Akan tetapi, tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Astaga apel siang!!!”, pekikku.
Semoga saja apel belum mulai, doa ku dalam hati saat aku sudah berada
dekat dengan tempat apel. Namun sialnya, sesampainya disana, apel ternyata telah
dimulai. Langsung saja kulemparkan tasku ke arah tumpukan tas milik teman-
temanku yang lain. Lalu segera saja aku berbaris disebelah temanku yang lain.
Kurasakan tatapan tajam dari senior-senior, melihatku dengan matanya yang bak
mengeluarkan laser siap menembus diriku. Muka pucat dan tegang pun tak bisa
ku tutupi dengan senyumku. Kurasa kan juga ketegangan dari teman-teman
disebelahku. Teman-teman maafkanlah kecerobohan diriku, kataku dalam hati.
“Jadi Ratih, masih ingat untuk apel siang? Kenapa tidak pulang saja
sekalian?” tanya Kak Farhan.
“ M-maaf kak, tadi Ratih piket kelas dulu kak, anggota perempuannya hanya
dua orang, jadi kami sedikit lama piketnya kak.”. Bohong. Ya, dan aku pun
memilih untuk berbohong, demi menyelamatkan diriku sendiri dan teman-
temanku yang lain pastinya dari amukan seniorku.
“ Piket atau lupa ? Kenapa tidak izin dengan temanmu yang lainnya? Kelas
Ucup dan Dennisa dekat dengan kelasmu kan? “
“ Tadi saat Ratih mau izin sama Ucup dan Dennisa, mereka sudah tidak ada
dikelas nya kak.” Dusta ku lagi
Mendengar jawaban tersebut kak Farhan pun diam sembari menatap kedua
mataku. Astaga dia ini kenapa lagi, mau apa lagi kakak ini, pikirku. Berbagai
macam doa ku rapal dalam hati.
Semoga—
Kata tapi yang kak Farhan lontarkan sontak menghancurkan rasa senangku.
Suasana yang tadinya sempat mencair, kini kembali tegang.
“Tapi, karna terlambat tetap sebuah kesalahan, dan kita adalah orang-orang
yang disiplin. Maka keterlambatanmu tetap kakak hukum.” Ucap kak Farhan
sambil tersenyum melihatku.
“ Dan karna kita adalah pasukan pengibar bendera yang menjunjung jiwa korsa,
jadi jika ada satu yang dihukum, maka yang lain juga ikut.” Lanjutnya
Terdengar desah kecewa dari teman-temanku yang lain, dan akupun hanya
bisa pasrah mengiyakan perintah kak Farhan. Oh, ayolah, ini baru hari pertama
sekolah dan aku sudah diberi hukuman. Sial sekali memang.
Dan beginilah kami akhirnya, dibawah panasnya terik matahari, aku bersama
ke-tiga puluh orang teman ku yang lain berlari mengitari lapangan basket
sebanyak sepuluh kali. Dipimpin oleh Pak Lurah—sebutan untuk pemimpin
angkatan, kami menyanyikan lagu serta yel-yel agar kami tetap semangat untuk
berlari. Syukurlah teman-temanku bukan orang yang pendendam, jadi mereka tak
marah ketika ikut dihukum walaupun bukan kesalahan mereka.
Bayangan untuk istirahat setelah berlari sebanyak sepuluh kelililing tadi sirna
setelah senior kami yang lain, kak Jovan kembali meberikan arahan untuk
melakukan jumping jack dan olahraga-olahraga lainnya. Saat sedang diberi waktu
istirahat 1 menit, kulihat wajah teman-temanku yang sangat kelelahan. Semua
seragam milik mereka basah oleh keringat. Kegiatan kami pun berlanjut hingga
tak terasa, hari pun telah beranjak petang. Kami pun kembali dibariskan oleh para
senior, untuk mendapatkan pengarahan sebelum pulang. Dan ternyata tanpa kami
sangka, ini adalah apel kami yang terakhir, karna selanjutnya junior kami lah yang
akan melanjutkan rutinitas ini.
Setelah berpamitan dengan para senior, aku dan teman-temanku yang lain
pun beranjak pulang, tentunya dengan muka sumringah. Setelah ini tak ada lagi
adegan lari terbirit-birit karna takut terlambat apel, tak ada lagi pulang terlambat
kerumah, tak ada lagi seragam yang basah oleh keringat akibat harus menanggung
hukuman pada apel siang.
