Anda di halaman 1dari 23

INTOLERANSI BERAGAMA

DISUSUN OLEH :

I Komang Widi Mestapa Yoga (183212833)

A12-KeperawatanA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


WIRA MEDIKA PPNI BALI
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha
Esa karena, banyak nikmat yang Tuhan berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji
hanya layak untuk Tuhan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Pengaruh Narkoba Bagi Perkembangan Keimanan di Era Globalisasi”.
Dengan selesainya makalah ini saya tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1.A.A Gede Oka Widana, M.Pd.H selaku pembimbing dan memberikan motivasi
dalam makalah ini.
2.Teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam mengerjakan tugas ini.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun
selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Denpasar, 9 Oktober 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………………………….a

BAB I Pendahuluan

Latar belakang……………………………………………………………………………1

Rumusan Masalah………………………………………………………………………..5

Tujuan…………………………………………………………………………………….5

BAB II Isi

Itoleransi beragama………………………………………………………………………6

Penyebab inoleransi beragama…………………………………………………………..16

Solusi intoleransi…………………………………………………………………………17

BAB II Penutup

Kesimpulan………………………………………………………………………………19

Daftar pustaka……………………………………………………...............................20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peristiwa-peristiwa intoleransi atas nama agama dalam masyarakat semakin

sering terjadi. Berdasarkan pernyataan Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama

Semarang selama 6 bulan di tahun 2014 ini di Jawa Tengah telah terjadi 8 kali kekerasan

dengan mengatasnamakan agama (Syukron, 2014). Keadaan yang serupa juga terjadi di

Yogyakarta, selama 5 bulan pertama di tahun 2014 telah terjadi 7 kasus tindakan

intoleransi atas nama agama (Kompas 4 Juni 2014). Secara nasional, keadaannya

semakin mengkhawatirkan. The Wahid Institute, lembaga yang konsen terhadap isu-isu

pluralisme dan kebebasan beragama melaporkan bahwa selama tahun 2013, peristiwa

intoleransi atas nama agama sebanyak 245 kasus, 43% melibatkan aktor negara dan 57%

oleh aktor non-negara (Ucan Indonesia, 2014). Bentuk pelanggaran oleh aktor negara

meliputi menghambat/menghalangi/menyegel rumah ibadah, pemaksaan keyakinan, dan

melarang/menghentikan kegiatan keagamaan. Sementara bentuk pelanggaran oleh aktor

non- negara berupa serangan fisik dan penolakan/penutupan tempat ibadah. Aktor non

negara yang

paling banyak melakukan tindakan intoleransi adalah massa tanpa identitas. SETARA

Institut juga mencatat bahwa pada periode Januari-Juni 2013 terjadi 122 peristiwa

pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 160 bentuk tindakan,

yang menyebar di 16 provinsi (Susetyo Pr,2013). Menurutnya, separuh peristiwa tersebut

terjadi di Jawa Barat sebanyak 61 peristiwa, pelanggaran tertinggi berikutnya yaitu Jawa
Timur sebanyak 18 peristiwa dan DKI Jakarta sebanyak 10 peristiwa. Dari 160

bentuktindakan pelanggaran kebebasan beragama, terdapat 70 tindakan negara yang

melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 70 tindakan negara, 58 tindakan

merupakan tindakan aktif termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan 8 tindakan

diskriminasi. Sementara 12 tindakan merupakan tindakan pembiaran. Data-data tersebut

sungguh merupakan suatu sinyal bahwa sifat toleransi di masyarakat di Indonesia sangat

menipis. Gesekan-gesekan kepentingan dikaitkan dengan keyakinan agama menimbulkan

konflik yang menyulut kerusuhan. Berdalih mengamalkan suatu keyakinan dalam agama

yang dianut, suatu kelompok atau seorang melakukan intimidasi/kekerasan/pengeroyokan

kepada kelompok atau orang yang berbeda keyakinannya.

