Anda di halaman 1dari 38

DAFTAR PUSTAKA

American Pharmacist Association. 2010. Drug Information Handbook. 18h


Edition.Lexi-comp.

Anandi C, et al, 2004, Bacteriology of Diabatic foot Lession, Indian Journal of


Medical Microbiology. 22:3:175-178.

Anonim, 2004, Keputusan MENKES RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2009, Undang-Undang RI no. 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2010, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2010, Peraturan presiden RI No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan


Barang dan Jasa Pemerintah, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


755/Menkes/IV/2011 tentan Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah
Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2012, Peraturan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Dawson, K., et al. "Antimicrobial Guidelines for the Empirical Management of


Diabetic Foot Infections." University Hospitals of Leicester 2011; p.3.

Dipiro, Joseph T, et al, 2008,Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th


edition, The McGraw-Hill Companies.

JICA, 2010, Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit,


Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Bekerja Sama
dengan Japan International Cooperation Agency.

Harkless, et al. 2005. An Open Label Randomized Study, Comparing Efficacy


and Safety of Intravenous Piperacillin/Tazobactam and

152
Ampicillin/Sulbactam for Infected Diabetic Foot Ulcers. Spring 6 (1) :
27-40

Lacy CF, et al, 2006, Drug Information Handbook: A comprehensive Resource


for All Clinical and Healthcare Professional,14th ed., Lexi-Comp
Inc.,Ohio.

Lacy CF, et al, 2007, Drug Information Handbook: A comprehensive Resource


for All Clinical and Healthcare Professional,15th ed., Lexi-Comp
Inc.,Ohio.

Merlino, James I; Malangoni, Mark A. Complicated skin and soft-tissue


infections: Diagnostic approach and empiric treatment options.
Cleveland Clinic Journal Of Medicine : Volume 74 supplement 4 august
2007

Quick, et. all., 1997, Managing Drug Supply, Second Edition, Kumarian Press,
United State of America.

Saltoglu, et al. 2010. Piperacillin/tazobactam versus imipenem/cilastatin for


severe diabetic foot infections, : a prospective, Randomized Clinical Trial
in a University Hospital. Clin Microbial Infect, 16 (8): 1252-7

Siregar, C. J. P, Lia Amalia, 2004, Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan,
EGC, Jakarta.

Tatro, 2001, Drug Interaction FactsTM, editor: David S. Tatro, Facts and
Comparisons, St. Louis, Missouri.

Trisel A.,T., 2009, Handbook On Injectable Drugs15th Ed., American Society of


Health-System Pharmacistsâ Bethesda, Maryland

153
LAMPIRAN 1
ANALISA RESEP

154
TUGAS ANALISIS RESEP
APOTEK RAWAT JALAN RS Dr. RAMELAN

1. Syarat Administrasi
ADA TIDAK

 -
 Tgl Resep
 Nama Dokter  -

 -
 Nama Pasien - 
 Umur/ BB
Pada persyaratan administrasi ini, unsur yang tidak dicantumkan yaitu
Berat badan pasien. Berat badan pasien seharusnya dicantumkan karena unsur
ini merupakan salah satu unsur yang penting dalam perhitungan dosis,
meskipun umur pasien sudah tercantum namun banyak literatur standar yang
mencantumkan dosis dalam bentuk mg/kgBB/hari, apalagi dalam kasus ini
pasiennya adalah anak-anak maka dosis harus lebih diperhatikan.

155
2. Syarat Farmasetika
ADA TIDAK
 Tepat bentuk sediaan
- 

 Tepat dosis - 
Pada resep di atas, resep dibuat untuk anak berusia
3 tahun. Oleh karena itu, bentuk sediaan sebaiknya diperhatikan. Bentuk
sediaan yang lebih sesuai yaitu sirup. Meskipun dalam resep di atas bentuk
sediaan obat yang diberikan sudah berupa puyer yang juga mudah diberikan
untuk anak-anak dibandingkan tablet, namun sirup lebih mudah diminum dan
rasanya lebih acceptable sehingga dapat meningkatkan kepatuhan anak dalam
mengkonsumsi obat. Oleh karena itu, amoxicillin, paracetamol dan ranitidin
diganti dengan sediaan sirup.
Dosis merupakan hal yang penting. Pada resep di atas, jika mengacu pada
buku Drug information Handbook, penggunaan paracetamol untuk anak
berusia 3 tahun dosisnya 160 mg, sedangkan obat yang diresepkan yaitu ½
tablet (250 mg) sehingga dosisnya terlalu besar. Untuk dosis amoxicillin yaitu
20-50 mg/kgBB/hari tiap 8-12 jam, karena pada resep tidak dicantumkan berat
badan maka dosis amoxicillin dalam resep di atas belum bisa diketahui sesuai
atau tidaknya, begitu pula dengan ranitidin.

a. NIFUDIAR
 Isi : Nifuroxazide
 Indikasi : antibakteri untuk diare karena kuman E.coli & Staph,
Kolopati spesifik & non spesifik
 Dosis dewasa 1-2 sdt 3x/hari, anak & bayi > 6 bulan 1 sdt 3x/hari, <
6 bulan 1 sdt 2x/hari
b. PAMOL
 Isi : Paracetamol
 Indikasi : Untuk meredakan nyeri dan demam