“ Setelah ini berarti kita bebas dong untuk ngapaian ikut kegiatan lain,” kata
Rani
“ Wah iya, akhirnya setelah sekian lama gak bisa ngapa-ngapain, sekarang kita
sudah bebas teman-teman,” timpal Revi, Buk Lurah kami sembari memasang
ekspresi lucu.
Yah, yang berlalu biarlah berlalu, pikirku. Toh pada akhirnya waktu tidak
akan bisa diputar. Aku dan teman-temanku yang lain pun berpisah lalu pulang
kerumah masing-masing.
Saat aku sedang, asyik-asyik nya menggambar dibuku sketsaku, tiba-tiba ada
seseorang yang duduk didepan bangku milikku. Saat kulihat ternyata itu Rin,
perempuan yang sejak kelas 2 SMP selalu sekelas denganku. Dia menatapku
sambil mengeluarkan cengiran tengilnya yang khas.
“ Kenapa sih Rin senyam-senyum sendiri? Mirip orang gila tau gak ?”
tanyaku.
“ Hehehe, gak ada apa-apa tih. Wah gambarmu bagus yah, buatin satu untuk
ku dong” jawab Rin, masih dengan wajah cengengesannya.
“ Yahh, Ratih mah jahat banget, Rin ngambek nih” ucap Rin sambil memasang
wajah cemberut.
Setelah itu tak terdengar lagi suara dari Rin. Aku pun kembali melanjutkan
sketsaku yang belum selesai tadi. Tak berapa lama kemudian, Rin kembali
membuka suaranya.
Rin mengangguk dengan semangat, “ Tentu saja bisa, soal seleksi ,itu belum
dilakukan kok, nah kamu mau kan ikut seleksinya?”
Tiba-tiba saja aku merasa senang mendengar kalimat yang diucapkan Rin,
akhirnya aku bisa mencapai impianku menjadi anggota Empat Pilar. Namun,
kemudian aku menjadi ragu, apakah benar aku bisa menjadi anggota Empat Pilar?
Seleksi yang dilakukan cukup berat. Harus wajib hapal Undang-Undang Dasar
1945, tentu saja karena memang itulah yang menjadi dasarnya. Menghapal materi
Biologi 1 bab saja sudah membuat kepalaku serasa dihantam batu. Apa lagi
Undang-Undang, ditambah kata-kata yang dihapal haruslah sama persis.
“ Aku tidak tahu Rin bisa atau tidak, memangnya kapan seleksinya?” ucapku
pelan.
Nah, bertambah lagi rasa ragu dihatiku. Kalau begini, mana mungkin aku bisa
lolos seleksi. Jangankan menghapal, buku undang-undang saja entah dimana. Dan
Rin berkata bahwa besok sudah seleksi. Bagaimana mungkin dalam waktu
semalam aku bisa menghapal pasal sebanyak itu.
“ Aduh Ratih, jangan teriak-teriak. Sakit tau telinga Rin jadinya. Iya besok
seleksinya, udah ya kamu ikut tih, aku catat nih namanya” ucap Rin sambil
menulis namaku di kertas.
“ Duh, duh, Rinn, nanti dulu, aku nggak siap kalo besok harus seleksi. Mana
mungkin Rin aku bisa hapal pasal sebanyak itu. Sementara yang dipilih adalah
yang hapalannya paling banyak. Aku pasti gak akan masuk Rin, gak akan bisa.”
Aku berkata sembari menahan tangan Rin yang hendak menulis tadi.
Akupun bertanya kepada diriku sendiri, benarkah yang dikatakan Rin ini?
Kuakui apa yang dikatakannya benar. Terkadang kalau aku sudah menghapal,
hingga ke posisi gambar pun aku ingat. Apakah cukup hanya bermodal itu aku
bisa lolos seleksi?
“ Sudahlah Ratih, gak usah pikir-pikir lagi, cukup yakin dengan kemampuan
diri kamu, dibarengi niat. Pasti bisa. Rin tulis yah nama kamu?” Ucap Rin lagi.
Aku pun mengangguk ragu. Baiklah, mari kita coba pikirku. Kalau tidak
mencoba bagaimana mungkin kita akan tau hasilnya. Siapa tahu aku benar-benar
bisa menghapal dengan baik, lagi pula ini adalah impianku sejak lama. Sudah
sepatutnya aku memperjuangkannya. Mungkin Tuhan tau apa keinginanku selama
ini, maka dari itu aku Beliau memberikan kesempatan ini kepadaku.
Kulihat arloji yang melingkar di tangan kananku. Pukul 07.40 WIB. Dan
sekarang aku telah tiba disekolah, siap untuk mengikuti seleksi Empat Pilar.
Kuedarkan pandanganku kesekeliling lingkungan sekolah, cukup sepi pikirku.
