Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, AKI di
Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya,
yaitu sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan
global Sustainable Development Goals (SDGs) menargetkan AKI di
Indonesia dapat turun menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2030. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari target
SDGs sehingga perlu upaya yang lebih besar untuk menurunkan AKI agar
mencapai target SDGs di tahun 2030. Penyebab langsung kematian ibu
adalah perdarahan, preeklampsia/eklampsia, dan infeksi. Hal tersebut dapat
terjadi pada masa nifas. Masa nifas merupakan masa kritis yang rawan bagi
ibu, sekitar 60% kematian ibu terjadi setelah melahirkan dan hampir 50% dari
kematian pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama setelah melahirkan
(Walyani, dkk, 2015).
Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu. Pelayanan pascapersalinan
harus terselenggara pada masa itu untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayi,
yang meliputi upaya pencegahan, deteksi dini dan pengopatan komplikasi dan
penyakit yang mungkin terjadi, serta penyediaan pelayanan pemberian ASI,
cara menjarangkan kehamilan, imunisasi, dan nutrisi bagi ibu (Saifuddin,
dkk, 2010).
Periode pascapersalinan meliputi masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan
keluarganya secara fisiologis, emosional, dan social. Baik di Negara maju
maupun Negara berkembang, perhatian utama bagi ibu dan bayi terlalu
banyak tertuju pada masa kehamilan dan persalinan, sementara keadaan
sebenarnya justru merupakan kebalikannya, oleh karena risiko kesakitan dan
kematian ibu serta bayi lebih sering terjadi pada masa pascapersalinan.
Keadaan ini terutama disebabkan oleh konsekuensi ekonomi, di samping
ketersediaan pelayanan atau rendahnya peranan fasilitas kesehatan dalam

1
menyediakan pelayanan kesehatan yang cukup berkualitas. Rendahnya
kualitas pelayanan kesehatan juga menyebabkan rendahnya keberhasilan
promosi kesehatan dan deteksi dini serta penatalaksanaan yang adekuat
terhadap masalah dan penyakit yang timbul pada masa pascapersalinan
(Saifuddin, dkk, 2010).
Oleh karena itu perlu adanya peningkatan pengetahuan tenaga kesahatan
khususnya dalam pelayanan asuhan ibu dan bayi secara komprehensif
termasuk asuhan pada masa nifas. Salah satu cara meningkatkan pengetahuan
ialah dengan mengkaji kembali teori dan prosedur yang ada dengan
penatalaksanan asuhan yang diberikan/dilakukan pada pasien/ibu secara
nyata, seperti adanya laporan “Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas Fisiologis”.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa dapat melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas fisiologis
dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen asuhan
kebidanan varney dan pendokumentasian menggunakan SOAP
1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa mampu dengan benar
1. Melaksanakan pengkajian data subjektif dan objektif asuhan kebidanan
pada ibu nifas fisiologis.
2. Menegakkan diagnosa dan masalah aktual asuhan kebidanan pada ibu
nifas fisiologis.
3. Menegakkan diagnosa dan masalah asuhan kebidanan pada ibu nifas
fisiologis.
4. Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera asuhan kebidanan pada ibu
nifas fisiologis.
5. Mengembangkan rencana tindakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
fisiologis.
6. Melaksanakan rencana tindakan asuhan kebidanan pada ibu nifas
fisiologis.

2
7. Mengevaluasi penatalaksanaan asuhan kebidanan pada ibu nifas
fisiologis.
8. Melakukan pendokumentasian asuhan kebidanan pada ibu nifas
fisiologis.
9. Menganalisis asuhan kebidanan pada ibu nifas fisologis yang telah
dilaksanakan dengan teori yang ada.

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi mahasiswa
Dapat menerapkan ilmu yang telah diperoleh secara nyata dalam
melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas fisiologis yang dapat
digunakan sebagai pengalaman dan pelajaran bagi mahasiswa dalam
melaksanakan tugas sebagai bidan nantinya.
1.3.2 Bagi lahan praktik
Dapat menjadi evaluasi bagi tenaga kesehatan dan staf lainnya dalam
pelayanan yang telah diberikan pada pasien sehingga dapat lebih
meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan selalu menjaga
mutu pelayanan terutama pada ibu nifas.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Nifas


2.1.1 Definisi
Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput
janin (menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus
reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil. Periode ini juga disebut
puerperium, dan wanita yang mengalami puerperium disebut puerperal.
Periode pemulihan pascapartum berlangsung sekitar enam minggu (Varney,
2008).
Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya
plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Saifuddin, dkk,
2010). Menurut Sofian (2011), masa nifas (puerperium) adalah masa
pemulihan kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat
kandungan kembali seperti prahamil yang lamanya 6-8 minggu. Masa nifas
adalah suatu perode dalam minggu-minggu pertama setelah kelahiran yang
lama periodenya sebagian besar menganggap 4 – 6 minggu (Cunningham,
dkk, 2012). Masa nifas (puerperium), berasal dari bahasa Latin, yaitu puer
yang artinya bayi dan parous yang artinya melahirkan atau masa sesudah
melahirkan (Saleha, 2009).
Dengan demikian, masa nifas merupakan masa yang dimulai dari
plasenta lahir sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil,
dan memerlukan waktu kira-kira 6 minggu.

2.1.3 Tahap Masa Nifas


Sofian (2011) dan Yanti, dkk (2011) menyatakan bahwa tahapan yang
terjadi pada masa nifas terdiri dari:
1. Puerperium dini yaitu kepulihan saat ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan.

4
2. Puerperium intermediate, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia
yang lamanya 6-8 minggu.
3. Puerperium lanjut atau remote puerperium, yaitu waktu yang diperlukan
untuk pulih dan sehat kembali dalam keadaan sempurna tertutama ibu
bila ibu selama hamil atau waktu persalinan mengalami komplikasi.
Adapun tahapan masa nifas menurut Saleha (2009) dan Bobak (2005)
terdiri dari:
1. Periode immediate postpartum
Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini
sering terdapat banyak masalah, misalnya pendarahan karena atonia uteri.
Oleh karena itu, bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan
kontraksi uterus, pengeluaran lokia, tekanan darah, dan suhu.
2. Periode early postpartum (24 jam-1 minggu)
Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal,
tidak ada perdarahan, lokia tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik.
3. Periode late postpartum (1 minggu - 6 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan
sehari - hari serta konseling KB.

2.1.4 Perubahan Fisiologis Masa Nifas


1. Sistem Endokrin
Sistem endrokrin mengalami perubahan secara tiba-tiba selama
kala IV persalinan dan mengikuti lahirnya plasenta. Menurut Maryunani
(2013), pada akhir kehamilan, sebagian besar hormon steroid berasal
dari plasenta walaupun korpus luteum dan ovarium terus menghasilkan
sebagian. Selama periode postpartum, terjadi perubahan hormon yang
besar. Kadar estrogen dan progesteron turun ke tingkat sebelum hamil
dalam 72 jam setelah persalinan. Hormon protein plasenta memiliki
waktu paruh yang lama sehingga kadar plasma turun lebih lambat.
Selama kehamilan, pembentukan gonadotropin tertekan. Kadar FSH
pulih ke konsentrasi prahamil dalam 3 minggu setelah persalinan, tetapi

5
pemulihan sekresi LH memerlukan waktu yang lebih lama, bergantung
masa laktasi. Kadar oksitosin dan prolaktin juga bergantung pada kinerja
laktasi. Dimana prolaktin akan merangsang sel alveoli di mammae untuk
memproduksi ASI, sedangkan hormon oksitosin akan merangsang otot
mioepitel dalam pengeluaran ASI. Menurut Bobak (2005) dan Saleha
(2009), beberapa hormone yang mengalami perubahan selama masa
nifas, diantaranya:
a. Hormon Plasenta
Selama periode pasca partum terjadi perubahan hormone yang
besar. Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan siknifikan
hormone-hormon yang diproduksi oleh plasenta. Hormone plasenta
menurun dengan cepat setelah persalinan. Penurunan hormone
Human Placenta Lagtogen (HPL), estrogen dan progesterone serta
plasental enzyme insulinase membalik efek diabetogenik
kehamilan, sehingga kadar gula darah menurun secara bermakna
masa nifas. Ibu diabetic biasanya membutuhkan insulin dalam
jumlah yang jauh lebih kecil selama beberapa hari. Karena
perubahan hormon normal ini membuat masa nifas menjadi suatu
periode transisi untuk metabolism kaborhidrat, interpretasi tes
toleransi glukosa lebih sulit pada saat ini. Human Chorionic
Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan menetap sampai
10% dalam 3 jam hingga hari ke 7 post partum sebai onset
pemenuhan mamae pada hari ke 3 postpartum.
b. Hormon Pituitary
Prolaktin darah meningkat dengan cepat, pada wanita tidak
menyusui menurun dalam waktu 2 minggu. FSH dan LH meningkat
pada fase konsentrasi folikuler pada minggu ke 3, dan LH tetap
rendah hingga ovulasi terjadi.
c. Hormon Oksitosin
Oksitosin dikeluarkan dari kelenjar bawah otak bagian belakang
(posterior), bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara.
Selam tahap ketiga persalinan, oksitosin menyebabkan pemisahan

6
plasenta kemudian seterusnya bertindak atas otot yang berkontraksi,
mengurangi tempat plasenta dan mencegah perdarahan. Pada wanita
yang memilih menyusui bayinya isapan sang bayi merangsang
keluarnya oksitosin lagi dan ini membantu uterus kembali kebentuk
normal dan pengeluaran air susu.
d. Hipotalamik Pituitary Ovarium
Untuk wanita yang menyusui dan tidak menyusui akan
mempengaruhi lamanya ia mendapatkan menstruasi. Seringkali
menstruasi pertama itu bersifat anofulasi yang dikarenakan
karenakan rendahnya kadar estrogen dan progesterone. Diantara
wanita laktasi sekitar 15% memperoleh menstruai selam 6 minggu
dan 45% setelah 12 minggu. Diantara wanita yang tidak laktasi 40%
menstruasi setelah 6 minggu, 65% setelah 12 minggu dan 90%
setelah 24 minggu untuk wanita laktasi 80% menstruasi pertama
anovulasi dan untuk wanita yang tidak laktasi 50% siklus pertamaan
ovulasi.
e. Hormon Estrogen dan Progesteron
Volume darah normal selama kehamilan, akan meningkat. Hormon
estrogen yang tinggi memperbesar hormon anti diuretik yang dapat
meningkatkan volume darah. Sedangkan hormone progesteron
mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan
peningkatan pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi saluran kemih,
ginjal, usus, dinding vena, dasar panggul, perineumdan vulva serta
vagina.
2. Sistem Reproduksi
a. Involusi Uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses
dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil (Yanti, dkk, 2011).
Involusi uterus meliputi reorganisasi dan pengeluaran desidua/
endometrium dan eksfoliasi tempat perlekatan plasenta yang ditandai
dengan penurunan ukuran dan berat serta perubahan pada lokasi

