Pada hari Sabtu, 27 Mei 2017, saya melakukan kegiatan eksposure pada pukul
18.30 WIB. Mengapa saya memilih malam hari, karena pada saat ini umat muslim seluruh
dunia sedang melaksankan puasa. Jadi sangat jarang ada yang berjualan di sekitar komplek
saya. Ketika saya mencari jajanan di sekitar perumahan saya secara kebetulan, saya
bertemu dengan seorang penjual cuanki keliling. Akhirnya saya memutuskan untuk
membeli cuanki sekaligus ingin bertanya-tanya tentang apa yang telah ditentukan oleh
tugas eksposure ini.
Dia bernama Pak Udin, seorang pedagang cuanki keliling yang hanya lulusan SD.
Dia adalah seorang suami yang memiliki 3 anak. Dia sudah berjualan kira-kira 6 tahun
lamanya. Pada awalnya dia adalah seorang kuli. Saat ia menjadi seorang kuli, ia merasa
pekerjaannya itu sangat menyita waktu dan tenaga tetapi hasil yang ia dapat tidak
mencukupi untuk kebutuhan sehari-harinya dengan keluarganya. Sehingga, ia
memutuskan untuk berwirausaha. Akhirnya, ia berjualan cuanki. Cuanki yang ia jual
adalah cuanki yang ia buat sendiri.
Pak Udin adalah seseorang kelahiran Bandung yang saat ini umurnya telah
menginjak 47 tahun. Dia tinggal bersama istri dan 3 anaknya di daerah Desa Sukamaju,
lumayan tidak terlalu jauh dari tempat ketika saya bertemu dengan Pak Udin. Istrinya
adalah seorang pembantu rumah tangga. Sedangkan anak pertamanya sudah berumah
tangga, lalu anak keduanya sudah bekerja dan anak yang terakhirnya telah menginjak
bangku smp. Anak pertamanya telah berkeluarga dan tinggal di daerah Bandung kota.
Kedua anaknya bekerja di sebuah pabrik yang berbeda. Mereka telah memberikan pilihan
kepada Pak Udin agar tidak usah bekerja. Karena mereka merasa bisa membiayai
kebutuhan kedua orangtuanya dan adiknya. Tetapi, Pak Udin dan istrinya tidak mau
menerima tawaran anaknya tersebut. Ia hanya bilang agar uangnya ditabung saja untuk
keperluan mereka di masa depan, toh ia dan istrinya masih kuat dan sehat untuk bisa
bekerja.
Pak Udin berjualan cuanki biasanya dari jam 10.00 sampai jam 16.00. Tetapi,
karena sekarang sedang bulan puasa, ia berjualan dari selepas azan maghrib sekitar jam
18.00 sampai malam. Jika jualannya habis, ia mendapatkan Rp300.000 sampai Rp400.000.
Jika dagangannya masih tesisa, ia kira-kira mendapatkan Rp100.000 sampai Rp200.000.
Biasanya ia mendapatkan kira-kira Rp200.000 sampai Rp300.000 per hari. Apalagi
sekarang bulan puasa, biasanya dagangannya habis terjual. Memang, cuankinya sudah
terkenal enak karena memang cuanki yang ia jual ia buat sendiri.
Harga satu porsi yang ia jual hanya sekitar Rp7000. Tetapi ia juga
memperbolehkan ada yang membeli kurang dari harga tersebut. Ia berjualan menggunakan
gerobak yang dipanggul. Ia berjualan di sekitar komplek Bukit Permata yang lumayan
dekat dengan tempat tinggalnya.
Suka duka yang ia dapatkan selama ia berjualan sangat banyak. Salah satunya yaitu
terkadang ada yang lupa membayar cuanki nya tersebut. Jika sudah begitu, ia hanya bisa
pasrah saja. Ia percaya bahwa rezeki jika memang untuknya takkan lari kemana-mana.
Harapan yang selalu ia harapkan adalah agar dirinya dan orang-orang di sekelilingnya
tetap sehat dan anak-anaknya bisa menjadi orang yang sukses kelak.
II. Analisis Sosial
Kemiskinan di dunia seperti sudah menjadi penyakit, ada dimana – mana dan
seperti tidak pernah hilang dari dunia ini. Faktor penyebab kemiskinan ini ada banyak hal.
Dari kegiatan exposure yang saya lakukan, saya mendapatkan subyek exposure seorang
pedagang bakso cuanki keliling yang harus berkeliling seharian dengan penghasilan yang
terkadang munkin tidak sesuai dengan porsi kerjanya. Dari sini, kita dapat
mempertanyakan sesuatu : “Mengapa ia menjalani hidup atau pekerjaan seperti itu ? Apa
akar masalahnya ?”.
Salah satu akar masalah yang dapat saya tarik dari target eksposure saya yaitu Pak
Udin adalah latar pendidikan yang sangat rendah sehingga ia tidak memiliki keahlian
khusus yang dapat membantunya bersaing di dunia kerja. Pekerjaannya yang ia lakoni ini
tidak memerlukan keahlian khusus. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebabab
kemiskinan di Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya.
Kita harusnya dapat mengatur faktor internal dalam diri kita, kemalasan dan rasa
pasrah tanpa berbuat apa – apa tidak akan mengembangkan diri kita. Pak Udin juga
sebenarnya dapat ‘naik kelas’, asalkan mau untuk berusaha lebih giat karena pengalaman
yang dialami sudah cukup banyak.
