Anda di halaman 1dari 20

A.

Kasus
Tita, seorang anak berusia 40 bulan ke klinik dengan keluhan demam 5
hari. Tidak didapatkan diare. Tidak didapatkan penderita DBD di lingkungan
sekitar tempat tinggal. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan anak aktif,
frekuensi napas 30 kali per menit, nadi 132 kali/menit. Pada saat diperiksa
didapatkan ruam seluruh tubuh sejak tadi malam, mata tampak merah, tidak
terdapat keputihan pada kornea. Terdapat ulserasi pada mulut. Anak belum pernah
mendapatkan imunisasi DPT 3 dan campak. Pasien mendapatkan vitamin A di
Posyandu 2 bulan yang lalu.
a.Lakukan penilaian dan klasifikasi permasalahan pasien secara lengkap
menurut MTBS untuk kasus di atas
b. Jelaskan pengobatan dan tindak lanjutnya!
B. Jawaban Pertanyaan Kasus
a. Berdasarkan alur MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit)
Pada anak usia 2 bulan sampai 5 tahun, tenaga kesehatan
memeriksa kemungkinan tanda bahaya umum, menanyakan keluhan utama
yang dapat berupa keluhan batuk atau sukar bernafas, diare, demam,
masalah pada telinga serta, memeriksa status gizi, anemia, dan riwayat
imunisasi. Pasien tidak memiliki tanda bahaya umum seperti gangguan
minum atau menyusui, muntah, kejang dan letargis. Anak tidak menderita
batuk dan sesak nafas. Frekuensi nafas 30 kali per menit dan nadi 132 kali
per menit menandakan bahwa nilai masih dalam batas normal. Anak
menderita demam sejak 5 hari yang lalu dengan tanda-tanda ditemukannya
ruam kemerahan di seluruh tubuh sejak tadi malam dan terdapat ulserasi
pada mulut.
Keadaan demam pada anak tersebut menandakan bahwa anak
menderita campak dengan komplikasi mulut. Terkait riwayat imunisasi
anak belum pernah mendapatkan imunisasi DPT dan campak sehingga
resiko terkena campak semakin besar. Riwayat pemberian vitamin A di
posyandu sekitar 2 bulan yang lalu. Keadaan status gizi anak baik, tidak
mempunyai masalah telinga, tidak anemia dan tidak memiliki keluhan lain.

BAGAN MTBS

Campak
dengan
komplikasi
mulut

A.

Tidak
diberikan
karena
dalam fase
bermanifest

C. Pembahasan
Pasien pada kasus diatas dapat diklasifikasikan dalam penyakit
campak dengan komplikasi mata dan/atau mulut. Pada kasus tersebut
pasien perlu diberikan vitamin A sesuai dosis pengobatan,antibiotic yang
sesuai,jika ada kekeruhan mata beri salep kloramfenikol tanpa
kortikosteroid,jika demam >38,5 beri parasetamol,pemberian gentian
violet untuk luka di mulut dan jika ada masalah lain segera rujuk.
Pada pemberian antibiotik yang sesuai, dokter perlu memberikan
penjelasan kepada ibu mengapai obat tersebut diberikan, menentukan dosis
yang sesuai dengan berat badan atau umur anak. Dokter memberikan dosis
antibiotic yang first line yaitu kotrimoksazol atau dengan second line yaitu
amoxicilin. Berikut adalah pemberian dosis pemberian antibiotic pada anak
usia 2 bulan hingga 5 tahun
kotrimoksazol
Umur

Tablet (20 mg TMP+100

Sirup per 5 ml ( 40 mg

2 bulan - <4 bulan


4 bulan - < 12 bulan
12 bulan - < 3 tahun
3 tahun - < 5 tahun

mg SMZ)
1
2
2,5
3 ( 2 sendok takar)

TMP+200 mg SMZ)
2,5 ml ( sendok takar)
5 ml (1 sendok takar)
7,5 ml (1 sendok takar)
10 ml ( 2 sendok takar)

Tablet (500 mg)

2/3
3/4

Sirup per 5 ml ( 125 mg)


5 ml ( 1 sendok takar)
10 ml ( 2 sendok takar)
12,5 ml ( 2 sendok takar)
15 ml ( 3 sendok takar)

amoxicilin
Umur
2 bulan - <4 bulan
4 bulan - < 12 bulan
12 bulan - < 3 tahun
3 tahun - < 5 tahun

Apabila pasien mengalami demam >38,5C maka pasien harus diberi


parasetamol. Parasetamol diberi setiap 6 jam hingga demam hilang. Obat
ini tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan 100 mg serta dalam bentuk
sirup 120mg/5 ml. Berikut ialah dosis pemberian parasetamol pada anak
usia 2 bulan hingga 5 tahun.

