Anda di halaman 1dari 9

TUGAS 1

FARMASI KLINIK DASAR

Disusun oleh :

Nama : Fitri Anggun Solehah Marzuki


Nim : G701 18 085
Kelas : A

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
Soal :
1. Carilah obat-obat yang sering digunakan sebagai off-label yang digunakan pada
anak-anak/pediatri ?
2. Seorang ibu tampak cemas, ibu R, datang dgn putrinya yg berusia 3 thn yg
sedang sakit. Putrinya menderita infeksi diare setelah makan di restoran siap
saji 2 hari yg lalu. Napasnya menjadi tersengal-sengal & ibunya khawatir dgn
keadaan itu. Saat ibu R membawa putrinya kedokter 2 hr yg lalu, dia menerima
resep sirup kodein 5mg setiap 4 jam untuk mengatasi diare. Putri ibu R jg
menggunakan sirup salbutamol 1mg, 4x sehari untuk mengatasi asma
ringannya.
Apa permasalahan yg berkaitan dgn pemberian obat pd putri ibu R?
Kenapa napas anak menjadi tersengal2 dan sarankan tindakan untuk
mengatasinya?
3. Seorang bayi laki2 berusia 11 bulan dirawat di RS dgn ISK dan suhu tubuhnya
mencapai 37,8˚C. Beratnya 9,6 kg & sebelumnya pernah menderita ISK 2 kali.
Bayi tsb mendapatkan resep sirup parasetamol 120 mg tiap 3 jam bila
diperlukan dan trimetoprim unt pemakaian selama 7 hari untuk mengatasi ISK.
Dosis sirup trimetoprim 50 mg/5 ml yg diresepkan adalah 2 kali sehari masing2
2 ml.
Apa permasalahan yg berkaitan dgn pengobatan pd bayi tersebut.

Jawab :
1. Obat-obat off-label yang sering digunakan pada anak-anak yaitu :

Menurut Mir, A, N dan Geer, M, I. (2016), Contoh penggumaam obat off-label


yang umum pada anak-anak yaitu :
Berikut daftar pengguaan obat off-label berdasarkan kategorinya menurut
Setyaningrum, N, dkk (2017), yaitu :

Menurut Akbar, R, dkk. (2017), Klasifikasi Farmakologi Penggunaan obat off


label yaitu : Salbutamol, domperidon, vitamin B6, gliseril guaiakolat, CTM, dan
Paracetamol.

Menurut Nuradha, S, dkk. (2017), Obat-obat off-label yang diresepkan untuk


anak-anak antara lain yaitu : Fenobarbital, Prednison, Kodein, Salbutamol, dan
Ondansetron,

Menurut Kimlan, E and Odlin, V (2012), Some of the most common drugs used
off-label in pediatric hospital care were morphine, paracetamol, salbutamol,
caffeine, and heparin. Another area with a high proportion of off-label drug use
was that of cardiovascular drugs.
Menurut Wisnu, M, (2019), Contoh Obat off-label yang diberikan pada pediatri
yaitu :