Pak Udin, seorang pedagang cuanki selama ini mengalami kemiskinan struktural
dan kemiskinan kultural. Kembali pada faktor – faktor penyebab kemiskinan yang telah
disebutkan diatas, pemerintah dalam mengatasi kemiskinan haruslah melakukan sesuatu
yang benar – benar efektif untuk mengatasinya. Kemiskinan yang tidak segera teratasi
membuat seseorang akan melakukan segalanya untuk mempertahankan hidupnya.
Seringkali, pemerintah hanya memberi bantuan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT),
memang tujuannya baik, yaitu agar bantuan yang diberikan dapat dijadikan modal usaha,
tapi pada prakteknya, bantuan tersebut hanya digunakan untuk kebutuhan sehari – hari dan
tidak berkembang pada akhirnya. Bantuan yang diberikan sebaiknya dapat menjadikan
masyarakat menjadi lebih mandiri agar kemiskinan dapat tuntas.
Dapat disimpulkan, kemiskinan yang dialami Pak Udin, seorang pedagang cuanki
disebabkan oleh karena minimnya lapangan pekerjaan dan tidak adanya rasa untuk
berganti pekerjaan ke perkejaan yang lebih dari pekerjaannya sekarang.
III. Refleksi Iman
Kemiskinan dapat dikatakan sebagai nasib atau pilihan. Kita dapat menentukan
tindakan kita di tiap harinya apakah kita memilih tindakan yang akan memiskinkan kita
atau tidak. Kita sebagai manusia tidak dapat langsung melihat hasil dari tindakan kita.
Orang yang mengatakan kemiskinan sebagai nasib berarti dia tidak menyadari pilihan
yang telah ia pilih sebelumnya. Tetapi kemiskinan tidak untuk diratapi dan membuat kita
hanya berpasrah diri tanpa melakukan apa – apa.
Setiap orang mempunyai perannya masing – masing di dunia ini. Orang yang
miskin sendiri juga memiliki peran yang cukup penting. Orang miskin seringkali menjadi
pembuka kebobrokan dari suatu sistem pemerintahan yang berlangsung sejak lama.
Tetapi, seringkali kita melihat orang miskin hanya sebagai beban. Pada nyatanya, orang
yang berkekurangan itulah yang membuat kita untuk kembali ‘menjejak bumi’ dan
membuat kita menjadi tidak sombong.
Setiap hasil yang didapat pasti membutuhkan proses. Proses yang dijalani pun
tidak selalu seperti yang kita inginkan. Terkadang, kita harus mengorbankan sesuatu yang
kita sayangi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih. Proses yang dijalani pastinya bukan
proses yang mudah.
Tuhan telah menciptakan orang berbeda-beda begitu juga dengan takdirnya. Tuhan
telah menentukan takdir seseorang, tetapi jika kita berusaha pasti takdir pun bisa berubah
seiring usaha yang kita lakukan, karena usaha yang giat tidak akan mengecewakan
hasilnya.
Tuhan menciptakan kita sederajat, kaya dan miskin adalah persepsi kita sendiri,
manusia. Status sosial buatan manusia tersebut seharusnya bukan menjadi penghalang
untuk saling berkomunikasi satu sama lain, melainkan membuat kita menjadi saling
memahami lebih baik lagi. Menjadi miskin bukanlah suatu kegagalan yang harus diratapi
terus menerus, kita dapat bangkit kembali untuk kembali mendapat hidup yang lebih baik
karena setiap orang pada dasarnya sederajat, tidak ada yang dibawah dan tidak ada yang
diatas.
Bangkit dari kemiskinan memang bukanlah hal yang mudah, itu membutuhkan
proses yang panjang. Mentalitas diri seseorang lah yang akan menentukan apakah
seseorang bisa / mau bangkit dari keterpurukan.
IV. Kesimpulan
Kemiskinan itu seperti penyakit, jika kita tidak mau mengobatinya, maka penyakit
itu tidak akan hilang, dan jika kita mau berusaha untuk mengobatinya, maka penyakit
lambat laun akan hilang. Faktor – faktor penyebab kemiskinan itu ada 2, yaitu faktor
eksternal dan internal. Singkatnya, faktor eksternal bukan berasal dari diri kita, dan faktor
internal berasal dari dalam diri kita. Kedua faktor ini saling berkesinambungan, meskipun
keadaan sekitar kita sudah kondusif / baik, tapi kita tidak mau untuk melepaskan diri kita
dari kemiskinan, maka kita tetap tidak akan lepas dari kemiskinan, dan berlaku juga
sebaliknya.
Tuhan menciptakan manusia sederajat, tidak ada yang dibawah dan tidak ada yang
diatas. Status kaya dan miskin hanya persepsi kita, manusia. Sekarang kita sudah terlanjur
terjebak dalam sistem sosial, yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah berusaha untuk
tidak membeda – bedakan. Manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri. Kita
hidup di dunia ini saling berdampingan satu sama lain. Maka dari itu, mau kaya ataupun
miskin, kita harus saling menghormati dan saling membantu satu dengan lainnya.
Lampiran
Daftar Pustaka
1. m.kompasiana.com/kundaricalonanggotadpdjateng/kemiskinan-struktural-sumber-
kemiskinan-kultural_551fe888a333113f31b66efc
2. https://ahmuf.wordpress.com/mengungkap-akar-kemiskinan-di-indonesia/
Ujian Akhir Semester
Pendidikan Agama Katolik
(EKSPOSURE)