Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KEGIATAN

Program Kesehatan Mental Lansia

GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA LANSIA


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Kesehatan Jiwa 2

Yang dibina oleh Ns. Komarudin, M.Kep., Sp.Kep.J

Oleh :

Okta Savira Devi Nanda (1611011017)

Sofyan Suryantara Noprianto (1611011019)

Lubbul Fuad Al Fathoni (1611011028)

Fiki Hadiyamsah (1611011037)

Fitria Malya Rizki Setyo (1611011040)

UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH JEMBER

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

DESEMBER, 2018
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur


kehidupan manusia. Berdasarkan pengertian secara umum, seseorang dikatakan
lansia apabila usianya telah mncapai 65 tahun keatas. Terdapat batasan – batasan
umur orang yang masuk dalam kategori lansia, diantaranya adalah 60 tahun
(Undang – Undang No. 13 tahun 1998) dan 60 – 74 tahun (WHO). Lansia adalah
keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
menurunnya daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009 dalam Lubis, 2011).

Berdasarkan data global burden of disease study, gangguan kesehatan


mental khususnya depresi memberikan kontribusi yang besar bagi beban penyakit.
Depresi menjadi beban penyakit nomor tiga di seluruh dunia, menempati urutan
kedelapan di negara-negara berkembang, dan menempati urutan pertama pada
negara dengan penghasilan menengah keatas (World Health Organization, 2008).

Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang


mengindikasikan adanya perubahan emosional pada individu yang dapat
berkembang pada keadaan patologis (Idaini et al., 2009). Prevalensi gangguan
mental emosional pada penduduk Indonesia yang berumur di atas 15 tahun adalah
sebesar 11,6% berdasarkan data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2007.
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan dengan
menggunakan rancangan sampel dari susenas BPS pada 65.664 rumah tangga,
menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke
atas mencapai 140 kasus per 1.000 anggota rumah tangga. Sedangkan prevalensi
gangguan mental emosional pada usia 5–14 tahun adalah 104 per 1.000 anggota
rumah tangga. Berdasarkan survei kesehatan mental rumah tangga (SKMRT) pada
tahun 1995 di 11 kota di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi gejala
gangguan kesehatan mental adalah sebesar 185/1000 penduduk rumah tangga.
Prevalensi di atas 100 per 1000 anggota rumah tangga dianggap sebagai masalah
kesehatan yang perlu mendapat perhatian (Keputusan menteri kesehatan no. 48
tahun 2006).

Hal tersebut dikarenakan lansia mengalami proses menua. Penuaan


merupakan proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki maupun mengganti diri, mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita (Santoso & Ismail, 2009). Pada lansia,
aspek intelegensi, ingatan, serta bentuk lain dari fungsi mental akan menurun
drastis dengan bertambahnya usia. Lansia cenderung sulit untuk menemukan
maupun mengeja katakata yang umum, perubahan seperti ini seringkali
menyebabkan lansia menjadi terganggu dan frustasi (Wade & Travis, 2007).
Selain aspek intelegensi, ingatan, serta fungsi mental yang menurun, adanya
faktor lain dapat menimbulkan gangguan mental emosional bagi lansia. Faktor
individu, faktor sosial ekonomi, serta faktor lingkungan dapat mempengaruhi
keadaan mental emosional lansia.
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

Program Kesehatan Mental Lansia

Topik : Gangguan Mental Emosional pada Lansia

Penyuluh : Mahasiswa S1 Keperawatan UNMUH JEMBER

Hari/Tanggal :Rabu, 5 Desember 2018

Waktu : 09:00 WIB

Sasaran : Lansia (Lanjut Usia)

Tempat : PSLU (Pelayanan Sosial Lanjut Usia) Kab.Bondowoso

A. TUJUAN
1. Tujuan umum
Setelah mendapatkan penyuluhan selama 30 menit diharapkan lansia
mengerti dan dapat mengaplikasikan metode untuk menjaga kesehatan
mentalnya

2. Tujuan khusus

Setelah mendapatkan penyuluhan selama 30 menit diharapkan lansia mampu:

a. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental lansia


b. Mengetahui masalah mentalnya yang sering muncul
c. Mengaplikasikan metode cara menjaga kesehatan mentalnya