7
uterus juga ditandai dengan warna dan jumlah lochea (Varney,
2008).
Menurut Yanti, dkk (2011) dan Ambarwati, dkk (2010), proses
involusi uterus adalah sebagai berikut :
1) Efek oksitosin
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna
segera setelah lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap
penuruanan volume intrauteri yang sangat besar. Hormon
oksitosin yang dilepaskan dari kelenjar hipofisis memperkuat dan
mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah dan
membantu proses hemostatis. Kontraksi dan retraksi otot uterus
kan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan
membantu mengurangi bekas luka perlekatan plasenta
memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total.
Oksitosin yang dibebaskan dari kelenjar hipofisis posterior
akan menginduksi kontraksi miometrium yang intermiten dan
kuat, dan karena rongga uterus sudah kosong maka keseluruhan
uterus berkontraksi penuh kearah bawah dan dinding uterus
kembali menyatu berhadapan satu sama lain. Serat spiral
miometrium yang membatasi aliran darah ke tempat perlekatan
plasenta.
Selama 1 sampai 2 jam pertama postpartum intensitas
kontraksi uterus bisa berkurang dan menjadi teratur. Karena itu
penting sekali menjaga dan mempertahankan kontraksi uterus
pada masa ini. Suntikan oksitosin biasanya diberikan secara
intravena atau intramuskuler segera setelah kepala janin bayi
lahir. Pemberian ASI segera setelah lahir akan merangsang
pelepasan oksitosin karena isapan bayi pada payudara
(Ambarwati, dkk, 2010).
2) Autolisis
Autolisis merupakan proses penghancuran diri sendiri yang
terjadi didalam otot utertus. Enzim proteolitik akan memendekkan

8
jaringan otot yang telah sempat megendur sebanyak 10 kali
panjangnya dari semula dan lima kali lebar dari semua selama
kehamilan. Sitoplasma sel yang berlebih akan tercerna sendiri
sehingga tertinggal jaringan fibro elastic dalam jumlah renik
sebagai bukti kehamilan.
Peningkatan kadar estrogen dan progesteron bertanggung
jawab untuk pertumbuhan masif uterus selama masa hamil.
Pertumbuhan uterus pada massa prenatal tergantung pada
hyperplasia, peningkatan jumlah sel-sel otot dan hipertropi, yaitu
peningatan sel-sel yang sudah ada. Pada masa postpartum
penurunan kadar hormon-hormon ini menyebabkan terjadinya
autolisis.
3) Atrofi jaringan
Jaringan yang berpoliferasi dengan adanya estrogren dalam
jumlah besar, kemudian mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap
penghentian produksi estrogen yang menyertai pelepasan
plasenta. Selain perubahan atrofi pada otot-oto uterus, lapisan
desidua akan mengalami atrofi dan terleapas dengan
meningkatnya lapisan basal yang akan beregenerasi menjadi
endometrium yang baru.
Segera setelah persalinan, uterus dapat dipalpasi tepat
dibawah umbilikus. Uterus harus teraba berkontraksi dengan baik.
Setelah 24 jam, tinggi fundus uterus mulai menghilang secara
progresif sampai tidak dapat lagi dipalpasi diatas simfisis pubis
pada hari ke 10-12 pascanatal. Proses ini disebut involusi. Berat
uterus akan sangat berkurang pada minggu ke-6 dan bentuknya
akan mendekati bentuk uterus sebelum hamil. Tinggi fundus
uterus dan berat uterus menurut masa involusi (Sofian, 2011)
Masa Nifas Ukuran Uterus Berat Uterus
Bayi Lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simpisis 500gram
2 minggu Tak teraba diatas simpisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram

9
8 minggu Sebesar normal 30 gram
b. Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri yang
keluar melalui vagina selama masa nifas (Varney, 2008). Akibat
involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta
akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama
dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua inilah
yang dinamakan lochea (Yanti, dkk, 2011). Menurut Sofian (2011)
dan Yanti, dkk (2011), lochea dibagi menjadi :
1) Lochea rubra
Berisi darah segar berwarna merah dan sisa-sisa selaput ketuban,
sel-sel desidua, vornik kaseosa, lanugo dan meconium, selama
1 - 3 hari pasca persalinan.
2) Lochea sanguilenta/sanguinolenta
Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar pada
hari 3-7 pascapersalinan.
3) Lochea serosa
Berwarna kuning cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7-14
hari pascapersalinan. Berisi lebih sedikit darah dan lebih banyak
serum juga terdiri dari leukosit dan robekan laserasi plasenta.
4) Lochea alba
Dimulai dari hari ke 14, kemudian makin lama makin sedikit
hingga sama sekali berhenti sampai satu atau dua minggu
berikutnya. Bentuknya seperti cairan putih berbentuk krim serta
terdiri atas leukosit dan selaput lendir serviks dan serabut
jaringan yang mati.
Ada juga lochea purulenta merupakan lokia ini berwarna seperti
nanah dan berbau busuk, hal ini terjadi karena adanya infeksi
(Sofian, 2011). Lochea mempunyai bau yang amis meskipun tidak
terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda setiap wanita.
Umumnya jumlah lochea lebih sedikit bila dalam posisi berbaring
daripada berdiri, karena pembuangan bersatu di vagina bagian atas
saat posisi berbaring dan kemudia akan mengalir keluar saat berdiri.

10
Lochea memiliki reaksi alkalis/basa yang membuat organisme
berkembang lebih cepat daripada kondisi asam yang ada pada vagina
normal (Yanti, dkk, 2011).
c. Endometrium
Perubahan pada endometrium adalah trombosis, degenerasi, dan
nekrosis ditempat implantasi plasenta. Pada hari pertama tebal
endometrium 2,5 mm, mempunyai permukaan yang kasar akibat
pelepasan desidua, dan selaput janin. Setelah tiga hari mulai rata,
sehingga tidak ada pembentukan jaringan parut pada bekas
implantasi plasenta (Saleha, 2009).
d. Serviks
Segera setelah berakhirnya persalinan, serviks menjadi sangat
lembek, kendur, terkulai, dan berbentuk seperti corong. Hal ini
disebabkan korpus uteri berkontraksi, sedangkan serviks tidak
berkontraksi, sehingga perbatasan antara korpus dan serviks uteru
berbentuk cincin. Warna serviks merah kehitam-hitaman karena
pembuluh darah. Selesai involusi, ostium uteri eksternum tidak sama
seperti sebelum hamil. Pada umumnya akan lebih besar, tetap ada
reatk-retak, dan robekan pada pinggirnya (Yanti, dkk, 2011).
e. Payudara (Mammae)
Selama kehamilan, hormon prolaktin dari plasenta meningkat
tetapi ASI biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar
estrogen yan tinggi. Pada hari kedua atau ketiga postpartum, kadar
estrogen dan progesteron turun drastis, sehingga pengaruh prolaktin
lebih dominan dan pada saat inilah mulai terjadi sektesi ASI. Dengan
menyusukan lebih dini terjadi perangsangan puting susu,
terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga sekresi ASI semakin
lancar. Dua refleks pada ibu yang sangat penting dalam proses
laktasi yaitu refleks prolaktin dan refleks aliran timbul akibat
perangsangan puting susu oleh hisapan bayi (Ambarwati, dkk,
2010).
1) Refleks Prolaktin

11
Sewaktu bayi menyusu, ujung saraf sensorif yang terdapat pada
puting susu terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut
afferent dibawa ke hipotalamus di dasar otak, lalu memacu
hipofise anterior untuk mengeluarkan hormon prolaktin ke
dalam darah. Melalui sirkulasi prolaktin memacu sel kelenjar
alveoli untuk memproduksi air susu. Jumlah prolaktin yang
disekresi dan jumlah susu yang diproduksi berkaitan dengan
stimulus isapan, yaitu frekuensi, intensitas dan lamanya bayi
menghisap (Ambarwati, dkk, 2010).
2) Refleks Aliran (Let Down Refleks)
Rangsangan yang ditimbulkan oleh bayi saat menyusu selain
mempengaruhi hiopofise anterior mengeluarkan hormon
prolaktin juga menpengaruhi hipofise posterior mengeluarkan
hormon oksitosin. Dimana setelah oksitosin dilepas kedalam
akan memacu otot-otot polos yang mengelilingi alveoli dan
duktulus berkontraksi sehingga memeras air susu dari alveoli,
duktulus, dan sinus menuju puting susu. Refleks let-down dapat
dirasakan sebagai sensasi kesemutan atau dapat juga ibu
merasakan sensasi apapun. Tanda-tanda lain dari let-down
adalah tetesan pada payudara lain yang sedang dihisap oleh
bayi. Faktor-faktor yang meningkatkan let down adalah melihat
bayi, mendengarkan suara bayi, mencium bayi, memikirkan
untuk meyusui bayi. Faktor-faktor yang menghambat reflek let
down ini adalah stres, seperti keadaan bingung/pikiran kacau,
takut, dan cemas (Ambarwati, dkk, 2010; Yanti, dkk, 2011).
f. Vagina dan Perineum
Segera setelah persalinan, vagina dalam keadaan menegang
dengan disertai adanya edema dan memar, dengan keadaan masih
terbuka. Dalam satu atau dua hari edema vagina akan berkurang.
Dinding vagina akan kembali halus, dengan ukuran yang lebih luas
dari biasanya. Ukurannya akan mengecil dengan terbentuk
kembalinya rugae, pada 3 minggu setelah persalinan. Vagina