Namun, kemudian mataku melihat seorang perempuan berjilbab putih duduk
didekan podium paduan suara. Tubuhnya yang familiar membuatku sontak
berjalan menghampirinya, setelah berjarak cukup dekat tiba-tiba ia menyapaku.
“ Lah, ternyata kamu Canissi, kupikir tadi siapa, duduk termenung sendiri di
podium” kataku sambil berjalan mendekat kearahnya.
“ Haahaha, apa yang kamu lakukan pagi-pagi disini Ratih? Mau melatih
upacara yah?” tanyanya
“ Tidak, kami latihan sore nanti. Kamu sendiri? “ aku bertanya kembali ke
Canissi tanpa mengindahkan pertanyaannya.
“ Tuh kan, kok malah bertanya kembali sih? Kan aku duluan yang tanya.”
Ucapnya lagi
Setelah hampir tiga jam, akhirnya akupun selesai dan memutuskan untuk
mengumpulkan kertas milikku lalu pulang. Akhirnya beban berat yang ada
dipundakku telah hilang, sudah selesai, batinku. Hari demi hari pun terlewati,
sudah dua minggu sejak hari seleksi tersebut dan sebenarnya aku sudah tidak
memikirkannya lagi. Alasanya karna aku merasa aku tidak akan lolos seleksi, aku
merasa apa yang kuhapal dulu hanya sedikit tidak seperti para peserta lain yang
bahkan menuiskan hapalannya hingga berlembar lembar. Jadi aku sudah tidak
berharap banyak, aku pun ikhlas jika memang aku tidak terpilih. Saat aku sedang
mencuci kaki ku di belakang masjid sekolah, tiba-tiba Cila dan Nina berteriak-
teriak memanggil namaku sambil berlari.
“ Shutttt, jangan teriak-teriak Cil, Nin, kelas lain sedang belajar, nanti kalian
dimarah sama gurunya loh” ucapku berbisik sambil menempatkakan telunjuk
didepan bibirku, mengisyaratkan mereka berdua agar mengecilkan volume
suaranya.
“ Aduh, Rat maaf deh, tapi ini penting sekali,” kata Cila
“ Benar apa yang dibilang Cila, sangat penting Rat. Kamu pasti terkejut
mendengarnya,” sambung Nina.
Sambil memasang raut bingung, akupun bertanya “ Apasih hal yang penting
ini? Awas yah kalo kalian cuma mau bilang kucing nya Bude kantin udah lahiran,
aku jewer kaian berdua nanti”
“ Hmm, nggak dong, kali ini beneran penting. Cila jelaskan dengan Ratih”
Ucap Nina sambil memasang wajah songongnya.
Cila pun menjelaskan dengan wajah sumringah, “ Jadi, tadi saat kami berdua
lewat didepan koperasi, Nina tidak sengaja melihat sebuah kertas berjudul Daftar
Siswa yang Lolos Seleksi Empat Pilar. Nah, karna kita tahu kamu sama Cannisi
ikut seleksi, kita lihat daftar namanya. Dann.....”
Tak terasa, saat ini aku telah memasuki semester 2 kelas 11, yang artinya
sudah hampir lima bulan aku dan kesembilan rekan Empat Pilar ku yang lain
mempersiapkan diri untuk lomba. Berkat latihan rutin setiap Jum’at, Sabtu, dan
Minggu. Ditambah pada saat jam pelajaran PKN. Kini tidak hanya Undang-
Undang Dasar 1945 saja yang kami kuasai. Sudah ada 3 modul serta 1 buku Tap
MPR yang telah berhasil kami hapal. Frekuensi latihan yang cukup rutin, serta
tuntunan harus hapal dalam waktu singkat kadang-kadang membuatku malas
untuk mengikuti bimbingan. Seperti saat ini, disaat Hilda dan Rin sedang
menyetor hapalan pasal mereka. Aku dan Tika malah sibuk memikirkan cara
supaya bisa pulang cepat.
“ Tih, gimana nih, kita harus ngasih alasan apa sama Ibuk biar bisa pergi? “,
ucap Tika sambil berpura-pura membaca buku UUD.
“ Gak kepikiran aku Tik mau alesan apa, aduh, tapi kalo gak pergi sekarang
juga rasanya berat banget mau menghapal. Sumpah ya Tik, otakku rasanya mau
meledak, udah jenuh banget ini “, balasku berrbisik.