Umur atau Berat

Tablet 500 mg

Tablet 100 mg

1/8

6 bulan - <3 tahun


(7- <14 kg)

3 tahun - <5tahun
(14- <19 kg)

Badan
2bulan - <6 bulan
(4 - <7 kg)

Sirup 120mg/5
ml
2,5 ml ( sendok
takar)
5 ml (1 sendok
takar)
7,5 ml (1
sendok takar)

Pada pemberian vitamin A yang sesuai adalah dokter harus mampu


menentukan dosis sesuai umur dari anak yang terkena penyakit. Berikut
adalah dosis pemberian vitamin A pada anak usia 2 bulan hingga 5 tahun
Umur
> 6 bulan
6-11 bulan
12-59 bulan

Dosis
50.000 IU ( kapsul biru)
100.000 IU (1 kapsul biru)
200.000 IU (1 kapsul merah)

Pada pemberian salep mata kloramfenikol sesuai kasus yang


terjadi,dokter harus mampu juga mengedukasi ibu pasien terutama, tentang cara
pemakaian salep,dosis yang dianjurkan dan frekuensi pemberian. Sebelumnya
alahkah lebih baiknya edukasi ibu tentang pentinnya menjaga kebersihan mata
anak yang sakit dengan cara selalu membersihkan nya 3x sehari yaitu menyuruh
anak untuk menutup mata kemudian ibu membersihkan nya dengan kapas basah
dan jangan lupa sebelumnya,ibu cuci tangan terlebih dahulu. Pemberian obat salep
mata yaitu kloramfenikol tanpa kortikosteroid dilakukan tiga kali sehari sesuai
dosis yang tertera dengan cara pemberian yaitu anak disuruh untuk melihat
atas,kemudian ibu menarik kelopak bawah mata anak ke bawah dan beri salep
tersebut sejumlah yang dianjurkan. Obati sampai mata anak tidak lagi merah.
Pada pemberian salep gentian violet hampir sama dengan pemberian salpe
mata diatas terkait edukasi nya yaitu edukasi lah kepada ibu terkait cara
pemakaian,dosis yang dipakai dan frekuensi pemberian. Alur pemberian gentian
violet yang pertama ibu sebelumnya harus cuci tangan terlebih dahulu,kemudian
bersihkan mulut anak dengan kain yang sudah dibasahi dengan larutan garam.

Langkah selanjutnya adalah oleskan gentian violet 0,25% kemudian tidak lupa di
akhiri dengan cuci tangan lagi oleh ibu.
D. Tinjauan Pustaka dan Analisis Referensi
Berdasarkan tanda-tanda yang dialami pasien anak, maka penyakit tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai campak yang disertai dengan komplikasi mulut
dan/atau mata
a. Definisi
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia.
Campak adalah penyakit infeksi menular akut yang disebabkan virus,
dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput
lendir dan selaput pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian di ikuti
erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan
deskuamasi dari kulit. Campak memiliki gejala klinis khas yaitu terdiri
dari 3 stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus : (1)
stadium masa tunas berlangsung kira-kira 10-12 hari, (2) stadium
prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan
ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan
peradangan mukosa konjungtiva, dan (3) stadium akhir dengan
keluarnya ruam mulai dari belakang telingan menyebar ke muka, badan,
lengan dan kaki. Ruam timbul didahului dengan suhu badan yang
meningkat, selanjutnya ruam menjadi menghitam dan mengelupas.
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)
b. Epidemiologi
Di Indonesia, menurut survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
campak menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit
utama pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam
penyakit utama pada anak usia 1-4 tahun (0,77%). Campak merupakan
penyakit endemis, terutama di negara berkembang. Penyakit campak
bersifat endemis di seluruh dunia, pada tahun 2013 terjadi 145.700
kematian yang disebabkan oleh campak di seluruh dunia (berkisar 400