Salah satu alternatif yang jitu untuk mengurangi tindakan intoleransi di masyarakat

adalah dengan menggalakkan pendidikan toleransi. Toleransi adalah “sifat atau sikap

toleran” (Alwi,,2002:1204). Adapun arti toleran adalah “bersifat atau bersikap

menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan,

kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,dsb.) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian

sendiri”. Dengan demikian, pendidikan toleransi itu bertujuan meningkatkan sifat atau

sikap peserta didik yang bias menghargai perbedaan dengan dirinya. Dalam konteks

kehidupan beragama, toleransi tidak saja berkaitan sikap menghargai terhadap orang

yang memiliki agama yang berbeda dengan dirinya, namun juga kepada orang yang sama

agamanya tetapi memiliki pemahaman atau penafsiran

yang berbeda. Pendidikan toleransi sebenarnya telah lama dilakukan di sekolah. Fatullah

(2008) membuktikan bahwa guru PAI di Kota Banjarmasin sudah berupaya untuk
menanamkan pendidikan kerukunan beragama kepada siswa-siswanya. Namun,

pendidikan ini dirasa masih

kurang kualitasnya. Begitu pula Susanti (2012) menemukan berbagai model

pembelajaran

toleransi antar umat beragama yang ada di SMA Selamat Pagi Indonesia yaitu guru

memberi pengarahan kepada peserta didik bahwa toleransi antar umat bergama penting

dilakukan agar

tidak terjadi konflik dan guru memberikan contoh perilaku bertoleransi kepada siswa.

Pendidikan toleransi di sekolah memang telah dilaksanakan, namun tindakan intoleransi

di masyarakat tetap semarak. Pendidikan toleransi yang telah dilaksanakan di sekolah

perlu ditinjau kembali apakah telah dilaksanakan dengan serius, atau hanya sambil lalu.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan berbagai model pendidikan toleransi yang efektif

dengan menerapkan strategi-strategi yang lebih jitu. Pendidikan toleransi yang

dilaksanakan oleh guru di sekolah akan meminimalkan tindakan-tindakan intoleransi.

Pendidikan toleransi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan model

biografi tokoh. Tokoh yang dipilih dan dijadikan sebagai model dalam penyampaian

toleransi kepada siswa dapat diambilkan dari tokok-tokoh di dunia, seperti Nabi

Muhammad s.a.w., Syeh Abdul Qodir Al Jailani, Imam Gozali, Harun Yahya, dan lain-

lain. Tokoh di Indonesia dapat diambilkan dari tokoh-tokoh yang sudah mempunyai

peran penting

dalam kehidupan di Indonesia, seperti K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H.

Mas Mansur, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. B.J. Habibie, Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, dan lain-lain. Dipilihnya beberapa tokoh dadasarkan

pada jasa-jasa yang telah

dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut. Jasa-jasa yang telah dilakukan oleh tokoh dapat

disampaikan kepada siswa sehingga akan terpancing, termotivasi, dan tertarik untuk

mengikuti

jejak para tokoh. Penanaman jiwa toleran tidaklah mudah dilaksanakan, mengingat siswa

memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Namun, hal ini dapat di diminimalkan

dengan menanamkan hal-hal yang positif kepada siswa dan menanamkan akhlak mulia.

Nilai-nilai toleransi yang menipis dan munculnya tindakan radikalisme disebabkan

olehpersepsi yang kurang tepat dalam beragama. Markhamah dan Sabardila (2011)

meneliti persepsi mahasiswa tentang makna kata toleransi dan radikalisme dalam

kehidupan beragama. Salah satu persepsi mahasiswa adalah “toleransi dalam Islam tidak

ada”. Walaupun persepsi ini dimiliki oleh hanya segelintir mahasiswa, namun berpotensi

menimbulkan tindakan intoleransi dalam masyarakat. Begitu pula, walaupun penelitian

Sufanti, Sabardila, dan Rahmawati (2013) menemukan bahwa mayoritas siswa memiliki

persepsi terhadap makna toleransi sesuai dengan yang tercantum dalam KBBI, bukan

berarti pada siswa SMA tidak ditemukan potensi tindakan intoleransi. Pendidikan di

