Oleh :
DESEMBER, 2018
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
A. TUJUAN
1. Tujuan umum
Setelah mendapatkan penyuluhan selama 30 menit diharapkan lansia
mengerti dan dapat mengaplikasikan metode untuk menjaga kesehatan
mentalnya
2. Tujuan khusus
B. SASARAN
Lansia (Lanjut Usia)
C. ISI
1. Faktor yang mempengaruhi kesehatan mental lansia
2. Masalah kejiwaan yang sering muncul pada lansia
3. Cara menjaga kesehatan Mental lansia
D. METODE
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Simulasi
E. KEGIATAN PENYULUHAN
F. MEDIA
1. Laptop
2. LCD
G. RENCANA EVALUSI
1. Evaluasi persiapan
a. Media/ alat/ sumber kegiatan di siapkan sebelum proses penyuluhan
b. Materi telah dipelajari
2. Evaluasi Proses
a. Peserta datang tepat waktu
b. Peserta memperhatikan penjelasan pemateri
c. Peserta aktif bertanya
d. Menggunakan media efektif
3. Evaluasi hasil
a. Lansia mengetahui faktor yang mempengaruhi kesehatan mentalnya
b. Lansia dapat mengetahui masalah kejiwaan yang sering muncul
c. Lansia mampu mengendalikan mental emosionalnya
I. MATERI
Terlampir
Lampiran Materi
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesehatan mental yakni
sebagai berikut (Tambunan, 2010):
a. Biologis
Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi
biologis dengan kesehatan mental. Berbagai penelitian itu telah memberikan
kesimpulan yang meyakinkan bahwa faktor biologis memberikan kontribusi
sangat besar bagi kesehatan mental.Karena itu, kesehatan manusia, khususnya
disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi
biologis ini. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang hubungan tersebut,
khususnya beberapa aspek biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap
kesehatan mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi
ibu selama kehamilan.
a) Otak
Otak sangat kompleks secara fisiologis, tetepi memiliki fungsiyang
sangat esensi bagi keseluruhan aktivitas manusia. Diferensiasi dan
keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari otak manusia. Keunikan manusia terjadi justru karena keunikan
otakmanusia dalam mengekspresikan seluruh pengalaman hidupnya. Jika
dipadukan dengan pandangan-pandangan psikologi, jelas adanya
kesesuaian antara perkembangan fisiologis otak dengan perkembangan
mental. Fungsi otak seperti motorik, intelektual, emosional dan afeksi
berhubungan dengan mentalitas manusia.
Sistem endokrin terdiri dari sekumpulan kelenjar yang sering bekerja sama
dengan sistem syaraf otonom. Sistem ini sama-sama memberikan fungsi
yang penting yaitu berhubungan dengan berbagai bagian-bagian tubuh.
Tetapi keduanya memiliki perbedaan diantaranya sistem syaraf
menggunakan pesan kimia dan elektrik sedangkan sistem endokrin
berhubungan dengan bahan kimia, yang disebut dengan hormon.
Tiap kelenjar endokrin mengeluarkan hormon tertentu secara langsung ke
dalam aliran darah, yang membawa bahan-bahan kimia ini keseluruh
bagian tubuh. Sistem endokrin berhubungan dengan kesehatan mental
seseorang. Gangguan mental akibat sistem endokrin berdampak buruk
pada mentalitas manusia. Sebagai contoh terganggunya kelenjar adrenalin
berpengaruh terhadap kesehatan mental, yakni terganggunya “mood” dan
perasannya dan tidak dapat melakukan coping stress.
c). Genetik
d). Sensori
1. Pengalaman awal
merupakan segenap pengalaman-pengalamanyang erjadi pada individu
terutama yang terjadi pada masa lalunya. Pengalaman awal ini dipandang
sebagai bagian penting bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental
individu di kemudian hari.
2. Proses Pembelajaran
3. Kebutuhan
1. Stratifikasi sosial
2. Interaksi sosial
3. Keluarga
5. Sosial budaya
Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalamkonteks ini
budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan religiusitas dan
segenap aspeknya. Dalam konteks ini, kebudayaan yang ada di
masyarakat selalu mengatur bagaimana orang seharusnya melakukan
sesuatu, termasuk didalamnya bagaimana seseorang berperan sakit,
kalsifikasi kesakitan, serta adanya sejumlah kesakitan yang sangat spesifik
ada pada budaya tertentu, termasuk pula adanya gangguan mentalnya.
Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap anggota
masyarakatnya untuk bertindak yang seharusnya dilakukan dan
meninggalkan tindakan tertentu yang menurut budaya itu tidak
seharunya dilakukan. Tindakan yang bertentangan dengan sistem nilai atau
budayanya akan dipandang sebagi penyimpangan, dan bahkan dapat
menimbulkan gangguan mental. Hubungan kebudayaan dan kesehatan
mental meliputi tiga hal yaitu: (1) kebudayaan mendukung dan menghambat
kesehatan mental, (2) kebudayaan memberi peran tertentu terhadap
penderita gangguan mental, (3) berbagai bentuk gangguan mental karena
faktor kultural, (4) upaya peningkatan dan pencegahan gangguan mental
dalam telaah budaya.
6. Stessor Psikososial lainnya
d. Lingkungan
1) Ketidakpastian keuangan
Sebagian besar manusia lanjut usia merasa tidak puas dalam hak
perekonomian, karena secara pribadi mereka tidak dapat lagi menikmati
keuangan dari hasil keringatnya sendiri. Dengan memasuki masa pensiun
berarti berkurang pula aktivitas serta kemandirian dalam pekerjaan, hal itu
berarti semakin berkurang pula penghasilan mereka dibandingkan pada masa
sebelumnya.
2) Ketidakpastian pekerjaan atau tidak mendapat kesempatan kerja
Tertutupnya kesempatan kerja bagi Manula di atas usia 45 tahun menjadikan
Manula merasa menjadi orang yang tak berguna dan tidak dibutuhkan lagi
dalam dunia kerja, karena profesi mereka telah digantikan oleh orang yang
lebih muda walaupun sebenarnya dalam kemampuan intelektualnya ada
Manula yang masih mampu memegang tanggung jawab dalam pekerjaannya.
3) Ketidakpastian karena keacuhan anak-anak
Dewasa ini anak-anak dari Manula sudah sangat terbiasa untuk hidup tanpa
perasaan apapun dan tidak memperdulikan orangtua mereka, bahkan
kadangkala bersikap tak mau tahu dengan kebutuhan orangtua mereka yang
telah berusia lanjut. Kenyataan seperti ini sangat memberatkan bagi Manula
setelah apa yang mereka lakukan selama ini terhadap anaknya.
“Nabi saw menjumpai seorang wanita sedang menangis di sebuah kuburan (dalam
riwayat lain menangisi kematian anaknya) lalu menasehati, “Bertaqwalah kepada
Allah dan bersabarlah!” Wanita itu menjawab ketus karena tak mengetahui yang
menasehatinya adalah Nabi, “ Bukan urusanmu, kamu tak merasakan musibah
yang saya alami!”. (beberapa waktu berselang) wanita itu datang ke rumah Nabi
saw dan mengatakan: ”mohon maaf, saya tidak mengenalimu waktu itu (kini aku
sudah bersabar)”. Kemudian Nabi bersabda: “sabar itu pada benturan pertama
(diawal peristiwa)” (HR Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasaai, Abu Dawud, Ibnu
Majah, Ahmad).
Kesedihan mendalam seorang ibu atas meninggalnya anak yang disayangi dalam
hadis tersebut adalah emosi mayor. Manakala ada pihak yang mencoba
menasehati, justru menimbulkan reaksi emosi kedua (minor 1) yaitu marah.
Penyesalan atas kemarahan yang ditunjukkan kepada orang yang bermaksud
memberi nasehat adalah emosi minor ke-2, apalagi setelah tahu bahwa pemberi
nasehat itu adalah Rasulullah, menimbulkan rasa bersalah bercampur rasa malu
sebagai emosi minor ke-3 & 4. Seluruh emosi yang timbul itu akan menambah
beban masalah bagi yang mengalaminya. Karena itu, adalah tepat jika Islam
mengajarkan respon terbaik manakala seseorang ditimpa masalah atau kesulitan
yaitu dengan bersabar. Selain sabar, ajaran Islam melalui lisan Nabi Muhammad
mengajarkan tentang pentingnya pengendalian emosi dengan cara banyak
bersyukur. Syukur ini sebuah bentuk pengakuan bahwa segala kenikmatan berasal
dari Allah dan akan kembali kepada-Nya kapanpun Dia kehendaki. Sikap ini
dalam menjaga seorang mukmin dari sikap berlebihan (euforia) dalam menerima
kesulitan maupun kemudahan. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS 57:23
sebagai berikut :
“Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Qonitah, N., dan M. A. Isfandiari. 2015. Hubungan Antara IMT dan Kemandirian
Fisik dengan Gangguan Mental Emosional pada Lansia. Jurnal Berkala
Epidemiologi. 3(1): 1-11.
Supriadi. 2015. Lanjut Usia dan Permasalahannya. Jurnal PPKn dan Hukum.
10(2): 84-94.