kematian setiap hari atau 16 kematian setiap jam) pada sebagain besar
anak kurang dari 5 tahun. (World Health Organization., 2015).
Berdasarkan laporan DirJen PP&PL Depkes RI tahun 2014, masih
banyak kasus campak di Indonesia dengan jumlah kasus yang
dilaporkan mencapai 12.222 kasus. Frekuensi KLB sebanyak 173
kejadian dengan 2.104 kasus. Sebagian besar kasus campak adalah
anak-anak usia pra-sekolah dan usia SD. Selama periode 4 tahun, kasus
campak lebih banyak terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun (3591
kasus) dan pada kelompok umur 1-4 tahun (3383). (Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015).
c. Etiologi
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA
virus genus Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili
yang sama dengan virus gondongan (mumps), virus parainfluenza, virus
human metapneumoirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus).
(Maldonado, 2012) Virus campak akan berada di sekret nasofaring dan
di dalam darah, minimal selama tunas dan dalam waktu yang singkat
sesudah timbulnya ruam. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada
temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4
minggu disimpan dalam temperatur 35 derajat Celcius, dan beberapa
hari pada suhu 0 derajat Celcius. Virus tidak aktif pada pH rendah.
Virus campak sangat sensitif terhadap temperatur sehingga virus ini
menjadi tidak aktif pada suhu 37 derajat Celcius atau bisa dimasukkan
ke dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan maka
infektivitasnya akan hilang. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)
Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai
RNA tunggal yang diselubungi dengan lapisan lipid. Virus campak
berbentuk bulat dengan tepi kasar dan bergaris tengah 140 nm,
dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein. Di
dalamnya terdapat nukleokapsid yang berbentuk bulat lonjong, terdiri
dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA) yang

merupakan struktur heliks nukleoprotein dari myxovirus. Pada selubung


luar seringkali terdapat tonjolan pendek. Salah-sau protein yang berada
di selubung luar berfungsi sebagai hemaglutinin. Virus campak
memiliki 6 struktur protein utama. Protein H (Hemagglutinin) berperan
penting dalam perlekatan virus ke sel host. Protein F (Fusion)
meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. Protein M (Matrix) di
permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam
penyatuan virus. Di bagian dalam virus terdapat protein L (Large), NP
(Nucleoprotein), dan P (Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P
berperan dalam aktivitas polimerase RNA virus, sedangkan protein NP
berperan sebagai struktur protein nucleocapsid. Karena virus campak
dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka mudah diinaktivasi oleh cairan
yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga
dapat diinaktivasi dengan suhu panas (>37 derajat Celcius), suhu dingin
(< 20 derajat Celcius), sinar ultraviolet, serta kadar (pH) ekstrim (pH <
5 dan > 10). Virus campak memiliki jangka hidup yang pendek (Short
survival time), yaitu kurang dari 2 jam. (Ranuh, 2011)
Virus campak menyebabkan dua perubahan tipe sitopatik.
Perubahan sitopatik yang pertama berupa perubahan pada sel yang
batas tepinya menghilang sehingga sitoplasma dari banyak sel akan
saling bercampur dan membentuk anyaman dengan pengumpulan 40
nucleus di tengah. Inclusion bodies tampak pada kedua sitoplasma dan
intinya. Efek sitopatik yang kedua menyebabkan perubahan bentuk sel
perbenhan dari poligonal menjadi bentuk gelondong. Sel ini menjadi
lebih hitam dan lebih membias dari pada sel normal dan jika dicat
menunjukkan inclusion bodies yang berada di dalam inti. Efek pada sel
gelondong ini lebih sering terjadi pada sub-kultur yang berurutan,
terutama apabila virus telah menyesuaikan diri dalam sel amnion
manusia.
Struktur