Kamipun kembali terdiam. Jika ada yang melihat kami berdua, pasti mereka
mengira kami sedang khusyuk-khusyuknya menghapal, padahal sebenarnya kami
sedang memikirkan hal-hal lain. Tiba-tiba, Tika berteriak
“ Aduh Tik jangan keras-keras deh, nanti kedengeran yang lain “, ucapku
sambil menutup mulut Tika
“ Oh iya ya. Nah, jadi gini Tih, gimana kalo kita bilang sam ibuk kita mau
latihan drama. Kan Sinema sebentar lagi tuh, nah pas kan kalo kita bilang kita
mau latihan “ tutur Tika semangat.
“ Wah, benar juga kamu Tik, yasudah lah cepat kita laksanakan kalau begitu
“, balasku tak kalah semangat.
Sikap burukku pun tidak sampai situ saja, pada latihan-latihan selanjutnya,
aku malah lebih banyak bolos dari pada latihan. Ternyata bukan hanya aku saja
yang bolos, terkadang temanku yang lain juga melakukanny. Sehingga akhirnya
latihan yang harusnya bersepuluh, malah berkurang jadi bertujuh ataupun kadang
berlima. Hal ini ternyata membuat Rin sedikit kesal. Dia pun pada akhirnya
mengumpulkan kami semua untuk berbicara.
“ Sadar gak sih, kalo waktu kita buat latihan itu udah sedikit?” ucap Rin
tanpa melihat kami.
“ Eh serius? Memangnya kapan sih lombanya? “, ucap Tika.
“ Tuh kan kalian, lomba aja sampai gak tahu kapan, padahal Ibuk udah
sering memberi tahu, “ balas Rin dengan raut kesal yang kentara diwajahnya.
“ Aku tau kok kalo kalian itu sedang malas-malas nya latihan, sedang capek-
capeknya latihan. Tapi coba jangan terlalu diperlihatkan. Sekali-sekali boleh
kalian gak latihan, tapi tolong dong jangan sampai keterusan kayak gini. Tau gak,
kadang-kadang yang hadir latihan Cuma tujuh orang bahkan minggu kemaren
Cuma lima. Itupun Hilda sama Nadia harus dipaksa dulu “, ucap Rin panjang.
“ Aku, Dila, dan Dika sangat ngerti perasaan kalian saat ini. Karena kami juga
ngalamin itu di tahun kemarin, tahun pertama kami. Tapi teman-teman, coba lihat
deh semangat nya Ibuk, gak pernah luntur. Besar sekali harapannya agar kita bisa
lomba nanti sampai ketingkat Nasional. Dia rela ngorbanin waktunya, yang
harusnya hari Minggu dirumah mengurus keluarga dan beristirahat malah dipakai
buat bimbing kita. Yang harusnya sepulang sekolah langsung pulang kerumah
malah dipakai buat kita. Tapi dia tetap semangat kok, malah semangatnya Ibuk
ngalahin semangat kita “, lanjut Rin.
Tidak ada satupun dari kami bersembilan yang berani bersuara membalas
perkataan Rin. Aku, Tika, Hilda, Nadia, Stefi, Nisa, Dila, Dika, dan juga Putra
hanya bisa diam sembari merenungi perkataan Rin. Ah, ternyata selama ini aku
telah melewati batas, pikirku. Selama ini ternyata aku sudah egois, hanya
memikirkan keadaanku tanpa memikirkan perasaan dan keadaan guru
pembimbing kami. Ternyata yang selama ini semangat bukan lah kami, melainkan
Ibuk Kam. Akupun merasa malu .
“ Rin, mungkin aku mewakili teman-teman yang lain, ingin meminta maaf
atas sikap kami selama ini. Kami sadar kalau selama ini kami tidak serius. Kami
berjanji setelah ini akan lebih serius. “, ucapku kemudian.
“ Ini serius Rin? Ya ampunn, kurang lebih waktu kita tinggal dua minggu lagi.
Ya Allah Rin makasih banyak sudah menyadarkan kami,” ucap Stefi.
Setelah pertemuan waktu itu, kamipun lebih semangat dalam berlatih. Tak ada
kata absen lagi dalam latihan. Selama dua minggu ini, kami selalu lengkap.
Intensitas untuk berlatih pun semakn kami tingkatkan. Bahkan 4 hari sebelum
keberangkatan, kami sudah tidak mengikuti kegiatan belajar di kelas. Fokus utama
kami saat ini adalah perlombaan yang sudah didepan mata.
Tingg....
Tingg....
Dari grup chat Empat Pilar ternyata. Akupun segera membuka pesan tersebut.
Rin : Haloooooooo
Hilda : Haii Kak Rinnnnn!!!
Rin : Mana yang lain nih?