156
 Dosis :
- Dewasa : oral, rectal : 325-650 mg tiap 4-6 jam atau 100 mg 3-4
kali sehari, maks 4 g/hari
- Anak-anak <12 tahun: 10-15mg/kgBB/dosis tiap 4-6 jam
Usia Dosis (mg)

0-3 bulan 40

4-11 bulan 80

1-2 tahun 120

2-3 tahun 160

4-5 tahun 240

6-8 tahun 320

9-10 tahun 400

11 tahun 480

c. AMOXICILLIN
 Indikasi : Antibakteri spektrum luas infeksi Gram + dan Gram -
 Dosis :
- Dewasa : oral 250-500 mg tiap 8 jam atau 500-875 mg 2x/hari
- Anak-anak > 3 bulan dan < 40 kg : oral 20-50 mg/kgBB/hari tiap
8 -12 jam
d. RANITIDIN
 Indikasi : Ulkus duodenum, ulkus gaster jinak, refluks esophagitis,
ulkus peptikum pasca bedah, sindroma Zollinger Ellison. Kondisi lain
yang menghendaki pengurangan sekresi gaster & pengeluaran asam
lambung. Terapi pencegahan & pemeliharaan pada ulkus duodenum &
ulkus gaster benigne pada pasien dengan riwayat ulkus berulang
(kambuh).
 Dosis :
- Ulkus duodenum aktif dan ulkus gaster

157
Anak 1 bulan - 16 tahun : awal 2-4 mg/kgBB/hari 2x sehari,
maksimal 300 mg/hari, pemeliharaan 2-4 mg/kgBB/hari 1x sehari
maksimal 150 mg/hari

- GERD dan erosive esophagitis :


Anak 1 bulan - 16 tahun : 5-10 mg/kgBB/hari 2x sehari,
maksimal : GERD : 300 mg/hari, erosive esophagitis 600 mg/hari
e. OREZINC

 Isi : Zn sulfate heptahydrate


 Indikasi : diare pada anak, dalam kombinasi dengan terapi garam
rehidrasi oral.
 Dosis : 20 mg/hari selama 10 hari
f. PEDYALITE

 Isi: Na 22,5 mEq, K 10 mEq, Cl 17,5 mEq, citrate 15 mEq, dextrose


25g
 Indikasi: dehidrasi ringan sampai sedang pada bayi, anak, dan dewasa
akibat diare & muntah
 Dosis: 3 jam pertama: usia < 1th 1,5 gelas, 1-5th 3 gelas, 5-12th 6
gelas, >12th 12 gelas. Selanjutnya setiap kali mencret: <1th 1/2gelas,
1-5th 1gelas, 5-12th 1,5 gelas, >12th 2 gelas
3. Syarat Klinis
ADA TIDAK
 ESO potensial  -

 -
 Interaksipotensial

ESO potensial :

158
a. Reaksi hipersensitif: terdapat reaksi hipersensitif pada pemakaian
Amoxicillin yaitu ruam kulit.
b. Drug induced disease: Untuk penggunaan paracetamol terdapat ESO
potensial yaitu gangguan hati tetapi bila penggunaannya jangka panjang.
Interaksi potensial : Pada resep di atas, pasien menderita diare spesifik
dan diberikan antibiotik amoxicillin, sedangkan nifudiar juga mempunyai
efek antibakteri sehingga sebaiknya obat antidiare diganti dengan obat lain
seperti zink dan oralit.

4. Tindak Lanjut
ADA TIDAK
 Telepon dokter  -
 KIE  -
 Perubahan farmasetika
 -

5. ESO Potensial
ADA TIDAK

 Reaksi hipersensitif  -

- 
 Reaksi idiosinkrasi
 -

- 
 Drug Induced Disease
 Drug induced Lab Change

a. Reaksi hipersensitif: Amoxicillin dapat menyebabkan terjadinya reaksi


hipersensitif yaitu dapat berupa ruam kulit.
b. Drug induced disease : Untuk penggunaan paracetamol terdapat ESO
potensial yaitu gangguan hati tetapi bila penggunaannya jangka panjang

159
6. Interaksi Potensial
ADA TIDAK

Efek Potensial
 -
 Interaksi Obat-Obat
- 
 InteraksiObat Makanan
 -
 Interaksi Obat-Lab Test
 Interaksi Obat-Penyakit
- 

Pada resep di atas, pasien menderita diare spesifik dan diberikan


antibiotik amoxicillin, sedangkan nifudiar juga mempunyai efek
antibakteri sehingga sebaiknya obat antidiare diganti dengan obat lain
seperti zink dan oralit.

7. Assesment
Konseling Pasien :

 Penggunaan Antibiotik
Antibiotik adalah golongan obat untuk membunuh kuman/bakteri dalam
tubuh dalam kasus ini untuk membunuh bakteri penyebab diare. Antibiotik
harus diminum sampai habis sesuai dengan aturan pakai, guna
meningkatkan efektivitas terapi, mempercepat penyembuhan pasien, dan
mencegah resistensi bakteri. Amoksisilin dapat diminum dengan atau
tanpa makanan karena tidak akan mengganggu absorbsinya dalam tubuh.

 Penggunaan Paracetamol
Paracetamol digunakan untuk mengatasi demam, diminum sesuai aturan
pakai dan hanya bila terjadi demam. Pemakaian dihentikan apabila demam
reda.