12
tersebut akan berukuran sedikit lebih besar dari ukuran vagina
sebelum melahirkan pertama kali. Dengan demikian perlu latihan
untuk memulihkan dan mengencangkan otot perineum kembali
(Varney, 2008).
3. Pemulihan Fertilitas
Wanita yang tidak menyusui mulai mendapat haid, secara rata-
rata, sekitar 55-60 hari setelah melahirkan, sementara menyusui
menunda ovulasi sampai 30-40 minggu setelah persalinan dan haid
sampai 8-15 bulan, bergantung pada durasi dan tingkat menyusui.
Sebagian wanita menjadi hamil sewaktu amenorea menyusui, tetapi
derajat penekanan fertilitas bergantung pada pola menyusui bayi dan
mungkin pada nutrisi ibu. Efek laktasi pada kesuburan berkurang seiring
meningkatnya waktu antara menyusui dan seiring dengan pemberian
makanan tambahan pada bayi. Namun, aminorea laktasi tampaknya
memberi kontrasepsi yang cukup baik selama sekitar 6 bulan walaupun
mungkin lebih berefek pada penjarangan kehamilan (Ambarwati, dkk,
2010).
4. Pemulihan Fertilitas
Banyak wanita yang sengaja membatasi jumlah anak yang
mereka inginkan. Banyak masalah ekonomi dan sosial yang
berhubungan dengan hal ini; namum perlu diketahui bahwa terdapat
sebagian wanita yang sebagian (atau semua) metode kontrasepsi tidak
dapat diterapkan atas alasan keagamaan atau budaya. Pemulihan
kesuburan sangat sulit dinilai karena berbagai faktor, misalkan
menyusui, praktik budaya dan agama, variasi genetik, dan penyakit
dapat mempengaruhi identifikasi pulihnya siklus kesuburan. Perlu
ditekankan bahwa ovulasi mendahului haid sehingga amenorea tidak
menjamin fertilisasi tidak ada (Ambarwati, dkk, 2010).
5. Sistem Kardiovaskular
Volume darah dalam sirkulasi dan curah jantung turun pada masa
nifas dan ventrikel yang hipertrofi lambat mengalami remodeling, isi
sekuncup relatif tetap tinggi. Hal ini berarti kecepatan denyut jantung

13
pada masa nifas berkurang karena isi sekuncup secara proporsional
memberi kontribusi lebih besar terhadap penurunan curah jantung.
Dengan demikian wanita masa nifas lazim mengalami bradikardia
(penurunan kecepatan denyut jantung menjadi sekitar 60-70 x/menit).
Peningkatan kecepatan denyut jantung mungkin mengindikasikan
anemia berat trombosis vena atau infeksi. Perubahan volume darah
tersebut tergantung pada beberapa faktor, misalnya kehilangan darah
selama melahirkan dan mobilisasi serta pengeluaran cairan
ekstravasekuler (Bobak, dkk, 2005).
Pengeluaran darah saat persalinan, yang secara normal
diperkirakan jumlahnya 300-500 ml, dikompensasi secara adekuat oleh
peningkatan volume darah yang terjadi selama kehamilan. Sedangkan
melalui seksio caesaria kurang lebih 700-1000 cc (Saleha, 2009). Pada
minggu ketiga dan keempat setelah bayi lahir, volume darah biasanya
menurun mencapai volume darah sebelum hamil.
6. Sistem Hematologi
7. Leukositosis adalah meningkatnya jumlah sel – sel darah putih sampai
sebanyak 15.000 selama masa persalinan. Leukosit akan tetap tinggi
jumlahnya selam beberapa hari pertama masa postpartum. Jumlah sel –
sel darah putih tersebut masih bisa naik lebih tinggi lagi hingga 25.000 –
30.000 tanpa adanya kondisi patologis jika wanita tersebut mengalami
persalinan lama. Akan tetapi, berbagai jenis kemungkinan infeksi harus
dikesampingkan pada penemuan semacam itu. Jumlah hemoglobin dan
hematokrit serta eritrosit akan sangat bervariasi pada awal – awal masa
nifas sebagai akibat dari volume darah, volume plasma, dan volume sel
darah yang berubah – ubah. Sering dikatakan bahwa jika hematokrit
pada hari pertama atau kedua lebih rendah dari titik 2% atau lebih tinggi
daripada saat memasuki persalinan awal, maka klien dianggap telah
kehilangan darah yang cukup banyak. Titik 2% tersebut kurang lebih
sama dengan kehilangan 500 ml dsrsh. Biasanya terdapat suatu
penurunan besar kurang lebih 1.500 ml dalam jumlah darah keseluruhan
selama kelahiran dan masa nifas. Rincian jumlah darah yang terbuang

14
pada klien ini kira – kira 200 – 500 ml hilang selama masa persalinan,
500 – 800 ml hilang selama minggu pertama post partum, dan terakhir
500 ml selama sisa masa nifas (Saleha, 2009).
8. Sistem Pencernaan
Pascapersalinan, kadar progesterone mulai menurun, tetapi faat
usus memerlukan waktu 3 – 4 hari untuk kembali normal (Yanti, dkk,
2011). Sering terjadi konstipasi pada ibu setelah melahirkan. Hal ini
disebabkan karena pada waktu melahirkan alat pencernaan mendapat
tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong, pengeluaran cairan
yang berlebihan pada waktu persalinan (dehidrasi), kurang makan,
hemorroid, laserasi jalan lahir. Disamping itu rasa takut buang air besar,
sehubungan dengan jahitan pada perineum, jangan sampai lepas dan
jangan takut akan rasa nyeri. Buang air besar harus dilakukan tiga
sampai empat hari setelah persalinan (Ambarwati, dkk, 2010).
Supaya buang air besar kembali teratur dapat diberikan diit atau
makanan yang mengandung serat, pemberian cairan yang cukup,
pengetahuan tentang pola eleiminasi pasca melahirkan, dan perawatan
luka jalan lahir. Bila usaha ini tidak berhasil dalam waktu 2 atau 3 hari
dapat ditolong dengan pemberian huknah atau gliserin spuit atau
diberikan obat laksan yang lain (Ambarwati, dkk, 2010; Yanti, dkk,
2011).
9. Sistem Perkemihan
Ibu postpartum dianjurkan segera buang air kecil agar tidak
mengganggu proses involusi uteri dan ibu merasa nyaman. Hal yang
menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu postpartum,
diantaranya:
a) Adanya edema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga
terjadi retensi urin
b) Diaforesis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang
terentesi dalam tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.

15
c) Depresi dari sfingter uretra oleh karena penekanan kepala janin dan
spasme oleh iritasi muskulus sfingter ani selama persalinan,
sehingga menyebabkan miksi.
Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormone estrogen akan menurun,
hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah, dan hilangnya
peningkatan volume akibat keamilan. Hal ini merupakan mekanisme
tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan yang disebut dengan diuresis
postpartum. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo
6 minggu (Yanti, dkk, 2011). Saluran kencing kembali normal dalam
waktu 2-8 minggu, tergantung pada keadaan sebelum persalinan,
lamanya partus kala dua dilalui, besarnya tekanan kepala yang menekan
pada saat persalinan (Rahmawati, 2009).

10. Perubahan Tanda – Tanda Vital


1) Suhu Tubuh
Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 derajat celsius.
Sesudah partus dapat naik kurang lebih 0,5 derajat celsius dari
keadaan normal, namun tidak akan melebihi 0,8 derajat celsius.
Kenaikan suhu ini terjadi karena kerja keras sewaktu melahirkan,
kehilangan cairan, maupun kelelahan. Sesudah dua jam pertama
melahirkan umumnya suhu badan akan kembali normal. Nila suhu
lebih dari 38 derajat celsius, mungkin terjadi infeksi pada klien
(Yanti, dkk, 2011).
2) Denyut Nadi
Denyut nadi normal berkisar antara 60-80x/menit, maksimal
100x/menit, segera setelah post partum terjadi bradikardi. Denyut
nadi post partum umumnya lebih labil dari pada suhu. Kecuali bila
persalinan berlangsung lama dan sulit sehingga terjadi perdarahan
maka hal tersebut bisa mengakibatkan takikardi. Bradikardi post
partum pada hari ke 6-10 dengan frekuensi denyutan 40-70x/menit
adalah perubahan normal (Saleha, 2009).
3) Tekanan darah

16
Tekanan darah biasanya tidak berubah pada kasus pascapersalinan
normal (Yanti, dkk, 2011). Namun, pada beberapa kasus ditemukan
keadaan hipertensi postpartum akan menghilang dengan sendirinya
apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya
dalam setengah bulan tanpa pengobatan (Saleha, 2009). Bila tekanan
darah lebih rendah dapat disebabkan oleh perdarahan dan bila
tekanna darah tinggi postpartum dapat disebabkan oleh preeklampsia
postpartum (Yanti, dkk, 2011).
4) Respirasi
Penurunan konsentrasi progesteron setelah pengeluaran plasenta
memulihkan sensitifitas tubuh terhadap karbondioksida sehingga
tekanan parsial karbondioksida kembali ke kadar prahamil.
Diafragma dapat meningkatkan jarak geraknya setelah uterus tidak
lagi menekan sehingga ventilasi lobus-lobus basal paru dapat
berlangsung penuh. Compliance dinding dada, volume alun napas,
dan kecepatan pernapasan kembali ke normal dalam 1-3 minggu.
Pada umumnya respirasi lambat atau bahkan normal. Hal ini juga
bisa karena ibu dalam keadaan pemulihan/dalam kondisi istirahat.
Bila ada respirasi cepat postpartum (>30x per menit) mungkin
karena tanda-tanda syok (Suherni, 2009).
11. Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus. Pembuluh-
pembuluh darah yang berada diantara anyaman otot-otot uterus akan
terjepit. Proses ini akan menghentikan pendarahan setelah plasenta
dilahirkan.
Ligamen-ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang meregang
pada waktu persalinan, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih
kembali sehingga tak jarang uterus jatuh kebelakang dan menjadi
retrofleksi karena ligamentum rotundum menjadi kendor. Tidak jarang
pula wanita mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan karena
ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor.

17
Stabilisasi secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu setelah persalinan
(Sulistyawati, 2009).
12. Kerusakan dan Perbaikan Jaringan Lunak
Selama persalinan tidak jarang terjadi kerusakan pada jaringan
lunak. Menurut Sjamsuhidayat, dkk (2004), trauma pada saluran
genetalia wanita dijelaskan sebagai berikut:
a. Superfisial – hal ini biasanya berupa lecet pada kulit tempat
epidermis terpisah akibat tekanan peregangan. Hal ini tidak
memerlukan pengobatan; namun, kelainan ini sering menimbulkan
rasa tidak nyaman karena terganggunya banyak ujung syaraf yang
terletak di lapisan superficial jaringan. Pengeluaran urine mungkin
menimbulkan rasa tidak nyaman sewaktu urine berkontak dengan
lecet.
b. Derajat satu – ini adalah robekan di kulit dan jaringan superficial di
bawahnya (tidak termasuk otot). Luka sering sembuh sendiri karena
tepi luka biasanya berhadapan langsung. Tepi luka yang tercabik-
cabik dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut berlebihan.
c. Derajat dua – apabila robekan menyebabkan kerusakan otot
perineum. Luka ini biasanya dijahit untuk membantu penyembuhan.
d. Episiotomi – ini adalah insisi bedah untuk memperbesar introitus
vagina agar bayi mudah keluar. Episiotomi termasuk dalam kategori
robekan derajat dua.
e. Derajat tiga – otot sfingter anus terkena. Harus dilakukan perbaikan
obstetric sehingga aktivitas otot sfingter pulih sehingga penyulit
inkontinensia feses dapat dihindari.
f. Derajat empat – apabila robekannya sangat luas, sfingter anus dapat
terputus dan robekan mencapai mukosa rectum. Diperlukan
perbaikan bedah spesialistik agar fungsi anus kembali normal.
Perbaikan perineum dilakukan dengan penjahitan oleh dokter/
bidan. Tersedia beragam jenis benang dan teknik untuk memperbaiki
perineum; bagaimanapun, penjahitan bertujuan mencapai hal berikut:

