Anda di halaman 1dari 7

Pemeriksaan Diabetes Mellitus

1. Diagnosa
Untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu dengan pemeriksaan glukosa darah dan
pemeriksaan glukosa peroral (TTGO). Sedangkan untuk membedakan DM tipe II dan DM
tipe I dengan pemeriksaan C-peptide.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu
dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
a) Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b) Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara :
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan beban 75 g glukosa. TTGO lebih sensitif dan
spesifik namun sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan sangat jarang dilakukan karena
membutuhkan persiapan khusus. (PERKENI, 2019)
Tabel 1. Penegakkan Diagnosis Diabetes Mellitus
Kondisi Keterangan
Keluhan klasik DM Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil
+ kadar glukosa plasma sewaktu > pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
200 mg/dL memperhatikan waktu
(11,1 mmol/L) makan terakhir 1

Keluhan klasik DM
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
+ kadar glukosa plasma puasa >
126 mg/dL (7,0 mmol/L) tambahan sedikitnya 8 jam

Kadar gula plasma 2 jam pada Glukosa plasma yang merupakan hasil
TTGO > 200 pemeriksaan sesaat pada waktu 2 jam
mg/dL (11,1 mmol/L) setelah pemberian glukosa
*Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2018 sudah dimasukkan menjadi
salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium
yang telah terstandardisasi dengan baik.
Tabel 2. Kategori Diagnosis Diabetes Mellitus
Kategori Glukosa Puasa Glukosa 2jamPP HbA1c
(mg/dL) (mg/dL) (%)
Normal <100 <140 <5,7
Pra-diabetes 100-125 140-199 5,7-6,4
Diabetes ≥126 ≥200 ≥6,5
Sumber : American Diabetic Association & WHO, 2010
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk skrining dan diagnosis DM yaitu :
a. Glukosa Darah
b. TTGO
c. HbA1c
Pemeriksaan laboratorium lain untuk menilai pengendalian, memantau terapi atau pengobatan
yang sedang dilakukan, dan mendeteksi risiko komplikasi DM yang perlu dilakukan secara
berkala meliputi :
a. Glukosa Puasa dan 2 Jam PP, untuk melihat kadar gula darah pada saat diperiksa.
b. HbA1c, untuk melihat kadar gula darah rata-rata selama 3 bulan terakhir, menilai
kepatuhan dan keberhasilan pengobatan.
c. Albumin urin kuantitatif (AUK), kreatinin dan urin rutin, untuk melihat fungsi ginjal
karena diabetisi berisiko mengalami komplikasi pada ginjal.
d. Albumin/Globulin dan SGPT, untuk melihat ada tidaknya gangguan fungsi hati, karena
konsumsi obat diabetes mampu mempengaruhi fungsi hati.
e. Kolesterol total, HDL, LDL, dan Trigliserida, untuk melihat ada tidaknya gangguan
lemak karena mampu meningkatkan risiko penyakit jantung koroner.
f. Fibrinogen (uji saring faal hemostasis), untuk mendeteksi kemungkinan adanya
gangguan proses hemostasis yang merupakan faktor risiko dari perkembangan penyakit
jantung dan pembuluh darah sebagai konsekuensi dari DM.
g. Tekanan darah dan Indeks Masa Tubuh. (PERKENI, 2019., ADA, 2018)
2
1. Pemeriksaan glukosa darah
Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah, tujuannya :
 Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
 Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
 Waktu :
 saat puasa,
 1 atau 2 jam setelah makan,
 secara acak berkala sesuai dengan kebutuhan
 Frekuensi : setidaknya satu bulan sekali.
a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II dilakukan pada pasien
DM tipe II dengan gejala klasik seprti poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu
diartikan kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan pemeriksaan gula darah
sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu
≥ 200 mg/dl (plasma vena) maka penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita
ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa.
b) Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita dipuasakan 8-12 jam
sebelum tes dengan menghentikan semua obat yang digunakan, bila ada obat yang harus
diberikan perlu ditulis dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai
berikut : kadar glukosa plasma puasa < 110 mg/dl dinyatakan normal, ≥ 126 mg/dl adalah
diabetes melitus, sedangkan antara 110 – 126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu
(GDPT). Pemeriksaan gula darah puasa lebih efektif dibandingkan dengan pemeriksaan tes
toleransi glukosa oral.
c) Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP)
Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan makanan yang mengandung
100gr karbohidrat sebelum puasa dan menghentikan merokok serta berolahraga. Glukosa 2
jam Post Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl, sedangkan nilai
normalnya ≤ 140. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl
tetapi < 200 mg/dl.
d) Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan apabila pada pemeriksaan
glukosa sewaktu kadar gula darah berkisar 140-200 mg/dl untuk memastikan diabetes atau
tidak. Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006, tatacara tes TTGO dengan cara melarutkan 3
75gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg pada anak-anak kemudian dilarutkan dalam air
250-300 ml dan dihabiskan dalam waktu 5 menit. TTGO dilakukan minimal pasien telah
berpuasa selama minimal 8 jam.
Penilaian adalah sebagai berikut :
1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl
2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa > 140 mg/dl tetapi < 200
mg/dl, dan
3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus. (Purnamasari D.dkk., 2015)

2. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)


Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dapat dilakukan pada keadaan ditemukannya gejala
klinis akan tetapi pada pemeriksaan laboratorium glukosa darah puasa (GDP) atau glukosa
darah sewaktu (GDS) tidak melebihi batas normal (cut off) atau sebaliknya. Pemeriksaan
TTGO dengan cara induksi glukosa secara oral mampu menstimulasi sekresi insulin sehingga
bisa mengatur kadar glukosa darah ke dalam rentang yang normal.
 Tes provokatif untuk menilai efisiensi metabolisme glukosa
 Lebih sensitif dibandingkan glukosa puasa untuk diagnosis DM
Persiapan TTGO
 Puasa semalam (8-14 Jam)
 Diet mengandung KH ≥ 150 g/hari (3 Hari)
 Terapi dihentikan sementara di hari pemeriksaan
 Selama TTGO, pasien duduk dan tidak boleh merokok
Anak dan Dewasa tidak hamil
 Dosis glukosa anak 1,75 g/kgBB
 Dosis glukosa dewasa 75 g
 Interpretasi
- DM : TTGO 2jam > 200 mg/dL
- TGT: TTGO 2jam 140-199 mg/dL
Wanita Hamil
 Usia gestasi 24-28 minggu
 Dosis glukosa 50 g
 Interpretasi
- TTGO 1 jam < 140 mg/dL (normal)
4
- TTGO 1 jam > 140 mg/dL (lanjut TTGO 3 jam, dosis glukosa 100 g)
- DMG ditegakkan bila TTGO 3 jam memenuhi 2 dari 4 kriteria (Purnamasari
D.dkk., 2015., ADA, 2014))
Nilai Normal Pemeriksaan TTGO 3 jam
3. C-Peptide (IDAI, 2015)
Sesuai patogenesisnya, proses autoimun yang mendestruksi sel beta pankreas pada DM
tipe-1 dan resistensi insulin pada DM tipe-2, kedua jenis DM ini seharusnya bisa dibedakan
dari kadar insulin atau c-peptide-nya. Pada DM tipe-1, kadar insulin/ c-peptide akan rendah
atau sangat rendah, sedangkan pada DM tipe-2, kadar insulin/ c-peptide akan normal atau
meningkat. Selain itu, pada DM tipe-1 akan terdeteksi auto-antibodi terhadap sel beta
pankreas sedangkan pada DM tipe-2 tidak. Kedua hal tersebut secara teoritis merupakan
pembeda antara DM tipe-1 dan tipe-2, namun kenyataannya, membedakan dm tipe-1 dan
tipe-2 tidak selalu mudah, karena :
a) Seiring dengan makin meningkatnya prevalensi obesitas pada anak, dapat dijumpai
penderita DM tipe-1 yang obesitas. Penderita DM tipe-1 yang obesitas mungkin
mempunyai sisa kadar c-peptide yang lebih tinggi.
b) Penderita DM tipe-2 dapat datang dalam kondisi ketosis atau ketoasidosis sehingga
menyerupai DM tipe-1. Pada keadaan tersebut, kadar insulin atau c-peptide penderita
bisa sangat rendah akibat adanya glukotoksisitas atau memang sudah ada
ketergantungan insulin.
c) Obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor risiko penyakit autoimun sehingga
15-40% penderita DM tipe-2 terdeteksi mempunyai autoantibodi terkait DM tipe-1.
Keadaan ini mempercepat penderita jatuh ke dalam keadaan tergantung insulin.
Salah satu cara membedakan DM tipe-2 dari DM tipe-1 yang mungkin dapat digunakan
adalah pemeriksaan c-peptide sekitar 12-24 bulan setelah diagnosis karena sangat jarang
penderita DM tipe-1 yang masih mempunyai kadar c-peptide normal pada saat tersebut. 5
 Insulin
Insulin dan C-peptide disekresikan dengan proporsi molar yang sama
Rasio insulin serum : C-peptide à 1: 5-15 (50-60% insulin diekstraksi di hepar dan
waktu paruh hanya 4 menit)
Metode pengukuran : Radioimmunoassay dan chemiluminescent immunoassay
Tidak dapat membedakan insulin endogen dan eksogen sehingga Tidak efektif menilai
fungsi sel β pankreas pada pasien dengan terapi insulin.
Persiapan, dosis dan prosedur sama dengan TTGO, dengan waktu pengambilan darah dan
nilai normal sebagai berikut :
Nilai Rujukan kadar insulin (Buppajarntham. S. 2019)