Sekolah Menengah Atas (SMA) dianggap mempunyai peranan dalam usaha

deradikalisme kegamaan. Siswa SMA sering disebut usia pemuda. Jung (dalam Alwisol,

2009:56) menyatakan bahwa kepribadian usia pemuda harus banyak membuat keputusan

dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sosialnya. Siswa-siswa ini berada pada tahap

peralihan
antara masa remaja menuju dewasa yang sering kurang dapat mengendalikan diri dengan

baik. Apabila generasi ini bisa lebih menghargai keyakinan, pendapat, kepercayaan

maupun prinsip

orang lain tanpa harus melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk ketidaksepahaman,

maka diharapkan yang akan datang terwujud masyarakat yang tenteram. Jika harapan ini

terwujud, toleransi berkembang dan radikalisme hilang. Guru merupakan salah satu

faktor keberhasilan dalam pembelajaran. Persepsi guru tentang pendidikan toleransi

kehidupan beragama sangat menentukan keberhasilan pendidikan toleransi ini. Oleh

karena itu, persepsi guru perlu digali lebih dalam sebagai dasar untuk menyusun prototipe

model pendidikan toleransi kehidupan beragama.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Intoleransi Beragama

2. Penyebab Intoleransi Beragama

3. Solusi Intoleransi Beragama

1.3 TUJUAN

1. Dapat menjelaskan apa itu Intoleransi Beragama

2. Dapat mengetahui penyebab dari Intoleransi Beragama

3. Dapat menjelaskan solusi dari Intoleransi Beragama


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Intoleransi Dalam Agama

Intoleransi beragama adalah suatu kondisi jika suatu kelompok (misalnya masyarakat,

kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara spesifik menolak untuk menoleransi

praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama. Namun,

pernyataan bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah benar sementara agama

atau kepercayaan lain adalah salah bukan termasuk intoleransi beragama, melainkan

intoleransi ideologi.

Kata intoleransi berasal dari prefikin- yang memiliki arti "tidak, bukan" dan kata

dasartoleransi yang memiliki arti sifat atau sikap toleran batas ukur untuk penambahan

atau pengurangan yang masih diperbolehkan penyimpangan yang masih dapat diterima

dalam pengukuran kerja." Dalam hal ini, pengertian toleransi yang dimaksud adalah

"sifat atau sikap toleran . Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai "bersifat atau

bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat,

pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau

bertentangan dengan pendirian sendiri."

Kata keberagamaan memiliki arti "perihal beragama". Sementara kata beragama

didefinisikan sebagai "1 menganut (memeluk) agama; 2 beribadat; taat kepada agama;

baik hidupnya (menurut agama)."Dengan demikian, intoleransi keberagamaan dapat

didefiniskan sebagai "sifat atau sikap yang tidak menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) perihal keagamaan yang berbeda atau bertentangan dengan agamanya

sendiri."

Di era reformasi ini, kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada

modal bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang

sumbernya berbau kemajemukan, khususnya bidang agama. Seharusnya agama jangan

diisolasi dari persoalan publik. Kesenjangan dalam kehidupan sosial kian hari menjadi

masalah yang sangat kompleks. Dimana yang kaya menjadi semakin kaya dan yang

miskin semakin menderita dengan kemiskinannya. Hal ini terjadi karena agama kurang

dikontekstualisasikan dalam kehidupan sosial, bahkan terkadang agama dan kesalehan

adalah topeng belaka yang hanya memperlihatkan kebaikan semu saja.

Kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan semangat kebersamaan yang sudah dibangun

selama ini. Intoleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya rasa benci dan

saling curiga diantara sesama anak bangsa. Bahkan rasa individual semakin melekat

dalam kehidupan sosial dan cenderung menutup diri dari orang lain. Hegemoni mayoritas

atas minoritas pun semakin menebal, mengganti kasih sayang, tenggang rasa, dan

semangat untuk berbagi. Intoleransi muncul akibat hilangnya komitmen untuk

menjadikan toleransi sebagai jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan yang

membuat bangsa terpuruk. Kita semua tau bahwa setiap agama, baik islam, Kristen dan

agama-agama lain mengajarkan kebaikan dan hidup toleransi, namun pada kenyataannya

justru konflik dan pertikaian sering terjadi yang mengatasnamakan harga diri karena

untuk mempertahankan agama. Padahal agama seharusnya bisa menjadi energi posistif

untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera serta

hidup berdampingan dalam perbedaan.