18
a. Hemostasis – hal ini untuk memastikan bahwa setiap titik perdarahan
aktif diikat untuk mengurangi pengeluaran darah dan penyulit
hematom pascanatal (pembentukan bekuan darah di dalam luka)
yang dapat menimbulkan nyeri hebat.
b. Alignment – hal ini untuk menyatukan jaringan sehingga proses
penyembuhan optimal dan luka dapat mendekati keadaan sebelum
robekan. Apabila luka dibiarkan menganga, tidak terjadi penyatuan
dan karena penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi,
akan terbentuk jaringan ikat. Hal ini akan menyebabkan perineum
menjadi kaku dan berubah bentuk sehingga dapat terjadi dispareunia
(nyeri saat berhubungan kelamin).
Sebagian besar trauma perineum dapat digolongkan sebagai luka
dalam karena trauma jaringan melibatkan lapisan di bawah epidermis
dan dermis. Menurut Sjamsuhidayat, dkk (2004), penyembuhan luka
melibatkan tahap berikut :
a. Respon peradangan
Peradangan adalah suatu reaksi normal terhadap trauma jaringan.
Peradangan perineum pada awalnya dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman hebat bagi wanita pada awal masa nifas. Analgesik,
misalnya Voltarol, akan bermanfaat karena bekerja sebagai obat anti
inflamasi. Namun, peradangan merupakan hal penting untuk
memastikan penyembuhan luka sehingga analgesik seyogyanya
digunakan hanya apabila responnya berat. Peradangan berfungsi
mengisolasi jaringan yang rusak, mengurangi penyebaran infeksi.
Sel darah putih, misalnya neutrofil dan monosit, menginvasi jaringan
akibat peningkatan vasodilatasi di pembuluh darah sekitar. Sel ini
menelan semua bakteri yang masuk dan menguraikan semua
jaringan nekrotik di dalam luka.
b. Fase Migratorik
Melibatkan infiltrasi luka oleh sel mesenkim yang membentuk
fibroblast, yang mula-mula membentuk krusta di atas luka terbuka.
Setelah itu, pembuluh darah tumbuh ke dalam luka dan luka secara

19
bertahap terisi dari atas ke bawah oleh pertumbuhan jaringan baru
yang disebut jaringan granulasi.
c. Fase Poliferatif
Ketika sel epitel tumbuh di bawah krusta. Fase ini berakhir dengan
pematangan sel baru dan terlepasnya krusta.
Tahapan Penyembuhan Luka
 Bekuan darah terbentuk, diperkuat oleh serat fibrin
 Terjadi respons peradangan akut; leukosit polimorf
Hari 0 – 3
dan makrofag bermigrasi ke tempat luka; eksudat
berprotein tinggi menyebabkan edema lokal
 Krusta mengering, mengeras, dan akhirnya terlepas
 Luka berkontraksi
 Terjadi aktifitas mitosis di sel epidermis, yang
Satu bermigrasi di atas jaringan yang hidup
minggu  Terbentuk kapiler darah baru, terbentuk dari tunas
kemudian endotel, yang membawa nutrient ke jaringan yang
menyembuh
 Jaringan ikat baru, yang dibentuk oleh fibroblast,
menunjang pertumbuhan kapiler
 Depresi permukaan mungkin masih tampak di bekas
Enam luka; jaringan parut menjadi lebih pucat
bulan  Epitelisasi tuntas
kemudian  Jaringan ikat mengalami reorganisasi, pembuluh
darah berkurang dan jaringan menjadi lebih kuat

2.1.5 Adaptasi Psikologi Masa Nifas


1. Fase Taking in (1-2 hari post partum)
Wanita menjadi pasif dan sangat tergantung serta berfokus pada diri dan
tubuhnya sendiri. Mengulang-ulang, menceritakan pengalaman proses
bersalin yang dialami. Wanita yang baru melahirkan ini perlu istirahat
atau tidur untuk mencegah gejala kurang tidur dengan gejala lelah, cepat
tersinggung, campur baur dengan proses pemulihan (Anggraeni, 2010).

20
2. Fase hold period (3-4 hari post partum)
Ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuan menerima tanggung jawab
sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat
sensitif sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk
mengatasi kritikan yang dialami ibu (Anggraeni, 2010).
3. Fase Letting go
Pada fase ini pada umumnya ibu sudah pulang dari tempat persalinan.
Ibu mengambil tanggung jawab untuk merawat bayinya, dia harus
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayi, begitu juga adanya
grefing karena dirasakan dapat mengurangi interaksi sosial tertentu.
Depresi post partum sering terjadi pada masa ini (Anggraeni, 2010).

2.1.6 Program dan Kebijakan Teknis Masa Nifas


Dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal
(2010) disebutkan bahwa pada masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali
kunjungan, masa nifas dilakukan untuk menilai keadaan ibu dan bayi baru
lahir, dan untuk mencegah mendeteksi dan menangani masalah–masalah
yang terjadi.
Kunjungan Waktu Tujuan
1 6 – 8 jam  Mencegah pendarahan masa nifas karena atonia uteri.
setelah  Mendeteksi dan merawat penyebab lain pendarahan :
persalinan merujuk bila pendarahan berlanjut.
 Pemberian ASI awal.
 Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir.
 Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah
hipotermia.
Jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus
tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam
pertama setelah kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam
keadaan stabil
2 6 hari  Memastikan involusi uterus berjalan normal, uterus
setelah berkontraksi, fundus dibawah umbilikus, tidak ada
persalinan perdarahan abnormal, tidak ada bau.
 Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi atau
cairan, dan istirahat.
 Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak

21
memperlihatkan tanda-tanda penyulit.
 Memberikan konseling pada ibu mengenali asuhan
pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan
merawat bayi sehari-hari.
3 2 minggu
setelah tujuannya sama dengan kunjungan yang kedua
persalinan
4 6 minggu  Menanyakan pada ibu tentang penyulit –penyulit
setelah yang ia atau bayi alami.
persalinan  Memberikan konseling untuk mendapatkan
pelayanan KB secara dini.
Sumber : Saifuddin, dkk, 2010.

2.1.7 Perawatan Pasca Persalinan


Menurut Saifuddin, dkk (2010), ada beberapa tindakan yang baik
untuk asuhan masa nifas normal pada ibu.
1. Kebersihan diri
a. Anjurkan kebersihan seluruh tubuh.
b. Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan
sabun dan air. Pastikan bahwa ibu mengerti untuk membersihkan
daerah di sekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, baru
kemudian membersihkan daerah sekitar anus. Nasihatkan kepada ibu
untuk membersihkan vulva setiap kali selesai buang air kecil atau
besar.
c. Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut
setidaknya dua kali sehari.
d. Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum
dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
e. Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada
ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka.
2. Istirahat
a. Anjurkan ibu agar istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang
berlebihan.

22
b. Sarankan ibu untuk kembali ke kegiatan rumah tangga secara
perlahan-lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat selagi bayi
tidur.
c. Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal :
1) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi.
2) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak
perdarahan.
3) Menyebabkan depresi dan ketidakmampuan untuk merawat bayi
dan dirinya sendiri.
3. Latihan
a. Diskusikan pentingnya otot-otot perut dan panggul kembali normal.
Ibu akan merasa lebih kuat dan ini menyebabkan otot perutnya
menjadi kuat sehingga mengurangi rasa sakit pada punggung.
b. Jelaskan bahwa latihan tertentu beberapa menit setiap hari sangat
membantu, seperti :
1) Dengan tidur terlentang dengan lengan disamping, menarik otot
perut selagi menarik nafas, tahan nafas ke dalam dan angkat dagu
ke dada, tahan satu hitungan sampai 5. Rileks dan ulangi
sebanyak 10 kali.
2) Untuk memperkuat tonus otot jalan lahir dan dasar panggul
(latihan kegel).
c. Berdiri dengan tungkai dirapatkan. Kencangkan otot-otot pantat dan
pinggul dan tahan sampai 5 hitungan. Kendurkan dan ulangi latihan
sebanyak 5 kali.
Mulai dengan mengerjakan 5 kali latihan untuk setiap gerakan.
Setiap minggu naikkan jumlah latihan 5 kali lebih banyak. Pada
minggu ke 6 setelah persalinan ibu harus mengerjakan setiap gerakan
sebanyak 30 kali.
4. Gizi
Ibu menyusui harus :
a. Mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap hari.

23
b. Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral,
dan vitamin yang cukup.
c. Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari ( anjurkan ibu untuk minum
setiap kali menyusui.
d. Pil zat beri harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya
selam 40 hari pasca persalinan.
e. Minum kapsul vitamin A (200.000 unit) agar bisa memberikan
vitamin A kepada bayinya melalui ASI.

5. Perawatan payudara
Perawatan yang dilakukan bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah
dan mencegah tersumbatnya saluran susu sehingga memperlancar
pengeluaran ASI. Perawatan payudara hendaknya dilakukan sedini
mungkin, yaitu 1-2 hari setelah bayi dilahirkan dan dilakukan 2 kali
sehari. Agar tujuan ini dapat tercapai bidan melakukan perawatan
payudara, yaitu dengan menganjurkan ibu nifas untuk :
a. Menjaga payudara tetap bersih dan kering.
b. Menggunakan BH yang menyokong payudara.
c. Apabila puting susu lecet, oleskan ASI yang keluar di sekitarnya
setelah selesai menyusui. Menyusui tetap dilakukan mulai dari
puting susu yang tidak lecet.
d. Apabila lecet sangat berat dapat diistirahatkan selama 24 jam. ASI
dikeluarkan dan diminumkan menggunakan sendok.
e. Apabila payudara bengkak akibat pembendungan ASI dilakukan:
1) Pengompresan payudara menggunakan kain basah dan hangat
2) Lakukan pengurutan payudara
3) Susukan bayi setiap 2-3 jam sekali apabila tidak dapat menghisap
seluruh ASI dikeluarkan dengan tangan.
4) Keringkan payudara
5) Letakkan kain dingin pada payudara setelah menyusui.
6. Hubungan seksual

24
Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah
merah berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke
dalam vagina tanpa rasa nyeri.
7. Keluarga berencana
a. Idealnya pasangan harus menunggu sekurang – kurangnya 2 tahun
sebelum ibu hamil kembali.
b. Sebelum menggunakan metode KB, hal – hal berikut sebaiknya
dijelaskan lebih dahulu kepada ibu :
1) Cara kerja metode ini.
2) Kelebihan / keuntungannya.
3) Efek samping.
4) Bagaimana cara menggunakan metode ini.
5) Kapan metode ini mulai digunakan untuk wanita pasca
persalinan dan menyusui.
2.1.8 Tanda Bahaya Nifas
Menurut Yanti, dkk (2010), beberapa tanda- tanda bahaya pada masa nifas
atara lain sebagai berikut:
1. Perdarahan vagina yang luar biasa banyak atau tiba – tiba banyak.
2. Rasa sakit dibagian bawah abdomen.
3. Lochea yang berbau menusuk.
4. Tanda-tanda vital : TD > 140/90 mmHg, suhu > 38 C, nadi > 100
x/menit.
5. Rasa sakit kepala yang terus menerus, nyeri ulu hati, dan masalah
penglihatan.
6. Pembengkakan di wajah dan punggung tangan (PEB).
7. Fundus lembek, diatas ketinggian fundus saat masa pasca salin.
8. Kandung kemih (penuh) tidak bisa buang air kecil .