B. SASARAN
Lansia (Lanjut Usia)
C. ISI
1. Faktor yang mempengaruhi kesehatan mental lansia
2. Masalah kejiwaan yang sering muncul pada lansia
3. Cara menjaga kesehatan Mental lansia

D. METODE
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Simulasi

E. KEGIATAN PENYULUHAN

TAHAP WAKTU KEGIATAN KEGIATAN SASARAN


NO KEGIATAN PENYULUHAN

1 Pra Interaksi 5 menit


1. Mengucapkana salam 1. Menjawab salam
pembukaan 2.
2. Memperkenalkan diri 3. Lansia menerima
3. perkenalan
4. Kontrak waktu 4. Lansia menerima kontrak
5. waktu
6. Menyampaikan tujuan 5. Lansia menerima tujuan
7. yang disampaikan
8. Persepsi tentang 6. Menyampaikan tentang
kesehatan mental lansia kesehatan mental lansia
2 Interaksi 20 menit
1. Menjelaskan materi 1. Lansia mendengarkan
tentang : dengan baik dan
 Faktor yang kooperatif sampai dengan
mempengaruhi selesai
kesehatan mental lansia
2.
 Masalah mental yang 3.
sering muncul pada 4.
lansia 5.
 Cara menjaga 6.
kesehatan mental lansia
7.
2. Mendiskusikan bersama 8. Lansia aktif bertanya dan
tentang materi yang memperagakan metode
sudah diberikan kontrol mental.
3. Memberikan 9.
reinforcement Lansia merasa senang
3 5 menit
1. Memberikan pertanyaan1. Lansia dapat menjawab
pada lansia pertanyaan
2. Melakukan evaluasi 2. Lansia dapat
bersama dengan lansia mendengarkan
3. Memberikan kesimpulan kesimpulan dari kegiatan
4. Kontrak waktu yang akan
3. Lansia menyetujui
datang kontrak watu yang akan
5. datang
6. Memberikan 4. Lansia merasa senang dan
reinforcement membalas senyuman
7. Memberikan salam 5. Lansia menjawab salam
penutup penutup

F. MEDIA
1. Laptop
2. LCD

G. RENCANA EVALUSI
1. Evaluasi persiapan
a. Media/ alat/ sumber kegiatan di siapkan sebelum proses penyuluhan
b. Materi telah dipelajari
2. Evaluasi Proses
a. Peserta datang tepat waktu
b. Peserta memperhatikan penjelasan pemateri
c. Peserta aktif bertanya
d. Menggunakan media efektif
3. Evaluasi hasil
a. Lansia mengetahui faktor yang mempengaruhi kesehatan mentalnya
b. Lansia dapat mengetahui masalah kejiwaan yang sering muncul
c. Lansia mampu mengendalikan mental emosionalnya

H. SIMULASI KOPING PADA LANSIA


a) Penyuluh: Fitria Malya Rizki Setyo
b) Simulator:Sofyan Suryantara Noprianto
c) Klien :Okta Savira Devi Nanda
Lubbul Fuad Al Fathoni
Fiki Hadiyamsah
Penyuluh memberikan materi mengenai program kesehatan mental lansia
setalah itu dilakukan diskusis dan tanya jawab menganai keluhan dan keadaan
klien kemudian simulator akan membantu klien untuk memperagakan cara
mengendalikan mental emosional dengan beberapa metode:
1) Simulasi pertama:Pengalihan/displacement
menyalurkan ketegangan emosi pada objek lain. Di antara cara yang
sering digunakan yakni katarsis, rasionaliasi dan dzikrullah.
2) Simulasi Kedua: Penyesuaian Kognitif / Cognitive Adjustment.
Landasan teori penyesuaian kognitif adalah realitas bahwa kognisi
seseorang sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya
3) Simulasi Ketiga: Coping strategy.
Coping dimaknai sebagai tindakan seseorang dalam menanggulangi,
menerima atau menguasai suatu kondisi yang tidak diharapkan
(masalah). Dalam ajaran Islam terdapat 2 mekanisme dalam
pengendalian emosi dan menanggulangi masalah, yakni mekanisme
sabar dan syukur serta pemaafan.

