Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Tinjauan Pustaka
Hepatitis viral merujuk kepada virus hepatotropik yang bertanggung jawab untuk
hepatitis A (HAV), hepatitis B (HBV), delta hepatitis (HDV), hepatitis C (HCV), dan
hepatitis E (HEV). Virus-virus yang menyebabkan hepatitis sebagai bagian dari suatu
penyakit, seperti virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks, virus campak, dan
sitomegalovirus, tidak akan dibahas di bab ini. Hepatitis viral mempunyai beberapa
bentuk klinik (akut, fulminant [onsetnya mendadak], kronik) menurut durasi atau
keparahan infeksi.
Hepatitis viral akut adalah infeksi viral sistemik dengan durasi sampai tapi tidak
melebihi 6 bulan yang menghasilkan nekrosis karena inflamasi dari liver. Hepatitis viral
klinik berupa perpanjangan atau berlanjutnya proses nekroinflamasi liver 6 bulan atau
lebih melewati onset kondisi akut.
Hepatitis viral akut biasanya akan sembuh sendiri dengan tingkat fatalitas rendah.
Begitu virion sampai ke sirkulasi (biasanya melalui inokulasi oral atau parenteral atau
melalui hubungan seksual), virion akan terakumulasi di sinusoid liver dan dikumpulkan
oleh hepatosit. Partikel viral bereplikasi dalam hepatosit. Partikel viral yang infektif lalu
akan tersebar ke darah, empedu dan sekret tubuh lainnya. Durasi tahap inkubasi
tergantung virus dan bervariasi. Inang umumnya asimtomatik selama tahap inkubasi dari
infeksi. Virus hepatotropik menyebabkan kerusakan liver karena respon imun inang atau
dari kerusakan langsung pada hepatosit yang disebabkan viral. Respon imun selular dan
humoral ditujukan untuk antigen virus yang ditemukan di membran hepatosit inang
dan/atau tersebar di kompartemen vaskular.
Hepatitis viral kronik adalah penyebab utama dari penyakit liver kronik, sirrosis,
kegagalan fungsi liver, dan hepatocellular carcinoma (HCC) di seluruh dunia. Pasien
dengan hepatitis viral kronik bisa mengalami masa statik; beberapa berlanjut ke fibrosis
liver dan sirrosis, dan beberapa mengalami kegagalan fungsi liver atau HCC.
Manifestasinya bisa muncul dalam puluhan tahun. Pasien dengan hepatitis kronik
mempunyai respon limfosit sitotoksik dan limfosit CD4 yang lemah. Pasien dengan
infeksi HBV kronik mengalami defisiensi produksi, atau respon, terhadap interferon
(IFN), yang menyebabkan kegagalan pengarahan limfosit ke target sel yang terinfeksi.
Jika replikasi viral bertahan atau perusakan liver karena inflamasi tidak teratasi, jumlah
hepatosit yang berfungsi akan menurun dari waktu ke waktu, dan fibrosis dari
mekanisme perbaikan selular merusak rancangan dasar liver. Lalu terbentuk nodul
hepatik. Ketika melebar, fibrosis hepatik dengan pembentukan nodule disebut sirrosis.
Akibat dari sirrosis tidak berbeda dari etiologi awal dan bisa menyebabkan hipertensi
portal dan ascites.
Riwayat infeksi dibagi dalam tiga tahap berdasar penanda serologis dari viral:
inkubasi, hepatitis akut, dan pemulihan. Tingkat keparahan penyakit bervariasi dari
asimtomatik, anicteric hepatitis sampai hepatitis fulminan, penyakit yang memburuk
dengan cepat. Kebanyakan pasien dnegan viral hepatitis akut hanya mengalami simtom
ringan dan kerusakan hepatosit minimal. Kondisi ringan ini disebut anicteric hepatitis
akut. Tingkat kerusakan minimal dari sel liver ditunjukkan dengan peningkatan kecil
pada serum bilirubin, gamma globulin, dan transaminase hepatik (ALT, AST) sekitar dua
kali normal. Sebagian pasien dengan kerusakan hepatosit yang parah sehingga
mengalami gangguan fungsi liver yang signifikan yang dicirikan dengan gangguan
metabolisme dan aliran bilirubin, yang menyebabkan jaundice. Fase
preicteric/prejaundice sering dihubungkan dengan simtom seperti influensa seperti
anoreksia, mual, fatigue (=kelelahan yang sangat hebat), dan lemas. Fase icteric
umumnya diikuti oleh demam, nyeri abdominal quadrant kanan atas, mual, muntah,
urin berwarna hitam, alcoholic stool, dan memburuknya simtom sistemik. Simtom klinik
diikuti oleh peningkatan sedang sampai bermakna dari serum bilirubin, gamma globulin,
dan transaminase hepatic (4-10 kali normal). Penanda serologis viral dan antibodi inang
terdeteksi selama tahap ini. Kebanyakan pasien dengan hepatits anicteric akut atau
hepatitis icteric memasuki tahap pemulihan sampai pulih sepenuhnya tanpa
pembentukan komplikasi atau serangan lanjutan. Durasi tahapan penyakit dan resiko
terbentuknya serangan lanjutan kronik adalah fenomena spesifik untuk virus (Dipiro,
2008).
Hepatitis viral kronik adalah sebab paling umum dari penyakit liver kronik dan
alasan untuk transplantasi liver. Temuan klinik, perjalanan penyakit, dan tampilan
histologi serupa pada semua pasien dengan hepatitis kronik apa pun etiologinya. Pada
HBV kronik atau HCV kronik, jika pasien simtomatik, fatigue, lemas, anoreksia, dan berat
turun paling umum terlihat. Banyak pasien dengan riwayat jaundice. Pada pemeriksaan
fisik, biasanya terlihat hepatomegali, tapi tanda penyakit liver kronik (spider nevi [tanda
berbentuk laba-laba], splenomegali, eritema palmar, atropi testis, caput medusa, female
escutcheon) biasanya tidak akan muncul sampai tahapan akhir dari penyakit.
Peningkatan ringan tapi bertahan dari serum aminotransaminase, bilirubin, dan gamma
globulin umum terlihat. Pada hepatitis C kronik, pasien sering asimtomatik, tapi biopsi
liver menunjukkan kerusakan liver dan perubahan histologis progresif. Serum enzim bisa
normal atau hanya naik sedikit; sayangnya, pasien berada dalam tahapan yang akan
menuju ke komplikasi setelah 15-20 tahun. Komplikasi dari hepatitis kronik termasuk
sirosis, kegagalan fungsi hepatik, dan HCC (Dipiro, 2008).
B. Tata Laksana
Menurut guideline dari Dipiro (2015), tata laksana untuk hepatitis B kronik adalah
sebagai berikut :