 Orezinc
Penggunaan orezinc 20 mg/hari

160
TUGAS ANALISIS RESEP
APOTEK RAWAT JALAN RS Dr. RAMELAN

1. Syarat Administrasi
Aspek Administrasi Dalam Resep Solusi

Ya Tidak

Nama Dokter √

Asal poli /SIP dokter √

Alamat dokter √ Tanyakan pada dokter


yang bersangkutan

Tanda tangan dokter √

Tanggal resep √

Nama pasien √

Umur pasien √ Tanyakan pada pasien


yang bersangkutan

BB pasien √ Tanyakan pada pasien


yang bersangkutan

161
Alamat pasien √ Tanyakan pada pasien
yang bersangkutan

Menurut KepMenKes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004, dimana


persyaratan administrasi meliputi :
a. Nama,SIP, dan alamat dokter
b. Tanggal penulisan resep
c. Tanda tangan/ paraf dokter penulis resep
d. Nama , alamat, umur, jenis kelamin, dan BB pasien
e. Cara pemakaian yang jelas
f. Informasi lain
Pada persyaratan administrasi ini, unsur yang tidak dicantumkan yaitu tanggal
pembuatan resep. Tanggal pembuatan resep seharusnya dicantumkan karena
unsur ini merupakan salah satu unsur yang penting dalam memudahkan
penulusuran apabila terjadi kesalahan. Selain unsur tersebut, hal yang belum
dicantumkan pada resep yaitu berat badan. Berat badan dan umur pasien
seharusnya dicantumkan karena unsur ini merupakan salah satu unsur yang
penting dalam perhitungan dosis.
2. Syarat Farmasetika
ADA TIDAK
 Tepat bentuk sediaan
 -

 Tepat dosis  -
Regimen Terapi TBC :
a) Kategori 1 dan Kategori 3
Tablet OAT-FDC Komposisi/Kandungan Pemakaian

4FDC 75 mg INH Tahap awal/intensif dan

150 mg Rifampisin digunakan setiap hari


selama 2 bulan
400 mg Pirazinamid

275 mg Etambutol

2 FDC 150 mg INH Tahap lanjutan dan

162
150 mg Rifampisin digunakan 3xseminggu
selama 4 bulan

b) Kategori 2

3. Syarat Klinis ADA TIDAK


 ESO potensial  -
 Interaksi potensial
- 

a. ESO petensial :
- Untuk penggunaan rifampisin dapat menyebabkan tidak nafsu makan dan
nyeri perut, obat diminum malam sebelum tidur. Terjadi warna kemerahan
pada air seni, berikan penjelasan pada pasien.
- Untuk penggunaan ethambutol terjadi gangguan pada pengelihatan,
sebelum pemakaian dan setelah pemakaian dilakukan cek pada mata.
- Penggunaan INH jangka panjang dapat menyebabkan kesemutan sampai
rasa terbakar pada kaki. ESO dapat diminimalkan dengan penambahan
vitaminB6.
- Semua OAT dapat menyebabkan ikhterus, monitoring fungsi hati.

163
b. Interaksi potensial :
- Interaksi antara OAT INH dan Rifampisin termasuk dalam kategori minor,
yang artinya interaksi ini dapat dihindari dengan melakukan pemantauan
secara rutin terhadap fungsi hati.
4. Tindak Lanjut
ADA TIDAK
 Telepon dokter - 
 KIE  -
 Perubahan farmasetika
- 

5. ESO Potensial
ADA TIDAK

 Reaksi hipersensitif - 
 Reaksi idiosinkrasi - 
 Drug Induced Disease
 -
 Drug induced Lab Change
 -

Drug Induced Disease : Interaksi antara OAT INH dan Rifampisin bisa
menyebabkan kerukan hati. Perlu dilakukan monitoring fungsi hati (SGOT,
SGPT, albumin, bilirubin dan PT)
Drug induced Lab Change : Penggunaan obat-obatan dalam resep diatas dapat
menyebabkan perubahan pada nilai lab. SGOT, SGPT, albumin, bilirubin dan
prothrombin time sehingga perlu dilakukan monitoring dari penggunaan obat-
obatan diatas.

6. Interaksi Potensial
ADA TIDAK

Efek Potensial
 -

 -
164
- 

- 
 Interaksi Obat-Obat
 Interaksi Obat Makanan
 Interaksi Obat-Lab Test
 Interaksi Obat-Penyakit

Interaksi obat-obat : hampir semua OAT dapat berinteraksi dengan obat lain,
contohnya:
1. INH dengan fenitoin, dimana interaksi ini dapat miningkatkan konsentrasi
fenitoin dalam serum sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap
toksisitas fenitoin.
2. Rifampisin dengan obat KB, dimana rifampisin dapat menyebabkan
ketidakaturan menstruasi, ovulasi dan terkadang kegagalan obat KB
sehingga perlu diterapkan cara KB lain selama pengobatan.
3. Etambutol dengan antasida, dimana absorbsi etambutol akan menurun jika
digunakan bersamaan sehingga penggunaannya harus dijeda selama 4 jam.
Interaksi obat-makanan: interaksi antara INH dan makanan dapat
menyebabkan penurunan konsentrasi INH sehingga etambutol diminum saat
perut kosong.
7. Konseling
a. INH + B6
INH + B6 diminum 1xsehari, pada penggunaan isoniazid akan mengalami
kesemutan sampai kaki terasa terbakar. Dengan kombinasi B6 dapat
meminimalkan atau mengurangi efek samping.