I. MATERI
Terlampir
Lampiran Materi

A. Faktor yang mempengaruhi kesehatan mental lansia

Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesehatan mental yakni
sebagai berikut (Tambunan, 2010):

a. Biologis
Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi
biologis dengan kesehatan mental. Berbagai penelitian itu telah memberikan
kesimpulan yang meyakinkan bahwa faktor biologis memberikan kontribusi
sangat besar bagi kesehatan mental.Karena itu, kesehatan manusia, khususnya
disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi
biologis ini. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang hubungan tersebut,
khususnya beberapa aspek biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap
kesehatan mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi
ibu selama kehamilan.
a) Otak
Otak sangat kompleks secara fisiologis, tetepi memiliki fungsiyang
sangat esensi bagi keseluruhan aktivitas manusia. Diferensiasi dan
keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari otak manusia. Keunikan manusia terjadi justru karena keunikan
otakmanusia dalam mengekspresikan seluruh pengalaman hidupnya. Jika
dipadukan dengan pandangan-pandangan psikologi, jelas adanya
kesesuaian antara perkembangan fisiologis otak dengan perkembangan
mental. Fungsi otak seperti motorik, intelektual, emosional dan afeksi
berhubungan dengan mentalitas manusia.

b). Sistem endokrin

Sistem endokrin terdiri dari sekumpulan kelenjar yang sering bekerja sama
dengan sistem syaraf otonom. Sistem ini sama-sama memberikan fungsi
yang penting yaitu berhubungan dengan berbagai bagian-bagian tubuh.
Tetapi keduanya memiliki perbedaan diantaranya sistem syaraf
menggunakan pesan kimia dan elektrik sedangkan sistem endokrin
berhubungan dengan bahan kimia, yang disebut dengan hormon.
Tiap kelenjar endokrin mengeluarkan hormon tertentu secara langsung ke
dalam aliran darah, yang membawa bahan-bahan kimia ini keseluruh
bagian tubuh. Sistem endokrin berhubungan dengan kesehatan mental
seseorang. Gangguan mental akibat sistem endokrin berdampak buruk
pada mentalitas manusia. Sebagai contoh terganggunya kelenjar adrenalin
berpengaruh terhadap kesehatan mental, yakni terganggunya “mood” dan
perasannya dan tidak dapat melakukan coping stress.

c). Genetik

Faktor genetik diakui memiliki pengaruh yang besar terhadap


mentalitas manusia. Kecenderungan psikosis yaitu schizophrenia
danmanis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara
genetis dari orangtuanya. Gangguan lainnya yang diperkirakan sebagai
faktor genetik adalah ketergantungan alkohol, obat-obatan, Alzeimer
syndrome, phenyl ketunurine, dan huntington syndrome. Gangguan mental
juga terjadi karena tidak normal dalam hal jumlah dan struktur kromosom.
Jumlah kromosom yang berlebihan atau berkurang dapat menyebabkan
individu mengalami gangguan mental.

d). Sensori

Sensori merupakan aspek penting dari manusia. Sensori merupakan alat


yang menagkap segenap stimuli dari luar. Sensori termasuk: pendengaran,
penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman. Terganggunya fungsi
sensori individu menyebabkan terganggunya fungsi kognisi dan emosi
individu. Seseorang yang mengalami gangguan pendenganran
misalnya, maka akan berpengaruh terhadap perkembangan emosi sehingga
cenderung menjadi orang yang paranoid, yakni terganggunya afeksi yang
ditandai dengan kecurigaan yang berlebihan kepada orang lain yang
sebenarnya kecurigaan itu adalah salah.
b. Psikologis

Notosoedirjo dan latipun (2005) dalam Tambunan (2010), mengatakan


bahwa aspek psikis manusia merupakan satu kesatuan dengan dengan
sistem biologis. Sebagai subsistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis
selalu berinteraksi dengan keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah
aspek psikis tidak dapat dipisahkan dari aspekyang lain dalam kehidupan
manusia

1. Pengalaman awal
merupakan segenap pengalaman-pengalamanyang erjadi pada individu
terutama yang terjadi pada masa lalunya. Pengalaman awal ini dipandang
sebagai bagian penting bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental
individu di kemudian hari.