(Dipiro,2015).
Pasien juga menunjukkan tanda-tanda adanya infeksi pada saluran kemih,
sehingga perlu diberikan antibiotik. Pedoman pemilihan antibiotik menurut Dipiro
(2015) sebagai berikut :
(Dipiro, 2015).
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO
RM
PURWOKERTO
INSTALASI FARMASI
Nama : Ny. S Nomor RM : 02007865
Tgl lahir/Umur:31-12-1958/58 BB : 35 kg; TB : 145 cm; Kamar : Mawar 8.2
RPM : Hepatitis Kronis RPD : -
Diagnosis : Hepatitis Kronis
Merokok : tidak batang/hr; Kopi : tidak gelas/hr; Lainnya : ..................................................................
Alergi : Tidak ada
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
DPJP : dr. IGA
RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT HARIAN

Diisi oleh Apoteker yang merawat :


Parameter Penyakit / Tanggal Nilai 15/5 16/5 17/5 18/5 19/5
Tanda Vital

Normal
Tekanan Darah (mm Hg) <120/80 190/100 180/100 180/100 160/80 160/90
Nadi (kali per menit) 60-100 97 80 80 80 64
Suhu Badan (oC) 36-37 36 36 36 36.7 36.9
Respirasi (kali per menit) 16-20 20 24 24 24 20
Perut penuh dan enek + + + +
KELUHAN