b. Rifampisin
Rifampisin diminum 1 tablet tiap malam sebelum tidur selama masa
pengobatan. Informasikan pada pasien bahwa setelah mengkonsumsi obat
ini akan menyebabkan air seni menjadi kemerahan dan tidak perlu khawatir
teruskan pengobatan.

c. Ethambutol

165
Ethambutol diminum 1xsehari selama masa pengobatan, akan terjadi efek
samping pada pemakaian jangka panjang yaitu gangguan pengelihatan,
pasien diharapkan memeriksakan kesehatan mata sebelum dan saat
mengkonsumsi ethambutol.

d. Minum obat secara teratur dan tidak berhenti mengkonsumsi obat tanpa
anjuran dokter.
e. Menjaga kesehatan diri dan lingkungan sekitar, agar tidak menular ke orang
lain.
f. Melakukan monitoring fungsi hati secara berkala
Konseling pada penggunaan obat TB dilakukan agar pasien dapat
mengkonsumsi obat secara teratur karena kepatuhan pasien berpengaruh pada
keberhasilan terapi. Selain itu perlu dijelaskan mengenai efek samping obat TB
dan cara pencegahannya bila efek samping terjadi.

166
LAMPIRAN 2
FARMASI BANGSAL

Kasus II
Syok Hipovolemik + Koma Hepatikum + CH

167
a. Pengertian
Sirosis didefinisikan sebagai proses difusi yang ditandai dengan terjadinya
fibrosis dan perubahan hepar menjadi nodul-nodul abnormal secara structural.
Penyebab dari sirosis sangat banyak diantaranya riwayat konsumsi alkohol, virus
hepatitis kronik (Hepatitis B & C) menjadi kasus yang paling sering (Dipiro et al,
2008).
b. Patofisiologi
Sirosis disimpulkan dengan peningkatan tekanan darah portal oleh karena
perubahan fibrotik dalam sinusoid hati, perubahan-perubahan ada pada tingkat
vasodilatasi dan vasokonstriktor, dan peningkatan aliran darah pada pembuluh
darah splanknik. Ketidaknormalan ini menyebabkan problem-problem seperti
asites, hipertensi portal, varises esophageal, Hepatic Enchephalopaty, dan
gangguan koagulasi.
c. Pembahasan Kasus
Pada pasien dibangsal B1 dengan profil sebagai berikut:
• Nama : Ny. S
• RM : 45xxxxxxxx
• Umur : 49 th
• TB/BB : - / 49 kg
• RP : Operasi Hernia Inguinalis lateral, hepatitis B
• RO :-
• Dx : Syok Hipovolemik + Koma Hepatikum + CH
• MRS/KRS : 05/09/2014
• Keluhan : Pasien mengeluhkan lemah, nyeri saat BAK, ikterik, sesak
nafas

• Kondisi Vital:

168
TANGGAL
NO KONDISI VITAL
9/9 10/9 11/9 12/9

1 TD (mmHg) 120/80 115/70 120/80 110/80

2 Nadi (x/menit) 78 80 100 84

3 RR (x/menit) 28 - - 22

4 Suhu (0C) 36.6 36 36 36.5

• Kondisi Klinik
TANGGAL
PARAMETER
5/9 6/9 7/9 8/9 9/9 10/9 11/9 12/9

Nyeri BAK ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++

BAK - - - + + + + +
Berdarah

BAB - - - + + + + +
Berlendir

Ikterus + + + + + + + +

Sesak Nafas - - - - - + + +

GCS 456 456 456 456 Somno- Somno- 345 334


lence lence

• Data LAB

Parameter Nilai Normal 9/9 12/9


SGPT 0-37 U/I 152 176

169
SGOT 0-35 U/I 180 80
BUN 10-24 mg/dl 31,9 72
Cr 0,5-1,3 mg/dl 1,5 3,2
Albumin 3,5-5,0 mg/dl 2 2,2
Globulin 2,2-3,5 mg/dl 3,5 4,8
Na 135-145 mmol/L 132 127,2
K 3,5-5,0 mmol/L 5,82 4,92
Cl 96-108 mmol/L 105,9 98,9
HB 11-16 g/dl 9,6
WBC 4-10rb/ul 40,8
Bil. Direk 0,0-0,3 mg/dl 10,1
Bil. Total 0,2-1 mg/dl 17,0

• Profil Obat

• Assesment

170
.

Berdasarkan penilaian CPS (Child-Pugh Scores) untuk menentukan derajat


keparahan disfungsi hati, pasien ini termasuk dalam kategori Severe dysfunction.
Sehingga perlu diperhatikan penurunan dosis obat-obat tertentu sebanyak 25%.
Kriteria obat-obat tertentu tersebut adalah obat yang dimetabolisme di hepar, obat-
obat dengan indeks terapetik sempit, banyak berikatan dengan protein plasma,
obat yang tereliminasi di ginjal sementara fungsi ginjal dalam keadaan terganggu
dengan tingkat keparahan berat.