2. Proses Pembelajaran

Perilaku manusia adalah sebagian besar adalah proses belajar, yaitu


hasil pelatihan dan pengalaman. Manusia belajar secara langsung sejak
pada masa bayi terhadap lingkungannya.Karena itu faktor lingkungan
sangat menentukan mentalitas individu.

3. Kebutuhan

Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang.


Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu orang yang
mengeksploitasi dan mewujudkan segenap kemampuan, bakat,
keterampilannya sepenuhnya, akan mencapai pada tingkatan apa yang
disebut dengan tingkat pengalaman puncak (peack experience). Maslow
mengatakan bahwa ketidakmampuan dalam mengenali dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya adalah sebagai dasar dari gangguan mental
individu.
c. Sosial Budaya

Lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental.


Lingkungan sosial tertentu dapat menopang bagi kuatnya kesehatan mental
sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain
kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor yang dapat mengganggu
kesehatan mental. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa lingkungan social
yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah sebagai berikut:

1. Stratifikasi sosial

Masyarakat kita terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu.


Pengelompokan itu dapat dilakukan secara demografis diantaranya jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status sosial. Stratifikasi sosial ini
dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, misalnya kaum
minoritas memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami
gangguan mental.

2. Interaksi sosial

Interaksi sosial banyak dikaji kaitannya dengan gangguan mental.Ada dua


pandangan hubungan interaksi sosial ini dengan gangguan mental. Pertama
teori psikodinamik mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan
emosional dapat berakibat kepada pengurangan interaksi sosial, hal ini
dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai akibat dari adanya sakit
mental. Kedua adalah bahwa rendahnya interaksi sosial itulah yang
menimbulkan adanya gangguan mental.

3. Keluarga

Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampumembentuk homeostatis


akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluaganya, dan
kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para anggota keluarganya dari
gangguan-gangguan mental dan ketidakstabilan emosional para anggotanya.
4. Perubahan sosial

Sehubungan dengan perubahan sosial ini, terdapat dua kemungkinan yang


dapat terjadi yaitu, perubahan sosial dapat menimbulkan kepuasan bagi
masyarakat karena sesuai dengan yang diharapkan dan dapat meningkatkan
keutuhan masyarakat dan hal ini sekaligus meningkatkan kesehatan mental
mereka. Namun, di sisi lain dapat pula berakibat pada masyarakat
mengalami kegagalan dalam penyesuaian terhadap perubahan itu, akibatnya
mereka memanifestasikan kegagalan penyesuaian itu dalam bentuk yang
patologis, misalnya tidak terpenuhinya tuntutan politik, suatu kelompok
masyarakat melakukan tindakan pengrusakan dan penjarahan.

5. Sosial budaya

Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalamkonteks ini
budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan religiusitas dan
segenap aspeknya. Dalam konteks ini, kebudayaan yang ada di
masyarakat selalu mengatur bagaimana orang seharusnya melakukan
sesuatu, termasuk didalamnya bagaimana seseorang berperan sakit,
kalsifikasi kesakitan, serta adanya sejumlah kesakitan yang sangat spesifik
ada pada budaya tertentu, termasuk pula adanya gangguan mentalnya.
Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap anggota
masyarakatnya untuk bertindak yang seharusnya dilakukan dan
meninggalkan tindakan tertentu yang menurut budaya itu tidak
seharunya dilakukan. Tindakan yang bertentangan dengan sistem nilai atau
budayanya akan dipandang sebagi penyimpangan, dan bahkan dapat
menimbulkan gangguan mental. Hubungan kebudayaan dan kesehatan
mental meliputi tiga hal yaitu: (1) kebudayaan mendukung dan menghambat
kesehatan mental, (2) kebudayaan memberi peran tertentu terhadap
penderita gangguan mental, (3) berbagai bentuk gangguan mental karena
faktor kultural, (4) upaya peningkatan dan pencegahan gangguan mental
dalam telaah budaya.
6. Stessor Psikososial lainnya

Situasi dan kondisi peran sosial sehari-hari dapat menjadisebagai masalah


atau sesuatu yang tidak dikehendaki, dan karena itu dapat berfungsi
sebagai stressor sosial kontribusi ini terhadap kesehatan mental bisa kuat
atau lemah. Stressor psikososial secara umum dapat menimbulkan efek
negatif bagi individu yang mengalaminya. Manum demikian tentang variasi
stressor psikososialini berbeda untuk setiap masyarakat, bergantung kepada
kondisi social masyarakatnya.

d. Lingkungan

Interaksi manusia dengan lingkungannya berhubungan dengan kesehatannya.


Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung kesehatan manusia itu
sendiri, dan sebaliknya kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat mengganggu
kesehatannya termasuk dalam konteks kesehatan mentalnya.

B. Masalah kejiwaan yang sering muncul pada lansia

Dari beberapa pandangan di atas, ada bermacam-macam sebab timbulnya


permasalahan pada Manula, sebagai berikut:

1) Ketidakpastian keuangan
Sebagian besar manusia lanjut usia merasa tidak puas dalam hak
perekonomian, karena secara pribadi mereka tidak dapat lagi menikmati
keuangan dari hasil keringatnya sendiri. Dengan memasuki masa pensiun
berarti berkurang pula aktivitas serta kemandirian dalam pekerjaan, hal itu
berarti semakin berkurang pula penghasilan mereka dibandingkan pada masa
sebelumnya.
2) Ketidakpastian pekerjaan atau tidak mendapat kesempatan kerja
Tertutupnya kesempatan kerja bagi Manula di atas usia 45 tahun menjadikan
Manula merasa menjadi orang yang tak berguna dan tidak dibutuhkan lagi
dalam dunia kerja, karena profesi mereka telah digantikan oleh orang yang
lebih muda walaupun sebenarnya dalam kemampuan intelektualnya ada
Manula yang masih mampu memegang tanggung jawab dalam pekerjaannya.
3) Ketidakpastian karena keacuhan anak-anak
Dewasa ini anak-anak dari Manula sudah sangat terbiasa untuk hidup tanpa
perasaan apapun dan tidak memperdulikan orangtua mereka, bahkan
kadangkala bersikap tak mau tahu dengan kebutuhan orangtua mereka yang
telah berusia lanjut. Kenyataan seperti ini sangat memberatkan bagi Manula
setelah apa yang mereka lakukan selama ini terhadap anaknya.

C. Cara menjaga kesehatan lansia


Secara teori, terdapat tiga model pengendalian emosi yang dilakukan oleh
seseorang ketika menghadapi situasi emosi (Hube, 2006), yaitu pengalihan,
penyesuaian kognitif, dan strategi koping. Pertama: Pengalihan/Displacement.
Pengalihan merupakan suatu cara mengalihkan atau menyalurkan ketegangan
emosi pada obyek lain. Di antara cara yang sering digunakan yakni katarsis,
rasionaliasi dan dzikrullah. Katarsis ialah suatu istilah yang mengacu pada
penyaluran emosi keluar dari keadaannya. Sebutan lain untuk katarsis ini juga
dikenal istilah „ventilasi‟. Sebagai contoh, orang yang sedang jatuh cinta namun
tak kuasa menyatakan cintanya karena berbagai sebab, akhirnya dia menulis novel
atau kumpulan puisi cinta yang tak lain merupakan penyaluran emosi dari apa
yang sedang dialaminya.
Bentuk pengalihan berikutnya adalah rasionalisasi. Rasionalisasi
merupakan proses pengalihan dari satu tujuan yang tak tercapai kedalam bentuk
lain yang diciptakan dalam pikirannya. Yang dirasionalisasikan adalah alasan
yang digunakan dalam pengalihan itu. Menurut Atkinson, Atkinson, dan Hilgard
(1991), ada dua tujuan dari rasionalisasi ini , yaitu (1) mengurangi kekecewaan
ketika tujuan tidak tercapai. (2) memberi motif yang layak atas suatu tindakan
dengan memberi alasan yang dapat diterima secara rasio. Sejalan dengan ini Al-
Qur‟an (QS 4:79, QS 3:91) memberikan banyak pelajaran tentang pentingnya
manusia mengambil sisi baik atas setiap kejadian, walaupun pada mulanya itu
sesuatu yang dianggap buruk dan tidak mengenakkannya. Cara tersebut dikenal
dengan hikmah, yang dapat membuat manusia tidak larut dalam emosi negatif dan
berpikir tentang kebaikan apa yang Allah kehendaki dibalik tidak tercapainya
suatu tujuan. Sebagai contoh ketika seseorang berupaya menikahi seseorang yang
sangat dicintainya, ternyata mengalami kegagalan. Hikmah diperoleh seseorang
dengan mencoba mengenali kebaikan apa yang muncul setelah kegagalan itu.
Ternyata kegagalan itu dimaksudkan sebagai penundaan akan kenikmatan yang
lebih besar, karena pada akhirnya dia mendapatkan orang yang lebih
shalih/shalihah, lebih baik masa depannya, lebih baik dari sisi keturunannya, dan
seterusnya.
Zikrullah merupakan salah satu cara pengalihan manakala manusia
mengalami kesulitan atau permasalahan. Mengingat Allah ini dapat berupa
kalimah thayyibah, wirid, doa maupun tilawah Quran. Efek dari aktivitas tersebut,
seorang muslim akan merasakan ketentraman dalam menghadapi masalahnya (QS
13:38), dan hal itu baik untuk menghasilkan sikap optimis ketika ada harapan
tidak terpenuhi. Selain itu, zikrullah juga dapat mengalihkan emosi negatif yang
dialami seseorang menjadi emosi positif dengan sebab kondisi tenang dan damai
yang dirasakannya. Riset-riset terbaru menunjukkan bahwa pelatihan relaksasi
zikir untuk menurunkan stres penderita hipertensi esensial (Anggraieni, 2014),
pelatihan relaksasi zikir efektif meningkatkan kesejahteraan subjektif istri yang
mengalami infertilitas (Wahyunita, 2013), terapi relaksasi otot progresif dan zikir
efektif menurunkan kecemasan hipertensi esensial pralansia (Luznizanuri 2013),
terapi relaksasi zikir efektif menurunkan stres penderita ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis (Sadif, 2013).