2.1.9 Komplikasi Masa Nifas


1. Infeksi Nifas

25
Infeksi nifas merupakan semua peradangan yan disebabkan oleh
masuknya kuman-kuman kedalam alat-alat genetalia pada waktu
peresalinan dan nifas.
Infeksi ini disebabkan oleh masuknya kuman kedalam alat
kandungan, diantaranya adalah streptococcus Haemolyticus aerobik,
Staphilococcus aureus, Aschericia coli, Clostridium welchii (kuman
aerobik yang sering ditemui pada abortus kriminalis). Infeksi nifas
terbagi menjadi 2 golongan, yaitu infeksi lokal (ditandai dengan
pernanahan, perubahan warna kulit, pengeluaran lochea bercampur
nanah, mobilisasi terbatas karena rasa nyeri, temperatur badan
meningkat) dan infeksi umum (tampak sakit dan lemah, temperatur
meningkat, tekanan darqah menurun dan nadi meningkat dan terasa
sesak, kesadaran gelisah sampai menurun dan koma, terjadi gangguan
involusi uterus, lochea berbau dan bernanah serta kotor).
Pencegahan terjadinya infeksi ini bisa dilakukan dengan cara
melakukan mobilisasi dini sehingga darah lokhea dapat keluar dengan
lancar, personal higine yang baik, rawat gabung dengan isolasi untuk
mengurangi infeksi nosokomial (Saleha, 2009).
2. Sub Involusi
Terhambatnya proses pengecilan uterus, yang disebabkan karena
adanya infeksi endometrium, terdapat sisi plasenta dan slaputnya,
terdapat bekuan darah atau mioma uteri. Pada palpasi uterus teraba msih
besar , fundus masih tinggi, lochea banya, dapat berbau dan terjadi
perdarahan (Saleha, 2009).
3. Perdarahan Masa Nifas
Perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam setelah anak
lahir. Berdasarkan waktu timbulnya perdarahan terbagi atas perdarahan
primer (early postpartum hemorhage, terjadi pada 24 jam pertama)
disebabkan karena adanya atonia uteri, retensio plasenta, sisi plasenta,
laserasi jalan lahir, dan inversio uterui dan perdarahan sekunder (late
postpartum hemorhage, terjadi setelah 24 jam persalinan) disebakan oleh
sub involusi, retensio plasenta, dan infeksi nifas.

26
Pencegahan agar tidak terjadi perdarahan dapat dilakukan dengan
memberikan injeksi oksitosinsetelah bayi lahir, memastikan kontraksi
uterus setelah bayi lahir, memastikan plasenta lahir lengkap, menangani
robekan jalan lahir (Saleha, 2009).
4. Infeksi Saluran Kemih
Penyebab ISK dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat
trauma kandung kemih waktu persalinan, pemeriksaan dalam yang
terlalu sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau kateterisasi yang
sering.
Sistitis biasanya memberikan gejala berupa nyeri berkemih
(disuria), sering berkemih, dan tak dapat menahan untuk berkemih.
Demam biasanya jarang terjadi. Adanya retensi urine pasca persalinan
umumnya merupakan tanda adanya infeksi (Saleha, 2009).

2.2 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas Normal


2.2.1 Pengkajian data S dan O
A. Data Subyektif
1. Biodata
a. Umur
< 20 tahun : alat-alat reproduksi belum matang, mental dan
psikisnya belum siap.
> 35 tahun : rentan untuk terjadi perdarahan dalam masa nifas
(Saleha, 2009).
b. Pendidikan
Menurut Notoatmodjo (2007), pendidikan yang dijalani
seseorang memiliki pengaruh pada peningkatan kemampuan
berfikir, dimana seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan
dapat mengambil keputusan yang lebih rasional, umumnya
terbuka untuk menerima perubahan atau hal baru dibandingkan
dengan individu yang berpendidikan lebih rendah.
2. Keluhan Utama
6 – 8 jam PP : nyeri perut, nyeri jahitan, ASI tidak keluar/sedikit.

27
6 hari PP : nyeri perut, gatal pada luka jahitan, bengkak pada
kaki, puting lecet.
2 minggu PP : cemas, puting lecet, bengkak pada kaki.
6 minggu PP : puting lecet, bengkak pada kaki (Saleha, 2009)
3. Riwayat Obstetri
Perempuan yang pernah melahirkan anak atau multipara akan
berbeda dengan perempuan yang baru memiliki anak pertama kali
atau primipara. Multipara memiliki risiko lebih tinggi mengalami
komplikasi dibandingkan dengan primipara. Namun, primipara juga
memiliki risiko lebih besar mengalami preeklampsia postpartum
(Saifuddin, dkk, 2010). Jarak kehamilan sebelumnya yang < 2 tahun
juga dapat meningkatkan risiko komplikasi yang dapat terjadi pada
masa kehamilan, persalinan, dan nifas.
4. Riwayat Persalinan Sekarang
Jenis dan lama persalinan akan memberikan dampak trauma pada
persalinan. Bahaya yang masih tetap mengancam adalah perdarahan
postpartum, infeksi nifas, atau trauma akibat pertolongan obstetrik
(Sofian, 2011).
5. Riwayat Kesehatan Klien dan Keluarga
Cunningham, et al (2012), Rukiyah, et al (2010), dan Fraser (2009)
mengatakan bahwa setiap teori yang memuaskan mengenai etiologi
dan patogenesis penyakit, termasuk preeklampsia, lebih mungkin
timbul pada perempuan yang telah memiliki penyakit ginjal,
hipertensif kronis, trombofilia diabetes melitus, lupus, dan rematoid
arthritis. Jadi kemungkinan terjadi komplikasi akan lebih besar
terjadi pada masa nifas apabila ibu sebelumnya atau sedang dan
memiliki keturunan menderita penyakit tertentu.
6. Riwayat kontrasepsi
Pemilihan kontrasepsi yang tepat disesuaikan dengan usia, paritas,
dan kesehatan ibu. Selain itu, jenis kontrasepsi sebelumnya
(Saifuddin, dkk, 2010).
7. Pola Fungsional Kesehatan

28
a. Nutrisi
Kebutuhan nutrisi ibu nifas biasanya meningkat seiring dengan
persiapan untuk laktasi. Selain itu, diet juga akan mempercepat
pemulihan kesehatan dan kekuatan ibu pasca melahirkan (Yanti,
dkk, 2010).
b. Eliminasi :
BAK fisiologis akan terjadi < 6 jam pasca melahirkan,
sedangkan BAB biasanya terjadi 3-4 hari pasca melahirkan
(Yanti, dkk, 2010).
c. Istirahat
Seorang wanita yang dalam masa nifas dan menyusui
memerlukan waktu lebih banyak untuk istirahat karena sedang
dalam proses penyembuhan, terutama organ-organ reproduksi
dan untuk kebutuhan menyusui bayinya (Yanti, dkk, 2010).
d. Personal hygiene
Ibu nifas harus mengganti pakaiannya minimal 2x/hari, ganti
celana dalam dan pembalut minimal 3x/ hari (Bahiyatun, 2009;
Saifuddin, dkk, 2010)
8. Riwayat Psikososial dan Budaya :
 Anisah, et al (2010) menjelaskan agar proses psikologis dalam
masa nifas berjalan normal, maka diperlukan dukungan dan
kenyamanan dalam psikologisnya. Dukungan dapat berasal dari
berbagai pihak seperti suami, orang tua, keluarga dan orang–
orang yang ada disekelilingnya. Wanita yang diperhatikan dan
dikasihi oleh suami selama hamil dan persalinan akan
menunjukkan lebih sedikit gejala emosi, fisik dan lebih mudah
melakukan penyesuaian selama masa nifas.
 Pada daerah atau suku tertentu, ada beberapa adat istiadat yang
harus dilakukan secara turun temurun pada masa nifas.
Contohnya pantang terhadap makanan tertentu seperti telur,
daging, udang, ikan. Padahal telur, daging, udang, dan ikan
merupakan makanan kaya akan protein yang berguna untuk

29
proses penyembuhan luka dan pemulihan tubuh ibu. Pada masa
nifas, ibu dilarang tidur siang, akibatnya ibu menjadi kurang
istirahat. Pada masa nifas seorang ibu harus cukup istirahat
karena ibu masih dalam masa pemulihan dan demi kelancaran
ASI (Puspitasari, et al, 2011).
B. Data Obyektif
1. Pemeriksaan umum
a. Tanda-tanda vital
1) Tekanan darah
Tekanan darah biasanya tidak berubah pada kasus
pascapersalinan normal (Yanti, dkk, 2011). Namun, pada
beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi postpartum
akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat
penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam setengah
bulan tanpa pengobatan (Saleha, 2009). Bila tekanan darah
lebih rendah dapat disebabkan oleh perdarahan dan bila
tekanna darah tinggi postpartum dapat disebabkan oleh
preeklampsia postpartum (Yanti, dkk, 2011).
2) Suhu
Peningkatan suhu badan sampai 24 jam pertama masa nifas
pada umumnya disebabkan oleh dehidrasi, yang disebabkan
oleh keluarnya cairan pada waktu melahirkan, selain itu juga
bisa disebabkan karena istirahat dan tidur yang diperpanjang
selama awal persalinan. Tetapi pada umumnya setelah 12 jam
post partum suhu tubuh kembali normal. Kenaikan suhu yang
mencapai ≥ 38ºC adalah mengarah ke tanda-tanda infeksi
(Saleha, 2009)
3) Nadi
Nadi berkisar antara 60-100x/menit. Denyut nadi di atas
100x/menit pada masa nifas adalah mengindikasikan adanya
suatu infeksi, hal ini salah satunya bisa diakibatkan oleh
proses persalinan sulit atau karena kehilangan darah yang

