Intoleransi Beragama: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Ppni Bali 2017
Intoleransi Beragama: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Ppni Bali 2017
DISUSUN OLEH :
A12-KeperawatanA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha
Esa karena, banyak nikmat yang Tuhan berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji
hanya layak untuk Tuhan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Pengaruh Narkoba Bagi Perkembangan Keimanan di Era Globalisasi”.
Dengan selesainya makalah ini saya tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1.A.A Gede Oka Widana, M.Pd.H selaku pembimbing dan memberikan motivasi
dalam makalah ini.
2.Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam mengerjakan tugas ini.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun
selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………………………….a
BAB I Pendahuluan
Latar belakang……………………………………………………………………………1
Rumusan Masalah………………………………………………………………………..5
Tujuan…………………………………………………………………………………….5
BAB II Isi
Itoleransi beragama………………………………………………………………………6
Solusi intoleransi…………………………………………………………………………17
BAB II Penutup
Kesimpulan………………………………………………………………………………19
Daftar pustaka……………………………………………………...............................20
BAB I
PENDAHULUAN
sering terjadi. Berdasarkan pernyataan Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama
Semarang selama 6 bulan di tahun 2014 ini di Jawa Tengah telah terjadi 8 kali kekerasan
dengan mengatasnamakan agama (Syukron, 2014). Keadaan yang serupa juga terjadi di
Yogyakarta, selama 5 bulan pertama di tahun 2014 telah terjadi 7 kasus tindakan
intoleransi atas nama agama (Kompas 4 Juni 2014). Secara nasional, keadaannya
semakin mengkhawatirkan. The Wahid Institute, lembaga yang konsen terhadap isu-isu
pluralisme dan kebebasan beragama melaporkan bahwa selama tahun 2013, peristiwa
intoleransi atas nama agama sebanyak 245 kasus, 43% melibatkan aktor negara dan 57%
oleh aktor non-negara (Ucan Indonesia, 2014). Bentuk pelanggaran oleh aktor negara
non- negara berupa serangan fisik dan penolakan/penutupan tempat ibadah. Aktor non
negara yang
paling banyak melakukan tindakan intoleransi adalah massa tanpa identitas. SETARA
Institut juga mencatat bahwa pada periode Januari-Juni 2013 terjadi 122 peristiwa
terjadi di Jawa Barat sebanyak 61 peristiwa, pelanggaran tertinggi berikutnya yaitu Jawa
Timur sebanyak 18 peristiwa dan DKI Jakarta sebanyak 10 peristiwa. Dari 160
merupakan tindakan aktif termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan 8 tindakan
sungguh merupakan suatu sinyal bahwa sifat toleransi di masyarakat di Indonesia sangat
konflik yang menyulut kerusuhan. Berdalih mengamalkan suatu keyakinan dalam agama
Salah satu alternatif yang jitu untuk mengurangi tindakan intoleransi di masyarakat
adalah dengan menggalakkan pendidikan toleransi. Toleransi adalah “sifat atau sikap
sendiri”. Dengan demikian, pendidikan toleransi itu bertujuan meningkatkan sifat atau
sikap peserta didik yang bias menghargai perbedaan dengan dirinya. Dalam konteks
kehidupan beragama, toleransi tidak saja berkaitan sikap menghargai terhadap orang
yang memiliki agama yang berbeda dengan dirinya, namun juga kepada orang yang sama
yang berbeda. Pendidikan toleransi sebenarnya telah lama dilakukan di sekolah. Fatullah
(2008) membuktikan bahwa guru PAI di Kota Banjarmasin sudah berupaya untuk
menanamkan pendidikan kerukunan beragama kepada siswa-siswanya. Namun,
pembelajaran
toleransi antar umat beragama yang ada di SMA Selamat Pagi Indonesia yaitu guru
memberi pengarahan kepada peserta didik bahwa toleransi antar umat bergama penting
dilakukan agar
tidak terjadi konflik dan guru memberikan contoh perilaku bertoleransi kepada siswa.
perlu ditinjau kembali apakah telah dilaksanakan dengan serius, atau hanya sambil lalu.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan berbagai model pendidikan toleransi yang efektif
Pendidikan toleransi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan model
biografi tokoh. Tokoh yang dipilih dan dijadikan sebagai model dalam penyampaian
toleransi kepada siswa dapat diambilkan dari tokok-tokoh di dunia, seperti Nabi
Muhammad s.a.w., Syeh Abdul Qodir Al Jailani, Imam Gozali, Harun Yahya, dan lain-
lain. Tokoh di Indonesia dapat diambilkan dari tokoh-tokoh yang sudah mempunyai
peran penting
dalam kehidupan di Indonesia, seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H.