Untuk itu kita perlu menyadari walaupun setiap agama tidak sama, tetapi agama selalu

mengajarkan toleransi, baik dalam beragama maupun hidup dalam dunia majemuk dan

diperlukan kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup,

berbudaya, dan berkeyakinan agama yang berbeda. Keanekaragaman itu indah bila kita

menyadari dan mensyukuri setiap perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan itu

sebagai warna-warni kehidupan seperti halnya pelangi yang terdiri dari warna-warna

yang berbeda namun menyatu untuk memancarkan keindahan.

Setiap pemeluk agama akan memandang benar agama yang dipeluknya. Karenanya akan

amat riskan untuk memaksakan suatu agama terhadap orang yang sudah beragama.

Memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk suatu agama untuk menjalankan

agamanya secara patut adalah sikap demokratis di dalam beragama. Dan

memperkenalkan identitas agama yang dipeluk kepada pemeluk agama lain agar saling

memaklumi dan menghormati adalah langkah arif dalam membina hubungan

antar umat beragama.

Tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama ialah karena manusia itu dipandang

mampu untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah.

Manusia dianggap sudah dewasa, dan mengerti akan risiko dari pilihannya. Maka tatkala

pilihan ditetapkan, adalah menjadi hak manusia untuk menjalankan ritual-ritual

agamanya tanpa ada gangguan dari pihak-pihak lain,

Inilah yang dinamakan dengan pluralisme positif di dalam beragama.

Di mana pertama, adanya pengakuan akan selain agama sendiri, bahwa ada agama lain

yang harus dihormati (pluralisme). Kedua, bahwa masing-masing pemeluk agama harus

tetap memegang teguh agama yang dipeluknya (positif). Pluralisme ini akan menjadi
negatif kalau orang berpandangan bahwa seluruh agama itu sama, sehingga dengan

mudah bergonta-ganti agama, seolah-olah beragama itu bukan suatu urusan besar. Atau

dengan adanya pandangan bahwa tidak ada keselamatan, kecuali pada agama yang

diyakininya. Sehingga misi utamanya adalah

mengajakorang yang sudah beragama untuk berpindah agama.

Sekarang, sikap intoleran itu mulai menyeruak. Kasus kekerasan terhadap jemaat Gereja

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi, Jawa Barat, adalah salah satunya. Ini

tentunya mengundang pertanyaan sekaligus keprihatinan. Apakah itu wujud sikap

intoleransi beragama, ataukah murni kriminal yang sama sekali tidak dilatarbelakangi

oleh motif keagamaan? Jika kasus kekerasan itu betul dilatarbelakangi oleh sikap

intoleransi dalam beragama, maka sebenarnya pendidikan toleransi antar umat beragama

tengah dipertanyakan. Akan menjadi PR besar bagi pemerintah, berikut para pimpinan

keagamaan untuk memberikan pengertian kepada umatnya untuk sama-sama menjunjung

tinggi sikap toleransi antar umat beragama agar tercipta kenyamanan dalam menjalankan

ibadah keagamaan yang diyakini.[16]

Namun jika kasus kekerasan itu murni kriminal biasa, maka pemerintah dengan aparat

terkait, yaitu Polri, hendaknya sesegera mungkin mengusut tuntas persoalan ini.