Kaki bengkak + + +
Mual +
Badan kurang nyaman +
Lemas + +

Laboratorium Rutin / Tanggal Nilai


Normal
Leukosit 3600- 13330
Laboratorium

11000
Rutin

Albumin 3.4-5.0 2.44


SGOT 15-37 159
SGPT 14-59 17
ALP 46-116 142
GGT 5-55 82
Protein urin negatif 300
Bakteri negatif penuh
pH 8
RUTE PARENTERAL

Terapi (Nama Obat, Kekuataan) Aturan


Pakai
Inj. impugan 80 mg/24 v v v v
jam

Spironolakton 1 x 25 mg v v
propanolol 2 x 10 mg v v
curcuma 2 x 200 mg v v
Aminofusin Hepar v v v v v
I.V.F.D.

Pemeriksaan USG 17 mei 2017 : Hepatomegali dengan multiple nodul solid pada kedua lobus
curiga hepatocelular carcinoma,CKD, Cystitis, Efusi Pleura Bilateral (minimal), ascites.
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO
RM
PURWOKERTO
INSTALASI FARMASI
Nama : Ny. S Nomor RM : 02007865

Tanggal lahir / Umur : 31-12-1958/58 Berat Badan : 35 kg Tinggi Badan : .145 cm

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (2)

Diisi oleh Apoteker yang merawat :

Tanggal Asuhan Kefarmasian


& Jam
Subyektif Obyektif Assesment (DRP) Planning
15 Mei  Perut penuh TD : 190/100  Pasien mengalami  Disarankan penambahan
2015 dan enek Albumin : 2.44 hipoalbuminemia (alb vipalbumin 3 x 1
 Kaki bengkak SGOT : 159 2.44) belum
SGPT : 17 mendapatkan terapi.  Pemantauan keluhan pasien
ALP : 142 seperti perut enek penuh dan
GGT : 82 kaki bengkak.
Anti HAV IgM non
reaktif  Pemantauan TTV (tekanan
Anti HBS non reaktif darah, nadi, dan suhu)
Anti HCV non reaktif
 Pemantauan kadar albumin,
Diagnosa : Hepatitis SGOT, SGPT, ALP, GGT,
Kronis elektrolit, utin output

Terapi :  Pemantauan ESO


 Inj. Impugan 80
mg/24 jam

16 Mei  Perut penuh TD : 190/100  Tekanan darah pasien  Disarankan penambahan obat
2017 dan enek Pemeriksaan urin : belum terkontrol antihipertensi yaitu valsartan 1
 Kaki bengkak Bakteri penuh menggunakan x 80 mg
 Mual protein 300 furosemide.
 Badan kurang pH 8  Disarankan pemberian
nyaman Leukosit 13330 (15  Pemeriksaan urin pasien cefotaxime 1 gr/12 jam.
 Lemas mei) menunjukkan adanya
bakteri namun belum  Pemantauan keluhan pasien
Diagnosa : Hepatitis mendapatkan terapi. seperti perut enek penuh dan
Kronis kaki bengkak, mual, lemas.
 SDA
Terapi :  Pemantauan TTV (tekanan
 Inj. Impugan 80 darah, nadi, dan suhu)
mg/24 jam
 Pemantauan kadar albumin,
SGOT, SGPT, ALP, GGT,
elektrolit, urin output, leukosit.

 Pemantauan ESO
17 Mei  Perut penuh TD : 180/100 Sda Sda
2017 dan enek
 Kaki bengkak Diagnosa : Hepatitis
Kronis

Terapi :
 Inj. Impugan 80
mg/24 jam
18 Mei  Perut penuh TD : 160/80  Potensi IO antara SDA
2017 dan enek furosemide dan
Diagnosa : Hepatitis spironolakton
Kronis menyebabkan
ketidakseimbangan
Terapi : kadar kalium.
 Inj. Impugan 80
mg/24 jam
 Spironolakton 1 x
25 mg
 Propanolol 2 x 10
mg
 Curcuma 2 x 200
mg