antigenitas

campak

merangsang

pembentukan

neutralizing antibody, complement fixing antibody dan haemaglutinine

inhibition antibody. Imunoglobulin kelas IgM dan IgG distimulasi oleh


infeksi campak, muncul bersama-sama diperkirakan 12 hari setelah
infeksi dan mencapai titer tertinggi setelah 21 hari. Kemudian IgM
menghilang dengna cepat sedangkan IgG tinggal tidak terbatas dan
jumlahnya terus terukur. Keberadaan imunoglobulin kelas IgM
menunjukkan pertanda infeksi baru atau baru mendapat vaksinasi,
sedangkan IgG menunjukkan bahwa pernah terkena infeksi walaupun
sudah lama. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)
d. Patofisiologi
Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang
berasal dari penderita. Virus campak memiliki masa inkubasi berkisar
10 hari (8-12 hari). Gejala klinis terjadi setelah masa inkubari yang
terdiri dari tiga stadium. Virus campak masuk melalui saluran
pernapasan dan melekat di sel-sel epitel saluran napas. Setelah melekat,
virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran ke kelenjar limfe
regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia primer disusul
multipikasi virus di sistem retikuloendotelial di limpa, hati, dan kelenjar
limfe. Multiplikasi virus juga terjadi di tempat awal melekatnya virus.
Pada hari ke-5 sampai ke-7 infeksi, terjadi viremia sekunder di seluruh
tubuh terutama di kulit dan saluran pernapsan. Pada hari ke-11 sampai
hari ke-14, virus ada di darah, saluran pernapasan, dan organ-orang
tubuh lainnya, 2-3 hari kemudian virus mulai berkurang. Selama
infeksi, virus bereplikasi di sel-sel endotelial, sel-sel epitel, monosit dan
makrofag. (Johanes, 2014)

Tabel 1.1 Patogenesis infeksi campak.


Hari

Patogenesis

Virus campak dalam droplet terhirup


dan melekat pada permukaan epitel
nasofaring

ataupun

konjungtiva.

Infeksi terjadi di sel epitel dan virus


bermultiplikasi.
1-2

Infeksi menyebar ke jaringan limfatik


regional

2-3

Viremia primer

3-5

Virus bermultiplikasi di epitel saluran


napas, virus melekat pertama kali,
juga

di

sistem

retikuloendotelial

regional dan kemudian menyebar.


5-7

Viremia sekunder.

7-11

Timbul gejala infeksi di kulit dan


saluran napas

11-14

Virus terdapat di darah, saluran napas,


kulit, dan organ-organ tubuh lain.

15-17

Viremia berkurang dan hilang.

Sel limfosit-T (termasuk T mononuklear yang terinfeksi


menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel warthin),
sedangkan -supressor dan T-helper) yang rentan terhadap infeksi, turut
aktif membelah. Setelah 5-6 hari infeksi awal, terbentuklah fokus
infeksi yang dimana virus masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke
permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran nafas, kulit, kandung
kemih dan usus. Pada hari ke 9-10, fokus infeksi yang berada di epitel
saluran nafas dan konjungtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis
pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat yang sama virus dalam jumlah
banyak akan masuk kembali ke vaskular dan menimbulkan manifestasi
klinis dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan batuk pilek
disertai selaput konjungtiva yang tampak merah.
Respon imun yang terjadi ialah proses peradangan epitel pada
sistem saluran pernafasan diikuti dengan manifestasi berupa demam
tinggi, anak tampat sakit berat dan tampak suatu ulserasi kecil pada
mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dimana tanda tersebut
dikatakan khas dan dapat menegakkan diagnostik campak. Setelah daya
tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respon delayed hypersensitivity
terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14
sesudah awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi
pada kulit. Kejadian ini tidak tampak pada kasus yang mengalami
defisiensi sel-T. Pada daerah epitel yang mengalami nekrotik di
nasofaring dan saluran pernafasan akan memberikan kesempatan
infeksi bakteri sekunder seperti bronkopneumonia, otitis media dan
penumonia juga dapat terjadi, selain itu campak juga dapat
menyebabkan kondisi gizi kurang. (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2008)

e. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi campak berkisar 10 hari (8-12 hari). Gejala klinis
terjadi setelah masa inkubasi yang terdiri dari tiga stadium :
(1). Stadium Prodormal
Berlangsung kira-kira 3 hari (kisaran 2-4hari) ditandai dengan
demam yang dapat mencapai 39,50C 1,10C. Selain demam, gejala
yang timbul dapat berupa malaise, coryza (peradangan akut membran
mukosa rongga hidung), konjungtivitis(mata merah), dan batuk. Gejalagejala saluran pernapasan menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh virus-virus lain. konjungtivitis dapat disertai mata
berair dan sensitif terhadap cahaya (fotofobia). Tanda patognomonik
berupa enantema mukosa buccal yang disebut Koplik spots yang
muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam. (Menon P, 2013) Bercak ini
berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, di tengahnya
didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya bercak koplik ini hanya
sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya
tidak dilakukan pemeriksaan. (Ranuh, 2011)
(2) Stadium eksantem :
Timbul ruam makulopapular dengan penyebaran sentrifugal
yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian menyebar
ke wajah, leher, dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya
ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul selama 6-7 hari. Demam
umumnya memuncak (mencapai 40 derajat Celcius) pada hari ke 2-3
setelah munculnya ruam. Jika demam menetap setelah hari ke-3 atau
ke-4 umumnya mengindikasikan adanya komplikasi. (Bulos, 2012)
(3) Stadium Penyembuhan (konvalesens) :
Setelah 3-4 hari umumnya ruam berangsur menghilang sesuai
dengan pola timbulnya. Ruam kulit menghilang dan berubah menjadi