Obat-obat dalam profil pengobatan pasien yang perlu diturunkan dosisnya


yaitu ceftriaxone dikarenakan banyak berikatan dengan protein plasma sehingga
dosisnya dapat diturunkan menjadi < 1,5g dalam sehari. Rencana terapi yang

171
lainnya melihat dari problem medic pasien dan kondisi klinik pasien adalah
Metronidazol untuk terapi BAB berlendir dapat ditingkatkan.
Monitoring efektivitas terapi diantaranya adalah Laktulosa sebagai terapi
Hepatik Ensefalopati dipantau efek katartiknya sehari sebanyak 3-4 kali,
Spironolakton diuretik hemat kalium sebagai terapi asites untuk mengeluarkan
cairan dalam rongga peritoneum perlu dipantau efektivitasnya dengan
melihatdiameter lingkar perut danpenurunan berat badan pasien setiap harinya,
selanjutnya ang perlu dipantau adalah kondisi status mental dan kesadaran pasien
akibat keadaan Hepatik Ensefalopati, kemudian terkait problem medic yang
sedang dialami pasien pasien perlu dipantau kadar elektrolit khusunya Na karena
dalam kondisi pasien yang sedang mengalami asites pasien disarankan perlu
restriksi Na (Natrium), elektrolit K (Kalium)uga perlu dipantau kadarnya dalam
tubuh karena kondisi hipokalemia dapat memperparah Hepatik Ensefalopati.
Monitoring interaksi obat diantaranya adalah Gentamicin dan kanamisin
dapat meningkatkan nefrotoksisitas sehingga perlu dipantau serum kreatinin,
Gentamisin dan Spironolakton memiliki interaksi sinergis dimana Gentamisin
dapat menurunkan kadar Kalium sedangkan Spironolakton menurunkan kadar
Kalium dalam tubuh.

172
LAMPIRAN 3
PIO

Tabel Hasil Pencarian Literatur PIO (Pelayanan Informasi Obat)


Problem Sumber Hasil jurnal Literatur Kesimpulan
Manajemen Pubmed A randomized Primer bahwa Amfoterisin B
fever of comparison of memiliki peran sebagai

173
unkown liposomal versus antijamur pada pasien
origin conventional demam dan neutropenia.
amphotericin B for the Flukonazol memiliki
treatment of pyrexia of aktivitas antijamur
unknown origin in spektrum luas dengan
neutropenic patients profil keamanan yang
sangat baik.
Tripdataba Empirical antifungal sekunder Pada uji klinik, formulasi
se.com therapy in patients with lipid Amphotericin B
neutropenia and terutama liposomal AmB
persistent or recurrent (L-AmB) terbukti
fever of unknown memiliki efikasi yang
origin sama dan toksisitasnya
lebih rendah namun
harganya lebih mahal.
Begitu juga dengan
Fluconazole yang ekivalen
dengan c-AmB meskipun
jarang digunakan dalam
praktik klinis, kecuali pada
pasien-pasien dengan
risiko tinggi infeksi
Aspergillus. Itraconazole
intravena menunjukkan
ekivalen dengan c-AmB
dengan toksisitas yang
lebih rendah. Voriconazole
tidak memenuhi kriteria
non-inferioritas jika
dibandingkan dengan L-
AmB. Caspofungin
terbukti sebagai non-
inferior L-AmB dan lebih
efektif dalam mengobati
infeksi jamur invasif.
Google Guidelines for the use tersier Penggunaan antibiotic
Scholar.co of antimicrobial agent awal yaitu Jika pasien
m in neutropenic patients menggunakan vankomisin
with unexplained fever maka perlu penambahan
ceftazidim, jika pasien

174
tidak menggunakan
vankomisin maka
diberikan monoterapi
ceftazidim saja atau
imipenem saja atau
menggunakan doutherapy
dengan antibiotic golongan
aminoglikosida dan anti
pseudomonal β-laktam
Untuk persistent fever Jika
demam menetap dan tidak
ada perubahan selama 3
hari lanjutkan antibiotic,
tetapi hentikan vankomisin
jika kultur bakterinya
negatif. Jika demam
semakin parah maka
dilakukan penggantian
antibiotic. Dan demam
terjadi 5-7 hari maka
tambahkan amphotericin B
dengan atau tanpa
perubahan antibiotik.

175
LAMPIRAN 4
DRUG USE EVALUATION

DRUG USE EVALUATION (DUE)

A. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MEROPENEM


1. Database Pasien

176
Nama Pasien : Tn. D
No RM : 1xxxxx
Usia : 70 tahun
TB/BB : 160/60
MRS : 9 September 2014
Diagnosis : DM gangrene ulkus pedis dextra

2. Terapi
Profil obat 9/9 10/9 11/9 12/9 13/9 14/9 15/9 16/9 17/9 18/9 19/9

Ceftriaxone √ √ √ √ √ √ √ √ √

Meropenem √ √

3. Data Klinik
Profil obat 17/9 18/9 19/9

Suhu (oC) 36 36 36

RR (x/menit) - - -

4. Data Lab
Parameter lab 10/9 12/9 15/9

WBC 9500 8300 7400

5. 4T + 1W
1. Tepat Indikasi
Pada kasus ini, pasien mengalami DM komplikasi gangrene.
Gangren diabetik merupakan suatu bentuk dari kematian jaringan pada
penderita diabetes mellitus oleh karena berkurangnya atau terhentinya
aliran darah kejaringan tersebut. Kelainan ini didasarkan atas gangguan
aliran darah perifer (angiopati diabetic perifer), gangguan saraf perifer
(neurophati diabetic perifer), dan infeksi. Berbagai kuman yang sering
menjadi penyebab infeksi gangren diabetik adalah gabungan bakteri aerob
(gram positif dan gram negatif) dan bakteri anaerob seperti misalnya E.
Coli, Klebsiela spp, Pseudomonas spp, Proteus spp, Enterococci spp,