Pengusutan tuntas kasus ini diharapkan bisa meredam kecurigaan dan spekulasi yang bisa

memperkeruh suasana. Adapun yang lebih penting lagi, terkait kasus ini, seluruh

komponen bangsa hendaknya tidak terpengaruh dan terprovokasi. Dan terhadap seluruh

kasus yang semacam ini, pengendalian diri menjadi amat penting, agar suasana tetap

kondusif. Akan banyak kerugian yang didapatkan jika situasi menjadi keruh, dan

tentunya akan sangat memalukan bagi bangsa yang terkenal menjunjung tinggi
pluralisme beragama ini. Perlu diperhatikan, bahwa keberagamaan yang berakar kuat dari

kesadaran pribadi ini semestinya memberikan nilai limpah terhadap upaya perbaikan

masalah-masalah kemanusiaan. Di mana implikasi praktis dari melayani Tuhan adalah

pelayanan terhadap sesama manusia. Maka menjadi tidak terlalu penting keragaman

agamanya, yang penting untuk dipertanyakan adalah bagaimana kualitas

keberagamaannya.

Mengutip dari pendapat Prof. Mr. R.H. Kasman Singodimejo, ada lima faktor penyebab

terjadinya bentrokan antarumat beragama, yakni:

1. Dangkalnya pengertian dan kesadaran beragama.

2. Fanatisme negatif.

3. Cara dakwah dan propaganda yang salah.

4. Perlakuan yang tidak adil terhadap agama lain.

5. Objek dakwah dan propaganda agama.

Dengan meningkatkan pemahaman dan amal perbuatan umat beragama sesuai

dengan keyakinan dan agama yang dipeluknya serta meningkatkan kesadaran dan

pemahaman terhadap pemeluk agama lain merupakan pondasi yang kokoh untuk

membangun toleransi dan kerukunan hidup umat beragama.

 Dasar-Dasar Ajaran Agama Tentang Toleransi


Dengan munculnya pengetahuan dan pemahaman terhadap agama-agama lain,

menyebabkan adanya sikap saling pengertian dan toleransi terhadap orang lain dalam

kehidupan sehari-hari, sehingga tumbuh kerukunan hidup beragama. Dan kerukunan

hidup beragama itu dimungkinkan karena tiap-tiap agama memiliki dasar ajaran untuk

hidup rukun. Jadi semua agama itu mengajarkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun

dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.

1. Agama Hindu

Pandangan agama Hindu tentang kerukunan hidup antarumat beragama dapat diketahui

dari tujuan agama Hindu, yakni “Moksarthan Jagathita Ya ca iti Dharma” yang artinya

mencapai kesejahteraan hidup manusia baik jasmani maupun rohani.

Berangkat dari pengertian tersebut, maka untuk mencapai kerukunan umat beragama

manusia harus mempunyai dasar hidup yang disebut Catur Perusa Artha. Yakni Dharma

Artha, Kama dan Moksha. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Dharma berarti susila dan berbudi luhur. Dengan Dharma seseorang dapat

mencapai kesempurnaan hidup, baik untuk diri, keluarga dan masyarakat (umat manusia).

Apabila Dharma ini telah terwujud, maka tujuan hidup lainnya seperti Artha, Kama dan

Moksha akan dialami pula.

b. Artha berarti kekayaan, dapat memberikan kenikmatan dan kepuasan hidup, serta

cara mencapainya harus dilandasi Dharma.

c. Kama bermakna kenikmatan dan kepuasan, seperti kesenian dapat memuaskan

orang. Kama dapat pula dipuaskan oleh Artha, sehingga dalam mencari Artha dam

pemakaiannya harus berdasarkan Dharma. Oleh karena itu kalau orang mencari Kama
dan Artha terlebih dahulu harus melaksanakan Dharma, dan tidak boleh menyimpang dari

Dharma.

d. Moksha adalah merupakan kebahagian abadi, yakni terlepasnya atman ( jiwa ) dari

lingkaran sanfara, atau berstatusnya kembali atman dengan paramatma, dan moksha

menjadi tujuan terakhir dari agama Hindu yang setiap saat dicari sampai berhasil.

Mencapai Moksha dasarnya juga Dharma, jadi hanya Dharmalah yang dapat dipakai

sebagai wahana untuk sampai kepada Moksha.

Jadi keempat dasar ini merupakan titik tolak terbinanya kerukunan hidup umat beragama

dalam agama Hindu.