Kedua: Penyesuaian Kognitif / Cognitive Adjustment. Landasan teori


penyesuaian kognitif adalah realitas bahwa kognisi seseorang sangat
mempengaruhi sikap dan perilakunya. Penyesuaian kognitif merupakan cara yang
dapat digunakan untuk menilai sesuai menurut paradigma seseorang yang
disesuaikan dengan pemahaman yang dikehendaki. Pengalaman dalam peta
kognisi dicocokkan dengan berbagai hal yang paling mungkin dan pas untuk
diyakini. Ada 3 bentuk penyesuaian kognitif, yaitu atribusi kognitif, empati dan
altruisme. Atribusi kognitif adalah suatu mekanisme yang menempatkan persepsi
berada dalam kondisi positif. Setiap masalah selalu dilihat dari sisi positifnya.
Pada kenyataannya, atribusi positif selalu beriringan dengan atribusi negatif
terutama yang mengandung konflik yang berkecamuk dalam kehidupan manusia.
Sebagai contoh ketika seorang sufi terluka tangannya karena teriris pisau, maka
alih-alih merasa sedih atau marah, namun mereka meyakini itu sebagai tanda
kasih sayang Allah yang mengucurkan darah haram yang mungkin ada dalam diri
mereka sehingga kelak tak tersentuh api neraka. Empati merupakan kesadaran
dalam diri seseorang untuk turut merasakan apa yang sedang dialami oranglain,
baik berupa kesulitan maupun musibah. Dengan kesadaran berempati ini
seseorang dapat menimba pengalaman oranglain dalam mereduksi gejolak emosi
tatkala peristiwa yang sama menimpa dirinya. Ajaran Islam mendorong sikap
empati ini karena dengan sikap ini akan melahirkan ketulusan dan dorongan untuk
menolong oranglain. Banyak kisah dalam Alquran tentang bagaimana Rasulullah
berempati pada para Nabi pendahulunya (QS 35:4,QS 6 :34,QS 22:42). Altruisme
merupakan salah satu prinsip dalam relasi interpersonal. Gambaran altruisme
dalam Al Quran dapat dibaca misalnya pada QS 76:8-9 yang melukiskan orang
yang memberi pertolongan kepada sesama tanpa pamrih, kecuali mengharap ridho
Allah.