Mas Mansur, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. B.J. Habibie, Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, dan lain-lain. Dipilihnya beberapa tokoh dadasarkan
dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut. Jasa-jasa yang telah dilakukan oleh tokoh dapat
disampaikan kepada siswa sehingga akan terpancing, termotivasi, dan tertarik untuk
mengikuti
jejak para tokoh. Penanaman jiwa toleran tidaklah mudah dilaksanakan, mengingat siswa
memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Namun, hal ini dapat di diminimalkan
dengan menanamkan hal-hal yang positif kepada siswa dan menanamkan akhlak mulia.
olehpersepsi yang kurang tepat dalam beragama. Markhamah dan Sabardila (2011)
meneliti persepsi mahasiswa tentang makna kata toleransi dan radikalisme dalam
kehidupan beragama. Salah satu persepsi mahasiswa adalah “toleransi dalam Islam tidak
ada”. Walaupun persepsi ini dimiliki oleh hanya segelintir mahasiswa, namun berpotensi
Sufanti, Sabardila, dan Rahmawati (2013) menemukan bahwa mayoritas siswa memiliki
persepsi terhadap makna toleransi sesuai dengan yang tercantum dalam KBBI, bukan
berarti pada siswa SMA tidak ditemukan potensi tindakan intoleransi. Pendidikan di
deradikalisme kegamaan. Siswa SMA sering disebut usia pemuda. Jung (dalam Alwisol,
2009:56) menyatakan bahwa kepribadian usia pemuda harus banyak membuat keputusan
dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sosialnya. Siswa-siswa ini berada pada tahap
peralihan
antara masa remaja menuju dewasa yang sering kurang dapat mengendalikan diri dengan
baik. Apabila generasi ini bisa lebih menghargai keyakinan, pendapat, kepercayaan
maupun prinsip
orang lain tanpa harus melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk ketidaksepahaman,
maka diharapkan yang akan datang terwujud masyarakat yang tenteram. Jika harapan ini
terwujud, toleransi berkembang dan radikalisme hilang. Guru merupakan salah satu
karena itu, persepsi guru perlu digali lebih dalam sebagai dasar untuk menyusun prototipe
1. Intoleransi Beragama
1.3 TUJUAN
PEMBAHASAN
Intoleransi beragama adalah suatu kondisi jika suatu kelompok (misalnya masyarakat,
kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara spesifik menolak untuk menoleransi
pernyataan bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah benar sementara agama
atau kepercayaan lain adalah salah bukan termasuk intoleransi beragama, melainkan
intoleransi ideologi.
Kata intoleransi berasal dari prefikin- yang memiliki arti "tidak, bukan" dan kata
dasartoleransi yang memiliki arti sifat atau sikap toleran batas ukur untuk penambahan
atau pengurangan yang masih diperbolehkan penyimpangan yang masih dapat diterima
dalam pengukuran kerja." Dalam hal ini, pengertian toleransi yang dimaksud adalah
"sifat atau sikap toleran . Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai "bersifat atau
didefinisikan sebagai "1 menganut (memeluk) agama; 2 beribadat; taat kepada agama;
didefiniskan sebagai "sifat atau sikap yang tidak menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) perihal keagamaan yang berbeda atau bertentangan dengan agamanya
sendiri."
modal bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang
diisolasi dari persoalan publik. Kesenjangan dalam kehidupan sosial kian hari menjadi
masalah yang sangat kompleks. Dimana yang kaya menjadi semakin kaya dan yang
miskin semakin menderita dengan kemiskinannya. Hal ini terjadi karena agama kurang
Kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun
selama ini. Intoleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan
saling curiga diantara sesama anak bangsa. Bahkan rasa individual semakin melekat
dalam kehidupan sosial dan cenderung menutup diri dari orang lain. Hegemoni mayoritas
atas minoritas pun semakin menebal, mengganti kasih sayang, tenggang rasa, dan
menjadikan toleransi sebagai jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan yang
membuat bangsa terpuruk. Kita semua tau bahwa setiap agama, baik islam, Kristen dan
agama-agama lain mengajarkan kebaikan dan hidup toleransi, namun pada kenyataannya
justru konflik dan pertikaian sering terjadi yang mengatasnamakan harga diri karena
untuk mempertahankan agama. Padahal agama seharusnya bisa menjadi energi posistif
untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera serta
mengajarkan toleransi, baik dalam beragama maupun hidup dalam dunia majemuk dan
diperlukan kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup,
berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda. Keanekaragaman itu indah bila kita
menyadari dan mensyukuri setiap perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan itu
sebagai warna-warni kehidupan seperti halnya pelangi yang terdiri dari warna-warna
Setiap pemeluk agama akan memandang benar agama yang dipeluknya. Karenanya akan
amat riskan untuk memaksakan suatu agama terhadap orang yang sudah beragama.
memperkenalkan identitas agama yang dipeluk kepada pemeluk agama lain agar saling
Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia itu dipandang
mampu untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah.