Dika : Hadir boss
Tika : Adaaaa
Dila : Dila, Nisa, dan Stefi hadirr, kami bertiga menginap bersama
Ratih : Kenapa Rin?
Hilda : Tidak ada yang bertanya Kak Dilaaa :p
Putra : Tidak ada yang bertanya Kak Dilaaa :p (2)
Dika : Mana nih si Rin, kok jadi hilang?
Dila : Suka-suka aku dong, aku Cuma mau ngasih tau aja
Rin : Eh, udah muncul semua... Rin cuma mau bilang, untuk besok,
barang-barang jangan sampe ada yang ketinggalan, semua dicek
dulu. Terus malam ini kita gak usah ngapal dulu, istirahat yang
cukup biar besoK jadi lebih fit. Sebelum tidur jangan lupa sholat
isya, kalo bisa nanti sholat malamnya juga. Terus besok pagi
sebelum berangkat jangan lupa pamitan sama orang tua dan
minta doa restu, minta didoakan semoga
lancar dan bisa menang lombanya
Ratih : Okee Rin
Dika : Sip deh Rin
Hilda : SIAP IYAA!!
Putra : Laksanakan
Dika : Semoga apa yang kita usahakan selama ini tidak sia-sia. Semoga
kita bisa menang dan sukses sampai ketingkat Nasional. Sesuai
nama grup kita pastinya, Road To Nasional
Rin : Aaamiinnn Ya Allah
Putra : Aaamin kak, mudah-mudahan terkabul
Ratih : Aaamiinnnn
Yah benar, semoga yang kami usahakan selama ini berbuah manis, pikirku.
Aku kemudian menutup grup chat tersebut dan kembali mempersiapkan barang-
barang milikku. Setelah semuanya selesai, akupun beranjak untuk tidur.
Hari keberangkatan tiba, setelah berpamitan pada Ayah dan Ibu aku pun pergi
menuju ke sekolah. Kami bersepuluh diarahkan untuk berkumul terlebih dahulu
disekolah sebelum nantinya pergi bersama-sama. Tak terasa, sudah dua jam
setengah perjalanan kami. Akhirnya kami pun sampai di hotel tempat kami akan
menginap sekaligus tempat perlombaan akan dilangsungkan. Saat turun dari
mobil, aku melihat ternyata sudah banyak para peserta dari sekolah lain yang telah
datang. Aku pun menarik koperku menuju kedalam hotel. Namun tiba-tiba, ada
yang menabrakku dari belakang sehingga membuatku hampir terjatuh.
“ Ya ampun, maafkan aku, aku tadi tidak melihat mu berdiri disana,” ucap
laki-laki yang menabrakku.
Astaga, badanku sudah sebesar ini, bagaimana mungkin dia tidak melihatnya,
pikirku.
“ Eh, iya, tidak apa-apa, lagipula kamu tidak sengaja” ucapku kemudian
“ Doni... Cepatlah, giliran kamu lagi yang tanda tangan.” teriak seorang laki-
laki lain.
“ Kalau begitu aku duluan ya, sekali lagi maaf,” ucap Doni sambil tersenyum.
Manis sekali.
“ Cieeee, yang udah dapat gebetan padahal baru juga sampai, uhuy,” ucap
Hilda.
Aku yang mendengar suara Hilda yang datang tiba-tiba, sontak terkejut. “
Astaga Hilda, kapan kamu datang? Jangan menuduh sembarang yaa, Doni tadi
hanya tidak sengaja menabrakku. Lalu dia meminta maaf,” jelasku pada Hilda.
“ Ihhh cieee, udah tau aja namanya tuhhh. Tidak sengaja atau tidak sengaja??
“ ucap Hilda terus menggoda ku.
“ Apa-apaan sih Hilda? Kamu tuh ya, padahal masih kecil tapi suka gangguin
orang, udah cukup,” ucapku sedikit sewot
“ Ih, Kak Ratihh, jangan marah dong, kan bercan—eh, eh Kak, liat tuh, kakak
gantengnya balik lagi kesini,” ucap Hilda sambil menggoyang-goyangkan
lenganku.
Aku yang mendengar perkatan Hilda pun menolehkan kepalaku kekanan dan
kekiri, mecari siapa orang yang dimaksud Hilda. “ Ha? Siapa tadi katamu Hilda?
Kok—
Ucapanku terputus oleh suara laki-laki yang menginterupsi, “ Heii, eumm, kita
belum berkenalan tadi” ucap laki-laki itu.
