions
21. International Convention for the Unification of Certain Rules of Law relating to Bills of
Lading (Hague Rules, 1924)
22. SDR Protocol 1979
23. The Hague Rules as amended by the Brussels Protocol 1968 (The Hague-Visby Rules)
24. United Nations Convention on the Carriage of Goods by sea, 1978 (The Hamburg
Rules)
25. Precautionary Circulars on NAVIGATION-April 2010
26. Precautions on Direct Reduced Iron
27. Protocol of 1996 to amend the Convention on Limitation of Liability for Maritime
Claims, 1976 (1996 Protocol)
28. Protocol of 2003 to the International ʻ Convention on the Establishment of an
International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage, 1992
29. Protocol to the International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage
1992 (CLC 92)

32
30. Rotterdam Convention
31. Rules and Precautions on CONTAINERS
32. Small tanker oil pollution indemnification agreement (STOPIA)
33. SOLAS V
34. Stockholm Convention

33
Lampiran 6
Foto Kegiatan

34
35
TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT:
Pengarah : Tusy A.Adibroto
Koordinator : Hartaya
Desain Sampul dan Tata Letak : Syarif Budiman
Komunikasi : Tiktik Dewi Sartika
Rina Widiyaningsih

36

Anda mungkin juga menyukai