 C-Peptide (ADA, 2018. WHO, 2015)


Modalitas penilaian fungsi sekresi sel β pankreas
C-peptide tidak dimetabolisme di hepar, waktu paruh lebih panjang (±35 menit)
C-peptide dieliminasi ginjal, Kadar di urine 20-50x lebih tinggi dibanding serum, C
peptide meningkat pada pasien gagal ginjal
C-Peptide menggambarkan sekresi insulin endogen (tidak terpengaruh antibodi anti
insulin endogen dan terapi insulin)
 Metode Pengukuran :
electrochemiluminescent immunoassay (ECLIA), Enzyme linked immunoassay (ELISA),
Radioimmunoassay (RIA).
 Nilai rujukan:
6
• C-peptide serum normal : 0,78 - 1,89 ng/ml (0,25 – 0,6 nmol/L)
• Setelah stimulasi glukosa : 2,73 - 5,64 ng/ml (0,9–1,87 nmol/L)
• C-peptide urine normal : 74 ± 26 µg/L (25 ± 8,8 µmol/L)

 Interpretasi
1. C-peptide ↑ : hiperinsulinemia dan gagal ginjal.
2. C-peptide ↓ : hipoinsulinemia, factitious hypoglycemia, dan pasca pankreatektomi
radikal.
Referensi :

1. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2019.


PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia)
2. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. 2008.,
Pengendalian Penyakit Tidak Menular. DirJen. Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. DepKes RI.
3. American Diabetes Association (ADA), 2018., classification and Diagnosis of
medical care in diabetes. Diabetes care, 41, pp. S13-S27. Doi:10.2337/dc18-S002
4. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2015., Pengelolaan Dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia.
5. World Health Organization (WHO). 2015., Global Report on Diabetes.
6. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, 2015., Konsensus Nasional Pengelolaan
Diabetes Melitus Tipe-2 Pada Anak Dan Remaja., IDAI
7. Purnamasari D.dkk., 2015. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. eds. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Puplishing : 2325-2329.
8. Bupajarntham. S. 2019. Insulin; Reference Range, Interpretation, collection and
Panel, Ncbi:https://emedicine.medscape.com/article/2089224-overview

Anda mungkin juga menyukai