“ Ohh, Ratih ya, okeee, kalau begitu aku permisi pergi lagi. Sampai jumpa
dipertandingan Ratihh,” Doni berkata sambil menunjuk kearah kerumunan teman-
teman setimnya lalu kemudian melambaikan tangan nya kearahku.
Saat ini aku dan para peserta yang lain sudah ada di aula hotel. Bisa aku lihat
peserta-peserta dari sekolah lain yang akan menjadi lawan kami. Mereka
mengenakan almamater kebanggan mereka, kami pun juga, mengenakan
almamater kuning cerah kebanggan kami. Ketika aku menolehkan kepalaku ke
arah pintu, tampak lah sebuah tim yang memasuki ruangan. Mereka mengenakan
seragam batik biru dan bawahan putih serta sepatu putih. Kulihat juga ada Doni
diantara mereka, ah, ternyata Doni berasal dari smanli, pikirku. Di atas panggung,
terlihat juga rombongan beralmamater biru gelap, kata Rin itulah lawan terberat
kami. SMAN 01 LEBONG. Tercatat sudah berulang kali berangkat ke nasional.
Guru pembimbing kami, Ibuk Kam, juga berasal dari sana. Itulah sebabnya ia
bertekad agar kami juga bisa ke nasional.
Aku tiba-tiba terbangun dari tidurku saat kulihat jam di dinding kamar
menunjukkan pukul 03.15 pagi. Akupun bangkit dari tidurku, menuju kamar
mandi untuk bercuci muka, setelah itu memakai jaket dan membawa salah satu
buku modulku untuk kubaca diluar kamar. Aku tak mau Nisa terganggu tidurnya
hanya karena mendengar aku ribut saat menghapal. Aku tipe orang yang harus
bersuara ketika menghapal sesuatu, jadi bisa kupastikan, aku akan cukup
menimbulkan keributan.
Kuputuskan untuk duduk di sofa lobi hotel, walaupun masih jam 03.30 pagi,
namun diluar sudah ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor, jadi aku tidak
terlalu takut saat harus duduk sendiri seperti saat ini. Saat aku sedang khusyuk nya
menghapal, tiba-tiba kurasakan pergerakan di sofa yang kududuki, saat aku
menoleh, ternyata itu Doni sedang melihatku dengan senyumnya yang manis.
“ Sendirian nih neng ? Gak takut ada hantu apa? “ tanya Doni.
“ Gak tuh, hantunya yang takut dengan ku,” jawabku
“ Nggak kok, cuman ngulang-ngulang sedikit, takut lupa nantinya. Kalo kamu
ngapain subuh-subuh disini ? Kamu nginap disini juga ? Bukannya kamu tinggal
di Bengkulu ?” tanyaku beruntut.
“ Aku tadi gak sengaja kebangun, terus pas mau tidur lagi, kantuknya udah
ilang, yasudah aku keluar saja dari kamar. Terus kalau soal aku nginap disini,
memang iya aku nginap disini, kami semua menginap disini, kata guru
pembimbingku supaya tidak terlambat datang, kamu tahu sendirikan kalo anak-
anak seusia kita disuruh kumpul pasti ada saja yang terlambat. Jadi, untung
mengurangi resiko keterlambatan, kami disuruhnya menginap disini,” jelasnya
panjang lebar.
“ Don, aku mau balik ke kamar yah, udah subuh nih,” ucapku sambil berdiri.
“ Okee, makasih yah udah ditemenin ngobrol, dan maaf ganggu belajarnya
tadi,” balas Doni.
Terdengar panggilan dari pembawa acara menyuruh kami untuk segera naik ke
atas panggung. Saat ini yang kurasakan adalah panik dan degup jantung yang
sangat keras, kurasakan pula perut ku yang tiba-tiba terasa mulas. Mungkin efek
dari rasa gugupku tadi. Saat aku sudah menempati tempat di atas panggung, dari
kursi penonton, kulihat Ibuk Kam yang memberi semangat kepada kami. Ada juga
Doni yang kulihat, mengepalkan kedua tangannya kemudian mengatakan
semangat kepadaku tanpa suara. Akupun hanya menggangguk mengiyakan.
Babak demi babak perlombaan pun kami lewati, mulai dari topik kasus, benar
salah, hingga ke babak rebutan kami lewati dengan lancar. Syukurlah, akhirnya
timku menang dengan skor yang cukup memuaskan. Kami pun lolos ke tahap
semifinal. Setelah turun dari panggung, kami pun duduk di kursi penonton yang
kosong, menonton peserta lain yang mendapat giliran bertanding selanjutnya. Saat
aku melihat kearah panggung, ternyata saat ini tim Doni yang sedang bertanding,
aku pun mebalas untuk menyemangatinya dan mengisyaratkan agar tidak gugup.