Berdasarkan Jawaban dari beberapa literature di atas, maka dapat saya simpulkan,
bahwa obat-obatan yang paling sering digunakan sebagai off-label pada anak-
anak/pediatri yaitu :
1. Salbutamol
2. Pseudoephedrine HCl
3. Aspirin
4. Ondansetron
5. Dekstromethorfan
6. Domperidon
7. Morphine
8. Kodein
9. Paracetamol
10. Vitamin B6
11. Antibiotik, dll.
2. -) Permasalahan yg berkaitan dgn pemberian obat pd putri ibu R yaitu : Pada
kasus tersebut dokter memberikan resep sirup kodein 5mg setiap 4 jam
untuk mengatasi diare pada anak tersebut, hal ini termasuk dalam pemberian
obat off-label pada anak tersebut, yang mana obat tersebut tidak di anjurkan
untuk diberikan pada anak-anak yang diare.
-) Napas anak menjadi tersengal-sengal, hal tersebut karena efek samping dari
pemberian kodein untuk mengatasi diare yang dialami anak tersebut.
European Medicines Agency (EMA) memutuskan untuk melarang
penggunaan kodeine untuk pasien pediatrik yang berusia dibawah 12 tahun.
The United Kingdom Medicines and Healthcare Products Regulatory
Agency (MHRA) juga menerbitkan pedoman untuk membatasi penggunaan
kodein pada pasien pediatrik. Pedoman ini menyatakan bahwa kodein tidak
boleh diberikan pada anak-anak yang mengalami gangguan pernafasan.
Berdasarkan penelusuran pustaka didapatkan hasil berupa kasus pada pasien
pediatrik yang mengalami efek samping fatal dari penggunaan kodein.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami kesulitan
bernafas yang parah (gagal pernafasan) akibat kodein sehingga asupan
oksigen tidak terpenuhi dan menyebabkan kematian. Kodein memiliki efek
merugikan yang berakibat fatal bagi pasien pediatrik, hal ini disebbakan
adanya polimorfisme pada gen yang memetabolisme kodein. Gen UM
menyebabkna tingginya kadar morfin pada darah pasien, sehingga
menyebabkna depresi pernafasan dan menyebabkna kematian, serta efek
samping lainnya. Oleh karena itu penggunaan kodein pada anak-anak
dikontraindikasikan dan sebaiknya obat tersebut diganti dengan obat lain
yang lebih aman untuk pediatrik (Lubis, N dan Ramadhania, Z. 2018).
-) Saran tindakan untuk mengatasinya yaitu, disarankan untuk memberikan
terapi oralit dan zink untuk diare pada anak tersebut. Dalam penatalaksaan
pengobatan diare akut, zink mampu mengurangi durasi episode diare hingga
sebesar 25 %. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian zink mampu
menurunkan volume dan frekuensi tinja rata-rata sebesar 30 %. Zink juga
menurunkan durasi dan keparahan pada diare persisten. Bila diberikan
secara rutin pada anakanak baik jangka panjang maupun jangka pendek,
zink mampu menunjukkan efektivitas dalam mencegah diare akut maupun
persisten dan mampu memberikan manfaat menurunkan prevalensi diare
yang disebabkan disentri dan shigellosis. Zink telah direkomendasikan oleh
WHO dan UNICEF. Rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut:
zink diberikan selama 10- 14 hari pada pasien anak diare di bawah usia 5
tahun, bayi usia di bawah 6 bulan dapat diberikan zink 10 mg setiap hari,
dan anak usia 6 bulan hingga 5 tahun diberikan dengan dosis 20 mg setiap
hari. Oralit atau cairan rehidrasi oral adalah larutan untuk mengatasi diare.
Larutan ini sering disebut rehidrasi oral. Sejak tahun 2004, WHO/UNICEF
merekomendasikan oralit dengan osmolaritas rendah. Berdasarkan
penelitian dengan oralit osmolaritas rendah diberikan kepada penderita diare
dapat mengurangi volume tinja hingga 25%, mengurangi mual muntah
hingga 30%, mengurangi secara bermakna pemberian cairan melalui
intravena sampai 33%. (Siswidiasari, A, dkk. 2014).

WHO dan UNICEF menandatangani kebijakan bersama dalam hal


pengobatan diare yaitu pemberian oralit dan zink selama 10-14 hari. Hal ini
didasarkan pada penelitian selama 20 tahun (1983-2003) yang menunjukkan
bahwa pengobatan diare dengan pemberian oralit disertai zink lebih efektif
dan terbukti menurunkan angka kematian akibat diare pada anak-anak
sampai 40%. Zink juga meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga
dapat mencegah resiko terulangnya diare selama 2-3 bulan setelah anak
sembuh dari diare. Oralit merupakan satu-satunya obat yang dianjurkan
untuk mengatasi diare karena kehilangan cairan tubuh, yang dimana jika
kehilangan cairan tubuh ini tidak cepat ditangani bisa menyebabkan
dehidrasi berat yang berakibat kematian. Menurut Endang (2011) bahwa
dosis oralit untuk 3 jam pertama yaitu usia <1 tahun diberikan 1,5 gelas, 1-4
tahun diberikan 3 gelas, 5-12 tahun 6 gelas, dewasa 12 gelas. Untuk setiap
habis buang air besar dosis oralit yaitu,usia <1 tahun diberikan 0,5 gelas, 1-4
tahun diberikan 1 gelas, 5-12 tahun 1,5 gelas, dewasa 2 gelas. (Nursa’in, S,
H. 2017).
3. Permasalahan yg berkaitan dgn pengobatan pd bayi tersebut yaitu : Pada kasus
tersebut bayi itu diberikan paracetamol 120 mg tiap 3 jam bila perlu dan
antibiotic sirup trimetoprim 50 mg/5 ml yg diresepkan adalah 2 kali sehari
masing2 2 ml, yang berarti pada bayi tersebut diberikan 20mg/2ml untuk sekali
minum, yang dalam sehari 40mg/hari, ini menandakan bahwa dokter salah
memberikan resep dosis pada bayi tersebut (overdosis), yang tentunya dapat
membahayakan dan dapat mengakibatkan timbulnya efek yang tidak
diinginkan. Anak-anak dan neonatus berbeda dari orang dewasa dalam
merespon obat-obatan. Perawatan khusus diperlukan dan dosis harus selalu di
hitung dengan hati-hati (IDAI, 2011). Hal ini termasuk dalam pemberian obat
off-label kategori dosis pada anak usia 11 bulan tersebut. Dosis untuk ISK pada
anak-anak (>4 bulan) yaitu 6mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 kali jadwal
pemberian. Sedangkan umtuk Pencegahan kambuhnya ISK pada anak-anak (>4
bulan) yaitu 2mg/kgBB/hari saat malam. Dosis paracetamol untuk bayi atau
anak adalah 10-15 mg/kgBB. Paracetamol tidak boleh dibberikan lebih dari
4kali dalam sehari, dan jarak pemberian obatnya minimal 4-6 jam (Medscape.
2021).