kecoklatan yang akan menghilang dalam 7-10 hari. (World Health


Organization., 2015)
f. Diagnosis
Diagnosis campak biasanya dapat dibuat berdasarkan kelompok
gejala klinis yang sangat berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang
disertai dengan batuk dan demam tinggi dalam beberapa hari, diikuti
dengan timbulnya ruam yang memiliki ciri khas: yaitu diawali dari
belakan telinga kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan dan
kaki bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh dan selanjutnya
mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008)
Pada stadium prodormal dapat ditemukan enantema di mukosa
pipi yang merupakan tanda patognomonis campak (bercak Koplik).
Namun dari semua tanda tersebut dalam menentukan diagnostik juga
perlu ditunjang dengan data epidemiologi. (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2008)
Diagnostik campak dapat ditegakkan secara klinis dengan tanda
manifesasi klinis sedangkan pemeriksaan penunjang hanya sekedar
membantu diagnosti; seperti pada pemeriksaan sitologi ditemukan sel
raksasa pada lapisan mukosa hidung dan pipi, dan pada pemeriksaan
serologi didapatkan IgM spesifik. Secara keseluruhan penentuan
diagnostik juga harus disertakan anamnesis yang baik berupa keluhan
demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mulai tibul dari
belakang telinga sampai ke seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik berupa
suhu badan tinggi (>38 derajat Celcius), mata merah, dan ruam
makulopapular. Pemeriksaan penunjang bisa dilakukan pemeriksaan
darah;

didapatkan

leukopenia

dan

limfositopenia.

Pemeriksaan

imunologi M (IgM) campak juga dapat membantu diagnostik dan


biasanya sudah dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah
timbulnya ruam. IgM campak tetap dapat terdeteksi selama 1 bulan
sesudah infeksi. (Johanes, 2014)

g. Diagnosis Banding
Campak harus dibedakan dari beberapa penyakit yang klinisinya
juga berupa ruam makulopapular. Gejala klinis klasik campak adalah
adanya

stadium

prodormal

demam

disertai

coryza,

batuk,

konjungtivitis, dan penyebaran ruam makulopapular (Bulos, 2012) .


Penyakit lain yang menimbulkan ruam yang sama antara lain:
Rubella (Campak Jerman) dengan gejala lebih ringan dan tanpa

disertai batuk.
Roseola infantum dengan gejala batuk ringan dan demam yang

mereda ketika ruam muncul.


Parvovirus (fifth disease) dengan ruam makulopapular tanpa

stadium prodromal.
Demam scarlet (scarlet fever) dengan gejala nyeri tenggorokan

dan demam tanpa konjungtivitis atau coryza.


Penyakit Kawasaki dengan gejala demam tinggi, konjungtivitis,
ruam, tetapi tidak disertai batuk dan bercak Koplik. Biasanya
timbul nyeri dan pembengkakan sendi yang tidak ada pada

campak.
h. Tatalaksana
Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif,
berupa tirah baring, antipiretik (parasetamol 10-15mg/KgBB/dosis
dapat diberikan sampai setiap 4 jam), cairan yang cukup, suplemen
nutrisi, dan vitamin A. (World Health Organization., 2015). Vitamin A
dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang meningkatkan respons
antibodi terhadap virus campak. Pemberian vitamin A dapat
menurunkan angka kejadian komplikasi seperti diare dan pneumonia.
Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis:
200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
100.000 IU pada anak umur 6-11 bulan
50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal
dengan dosis sesuai umur penderita diberikan antara