177
Clostridium perfringens, Bacterioides spp, Prevotella spp, dan
Peptostreptococcus (Anandi et al, 2004).
Gangren ini merupakan penyebab masuknya bakteri yang dapat
menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kerusakan berat pada
jaringan. Manifestasi gangren ini terjadi karena adanya trombosis pada
pembuluh darah arteri yang memberikan suplai darah ke daerah luka.
Trombosis yang terjadi akan menghambat aliran darah yang mengangkut
zat makanan, oksigen dan nutrisi yang diperlukan dalam proses regenerasi
ke daerah luka tersebut sehingga menimbulkan kematian jaringan dan
mempermudah berkembangnya infeksi.
Meropenem dapat diindikasikan untuk infeksi intra abdominal,
kulit dan struktur kulit, saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan jaringan
lunak. Dimana meropenem memiliki aktivitas bakterisidal terhadap gram
positif dan negatif yang sangat berguna dalam pengobatan antibiotic secara
empiris. Meropenem sensitive terhadap banyak bakteri gram positif seperti
streptococci, Staphylococci, dan species enterococci. Sedangkan bakteri
gram negative yang sensitive terhadap antibiotic ini adalah E. coli,
Haemophillus influenza, clebsiella pneumonia, neiseria meningitides,
pseudomonas aeruginosa, dan Acinetobacter, Citrobacter, Shigella,
Pasteurella, Proteus, Providencia, dan Salmonella. Meropenem juga
memiliki aktivitas bakterisidal terhadap Moraxella catarhallis,
Morganellamorganii, Serratiamarcescens, Yersinia enterocolitica, dan
Campylobacter jejuni. Bakteri anaerob yang sensitive terhadap antibiotic
ini adalah bakteroides, peptostreptococcus, clostridium, fusobacterium,
dan spesies prefotella. Meropenem memiliki penetrasi yang baik di sistim
saraf pusat dan memiliki efek kejang yang lebih ringan dari pada
imipenem. Sehingga pada kasus ini dapat dikatakan bahwa penggunaan
Meropenem sudah tepat indikasi karena penggunaannya dapat mengatasi
infeksi bakteri penyebab gangrene.

2. Tepat Dosis

178
Dosis Meropenem pada gangrene adalah 1g tiap 8 jam (DIH;
991). Pada pasien ini, Meropenem diberikan pada tanggal 18 September
18:00 dan 19 September 06:00 dosis yang diberikan adalah 1g tiga kali
sehari.

Meropenem diberikan post operasi karena ditemukan pus pada


luka pasien. Outcome klinik yang diharapkan dengan pemberian
Meropenem pada pasien ini adalah agar sembuh dari infeksi. Dalam masa
pemberian Meropenem kondisi perkembangan pasien membaik dilihat dari
beberapa parameter diantaranya adalah nilai WBC, suhu tubuh dan RR
serta ada tidaknya pus pada luka. Pada pemeriksaan ditemukan bahwa nilai
WBC dan suhu tubuh normal serta sudah tidak ditemukan adanya pus pada
luka yang berarti sudah tidak terjadi pertumbuhan bakteri (infeksi).

(Merlino et al, 2007)


3. Tepat Pasien
Sebelumnya pasien melakukan kultur pus dan sensitivity test dan
hasilnya kultur pus menunjukkan adanya bakteri Acinetobacter iwoffi,
beberapa jenis antibiotik yang masih sensitive pada pasien tersebut antara

179
lain Ceftazidime, Amikasin, Ampisilin, Ciprofloksasin, Ceftriaxon,
Meropenem, dan Fosfomisin. Setelah diberikan terapi Meropenem pasien
menunjukkan perbaikan kondisi, dengan demikian pemberian Meropenem
sudah tepat pasien. Namun jika dilihat dari hasil kultur, pasien masih
sensitive terhadap antibiotik lain yang juga digunakan untuk infeksi
gangrene. Misalnya saja dapat diberikan antibiotik Amikasin atau
piperasilin-tazobactam yang jika ditinjau dari segi ekonomi lebih
terjangkau dibandingkan Meropenem.
4. Tepat Cara Pemberian
Pemberian Meropenem melewati rute parenteral yaitu secara
intravena dan diberikan pasca tindakan amputasi. Pemberian secara
intravena karena pasien masih dalam instalasi rawat inap dan diharapkan
efek yang cepat.
5. Waspada Efek Samping
Efek samping penggunaan Meropenem meliputi sakit kepala, mual
muntah, diare, konstipasi dan anemia. Pada pasien ini setelah dilakukan
interview, potensial efek samping tersebut tidak terjadi namun tetap perlu
dimonitor. Bila muncul efek samping tersebut perlu dievaluasi apakah
kejadiannya dikarenakan Meropenem atau obat lain. Jika terjadi karena
Meropenem dan efek samping tersebut dapat ditolerir maka tidak pelu
diberi tambahan obat untuk mengatasi efek samping tersebut. Namun bila
tidak bisa ditolerir bisa diberikan obat untuk mengatasinya.
6. Kesimpulan
Berdasarkan analisis 4T+1W penggunaan Meropenem pada kasus
diabetes dengan komplikasi gangrene sudah sesuai tetapi perlu
dipertimbangkan untuk penggunaan antibiotik yang sensitif dibawah
meropenam berdasarkan uji kultur bakteri.Seperti piperacilin-tazobactam
atau ampicilin-sulbactam.