19 Mei  Lemas TD : 160/80 SDA. SDA


2017
Diagnosa : Hepatitis Pasien BLPL 19 mei 2017
Kronis
Obat pulang :
Terapi : Propanolol 2 x 10 mg
 Inj. Impugan 80
Spironolakton 1 x 25 mg
mg/24 jam
 Spironolakton 1 x Curcuma 3 x 200 mg
25 mg
 Propanolol 2 x 10
mg
 Curcuma 2 x 200
mg
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Pasien bernama Ny. S berusia 58 tahun dengan berat bada 35 kg dan tinggi badan
145 cm datang ke Rawat Jalan RSMS untuk berobat pada tanggal 15 Mei 2017. Pasien
datang dengan keluhan perut penuh dan enek serta kaki bengkak. Tekanan darah pasien
190/100 mmHg, nadi pasien 97 kali/menit, suhu badan pasien 36C, dan laju respirasi 20
kali/menit. Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit PKU Sruweng dengan penyakit yang
sama dan mendapatkan obat spironolakton 25 mg, curcuma, amlodipin 10 mg, dan
lansoprazole. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan enzim SGOT yaitu 159, ALP
yaitu 142, Gamma GT yaitu 82, dan penurunan albumin 2.44. Peningkatan enzim hati
tersebut dan penurunan nilai albumin mengindikasikan menurunnya fungsi hati.
Assesment pada awal masuk adalah hepatomegali, asites dan edema pada kaki
kemudian pasien ditransfer ke ruang perawatan mawar dan mendapatkan terapi infus
aminofusin hepar dan impugan 1 x 2 A (40 mg/24 jam). Pemberian impugan yang berisi
furosemide adalah untuk mengurangi edema pada kaki dan ascites pada pasien.
Furosemide merupakan salah satu obat diuretik kuat. Obat ini bekerja pada loop
ansa henle dan menghambat reabsorpsi Na dan air sebanyak 20%-30% dengan
menghambat co-transporter Na/K/Cl. Diuretik kuat memiliki onset yang cepat terutama
bila diberikan secara intravena. Obat ini memiliki durasi kerja pendek sehingga perlu
diberikan ulang untuk memelihara efek diuretik dan mencegah rebound reabsorpsi
natrium (Vazir and Cowie, 2013). Pemberian furosemide pada kasus ini dinilai sudah
tepat. Selain untuk mengurangi kelebihan cairan, furosemide dapat menurunkan
tekanan darah pasien dengan menurunkan kardiak output. Terapi masih tetap sama
sampai pada tanggal 18 Mei 2017.
Pada tanggal 17 Mei 2017 pasien dilakukan pemeriksaan USG dan didapatkan
hasil kesan hepatomegali dengan multiple nodul solid pada kedua lobus curiga
hepatoselular karsinoma, gagal ginjal kronis, cystitis, efusi pleura bilateral dan asites.
Pemberian furosemide mampu mengurangi edema pada pasien dan ascites pada pasien
namun pasien masih mengeluhkan perut penuh dan enek.
Pemberian furosemide tidak cukup adekuat untuk menurunkan tekanan darah
pasien karena tekanan darah pasien sampai pada tanggal 18 Mei masih tetap tinggi yaitu
160/80 mmHg. Pada tanggal 18 Mei 2017 pasien diresepkan spironolakton 1 x 25 mg,
propanolol 2 x 10 mg, dan curcuma 2 x 200 mg. Spironolakton merupakan antagonis
aldosteron. Spironolakton berfungsi untuk mengurangi edema dan asites pada pasien.
Spironolakton memblok pertukaran Na dan K yang bergantung pada aldosterone pada
tubulus distal di ginjal. Pemberian kombinasi furosemide dan spironolakton terbukti
efektif dalam mengurangi asites pada pasien hepar.
Propanolol berfungsi untuk mengurangi hipertensi porta yang terjadi pada pasien.
Hipertensi portal adalah peningkatan patologis dalam gradien tekanan portal
(perbedaan antara tekanan dalam vena portal dan vena cava inferior). Hal ini terjadi
karena peningkatan aliran darah portal atau peningkatan resistensi vaskuler atau