minggu ke-2 sampai ke-4 pada anak dengan gejala


defisiensi vitamin A.
Pada campak dengan komplikasi otitits media dan atau
pneumonia baktreial dapat diberi antibiotik. Komplikasi diare diatasi
dehidrasinya sesuai dengan derajat dehidrasi. Pada campak tanpa penyulit
dapat rawat jalan dengan memperhatikan pemberian cairan dan kalori yang
cukup, sedangkan pengobatan yang bersifat simtomatik dapat diberikan
antipiretik, antitusif, ekspektoran dan antikonvulsan bila diperlukan.
Sedangkan pada campak dengan penyulit pasien perlu dirawat inap dengan
memperbaiki keadaan umum, kebutuhan cairan dan diet yang memadai.
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008)
Apabila ada penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk
mengatasi penyulit yang timbul, misalnya :

Bronkopneumonia
Diberikan antibiotik ampisilin 100mg/KgBB/hari dalam 4
dosis intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis, sampai gejala
sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral.

Antibiotik dapat diberikan sampai tiga hari demam reda.


Enteritis
Pada keadaan berat anak mudah terkena dehidrasi.
Pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila

enteritis dan dehidrasi.


Otitis media
Biasanya disebabkan oleh infeksi sekunder, sehingga perlu
diberikan antibiotik kotrimoksazol-sulfametokzasol (TMP

4mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis).


Enselofati
Jika ada edema otak dapat dikurangi pemberian cairan
hingga kebutuhan. Perlu dilakukan koreksi elektrolit dan
gangguan gas darah.

i. Komplikasi
Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu :
Usia muda, terutama di bawah 1 tahun
Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak

terinfeksi HIV, malnutrisi, atau keganasan


Anak dengan defisiensi vitamin

komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain :

Saluran

laringotrakeobronkitis (croup)
Saluran pencernaan : diare yang dapat diikuti dehidrasi
Telinga : otitis media
Mata : keratitis
Sistematik : septikemia karena infeksi bakteri sekunder
Sususan saraf pusat :
o Ensefalitis akut : timbul pada 0,01-0,1% kasus

pernapasan

bronkopneumonia,

campak. Gejala berupa demam, nyeri kepala,


letargi, dan perubahan status mental yang biasanya
muncul antara hari ke-2 sampai hari ke-6 setelah
munculnya ruam.

j. Prognosis
Campak merupakan self limited disease, namun sangat
infeksius. Mortalitas dan morbiditas meningkat pada penderita dengan
faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya komplikasi. Kematian
dampak meningkat sampai 5-15% saat kejadian KLB campak. (Menon
P, 2013)
k. Pencegahan
Dengan vaksinisasi campak atau vaksinasi MMR (Measles,
Mumps, Rubella). Sesuai jadwal yang terdapat pada IDAI, vaksin

campak diberikan pada usia 9 bulan. Selanjutnya diberikan vaksin


penguat pada usia 2 tahun. Apabila vaksin MMR diberikan pada usia 15
bulan, tidak perlu vaksinasi campak pada usia 2 tahun. Selanjutnya,
MMR ulangan diberikan pada usia 5-6 tahun. Dosis vaksin campak
ataupun vaksin MMR 0,5 mL diberikan secara subkutan.
Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi) dapat terjadi
pasca-vaksinasi campak yaitu gejala berupa demam pada 5-15% kasus,
dimulai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi, dan berlangsung selama 5
hari. Dapat juga ditemukan ruam. Reaksi KIPI dianggap berat jika
ditemukan gangguan sistem saraf pusat, ensefalitis dan ensefalopati
pasca imunisasi. (Ranuh, 2011)

DAFTAR PUSTAKA

Bulos, K. (2012). Textbook of clinical pediatrics. Berlin: Springer.


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2015).
Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2014.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2008). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis (2
ed.). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Johanes, C. (2014). textbook of pediatric infectious diseases. Philadelphia:


Elsevier Inc.
Maldonado. (2012). Measles and Subacute Sclerosing Panencephalitis. Principles
and practice of pediatric infectious diseases, 1137-44.
Menon P, G. P. (2013). Textbook of Pediatrics. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers.
Ranuh, S. H. (2011). Pedoman imunisasi di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
World

Health

Organization.

(2015).

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs286/en/.

Available

from:

Anda mungkin juga menyukai