Sementara dia ? hanya membalas dengan cengiran tengil dan ekspresi
meremehkan seolah berkata ‘tenang saja, aku bisa kok’. Aku hanya bisa tertawa
melihatnya.
Hingga akhirnya, tibalah kami pada babak terakhir, yaitu babak rebutan. Pada
babak ini kekhawatiranku mulai meningkat karena memang pada babak inilah
yang menjadi titik kelemahan kami, berbanding terbalik dengan Smansa Lebong,
babak inilah yang menjadi waktu mereka untuk menunjukkan taringnya. Dan yah,
setelah sepuluh pertanyaan dilontarkan, kekhawatiranku terbukti, Smansa Lebong
unggul 200 poin yang berarti itu hanya selisih dua soal. Hal ini sontak membuat
aku dan timku merasa terpukul. Duniaku serasa runtuh saat ini, terlalu berlebihan
memang, tapi itulah adanya, dipikiranku hanya ada rasa kesal karena merasa apa
yang telah kami perjuangkan selama kurang lebih tujuh bulan ini sia-sia.
Jangankan untuk melaju ke nasional, lolos ke babak final saja tidak.
“ Rin, semangat, Tuhan masih memberi kita kesempatan, kali ini kita harus
berjuang lebih keras lagi, jangan sampai kita mengecewakan Ibuk,” ucapku
menyemangati Rin yang hampir menangis.
“ Iya tih, kita harus semangat, pokoknya Road To Nasional harus bisa
menjadi We are at nasional now. Sudah cukup dua tahun belakang saja kita
menjadi juara kedua. Tahun ini harus bisa pergi ke gedung MPR. Man Jadda Wa
Jada tih, insyaallah kita bisa. Bismillah,” balas Rin sambil memelukku.
Setelah istirahat dua puluh menit, tibalah pada saat-saat yang menentukan,
yaitu babak final Lomba Cerdas Cermat Empat Pilar MPR 2018. Satu dari ketiga
sekolah yang masuk di babak final ini akan mewakili Provinsi Bengkulu di
nasional. Dari atas panggung bisa kulihat kursi penonton penuh oleh peserta
sekolah lain serta beberapa pejabat daerah. Kurasakan udara di dalam ruangan
menjadi lebih dingin dari sebelum-sebelumnya. Dari atas panggung juga bisa
kulihat banyak dari peserta-peserta lain yang menunjukan isyarat kepada kami,
memberi semangat.
“ Jadi teman-teman, inilah saat yang kita tunggu, Rin minta untuk babak ini
tolong berikan yang terbaik, kerahkan semua hal yang sudah kita persiapkan
selama ini, jangan gugup, jangan merasa minder, yakin dengan kemampuan kita,
insyaallah apa yang kita perjuangkan selama ini tidak akan sia-sia. Terakhir, nanti
sebelum dimulai, jangan lupa ucap basmalah agar kita semua diberi kemudahan,”
ucap Rin sembari memegang tangan kami yang kami kumpulkan menjadi satu.
Saat ini bisa kurasakan dingin nya telapak tangan milik teman-temanku
yang lain, sama seperti milikku. Kami semua gugup dan takut. Tapi kemudian aku
meyakinkan diri, Tuhan pasti membantu kami. Tuhan pasti memberikan yang
terbaik untuk kami, karena Tuhan tahu sekeras apa kami telah berusaha. Apapun
yang terjadi selanjutnya kuserahkan pada Tuhan. Berhasil ataupun tidak, itu
urusan belakang. Yang kutahu, sekarang aku harus berjuang mati-matian.
Bismillahirohmanirohim.
Terdengar sapaan dari pembawa acara yang menandai mulainya babak final
ini. Diawali dengan penampilan yel-yel setiap grup, lalu dilanjutkan dengan sesi
pertama, yaitu sesi topik kasus. Alhamdullilah, pada sesi ini kami bisa meraih
skor sempurna. Sesi selanjutnya yaitu sesi benar salah. Pada sesi ini kami akan
diberi sepuluh pernyataan, dan tugas kami adalah menunjukan itu benar atau salah
dengan mengangkat bendera, merah untuk salah, dan putih untuk benar. Kalimat
syukur dan rasa terima kasih pada Tuhan lagi-lagi kembali kami lontarkan, pada
sesi ini kami juga berhasil meraih nilai sempurna. Saat kutolehkan kepalaku ke
arah papan skor, bisa kulihat saat ini timku memimpin jalannya pertandingan
dengan skor yang cukup tinggi.