kombinasi keduanya. Faktor utama yang menyebabkan hipertensi portal adalah
peningkatan resistensi aliran darah portal dan kemudian berkembang menjadi
peningkatan aliran darah portal (Theophilidou, dkk 2012). Asites terjadi pada hipertensi
portal merupakan konsekuensi ketidak seimbangan hukum Starling. Gaya yang menjaga
agar cairan tetap berada di dalam pembuluh darah lebih kecil daripada gaya yang
mendorong cairan untuk keluar dari pembuluh darah. Pada hipertensi portal,
peningkatan tekanan vena portal mengakibatkan cairan bergerak keluar menuju
ruangan intertisial. Ketika kapasitas jaringan limpatik regional kewalahan menampung
cairan ini maka akan terjadi asites. Perkembangan asites ini berlanjut oleh karena
terdapat vasodilatasi vena splangnikus yang biasanya menyertai hipertensi portal.
Vasodilatasi ini membawa akibat penumpukan cairan di regio abdomen yang akan
menyebabkan penurunan volume efektif darah sistemik (Buob, et al., 2011). Propanolol
berfungsi mengurangi tekanan pada vena porta.
Pemberian curcuma berfungsi sebagai hepatoprotektor dan untuk meningkatkan
nafsu makan pasien. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ekstrak curcuma dapat
menurunkan peningkatan enzim kerusakan hati (Devaraj, 2010). Pasien diresepkan
curcuma dengan dosis 2 x 200 mg dan saat pulang dosis ditingkatkan menjadi 3 x 200
mg.
Kadar albumin pasien cukup rendah sehingga perlu diberikan terapi vipalbumin
dengan dosis 3 x 1. Hasil penelitian membuktikan bahwa pemberian albumin parenteral
bersamaan dengan furosemide dan spironolakton dapat menurunkan berat badan
pasien yang meningkat akibat adanya retensi cairan (Hasan, et al., 2015). Tidak diketahui
dengan pasti tipe hepatitis kronik pasien sehingga terapi pada pasien hanya terbatas
pada terapi simptomatis.
Pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit menjadi 13.330,
pemeriksaan urin menunjukkan adanya bakteri sebanyak +1 dan protein sebanyak 300
pada tanggal 14 Mei 2017 dan didukung hasil USG pada tanggal 17 Mei 2017 adanya
kesan cystitis namun pasien belum mendapatkan terapi. Oleh karena itu disarankan
pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi pada pasien. Antibiotik yang disarankan
adalah cefotaxime dengan dosis 1 gr/12 jam. Cefotaxime merupakan golongan
cephalosporin dan dapat digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih dengan
durasi pemakaian 3-7 hari (Dipiro, 2015).
BAB IV
PENUTUP

1. Belum diketahui dengan pasti tipe hepatitis kronis pasien sehingga pemberian terapi
hanya sebatas terapi simptomatis.
2. Terapi untuk ascites dan bengkak pada kaki pada pasien sudah tepat menggunakan
furosemide, spironolakton, dan propanolol.
3. Pasien menunjukkan tanda infeksi pada saluran kemih tetapi belum mendapatkan
terapi
DAFTAR PUSTAKA

Devaraj, 2010, Evaluation of The Hepatoprotective Activity ofEthanolic Extract of


Curcuma xanthoriza Roxb., Academic Journals, 4(23): 2512-2517.
Dipiro, 2008, Pharmacotherapy Handbook Eighth Edition, McGrawHill, USA.
Dipiro, 2015, Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition, McGrawHill, USA.
Hasan et al., 2015, The Clinical Use of Diuretics in Heart Failure, Cirrhosis, and Nephrotic
Syndrome, Hindawi.
Vazir and Cowie, 2013, the use od diuretics in acute heart failure: evidence based
therapy, qorld journal of cardiovascular disease, 3:25-34
LAMPIRAN

 Pemberian Albumin

(Hasan et al., 2015)

Anda mungkin juga menyukai