Anda di halaman 1dari 2

Bencana Ekologis Banjir dan Longsor Sulsel Harus jadi Momentum Pemerintah

Berbenah Diri

Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di sepuluh Kabupaten/Kota di Sulawesi
Selatan saat ini merupakan potret buruk pengelolaan sumber daya alam dan tata kelola
ruang di Sulawesi Selatan. Ribuan warga menjadi korban dari dampak bencana ekologis,
tersebar di Kota Makassar, Kabupaten Soppeng, Jeneponto, Barru, Wajo, Maros, Bantaeng,
Sidrap, dan Pangkep.

Koordinotor Unit Desk Disaster WALHI Sulawesi Selatan, Muh. Akram Sulaiman
mengatakan, pemicu bencana awalnya memang faktor hidrometereologi, dimana terjadi
hujan dengan intensitas tinggi dan angin kencang diwilayah Sulawesi Selatan. Namun, jika
kondisi lingkungan baik-baik saja dan pemanfaatan ruang di atur dengan benar dan ditaati
oleh semua pihak, maka tentu tidak akan terjadi bencana separah ini.

“Bencana ekologis banjir dan longsor yang terjadi di Sulawesi Selatan sudah seharusnya
menjadi momentum bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melakukan revisi
peraturan terkait pemanfaatan ruang (RTRW, RDTR, RTBL). Pengaturan tata ruang dan
wilayah harus diintegrasikan dengan peta rawan bencana milik BPBD. Hal ini sangat
penting sebagai acuan dalam pengaturan pemanfaatan ruang, perizinan, dan tentu
memiliki peran besar dalam meminimalkan risiko bencana”, ujarnya.

Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, Muh. Al Amien juga mengungkapkan, semua
kegiatan usaha di hulu-hilir yang berkontribusi dalam menyebabkan bencana ekologis ini
harus ditinjau ulang.

“Mutlak diperlukan review perizinan secara mendalam untuk kegiatan yang memiliki
luasan besar di daerah hulu, sekitar bantaran sungai, dan kegiatan di pesisir (reklamasi)
yang merupakan tempat akhir air mengalir agar tidak terhambat. Pemerintah harus berani
mengambil kebijakan demi keselamatan banyak orang”, ungkap Amien.

Lebih lanjut, menurut Amien, hal penting lainnya adalah keterbukaan informasi publik
karena saat ini sangat sulit mengakses peta-peta terkait daerah rawan bencana terbaru,
peta perda RTRW, RDTL, RBTL,dan peta lokasi izin usaha baik pertambangan maupun
pemanfaatan hutan.

Jika informasi seperti ini dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat lewat website
pemerintah, maka semua pihak dapat melakukan pengawasan sehingga apabila ada
kejanggalan di lapangan dapat dilaporkan. Pada akhirnya, ini akan membantu semua pihak
dalam mewujudkan lingkungan yang baik dan tentu dapat meminimalkan risiko bencana
agar bencana ekologis yang terjadi saat ini tidak terulang kembali di kemudian hari,”
tambahnya.

Anda mungkin juga menyukai