Sesi benar salah pun berakhir dan sampailah kami pada sesi terakhir, sesi
rebutan. Inilah sesi yang paling aku takutkan. Sesi yang benar-benar menentukan.
Kulihat raut wajah khawatir juga terlihat di wajah rekan timku yang lain. Sesi ini
cukup membuat kami trauma karena sesi ini jugalah yang hampir membuat kami
tidak lolos ke babal final.
“ Pemain pertama dari masing-masing tim harap maju kedepan.” Terdengar
instruksi dari salah satu pembawa acara, menyuruh kami untuk menempati posisi.
Seperti pada babak-babak sebelumnya, soal akan dibacakan dan bagi siapapun
yang sudah tahu jawabannya boleh menekan bel lebih dahulu.
Tettttttt......
Tedengar suara bel berbunyi menandakan ada orang yang telah menekannya.
Setelah kulihat, ternyata itu adalah peserta dari Lebong. Hal itu cukup membuat
aku dan anggota timku yang lain merasa tertekan. Namun, Rin kembali
menyemangati kami, mengingatkan bahwa masih ada sembilan soal lagi yang bisa
kami jawab. Aku benar-benar berterimakasih kepada Rin, dia benar-benar bisa
menenangkan kami.
“ Tapi kan aku tidak menang Don, aku kalah” balasku pelan.
“ Siapa bilang kamu kalah ? Sudah sampai juara dua dan kamu bilang kamu
kalah ? Tidak semua pemenang harus jadi juara pertama Ratih. Kamu dan tim
kamu sudah memberikan yang terbaik yang kalian miliki. Kalaupun memang saat
ini kalian belum bisa ke nasional, bukan berarti kalian kalah. Itu artinya, nasional
belum jadi rezeki kalian, belum jadi takdir kalian. Siapa tahu nanti setelah ini ada
hal yang lebih baik lagi yang sedang menunggu kalian. Percayalah, ada hikmah
dibalik semua ini, “ ucap Doni menasihati.
Aku pun membenarkan perkataan Doni barusan dalam hati. Ya, pasti Tuhan
tau apa yang terbaik bagi kami. Mungkin memang saat ini kami tidak bisa ke
nasional, tapi bisa saja nanti tahun depan, adik-adik kami yang akan melanjutkan
perjuangan kami. Mungkin saat ini impian kami tak tercapai, bisa saja nanti ada
hal luar biasa yang kami dapat. Aku harus mengikhlaskannya, pikirku.
“ Terimakasih banyak yah Doni, dan selamat juga untukmu. Selamat atas
juara tiga nya,” ucapku sambil tersenyum.
“ Nah gitu dong, senyum, kan cantik.” Ujar Doni setengah tertawa. “ Iya Rat,
sama-sama. Makasih juga atas ucapan selamat nya. Udah yuk sini, tujuan aku
nyapa kamu tuh buat ngajak foto berdua, untuk kenang-kenangan,” lanjutnya
sambil mengeluarkan handphone dari saku almamater miliknya.
Kami pun sedikit mendekat lalu berpose, “ Okee, senyum yahh, satu, dua, ti—
“ Kakkk Ratih jangan pacaran muluuuu, mau ikut foto sama kita tidak ? “
teriakan Hilda membatalkan kegiatan berfoto aku dan Doni.
“ Hilda, jangan diganggu mereka, biarkan saja Ratih nya mau foto sama
gebetan baru. Nanti kalo sudah pulang ke Curup gak bisa ngobrol lagi, “ ucap Rin
melanjutkan.
“ Ya udah, sini deh aku fotoin kalian, tapi nanti gantian yah, tolong fotoin aku
dengan Ratih, “ ucap Doni berjalan ke arah teman-temanku.
“ Siap Kak Doni, nanti Hilda yang fotoin kakak sama calon pacarnya,” jawab
Hilda sembari tertawa.
Aku yang mendengar ucapan Hilda tersebut sontak berlari kearah adik kelasku
tersebut, bermaksud menjewer telinganya. Hilda yang melihat pun sontak berlari
bermaksud kabur dariku, dan terjadilah aksi kejar-kejaran diantara kami berdua.
Sementara teman-temanku yang lain serta Doni, tertawa terpingkal-pingkal
melihat aksi diriku dan Hilda.
“ Heii bocah, sini kamu, aku udah sabar yah dari kemarin kamu godain,”
“ Ampuuunnn kakk, jangan galak-galak. Nanti Kak Doninya batal jadi pacar
kakak. Hahahahahaha.”
SELESAI