Manusia dianggap sudah dewasa, dan mengerti akan risiko dari pilihannya. Maka tatkala
Di mana pertama, adanya pengakuan akan selain agama sendiri, bahwa ada agama lain
yang harus dihormati (pluralisme). Kedua, bahwa masing-masing pemeluk agama harus
tetap memegang teguh agama yang dipeluknya (positif). Pluralisme ini akan menjadi
negatif kalau orang berpandangan bahwa seluruh agama itu sama, sehingga dengan
mudah bergonta-ganti agama, seolah-olah beragama itu bukan suatu urusan besar. Atau
dengan adanya pandangan bahwa tidak ada keselamatan, kecuali pada agama yang
Sekarang, sikap intoleran itu mulai menyeruak. Kasus kekerasan terhadap jemaat Gereja
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi, Jawa Barat, adalah salah satunya. Ini
intoleransi beragama, ataukah murni kriminal yang sama sekali tidak dilatarbelakangi
oleh motif keagamaan? Jika kasus kekerasan itu betul dilatarbelakangi oleh sikap
intoleransi dalam beragama, maka sebenarnya pendidikan toleransi antar umat beragama
tengah dipertanyakan. Akan menjadi PR besar bagi pemerintah, berikut para pimpinan
tinggi sikap toleransi antar umat beragama agar tercipta kenyamanan dalam menjalankan
Namun jika kasus kekerasan itu murni kriminal biasa, maka pemerintah dengan aparat
terkait, yaitu Polri, hendaknya sesegera mungkin mengusut tuntas persoalan ini.
Pengusutan tuntas kasus ini diharapkan bisa meredam kecurigaan dan spekulasi yang bisa
memperkeruh suasana. Adapun yang lebih penting lagi, terkait kasus ini, seluruh
komponen bangsa hendaknya tidak terpengaruh dan terprovokasi. Dan terhadap seluruh
kasus yang semacam ini, pengendalian diri menjadi amat penting, agar suasana tetap
kondusif. Akan banyak kerugian yang didapatkan jika situasi menjadi keruh, dan
tentunya akan sangat memalukan bagi bangsa yang terkenal menjunjung tinggi
pluralisme beragama ini. Perlu diperhatikan, bahwa keberagamaan yang berakar kuat dari
kesadaran pribadi ini semestinya memberikan nilai limpah terhadap upaya perbaikan
pelayanan terhadap sesama manusia. Maka menjadi tidak terlalu penting keragaman
keberagamaannya.
Mengutip dari pendapat Prof. Mr. R.H. Kasman Singodimejo, ada lima faktor penyebab
2. Fanatisme negatif.
dengan keyakinan dan agama yang dipeluknya serta meningkatkan kesadaran dan
pemahaman terhadap pemeluk agama lain merupakan pondasi yang kokoh untuk
menyebabkan adanya sikap saling pengertian dan toleransi terhadap orang lain dalam
hidup beragama itu dimungkinkan karena tiap-tiap agama memiliki dasar ajaran untuk
hidup rukun. Jadi semua agama itu mengajarkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun
1. Agama Hindu
Pandangan agama Hindu tentang kerukunan hidup antarumat beragama dapat diketahui
dari tujuan agama Hindu, yakni “Moksarthan Jagathita Ya ca iti Dharma” yang artinya
Berangkat dari pengertian tersebut, maka untuk mencapai kerukunan umat beragama
manusia harus mempunyai dasar hidup yang disebut Catur Perusa Artha. Yakni Dharma
a. Dharma berarti susila dan berbudi luhur. Dengan Dharma seseorang dapat
mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri, keluarga dan masyarakat (umat manusia).
Apabila Dharma ini telah terwujud, maka tujuan hidup lainnya seperti Artha, Kama dan
b. Artha berarti kekayaan, dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup, serta
orang. Kama dapat pula dipuaskan oleh Artha, sehingga dalam mencari Artha dam
pemakaiannya harus berdasarkan Dharma. Oleh karena itu kalau orang mencari Kama
dan Artha terlebih dahulu harus melaksanakan Dharma, dan tidak boleh menyimpang dari
Dharma.
d. Moksha adalah merupakan kebahagian abadi, yakni terlepasnya atman ( jiwa ) dari
lingkaran sanfara, atau berstatusnya kembali atman dengan paramatma, dan moksha
menjadi tujuan terakhir dari agama Hindu yang setiap saat dicari sampai berhasil.