Menurut Pardede, S, dkk. (2011). Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa
faktor seperti umur pasien, lokasi infeksi, gejala klinis, dan ada tidaknya
kelainan yang menyertai ISK. Sistitis dan pielonefritis memerlukan pengobatan
yang berbeda. Keterlambatan pemberian antibiotik merupakan faktor risiko
penting terhadap terjadinya jaringan parut pada pielonefritis. Sebelum
pemberian antibiotik, terlebih dahulu diambil sampel urin untuk
pemeriksaan biakan urin dan resistensi antimikroba. Penanganan ISK pada
anak yang dilakukan lebih awal dan tepat dapat mencegah terjadinya kerusakan
ginjal lebih lanjut.

Bayi ≥ 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas:


• Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak .
• Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik yang
resistensinya masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti
sefalosporin atau ko-amoksiklav.
• Jika antibiotik per oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibiotik
parenteral, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan
dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian 10 hari.

Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:


• Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman
setempat. Bila tidak ada hasil pola resistensi kuman, dapat diberikan
trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.
• Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus dinilai kembali,
dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk melihat pertumbuhan bakteri dan
kepekaan terhadap obat.

Antibiotik profilaksis bertujuan untuk mencegah infeksi berulang dan


mencegah terjadinya parut ginjal. Berbagai penelitian telah membuktikan
efektivitas antibiotik profilaksis menurunkan risiko terjadinya ISK berulang
pada anak, dan kurang dari 50% yang mengalami infeksi berulang
selama pengamatan 5 tahun. Antibiotik profilaksis dimaksudkan untuk
mencapai konsentrasi antibiotik yang tinggi dalam urin tetapi dengan efek yang
minimal terhadap flora normal dalam tubuh. Beberapa antibiotik dapat
digunakan sebagai profilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, R, dkk. (2017). Kajian Pengunaan Obat Off-Label Pada Anak di
Puskesmas Sleman. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Kimlan, E and Odlin, V (2012). Off-Label Drug Use in Pediatric Patients.


Clinical pharmacology & Therapeutics. Uppsala, Sweden.

Lubis, N dan Ramadhania, Z. (2018). Artikel Tinjauan : Efek Samping


Penggunaan Kodein Pada Pediatrik. Universitas Padjadjaaran. Bandung.

Mir, A, N dan Geer, M, I. (2016). Off-label Use of Medicines in Children. Dept.


of Pharmaceutical Sciences, University of Kashmir, Srinagar. India.

Nuradha, S, dkk. (2017). Kajian Penggunaan Obat Off-Label Pada Resep Anak
di Poliklinik Anak RSUD Sultan Syarief Mohamad Alkadrie Pontianak.
Universitas Tanjungpura. Pontianak.

Nursa’in, S, H. (2017). Gambaran Penggunaan Oralit dan Zink Pada Kasus


Diare. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal.

Pardede, S, dkk. (2011). Konsensus Infeksi Saluran Kemih Pada Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta.

Setyaningrum, N, dkk (2017). Penggunaan Obat Off-Label pada Anak di Apotek


Kota Yogyakarta. Ikatan Apoteker Indonesia. Sumatera Barat.

Siswidiasari, A, dkk. (2014). Profil Terapi Obat Pada Pasien Rawat Inap Dengan
Diare Akut Pada Anak di Rumah Sakit Umum Negara. Universitas
Udayana. Bukit Jimbaran.

Wisnu, M, (2019). Profil Penggunaan Obat Off-label Pada Pasien Anak Rawat
Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Saiful Anwar Tahun
2018. Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Anda mungkin juga menyukai