180
7. Rekomendasi
Penggunaan antibiotik yang sensitif dibawah meropenam yaitu
amikasinatau piperacilin-tazobaktam dengan dilakukan pemantauan parameter
infeksi (wbc, suhu, nadi, RR), serta pemantauan efek samping yang dapat
ditimbulkan oleh Merepenem.

181
182
LAMPIRAN 5
PRODUKSI NON STERIL

Tugas Produksi

1. Nama
R/ sediaan
Ultrayang
Sles diproduksi
(Emal-70 C): “Hand100
Soap”
gr merupakan sabun
yang digunakan sebagai mencuci tangan sebelum mengunakan
NaCl 50 gr hand sanitizer.
b. Komposisi sediaan Foam Boaster C-KD 20 gr
Dewisil Liquid 1,1 Cc
Carboxilic Acid 0,5 gr
Trilon 183 0,3 gr
Fragance Qs
Deionizer Water ad 2000 Cc
Tiap 5000 ml mengandung :

R/ Ultra Sles (Emal-70 C) 250 gr


NaCl 125 gr
Foam Boaster C-KD 50 gr
Dewisil Liquid 2,75 Cc
Carboxilic Acid 1,25 gr
Trilon 0,75 gr
Fragance 12,5 Cc
Deionizer Water ad 5000 Cc

c. Tabel penimbangan

Jumlah sekali produksi


No Bahan Baku Jumlah (2000 ml)
(5000 ml )
1 Ultra Sles (Emal-70 C) 100 gr 250 gr
2 NaCl 50 gr 125 gr
3 Foam Boaster C-KD 20 gr 50 gr
4 Dewisil Liquid 1,1 cc 2,75 cc
5 Carboxilic Acid 0,5 gr 1,25 gr
6 Trilon 0,3 0,75 gr
7 Fragance Qs 12,5 cc
8 Deionizer Water ad 2000

d. Cara pembuatan
1. Menimbang semua bahan sesuai formula
a. Ultra Sles (Emal-70 C) 250 gr
b. NaCl 125 gr

184
c. Foam Boaster C-KD 50 gr
d. Dewisil Liquid 2,75 Cc
e. Carboxilic Acid 1,25 gr
f. Trilon 0,75 gr
g. Fragance 12,5 gr
h. Deionizer Water ad 5000 Cc
2. NaCl (62,5gr) ditambah Ultra sles (250gr) aduk ad homogen
(berwarna putih), kemudian tambahkan aqua 100 ml.
3. Tambahkan Foam Boaster (50gr) aduk ad. Homogen + Dewisil Liquid
(2,75gr) aduk ad. Homogen
2. Sisa NaCl (62,5gr) + Trilon (0,75gr) + Carbolic acid (1,25gr) + aqua
(250ml) aduk ad. homogen dan larut.
3. Tambahkan pewangi dan pewarna aduk ad. Homogen kedalam no. 2
sebelum pengenceran
4. Tambahkan no. 4 kedalam no. 2, sedikit demi sedikit aduk ad.
Homogen.
5. Tambahkan sisa aqua sampai 5000 ml.
6. Beri label dan etiket biru

Gambar a. Bahan hand soap b. Hasil hand soap

185
A. Quality Control

No Tes Hasil

1. Organoleptis
 Warna Kuning
 Bau Lemon
 Bentuk Cair
2. Homogenitas Homogen
3. Keseragaman volume Volume 5000 ml
4. Uji kebocoran Wadah tidak bocor
5. pH 8
6. Kemudahan terdispersi Mudah terdispersi

B. Evaluasi
Evaluasi Prosedur /langkah Hasil
pengecekan
Organoleptis Pengecekan organoleptis Hand soap dihasilkan
dilakukan meliputi bentuk, berbentuk cairan berwarna
warna dan bau. kuning dan berbau lemon.
Homogenitas Meletakkan sedikit sabun Sediaan yang dibuat tidak
cair diantara dua kaca dilakukan uji homogenitas.
objek kemudian perhatikan
adanya partikel-partikel
kasar atau tidak homogen.
Keseragaman volume Dilakukan dengan Sediaan yang dibuat tidak
meletakkan pada dilakukan uji keseragaman
permukaan yang rata volume.
secara sejajar lalu dilihat
keseragamn volume secara
visual.
Uji kebocoran Botol yang digunakan Wadah tidak ada yang
untuk pengisian sediaan di bocor (lolos uji kebocoran)
isi dengan air kemudian
ditutup kemudian
digelindingkan, terdapat
sisa tumpahan atau tidak
dan jika tidak tumpah
maka tidak terjadi
kebocoran botol.
Waktu pengendapan Sediaan didalam botol Sediaan yang dibuat

186
dikocok sampai tercampur dilakukan uji waktu
sempurna lalu didiamkan pengendapan dan diperoleh
untuk menghitung waktu hasil lama pengendapan 5
pengendapan. menit sampai terendap
sempurna.
pH Pengecekan pH dilakukan Menurut literatur pH
dengan menggunakan pH sediaan yang diinginkan
meter, dengan meneteskan harus sama dengan pH
sediaan pada kertas pH lalu fisiologis kulit (4,5 – 6,5).
membandingkannya Akan tetapi pada sediaan
dengan pH indikator. yang dibuat hasil uji pH 7.