Mencapai Moksha dasarnya juga Dharma, jadi hanya Dharmalah yang dapat dipakai
Jadi keempat dasar ini merupakan titik tolak terbinanya kerukunan hidup umat beragama
2. Agama Buddha
Pandangan dasar agama Budha tentang kerukunan hidup umat beragama dapat dicapai
c. Apabila tanha (keinginan rendah) dapat dihilangkan maka penderitaan akan berakhir.
d. Jalan untuk menghilangkan keinginan rendah ialah melaksanakan 8 jalan utama yaitu;
pengertian yang benar, pikiran yang benar, ucapan yang benar, perbuatan yang benar,
keadaan yang benar, mata pencaharian yang benar, daya upaya yang benar, pemusatan
Atas dasar ajaran agama Budha tentang kerukunan hidup beragama di atas, maka dalam
pelayanan Budha Gautama terhadap manusia berarti telah dilaksanakan dengan dasar
sebagai berikut:
a. Keyakinan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia.
b. Metta, welas asih yang menyeluruh terhadap semua makhluk, sebagai kasih ibu
c. Karunia, kasih sayang terhadap sesama makhluk, dan kecendrungan untuk selalu
d. Mudita, perasaan turut bahagia dengan kebahagiaan makhluk lain tanpa benci, iri
e. Karma, reinkarnasi atau hukum umum yang kekal, karena ini adalah hukum sebab
akibat. Oleh sebab itu karma adalah jumlsh keseluruhan dari perbuatan-perbuatan baik
A. Agama Kristen
Kejadian 49:5 “Simeon dan Lewi bersaudara; senjata mereka ialah alat kekerasan”
I Samuel 12:4 Jawab mereka: "Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak
memperlakukan kami dengan kekerasan dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan
siapa pun."
Ayub 35:9 “Orang menjerit oleh karena banyaknya penindasan, berteriak minta tolong
B. Agama Islam
QS.At-Taubah:123
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,
QS At-Tahrim:9
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah
terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali.”
QS.Al-Baqaroh:191
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu),
2. Pemahaman yang radikal, menganggap alirannya benar dan orang lain salah
3. Pemahaman yang liberal, bebas semaunya tanpa mengikuti kaedah yang ada
Sementara itu intoleransi antar umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh
faktor agama melainkan faktor ekonomi, politik dan sosial yang kemudian diagamakan.
2. Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi baik karena status hukumnya yang masih
3. Persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama yang tidak
Berikut ada beberapa hal yang dapat dijadikan solusi atas pemasalahan tersebut:
Seperti yang disebutkan dalam artikel diatas untuk mengatasi hubungan yang tidak
harmonis antar umat beragama ini dan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan
masalahnya, maka H.A. Mukti Ali, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama,
pada tahun 1971 melontarkan gagasan untuk dilakukannya dialog agama. Dalam dialog
kita tidak hanya saling beradu argumen dan mempertahankan pendapat kita masing-
masing yang dianggap benar. Karena pada dasarnya dialog agama ini adalah suatu
percakapan bebas,terus terang dan bertanggung jawab yang didasari rasa saling
pengertian dalam menanggulangi masalah kehidupan bangsa baik berupa materil maupun
spiritual. Diharapkan dengan adanya dialog agama ini tidak terjadi kesalahpahaman yang
nantinya dapat memicu terjadinya konflik. Didalam artikel tersebut juga dikatakan bahwa
dialog antar umat beragama digunakan sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan
2. Pendidikan Multikultural
sejak dini. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Sebagai Negara yang
membuat kita tercerai berai. Namun sebaliknya perbedaan yang ada tersebut kita anggap
sebagai kekayaan bangsa yang menjadi ciri khas bangsa kita. Perlunya ditanamkannya
rasa nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri generasi penerus bangsa sejak dapat
membuat mereka semakin memahami dan akhirnya dapat saling menghargai setiap
4. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
Solusi tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari sikap toleransi yang harus dimiliki
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
konflik. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan negara dan Pancasila yang
menjadi ideologi negara seolah-olah hanya sebagai sekedar semboyan dan simbol saja. Di
era globalisasi saat ini nilai-nilai yang dianut oleh bangsa kita telah mulai memudar
tergerus oleh perkembangan zaman dan ideologi yang lain. Konflik antar umat beragama
terutama yang sering terjadi saat ini. Konflik destruktif yang berujung pada tindakan
anarkis yang merugikan banyak pihak. Toleransi beragama dianggap sebagai suatu solusi
atas konflik antar umat beragama yang sering terjadi saat ini. Sikap saling menghormati
dan saling menghargai memang sangat diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Diperlukan rasa saling pengertian antar sesama agar tercipta komunikasi yang baik.
Karena pada dasarnya agama itu mengajarkan kasih sayang dan bisa membangkitkan
2007.