30
berlebihan. Jika takikardi tidak disertai panas kemungkinan
disebabkan adanya vitium kordis. Beberapa ibu post partum
kadang mengalami bradikardi puerperal, yang denyut nadinya
mencapai serendah-rendahnya 40-50x/menit, beberapa alasan
telah diberikan sebagai penyebab yang mungkin, tetapi belum
ada penelitian yang membuktikan bahwa itu adalah suatu
kelainan (Yanti, dkk, 2010).
4) Pernapasan
Penurunan konsentrasi progesteron setelah pengeluaran
plasenta memulihkan sensitifitas tubuh terhadap
karbondioksida sehingga tekanan parsial karbondioksida
kembali ke kadar prahamil. Diafragma dapat meningkatkan
jarak geraknya setelah uterus tidak lagi menekan sehingga
ventilasi lobus-lobus basal paru dapat berlangsung penuh.
Compliance dinding dada, volume alun napas, dan kecepatan
pernapasan kembali ke normal dalam 1-3 minggu. Pada
umumnya respirasi lambat atau bahkan normal. Hal ini juga
bisa karena ibu dalam keadaan pemulihan/dalam kondisi
istirahat. Bila ada respirasi cepat postpartum (>30x per
menit) mungkin karena tanda-tanda syok (Suherni, 2009)
2. Pemeriksaan fisik
a. Wajah
Normalnya yakni tidak oedema tidak pucat, conjunctiva merah
muda, sclera putih.
b. Payudara
Pada umumnya, ada pembesaran, konsistensinya lunak, puting
susu menonjol, bersih, tidak terdapat bendungan ASI, ada
colostrum. Selama kehamilan, hormon prolaktin dari plasenta
meningkat tetapi ASI biasanya belum keluar karena masih
dihambat oleh kadar estrogen yan tinggi. Pada hari kedua atau
ketiga postpartum, kadar estrogen dan progesteron turun drastis,

31
sehingga pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah
mulai terjadi sektesi ASI (Ambarwati, dkk, 2010).
c. Abdomen/ Uterus
6 – 8 jam PP :  3 jari bawah pusat, konsistensi uterus keras,
kontraksi baik.
6 hari PP : Pertengahan pusat simpisis, konsistensi
uterus keras, kontraksi baik.
2 minggu PP : Tak teraba diatas simpisis.
6 minggu PP : Tak teraba.
Adapun menurut Sofian (2011):
Masa Nifas Ukuran Uterus Berat Uterus
Bayi Lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simpisis 500gram
2 minggu Tak teraba diatas simpisis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram
d. Genetalia
Tidak terdapat oedema pada labia mayora maupun labia minora,
jahitan perineum baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi, terdapat
pengeluaran berupa:
6 – 8 jam PP : darah segar warna merah, tidak berbau
busuk, jumlahnya.
6 hari PP : darah bercampur lendir berwarna merah
kekuningan, tidak berbau busuk, jumlahnya.
2 minggu PP : lendir, tidak berbau busuk, jumlahnya.
6 minggu PP : berwarna putih seperti krim, tidak berbau
busuk, jumlahnya (Sofian, 2011).
e. Ekstrimitas atas/ bawah
Tidak ada oedema, tidak ada varices, refleks baik.
2.2.2 Intrepetasi data diagnosis dan masalah
1. Diagnosa Kebidanan
PAPAH, PP........jam/hari
2. Masalah

32
Masalah yang biasa timbul saat masa nifas adalah kurang istirahat. Hal
ini dikarenakan proses persalinan yang membuat ibu merasa kelelahan
(Yanti, dkk, 2010).
2.2.3 Identifikasi diagnosa dan masalah potensial
1. Infeksi (vulvitis, vaginitis, servisitis, tromboflebitis, endometritis,
peritonitis, infeksi jahitan operasi jika SC)
2. Perdarahan
3. Infeksi saluran kemih
4. Patologi menyusui (puting susu lecet, payudara bengkak, saluran susu
tersumbat, mastitis, abses payudara) (Yanti, dkk, 2010)
2.2.4 Identifikasi tindakan segera
1. Mandiri : pada beberapa situasi yang memerlukan penanganan segera
(emergensi) dimana bidan harus segera melakukan tindakan untuk
menyelamatkan pasien.
2. Kolaborasi : dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau dengan
tenaga kesehatan lain yang ahli dibidangnya untuk dikonsultasikan atau
ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan lain sesuai dengan
kondisi pasien.
3. Merujuk : bila terjadi komplikasi.
2.2.5 Perencanaan tindakan
1. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga
R/ informasi yang jelas mengoptimalkan asuhan yang diberikan
2. Jelaskan penyebab dari keluhan atau masalah yang dirasakan ibu, seperti
perut terasa mules akibat adanya kontraksi uterus, lemas atau pusing
akibat perubahan fisiologis ibu nifas
R/ informasi yang jelas memberikan kenyaman klien
3. Bimbing ibu untuk mobilisasi bertahap
R/ mobilisasi mencegah thrombosis vena dan tromboemboli, serta
mempercepat pemulihan kondisi ibu post partum
4. Bimbing ibu massage fundus uteri untuk membantu kontraksi uterus
R/ massage akan membantu uterus berkontraksi dengan baik ditandai
dengan teraba keras dan bundar sehingga dapat mencegah perdarahan

33
5. Berikan dukungan psikologis kepada ibu dalam menghadapi perubahan
fisik, psikologis, dan peran sosial yang dialaminya
R/ dukungan psikologis akan membantu ibu dan keluarga lebih mudah
menghadapi perubahan fisik, psikologis, dan peran sosial di masyarakat.
6. Observasi keluhan, TTV, ASI, kontraksi uterus, TFU, jahitan perineum,
dan lochea.
R/ Memantau kondisi ibu dapat mencegah terjadinya komplikasi masa
nifas
7. Bimbing tentang perawatan payudara dan cara menyusui yang benar
R/ ASI yang lancar dapat memberikan kenyamanan dan pertumbuhan
serta perkembangan yang baik bagi bayi
8. Berikan HE tentang :
a. Tanda bahaya nifas
Pusing berat, mata kunang-kunang, perdarahan sur-sur, panas yang
tinggi, perut terasa sangat nyeri.
b. Tanda bahaya bayi baru lahir
Malas minum, sianosis, sesak napas, ikterus, panas atau suhu badan
rendah, retraksi dada, BBLR.
c. Perawatan tali pusat bayi
Ajarkan ibu untuk merawat tali pusat bayinya dengan perawatan
kering hanya mengunakan kasa kering saja tanpa ditambahi/dibubuhi
apapun agar tidak terjadi infeksi.
d. Kebersihan diri
- Anjurkan kebersihan seluruh tubuh.
- Ajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan
sabun dan air. Memastikan bahwa ibu mengerti untuk
membersihkan daerah di sekitar vulva terlebih dahulu, dari depan
ke belakang, baru kemudian membersihkan daerah sekitar anus.
Menjelaskan kepada ibu untuk membersihkan vulva setiap kali
selesai buang air kecil atau besar.
- Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut
setidaknya dua kali sehari.

34
- Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum
dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
- Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, menyarankan
kepada ibu untuk menghindari menyentuh daerah luka.
2.2.6 Pelaksanaan tindakan
Melakukan rencana asuhan menyeluruh yang telah diuraikan pada
langkah 5.
2.2.7 Evaluasi
Dilakukan evaluasi dari keefektifan dari asuhan yang diberikan
Tanggal/jam
1. Subjektif : diharapkan ibu tidak lagi merasakan keluhan
2. Objektif : TTV dalam batas normal, ASI sudah keluar dikedua
payudara, kontraksi uterus baik, TFU sesuai involusi uteri, lochea sesuai
periode nifas, tidak ada tromboflebitis.
3. Analisis : merupakan diagnosa dari pemeriksaan subjektif dan
objektif
4. Penatalaksanaan : menentukan rencana tindakan selanjutnya

35
BAB 3
TINJAUAN KASUS

Pengkajian
Tanggal : 11 Maret 2018, jam 17.30 WIB
Tempat : Ruang Bersalin PMB Sudjiati Frans
Oleh : Sutarsih
No. Reg : 5*5*/*/III/2018

Data Subyektif
1. Identitas
Nama ibu : Ny. U Nama suami : Tn. D
Umur : 28 tahun Umur : 30 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak bekerja Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Banyu Urip Wetan, Surabaya
2. Keluhan
Perut mulas
3. Riwayat Obstetri yang Lalu
Kehamilan Persalinan Anak Nifas
No
Suami UK Peny Jenis Pnlg Tmpt Peny Sex BB H M Laktsi Peny
3,2 6,5 ASI 2
1 9 bln - Spt B Bdn PMB - L - -
Kg thn tahun
1
41 3,2 2
2 - Spt B Bdn PMB - P - Nifas ini
mgg kg jam

4. Kehamilan dan Persalinan


a. Riwayat kehamilan ini
HPHT lupa (sekitar bulan Juni 2017). Status imunisasi TT5 tahun 2011.
Pertama kali PP test sendiri dengan hasil positif pada akhir bulan
Agustus. Pertama merasa gerakan janin sekitar awal bulan November

36
2017. Trimester I periksa kehamilan sebanyak 2 kali di PMB, keluhan
mual, KIE yang diberikan tentang nutirisi dan istirahat, terapi yang
diberikan ROB 1 (B6, asam folat, multivitamin). Trimester II periksa
kehamilan sebanyak 3 kali yakni 2 kali di PMB dan 1 kali di PKM, tidak
ada keluhan, KIE yang diberikan tentang nutris, tanda bahaya
kehamilan, dan istirahat, terapi yang didapatkan adalah ROB 2 (Fe dan
kalk) dan asfilet. Trimester III periksa kehamilan sebanyak 5 kali di
PMB, mengeluh kenceng-kenceng, terapi yang didapatkan adalah ROB
3 (multivitamin dan kalk), asfilet, dan alinamin, KIE yang didapatkan
adalah tanda bahaya kehamilan, tanda dan persiapan persalinan.
Mengaku rutin memonum obat/vitamin yang diberikan. Tidak ada
penyulit/kelainan selama hamil.
b. Riwayat Persalinan ini
Mengalami atonia uteri, dilakukan penanganan atonia uteri sampai KBI
pertama dan terpasang infus, uterus dapat berkontraksi adekuat. Bayi
lahir spontan belakang kepala ditolong oleh bidan pada tanggal 11 Maret
2018 jam 15.12 WIB, langsung menangis keras, ketuban jernih, jenis
kelamin perempuan, BB 3200 gram, PB 50 cm. Plasenta lahir spontan
lengkap pukul 15.20 WIB. Mengalami laserasi perineum derajat II dan
telah dijahit.
5. Riwayat Kontrasepsi : suntik 3 bulan, selama 4 tahun, tidak ada keluhan,
berhenti karena ingin punya anak lagi, belum ada rencana menggunakan
jenis KB tertentu.
6. Riwayat Kesehatan
a. Ibu
Tidak pernah atau tidak sedang menderita penyakit menurun, seperti
hipertensi, DM, jantung, alergi, asma, dan talasemia. Tidak pernah atau
sedang menderita penyakit menular seperti TBC, hepatitis, HIV, IMS,
dan penyakit menular lainnya
b. Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sedang atau pernah menderita penyakit
menurun, seperti hipertensi, DM, jantung, alergi, asma, talasemia, dan