2. Agama Buddha

Pandangan dasar agama Budha tentang kerukunan hidup umat beragama dapat dicapai

melalui empat kebenaran, yakni:

a. Hidup adalah suatu penderitaan ( Dhuka-Satya)

b. Penderitaan disebabkan karena keinginan rendah (Samudaya-Satya)

c. Apabila tanha (keinginan rendah) dapat dihilangkan maka penderitaan akan berakhir.

d. Jalan untuk menghilangkan keinginan rendah ialah melaksanakan 8 jalan utama yaitu;

pengertian yang benar, pikiran yang benar, ucapan yang benar, perbuatan yang benar,

keadaan yang benar, mata pencaharian yang benar, daya upaya yang benar, pemusatan

pikiran (konsentrasi) yang benar ( Marga Satya).

Atas dasar ajaran agama Budha tentang kerukunan hidup beragama di atas, maka dalam

pelayanan Budha Gautama terhadap manusia berarti telah dilaksanakan dengan dasar

sebagai berikut:
a. Keyakinan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia.

b. Metta, welas asih yang menyeluruh terhadap semua makhluk, sebagai kasih ibu

terhadap putranya yang tunggal.

c. Karunia, kasih sayang terhadap sesama makhluk, dan kecendrungan untuk selalu

selalu meringankan penderitaan makhluk lain.

d. Mudita, perasaan turut bahagia dengan kebahagiaan makhluk lain tanpa benci, iri

hati dan perasaan prihatin bila ada makhluk lain menderita.

e. Karma, reinkarnasi atau hukum umum yang kekal, karena ini adalah hukum sebab

akibat. Oleh sebab itu karma adalah jumlsh keseluruhan dari perbuatan-perbuatan baik

dan tidak baik.

Teks-Teks Suci Keagamana Tentang Intoleransi

A. Agama Kristen

Kejadian 49:5 “Simeon dan Lewi bersaudara; senjata mereka ialah alat kekerasan”

I Samuel 12:4 Jawab mereka: "Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak

memperlakukan kami dengan kekerasan dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan

siapa pun."

Ayub 35:9 “Orang menjerit oleh karena banyaknya penindasan, berteriak minta tolong

oleh karena kekerasan orang-orang yang berkuasa;”


Mazmur 58:3 “Malah sesuai dengan niatmu kamu melakukan kejahatan, tanganmu,

menjalankan kekerasan di bumi.”

Ayat ini ditemukan sebanyak 75 ayat dalam kitab Injil.

B. Agama Islam

QS.At-Taubah:123

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu,

dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya

Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

QS At-Tahrim:9

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah

terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk

tempat kembali.”

QS.Al-Baqaroh:191

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari

tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari

pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika

mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu),

maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”


Penyebab Intoleransi Beragama

Beberapa penyebab intoleransi internal umat beragama seperti:

1. Pemahaman yang menodai atau menyimpang dari agama

2. Pemahaman yang radikal, menganggap alirannya benar dan orang lain salah

3. Pemahaman yang liberal, bebas semaunya tanpa mengikuti kaedah yang ada

Sementara itu intoleransi antar umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh

faktor agama melainkan faktor ekonomi, politik dan sosial yang kemudian diagamakan.

Beberapa penyebabnya seperti:

1. Adanya paham radikal disebagian kecil kelompok agama

2. Kurang efektifnya pelaksanaan regulasi baik karena status hukumnya yang masih

dipersoalkan, kurangnya pemahaman sebagai aparatur negara atau kurangnyakesadaran

sebagai tokoh dan umat beragama

3. Persoalan pendirian rumah ibadah atau cara penyiaran/penyebaran agama yang tidak

sesuai dengan ketentuan yang berlaku

4. Penistaan terhadap agama

5. Adanya salah paham ayai informasi diantara pemeluk agama


2.2 SOLUSI INTOLERANSI BERAGAMA

Berikut ada beberapa hal yang dapat dijadikan solusi atas pemasalahan tersebut:

1. Dialog Antar Agama

Seperti yang disebutkan dalam artikel diatas untuk mengatasi hubungan yang tidak

harmonis antar umat beragama ini dan untuk mencari jalan keluar bagi pemecahan

masalahnya, maka H.A. Mukti Ali, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Agama,

pada tahun 1971 melontarkan gagasan untuk dilakukannya dialog agama. Dalam dialog

kita tidak hanya saling beradu argumen dan mempertahankan pendapat kita masing-

masing yang dianggap benar. Karena pada dasarnya dialog agama ini adalah suatu

percakapan bebas,terus terang dan bertanggung jawab yang didasari rasa saling

pengertian dalam menanggulangi masalah kehidupan bangsa baik berupa materil maupun

spiritual. Diharapkan dengan adanya dialog agama ini tidak terjadi kesalahpahaman yang

nantinya dapat memicu terjadinya konflik. Didalam artikel tersebut juga dikatakan bahwa

dialog antar umat beragama digunakan sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan

konflik yang terjadi antara umat Muslim dan umat Protestan

2. Pendidikan Multikultural

Perlu ditanamkannya pemahaman mengenai pentingnya toleransi antar umat beragama

sejak dini. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Sebagai Negara yang

memiliki keanekaragaman kita harus saling menghormati dan menghargai antar

sesama.Apalagi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam hal adat-

istiadat,suku,ras/etnis,bahasa dan agama. Perbedaan yang ada tersebut jangan sampai

membuat kita tercerai berai. Namun sebaliknya perbedaan yang ada tersebut kita anggap

sebagai kekayaan bangsa yang menjadi ciri khas bangsa kita. Perlunya ditanamkannya
rasa nasionalisme dan cinta tanah air dalam diri generasi penerus bangsa sejak dapat

membuat mereka semakin memahami dan akhirnya dapat saling menghargai setiap

perbedaan yang ada.

3. Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama,tidak memperdebatkan segi-segi

perbedaan dalam agama.

4. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.

5. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang

memiliki budi pekerti luhur dan akhlakul karimah.

Solusi tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari sikap toleransi yang harus dimiliki

agar tidak lagi terjadi konflik antar umat beragama di Indonesia.


BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman dalam hal suku

bangsa,ras/etnis,adat-istiadat,bahasa hingga agama memang sangat rawan terhadap

konflik. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan negara dan Pancasila yang

menjadi ideologi negara seolah-olah hanya sebagai sekedar semboyan dan simbol saja. Di

era globalisasi saat ini nilai-nilai yang dianut oleh bangsa kita telah mulai memudar

tergerus oleh perkembangan zaman dan ideologi yang lain. Konflik antar umat beragama

terutama yang sering terjadi saat ini. Konflik destruktif yang berujung pada tindakan

anarkis yang merugikan banyak pihak. Toleransi beragama dianggap sebagai suatu solusi

atas konflik antar umat beragama yang sering terjadi saat ini. Sikap saling menghormati

dan saling menghargai memang sangat diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Diperlukan rasa saling pengertian antar sesama agar tercipta komunikasi yang baik.

Karena pada dasarnya agama itu mengajarkan kasih sayang dan bisa membangkitkan

solidaritas dan kohesifitas sosial yang kuat.


Daftar Pustaka

1. Bin Nuh, H. Abdullah, Kamus Baru. Jakarta; Pustaka Islam, Cet. 1.

2. Departemen Agama Ri, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Antar Umat

Beragama, Jakarta; Proyek Pembinaan Kerukunan Beragama, 1979.

3. Episteme, Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Vol 4. 2009.

4. Kamus Populer, Surabaya; Ksatria, Cet. Ke VII,

5. Merayakan Kebebasan Beragama Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan

Effendi, Jakarta, ICRP, 2009.

6. Mulyono, Drs. Bashori,MA, “Ilmu Perbadingan Agama,” Indramayu, Pustaka

Sayid Sabiq, 2010.

7. Poerwadarminta, W.J.S, “Kamus Besar Bahasa Indonesia, di olah kembali oleh

pusat pembinaan dan pengembangan bahasa.” Jakarta: Pustaka, 1982.

8. Syaefullah, Asep, Merukunkan Umat Beragam, Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu,

2007.

Anda mungkin juga menyukai