Ketiga: Coping strategy. Coping dimaknai sebagai tindakan seseorang dalam


menanggulangi, menerima atau menguasai suatu kondisi yang tidak diharapkan
(masalah). Dalam teori psikologi, terdapat dua strategi coping, yaitu emotional
focus coping yang berarti fokus penanggulangan pada emosi yang dirasakan, dan
problem focus coping yang secara singkat berarti fokus penanggulangan pada
masalah yang dihadapi. Adapun dalam ajaran Islam terdapat 2 mekanisme dalam
pengendalian emosi dan menanggulangi masalah, yakni mekanisme sabar dan
syukur serta pemaafan. Sabar adalah hal terbaik agar seseorang tidak larut dalam
emosi negatif. Secara ilmiah dan alamiah, suatu peristiwa yang menimbulkan
emosi utama (mayor) dapat diikuti oleh beberapa emosi minor sekaligus.
Sebagaimana yang dikisahkan dalam hadis Rasulullah SAW berikut ini :

“Nabi saw menjumpai seorang wanita sedang menangis di sebuah kuburan (dalam
riwayat lain menangisi kematian anaknya) lalu menasehati, “Bertaqwalah kepada
Allah dan bersabarlah!” Wanita itu menjawab ketus karena tak mengetahui yang
menasehatinya adalah Nabi, “ Bukan urusanmu, kamu tak merasakan musibah
yang saya alami!”. (beberapa waktu berselang) wanita itu datang ke rumah Nabi
saw dan mengatakan: ”mohon maaf, saya tidak mengenalimu waktu itu (kini aku
sudah bersabar)”. Kemudian Nabi bersabda: “sabar itu pada benturan pertama
(diawal peristiwa)” (HR Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasaai, Abu Dawud, Ibnu
Majah, Ahmad).

Kesedihan mendalam seorang ibu atas meninggalnya anak yang disayangi dalam
hadis tersebut adalah emosi mayor. Manakala ada pihak yang mencoba
menasehati, justru menimbulkan reaksi emosi kedua (minor 1) yaitu marah.
Penyesalan atas kemarahan yang ditunjukkan kepada orang yang bermaksud
memberi nasehat adalah emosi minor ke-2, apalagi setelah tahu bahwa pemberi
nasehat itu adalah Rasulullah, menimbulkan rasa bersalah bercampur rasa malu
sebagai emosi minor ke-3 & 4. Seluruh emosi yang timbul itu akan menambah
beban masalah bagi yang mengalaminya. Karena itu, adalah tepat jika Islam
mengajarkan respon terbaik manakala seseorang ditimpa masalah atau kesulitan
yaitu dengan bersabar. Selain sabar, ajaran Islam melalui lisan Nabi Muhammad
mengajarkan tentang pentingnya pengendalian emosi dengan cara banyak
bersyukur. Syukur ini sebuah bentuk pengakuan bahwa segala kenikmatan berasal
dari Allah dan akan kembali kepada-Nya kapanpun Dia kehendaki. Sikap ini
dalam menjaga seorang mukmin dari sikap berlebihan (euforia) dalam menerima
kesulitan maupun kemudahan. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS 57:23
sebagai berikut :

“Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Pemaafan (forgiveness) adalah starategi koping yang penting dalam Islam.


Rasulullah SAW adalah pribadi agung yang sangat terkendali emosinya dan
mampu menahan amarahnya terhadap stimuli negatif yang dihadapi. Al Quran
menggambarkan bahwa sekiranya beliau termasuk orang yang suka mengumbar
amarah, niscaya umat telah meninggalkannya (QS 3:159). Menahan marah bukan
berarti menyimpannya yang sewaktu-waktu diletupkan. Pemberian maaf adalah
sebuah proses meleburkan semuanya dan menghadirkan kelapangan dalam hati.
DAFTAR PUSTAKA

Qonitah, N., dan M. A. Isfandiari. 2015. Hubungan Antara IMT dan Kemandirian
Fisik dengan Gangguan Mental Emosional pada Lansia. Jurnal Berkala
Epidemiologi. 3(1): 1-11.

R. Rachmy Diana. 2015. Pengendalian Emosi Menurut Psikologi Islam. UNISIA,


Vol. XXXVII No. 82

Supriadi. 2015. Lanjut Usia dan Permasalahannya. Jurnal PPKn dan Hukum.
10(2): 84-94.

Anda mungkin juga menyukai