37
keturunan kembar. Tidak ada keluarga yang sedang atau pernah
menderita penyakit menular seperti TBC dan penyakit menular lainnya.
1.1 Data Fungsional Kesehatan:
a. Nutrisi
Makan terakhir pukul 16.30 WIB, 1 sisir roti habis, minum 1 gelas teh
manis dan air putih terakhir jam 16.40 WIB.
b. Eliminasi
Belum BAB dan BAK semenjak pasca persalinan.
c. Istirahat
Belum tidur semenjak proses persalinan selesai
d. Aktivitas
Sudah bisa miring kanan-kiri dan duduk, sudah dapat menyusui bayinya
dalam posisi berbaring dan duduk.
e. Riwayat Sosial Budaya:
- Riwayat pernikahan : Menikah satu kali selama 8 tahun, pertama kali
menikah usia 20 tahun.
- Riwayat psikososial : Merasa lega dan senang karena bayinya sudah
lahir dengan sehat. Suami terus mendampingi ibu selama proses
persalinan hingga sekarang, masih tergantung pada bidan dalam
merawat bayinya karena ibu masih lelah pasca proses persalinan.
- Riwayat budaya : Tidak ada adat budaya yang membahayakan masa
nifas

Data Objektif
1. Pemeriksaan Umum
KU : Baik
Kesadaran : Compos mentis
TTV
TD : 110/80 mmHg
Suhu : 36,6°C
Nadi : 82 x/menit
RR : 20 x/menit

38
2. Pemeriksaan Fisik
Wajah : tidak oedem, tidak tampak pucat
Mata : sklera putih, konjunctiva merah muda
Mulut : bibir lembab tidak pecah-pecah
Payudara : bersih, putting susu sebelah kanan menonjol, putting sebelah
kiri agak masuk kedalam, kolostrum payudara kanan/kiri
sudah keluar.
uterus teraba keras, kandung kemih teraba penuh.
Genetalia : terdapat pengeluaran darah berwarna merah segar (lochea rubra)
± 1 pembalut penuh (sekitar 50 cc), ada bekas jahitan
perineum, tidak bengkak, tidak ada kemerahan.
Ekstrimitas: tidak ada oedema dan varices pada tangan dan kaki, terpasang
infus RL + oxi 20 IU di lengan kiri sisa menetes sedikit.
Analisis
P2002 Post partum 2 jam.
Penatalaksanaan
Tanggal/Jam Penatalaksanaan Pelaksana
11-03-2018/ 1. Memberitahukan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan Sutarsih
17.45 diberikan kepada ibu, ibu mengerti
2. Menjelaskan perubahan fisiologus nasa nifas terkait
dengan keluhan yakni perut ulas akibat adanya kontraksi
uterus sebagai proses involusi uterus (pengerutan ukuran
uterus) dan cara mengatasinya dengan massage fundus
uteri, mobilisasi dini, dan penggunaan korset bila perlu,
ibu mengerti dan dapat mengulang penjelasan yang
diberikan.
17.55 3. Memberikan KIE tentang: Sutarsih
a. Mobilisasai dini secara bertahap
b. Jenis-jenis metode kontrasepsi, kelebihan, kekurangan,
dan efeksampingnya
c. Nutrisi ibu nifas dan menyusui dengan tinggi kalori
dan protein, seperti terdapat nasi, ikan, sayur dalam
sekali makan, lebih banyak mengkonsumsi sayuran
yang berkuah, minum sekitar 3 L/hari, dan minum susu
1 gelas/hari.
d. Personal Hygiene dan vulva hygiene yakni mandi 2
kali/hari, mengganti pembalut sekitar 2-3 jam sekali,
mencuci tangan sebelum membersihkan vagina,
membersihkan vagina dengan air biasa dari arah depan
ke belakang, mengeringkan vagina setelah selesai

39
memberisihkannya, mengganti pakaian dalam minimal
2 kali sehari atau segera jika lembab/basah, dan tidak
menggunakan pakaian dalam terlalu ketat.
e. Istirahat yang cukup dengan tidur malam sekitar 7-8
jam/hari dan tidur siang sekitar 1 jam/hari atau
mengikuti pola tidur bayi.
f. Tanda bahaya nifas yakni demam > 38oC pada hari ke
2 atau lebih, perdarahan jalan lahir yang banyak,
berbau, uterus lembek, tinggi fundus uterus tidak
mengalami penurunan, bengkak payudara, bengkak
kaki dan tangan, kemerahan pada kaki, dan depresi.
Jika ada salah satu tanda yang dirasakan, segera ke
fasilitas kesehatan.
Ibu mengerti dan bersedia mengikuti anjuran yang telah
diberikan.
18.10 4. Melakukan aff infus Sutarsih
18.15 5. Memfasilitasi dan membantu ibu untuk pindah ruangan ke Sutarsih
ruang nifas bersama bayinya, ibu dan bayi telah pindah
ruangan
18.20 6. Memfasilitasi kebutuhan eliminasi dan menganjurkan ibu Sutarsih
untuk tidak menahan BAK/BAB, ibu dapat BAK sendiri di
kamar mandi dan telah mengganti pembalut.
18.30 7. Menganjurkan ibu untuk rutin mengkonsumsi vitamin dan Sutarsih
obat yang diberikan yaitu metilergometrin 0,125 mg
3x1/hari, asam mefenamat 500 mg 3x1/hari, vitamin BC
1x1/hari, amoxilin 500 mg 2 x1/hari, dan Fe 1x1/hari, ibu
bersedia mengkonsumsi obat secara teratur.
18.35 8. Menyepakati kontrol nifas 5 hari lagi (tanggal 16 Maret Sutarsih
2018) atau jika sewaktu-waktu terdapat keluhan, ibu
mengerti dan bersedia kembali lagi ke puskesmas guna
memantau kesehatannya.

40
BAB 4
PEMBAHASAN

Data subjektif pada kasus ini menunjukkan bahwa pengkajian dilakukan


pada tanggal tanggal 11 Maret 2018 jam 17.30 WIB, dimana bayi lahir pada jam
15.12 WIB dan plasenta lahir jam15.20 WIB pada tanggal yang sama. Hal ini
menyatakan bahwa Ny. U beraada pada periode pascapartum atau yang biasa
disebut dengan masa nifas atau pueperium. Varney (2008) menjelaskan bahwa
Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin
(menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus reproduksi
wanita pada kondisi tidak hamil. Periode ini juga disebut puerperium, dan wanita
yang mengalami puerperium disebut puerperal. Periode pemulihan pascapartum
berlangsung sekitar enam minggu (Varney, 2008).
Pada kasus ini, ibu mengeluh perut mulas. Rasa mulas pada postpartum
merupakan hal fisiologis, sebagaimana diungkapkan Rustiningsih (2010) bahwa
nyeri atau kram pada area sekitar perut yang terjadi 2-3 hari pascasalin disebabkan
oleh proses kembalinya otot-otot dan organ kehamilan (proses involusi uterus)
yang biasa disebut dengan afterpains. Dalam data fungsional kesehatan ditemukan
bahwa ibu belum tidur semenjak proses persalinan. Hal tersebut dapat terjadi
akibat adanya perut mulas yang dialami ibu (Brayshaw, 2008).
Data aktivitas menunjukkan bahwa mobilisasi yang sudah ibu lakukan
pada postpartum 2 jam yaitu miring kanan-kiri dan duduk. Mobilisasi atau
ambulasi dini (early ambulation) adalah mobilisasi segera setelah ibu melahirkan
dengan membimbing ibu untuk bangun dari tempat tidurnya dan memulai
mobilisasi dengan miring kanan/kiri, duduk kemudian berjalan (Yanti, dkk, 2011).
Menurut Bahiyatun (2009) pada persalinan normal, ibu diperbolehkan untuk
mandi dan ke WC dengan bantuan orang lain yaitu pada 1 atau 2 jam setelah
persalina. Jika ibu belum melakukan rentang gerak dalam tahapan mobilisasi dini
selama 1 atau 2 jam setelah persalinan, ibu nifas tersebut belum melakukan
mobilisasi secara dini (late ambulation). Sehingga, Ny. “U” dapat dikatakan late
ambulation karena belum mencoba untuk berdiri dan berjalan ke kamar mandi

41
dengan bantuan orang lain. Hal ini juga bisa disebabkan oleh ketidaknyaman ibu
akibat perut mulas.
Dari data riwayar psikologis didapatkan bahwa ibu merasa lega dan
senang karena bayinya sudah lahir dengan sehat dan masih tergantung pada bidan
dalam merawat bayinya karena ibu masih lelah pasca proses persalinan. Pada hari
1 – 2 postpartum, ibu berada pada fase taking in dalam adaptasi psikologis
postpartum dimana ibu menjadi pasif dan sangat tergantung serta berfokus pada
diri dan tubuhnya sendiri (Anggraeni, 2010). Sehingga, ibu yang baru melahirkan
ini perlu istirahat atau tidur untuk mencegah gejala kurang tidur dengan gejala
lelah, cepat tersinggung, campur baur dengan proses pemulihan (Anggraeni,
2010).
Pada data objektif didapatkan bahwa kolostrum payudara kanan/kiri sudah
keluar. Selama kehamilan, hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI
biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yan tinggi.
Pada hari kedua atau ketiga postpartum, kadar estrogen dan progesteron turun
drastis, sehingga pengaruh prolaktin lebih dominan dan pada saat inilah mulai
terjadi sektesi ASI. Dengan menyusukan lebih dini terjadi perangsangan puting
susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga sekresi ASI semakin lancar.
Dua refleks pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi yaitu refleks
prolaktin dan refleks aliran timbul akibat perangsangan puting susu oleh hisapan
bayi (Ambarwati, dkk, 2010). Sehingga sangat penting menganjurkan ibu untuk
menyusui bayinya sedini dan sesering mungkin.
Adapun pada pemeriksaan abdomen didapatkan TFU 2 jari dibawah pusat
dan konsistensi uterus teraba keras. Menurut Sofian (2011), ukuran uterus setelah
plasenta lahir sekitar 2 jari di bawah pusat. Hal tersebut merupakan bagian dari
proses involusi uterus. Involusi uterus meliputi reorganisasi dan pengeluaran
desidua/ endometrium dan eksfoliasi tempat perlekatan plasenta yang ditandai
dengan penurunan ukuran dan berat serta perubahan pada lokasi uterus juga
ditandai dengan warna dan jumlah lochea (Varney, 2008). Selain itu, intensitas
kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah lahir, diduga terjadi
sebagai respon terhadap penuruanan volume intrauteri yang sangat besar. Hormon
oksitosin yang dilepaskan dari kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur

42
kontraksi uterus, mengompresi pembuluh darah dan membantu proses hemostatis.
Kontraksi dan retraksi otot uterus kan mengurangi suplai darah ke uterus. Selama
1 sampai 2 jam pertama postpartum intensitas kontraksi uterus bisa berkurang dan
menjadi teratur. Karena itu penting sekali menjaga dan mempertahankan kontraksi
uterus pada masa ini. Suntikan oksitosin biasanya diberikan secara intravena atau
intramuskuler segera setelah kepala janin bayi lahir. Pemberian ASI segera setelah
lahir akan merangsang pelepasan oksitosin karena isapan bayi pada payudara
(Ambarwati, dkk, 2010).
Dari pemeriksaan genitalia Ny. “U” menunjukkan bahwa terdapat
pengeluaran darah berwarna merah segar (lochea rubra) ± 1 pembalut penuh
(sekitar 50 cc). Menurut Yanti, dkk (2011), lochea selama 1 - 3 hari pasca
persalinan berisi darah segar berwarna merah dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel
desidua, vornik kaseosa, lanugo dan meconium,disebut sebagai lochea rubra.
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan
menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan.
Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan lochea (Yanti, dkk,
2011).
Berdasarkan data subjektif dan objektif, maka analisis pada kasus ini
adalah P2002 postpartum fisiologis 2 jam. Salah satu penatalaksanaan pada kasus
ini adalah menjelaskanan perubahan fisiologis nasa nifas terkait dengan keluhan
yakni perut ulas akibat adanya kontraksi uterus sebagai proses involusi uterus
(pengerutan ukuran uterus) dan cara mengatasinya dengan massage fundus uteri,
mobilisasi dini, dan penggunaan korset bila perlu. Perut mulas atau nyeri yang
timbul akan berdampak pada kesehatan ibu, antara lain timbulnya stress dan
keletihan karena kurang istirahat, serta trauma baru setelah melahirkan
(Brayshaw, 2008). Peran sebagai ibu juga terhambat karena kondisi fisik ibu yang
lemah. Dengan adanya penjelasn mengenai keluhan tersebut beserta cara
mengatasinya diharapkan ibu bisa menerapkannya sehingga nyeri atau keluhan
perut mulas dapat berkurang. Semakin cepat kesehatan ibu pulih, semakin
menyenangkan sikap dan semakin yakin ibu akan kemampuannya untuk
melaksakanan peran ibu secara memuaskan (Saleha, 2009).

43
Adapun salah sau terapi yang diberikan dalam kasus ini adalah amoxilin
untuk mencegah terjadinya infeksi. Pasca melahirkan merupakan masa yang
rawan bagi ibu, sekitar 60 % kematian ibu terjadi setelah melahirkan dan hampir
50 % dari kematian pada masa pasca melahirkan terjadi pada 24 jam pertama
setelah persalinan, diantaranya disebabkan oleh adanya komplikasi masa nifas,
selama ini perdarahan pasca melahirkan merupakan penyebab kematian ibu,
namun dengan meningkatnya persediaan darah dan sistem rujukan, maka infeksi
menjadi lebih menonjol sebagai penyebab kematian dan morbiditas ibu, sehingga
diberikan obat sesuai dengan kondisi ibu salah satunya diberikan terapi antibiotik
pada kasus tertentu, seperti KPP ≥ 24 jam (Saleha, 2009).
Pada kasus ini alasan pemberian antibiotic adalah karena ibu mengalami
laserasi perineum derajat 2 dan bukan KPP sehingga sebenarnya pemberian
amoxilin tidaklah wajib diberiakan. Pengobatan antibiotik untuk perawatan luka
perineum saat ini cenderung dihindari. Beberapa antibiotik harus dihindari selama
masa laktasi, karena jumlahnya sangat signifikan dan beresiko (Kurniawati, dkk,
2015). Penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau berlebihan mendorong
berkembangnya resistensi dan multipel resisten terhadap bakteri tertentu yang
akan menyebar melalui infeksi silang. Terdapat hubungan antara penggunaan
(atau kesalahan penggunaan) antibiotik dengan timbulnya resistensi bakteri
penyebab infeksi nosokomial. Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat
diperlambat melalui penggunaan antibiotik yang bijak. Hal tersebut membutuhkan
kebijakan dan program pengendalian antibiotik yang efektif (Kemenkes, 2011).
Menurut Kemenkes (2013), salah satu suplemen yang diberikan pada masa
nifas adalah vitamin A dosis tinggi 2 x 200.000 IU. bu nifas harus diberikan
kapsul Vitamin A dosis tinggi karena: 1) Pemberian 1 kapsul Vitamin A merah
cukup untuk meningkatkan kandungan Vitamin A dalam ASI selama 60 hari, 2)
Pemberian 2 kapsul Vitamin A merah diharapkan cukup menambah kandungan
Vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 6 bulan, 3) Kesehatan ibu cepat pulih
setelah melahirkan (Depkes, 2009). Vitamin A memiliki manfaat untuk
diferensiasi sel dimana terjadi bila sel – sel tubuh mengalami perubahan dalam
sifat dan fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini adalah salah satu
karakteristik dari kekurangan vitamin A yang terjadi pada tiap tahap

44
perkembangan tubuh. Diduga vitamin A dalam membentuk asam retinoat
memegang peranan aktif dalam kegiatan inti sel. Vitamin A jug berperan dalam
fungsi kekebalan tubuh. Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
diferensiasi sel limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan
humoral), kekurangan vitamin A juga menurunkan respon anti bodi yang
tergantung pada sel – T (Almatsier, 2010).

45
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada
Ny. U, maka analisis yang ditegakkan P2002 postpartum fisiologis.
Penatalaksanan yang dilakukan telah sesuai dengan kebutuhan ibu dan juga teori
yang ada. Ada beberapa penatalahksanaan yang kurang tepat diberikan pada kasus
ini bila dibandingan dengan teori yang ditemukan seperti pemberian anibiotik
pada kasus fisiologis seperti yang dialami ibu dikhawatirkan meningkatkan
terjadinya resistensi obat. Selain itu, tidak diberikannya vitamin A. Padahal
vitamin A merupakan suplemen yang penting pada ibu nifas.
Penatalaksanaan yang diberikan diharapkan mampu mengatasi keluhan ibu
dan memenuhi kebutuhan ibu secara efektif dan efisien. Apalagi disesuaikan
dengan teori atau ilmu yang mendasari tatalaksana tersebut. Dengan demikian, ibu
nifas akan semakin cepat pulih sehingga mampu secara mandiri untuk mengurus
dirinya sendiri dan bayinya, bahkan keluarganya seperti sebelum melahirkan.

5.2 Saran
1) Bagi Lahan Praktik
Sebaiknyameminimalisir pemberian antibiotic pada ibu nifas fisiologis dan
mempertimbangkan pemberian antibiotic hanya pada kasus- kasus
tertentu. Selain itu, sebaiknya vitamin A dosis tinggi dapat diberikan pada
ibu nifas.
2) Bagi Mahasiswa/Tenaga Kesehatan
Seharusnya dapat memprioritaskan penatalaksanaan secara berurutan
sesuai dengan kebutuhan ibu dan menggali secara mendalam
biopsikososial kultural sehingga penatalaksaannya benar-benar sesuai
dengan kebutuhan ibu.

46
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S.2010.Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Ambarwati, dkk. 2009.Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta: Mitra


Cendekia.

Anggraini Y. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Yogyakarta: Pustaka.

Anisah, U., et al. 2010. Pengalaman Perempuan yang Mengalami Sectio Caesarea
atas Indikasi Preeklampsia Berat di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwoketo. Jurnal Keperawatan Soedirman. 5 (1) : 21 – 29.

Bahiyatun., 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta: EGC.

Bobak, Lowdermilk, Jensen. 2005. Buku ajar keperawatan maternitas. Edisi 4.


Jakarta: EGC.

Brayshaw, E. 2008. Senam Hamil & Nifas: Pedoman Praktis Bidan. Jakarta:
EGC.

Cunningham FG, dkk, 2012. Obstetri Williams. Volume; I. Ed: 23. Jakarta: EGC.

Fraser, D. M, dan Cooper, M. A. 2009. Myles Buku Ajar Bidan. Ed. 14. Alih
bahasa Sri Rahayu. Jakarta: EGC,

Kemenkes. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik.


Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan


Dasar dan Rujukkan. Jakarta: Kemenkes RI.

Kurniawati, S. L. C., dkk. 2015. Perbedaan Penggunaan Daun Sirih terhadap


Waktu Penyembuhan Luka Perineum. Jurnal Ners dan Kebidanan. 2 (3): 227
– 231.

Maryunani, A. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal & Neonatal. Jakarta :


Trans Info Medika.

Notoatmodjo, 2007. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku.Jakarta: Rineka Cipta.

Puspitasari, H. A., dkk. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan


Luka Post Operasi Sectio Caesarea (SC). Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan. 7 (1) : 50 – 59.

Rahmawati, dkk. 2009. Perawatan Masa Nifas.Yogyakarta: Fitramaya

47
Rustiningsih, L. 2010. Pengaruh Seam Nifas terhadap Tingkat After Pains pada
Ibu Postpartum di RSU PKU Muhammadiyah Bantul. Naskah Publikasi.
Prodi Ners-Ilmu Keperawatan. Stikes ‘Aisyiyah. Yogyakarta.

Saifuddin AB, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan. Ed: 4. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, Abdul Bari, dkk. 2010. Buku panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwonono Prawirohardjo:
Jakarta.

Saleha, S. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika

Suherni dkk. 2009. Perawatan Masa Nifas. Jogjakarta: Fitramaya.

Sulistyawati Ari. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Jogjakarta:
Andi Offset

Walyani, E.S., dan Purwoastuti, T. E., 2015. Asuhan Kebidanan Persalinan &
Bayi Baru Lahir. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Yanti, D., dkk. 2011. Asuhan Kebidanan Masa Nifas: Belajar Menjadi Bidan
Profesional. Bandung: PT Refika Aditama.

48

Anda mungkin juga menyukai