C. Pembahasan

Menurut Departemen Kesehatan (2004), produksi merupakan kegiatan


membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril
atau non steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Produksi sendiri dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS),
bila produk obat/sediaan farmasi tersebut tidak diperdagangkan secara
komersial atau jika diproduksi sendiri akan lebih menguntungkan. Produksi
obat sediaan farmasi yang dilakukan merupakan produksi lokal untuk
keperluan rumah sakit itu sendiri (Anonim, 2004).
Di Instalasi Farmasi RSAL Dr. Ramelan juga melakukan kegiatan
produksi obat. Salah satu obat yang diproduksi yaitu sediaan non steril hand
soap. Sediaan hand soap merupakan sediaan cair berkhasiat sebagai
antiseptik untuk membersihkan tangan dari kotoran. Sabun cair saat ini
banyak diproduksi karena penggunaannya yang lebih praktis dan bentuk
yang menarik. Pembuatan sabun juga menggunakan bahan tambahan yang
lain. Bahan lain yang digunakan untuk pembuatan sabun tersebut adalah
bahan pembentuk badan sabun, bahan pengisi, garam, bahan pewarna dan
bahan pewangi. Bahan pembentuk badan sabun (builder) diberikan untuk
menambah daya cuci sabun, dapat diberikan berupa Ultra Sles (EMAL- 70C).
Bahan pengisi (fillers) digunakan untuk menambah bobot sabun, menaikkan
densitas sabun dan menambah daya cuci sabun. Bahan pencuci yang

187
ditambahkan adalah Foam Booster. Garam juga dibutuhkan dalam pembuatan
sabun yaitu berfungsi sebagai pembentuk inti pada proses pemadatan. Garam
yang ditambahkan biasanya adalah NaCl. Dengan menambahkan NaCl maka
akan terbentuk inti sabun dan mempercepat terbentuknya padatan sabun.
Garam yang digunakan sebaiknya murni, tidak mengandung Fe, Cl, atau Mg.
Jika akan dibuat sabun cair, tidak diperlukan penambahan garam ini.
Pengemasan dan pemberian etiket dilakukan setelah produksi obat
selesai dibuat dan diperiksa kembali. Dalam setiap tahapan produksi sampai
akhir produksi dilakukan kontrol kualitas yang bertujuan untuk menjamin
kualitas dari suatu produk yang akan diproduksi. Setelah semua kegiatan
produksi selesai petugas yang mengerjakan mengisi formulir pembuatan obat
dan memberi paraf sebagai bukti bahwa telah mengerjakan prosedur yang ada
dan formulir tersebut juga ditanda tangani oleh penanggung jawab dari pihak
produksi. Berdasarkan hasil produksi Sediaan cair hand soap yang telah
dilakukan sesuai dengan SPO produksinya, maka diperoleh hasil yang baik
yaitu homogen, wadah tidak bocor, volume seragam (350 ml). Selain itu,
hasil yang diperoleh menunjukkan warna kuning, bau lemon dan lembut
ditangan.

2. Alur Permintaan Produk

a. Alur permintaan produk tertentu


 Apabila permintaan barang berasal dari ruangan  di acc oleh
Kasi produksi farmasi  membawa resep dari dokter yang
ditandatangani oleh dokter kemudian ditandandatangi oleh
kepala ruang  dibawa ke bagian produksi  dilayani oleh
petugas produksi  barang diserah terimakan dengan tanda tangan
pemberi dan penerima barang  didokumentasikan.
 Apabila permintaan barang berasal dari apotek  permintaan
barang menggunakan copy resep yang sudah di acc oleh apoteker
 dibawa ke bagian produksi  dilayani oleh petugas produksi 

188
barang diserah terimakan dengan tandatangan pemberi dan
penerima barang  didokumentasikan.
b. Alur permintaan untuk produk sehari-hari
 Permintaan berasal dari ruangan menyertakan resep dan bila
permintaan dari apotek menyertakan copy resep dibawa ke
bagian produksi  personil yang meminta harus menyebutkan
barang apa saja yang diminta serta jumlahnya barang diserah
terimakan dengan tanda tangan pemberi dan penerima barang
dengan menyertakan bukti keluar didokumentasikan dalam buku
barang keluar
3. Alur Distribusi Produk
 Alur Administrasi Barang Keluar
a. Permintaan sediaan jadi dari ruangan atau apotek secara tertulis.
b. Bagian produksi mengeluarkan barang yang diminta.
c. Tugas produksi:

1) Membuat BK (bukti keluar) barang di tandatangani oleh penerima


barang
2) Mencatat BK ke dalam buku besar barang keluar
3) Mendokumentasikan BK
4) Mendistribusikan ke apotek/ruangan sesuai BK
 Alur administrasi Barang Masuk:
a. Permintaan produksi berupa bahan baku secara tertulis ke gudang
farmasi yang ditandatangani oleh Kasi produksi farmasi.
b. Gudang mengeluarkan barang sesuai permintaan.
c. Bahan baku disimpan di dalam gudang produksi dan membuat sediaan
sesuai rencana produksi.

189

Anda mungkin juga menyukai