Anda di halaman 1dari 43

REFERAT

CROHN’S DISEASE

Oleh

Kiki Amilia Brillianita


102011101011

Pembimbing

dr. Samsul Huda Sp.B

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Lab/SMF Bedah di RSD DR. Soebandi Jember

LAB/SMF BEDAH
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan


Oppenheimer pada tahun 1932 sebagai ileitis regional. Saat ini, penyakit
Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang
melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum. Perkiraan
insiden penyakit Crohn di Amerika Serikat telah berkisar 3,6-8,8 per
100.000, dengan studi terbaru menunjukkan prevalensi sekitar 200 kasus
per 100,000. Peningkatan dramatis dalam kejadian di Amerika Serikat
terpantau terjadi dari pertengahan 1950-an sampai awal 1970-an. Tingkat
insiden telah stabil sejak 1980-an. Variasi regional substansial dalam
insiden telah diamati, dengan insiden tertinggi yang dilaporkan ada di
lintang utara. Insiden penyakit Crohn bervariasi antara kelompok etnis
dalam wilayah geografis yang sama. Misalnya, pada penduduk Eropa
Timur

Populasi Eropa Timur Ashkenazi memiliki prevalensi dua sampai


empat kali lebih berisiko mengembangkan penyakit Crohn dari anggota
populasi lain yang tinggal di lokasi yang sama. Di negara-negara seperti
Cina, prevalensi penyakit Crohn diperkirakan 1,38 kasus per 100.000, jauh
di bawah yang terlihat di Barat. Selain itu kebanyakan penelitian
menunjukkan bahwa penyakit Crohn memiliki prevalensi lebih banyak
pada wanita dibandingkan pada pria. Usia rata-rata di mana pasien yang
didiagnosis dengan penyakit Crohn jatuh pada dekade ketiga kehidupan,
dengan puncak yang lebih kecil kedua pada dekade keenam kehidupan,
memberikan distribusi bimodal. Namun, usia saat diagnosis dapat berkisar
dari anak usia dini sampai lanjut usia.

2
Kedua faktor genetik dan lingkungan muncul untuk mempengaruhi
risiko untuk mengembangkan penyakit Crohn. Risiko relatif antara kerabat
tingkat pertama pasien dengan penyakit Crohn adalah 14 sampai 15 kali
lebih tinggi daripada populasi umum. Sekitar satu dari lima pasien dengan
penyakit Crohn akan melaporkan memiliki setidaknya satu relatif terkena.
Tingkat kesesuaian antara kembar monozigot setinggi 67%; Namun,
penyakit Crohn tidak terkait dengan pola pewarisan Mendel sederhana.
Meskipun ada kecenderungan dalam keluarga baik untuk ulcerative colitis
atau penyakit Crohn untuk hadir secara eksklusif, kaum campuran juga
terjadi, menunjukkan adanya beberapa sifat genetik bersama sebagai dasar
untuk kedua penyakit.

Status sosial ekonomi yang lebih tinggi dikaitkan dengan


peningkatan risiko penyakit Crohn. Kebanyakan penelitian telah
menemukan menyusui menjadi pelindung terhadap perkembangan
penyakit Crohn. Penyakit Crohn lebih umum di kalangan perokok.
Selanjutnya, merokok dikaitkan dengan peningkatan risiko kebutuhan
untuk operasi dan risiko kekambuhan setelah operasi untuk penyakit
Crohn.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Crohn Disease

3
Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel

Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang

mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun,

lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal.

Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial

hingga profundal (CCFA, 2013).

B. Anatomi Histologi normal Ileum

Sistem digestivus terbentang dari mulut hingga anus. Ileum adalah

bagian dari intestinum tenue (usus halus), setelah duodenum dan jejunum.

Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi untuk pencernaan makanan,

absorpsi zat makanan, cairan dan elektrolit (Snell, 2004).

Gambar 1. Anatomi dan Histologi Ileum


Secara histologis dinding ileum terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika mukosa,

tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa

ileum melipat ke lumen dan membentuk struktur vili yang tinggi dan

banyak mengandung sel goblet. Di antara vili-vili terbentuk Kripta

Lieberkuhn, yang di dasarnya terdapat kelenjar intestinal atau Sel Paneth

Gambar 2. Histologi Ileum

4
Anatomi Histologi Ileum pada Crohn Disease (Patologi)

Gambar 3. Makroskopis Crohn’s Disease

Gambaran makroskopis Crohn’s disease di atas menunjukkan

bagian tengah dengan penebalan dinding dan mukosa kehilangan lipatan-

lipatan mukosanya. Permukaan serosa tampak jaringan lemak kemerahan

dan mengeras. Tampak gambaran Cobblestone Appearance.

Salah satu komplikasi Crohn’s disease adalah pembentukan fistula.

Tampak fisura meluas dari mukosa menuju submukosa sampai muskularis.

Fistula dapat terbentuk antara usus dengan usus, kandung kemih dan kulit.

Bila mengenai usus besar dapat terjadi fistula peri-rektal.

Gambar 4. Mikroskopis Crohn’s Disease

5
C. Epidemiologi

Secara umum Crohn’s disease merupakan penyakit bedah primer

usus halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens

tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Utara. Di Amerika

Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohn’s disease mencapai 2 kasus per

100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 – 40 kasus per 100.000

populasi. Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohn’s

disease secara dramatis di Amerika Serikat antara tahun 1950-an hingga

1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-an .

Menurut jenis kelamin, insidens Crohn’s disease lebih tinggi pada

perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 – 1,8 : 1.

Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan

dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohn’s disease .

Crohn’s disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan

kelompok usia. Puncak insidens pertama adalah pada 18 – 25 tahun.

Puncak usia berikutnya adalah antara 60 – 80 tahun. Pada pasien yang

berusia lebih muda dari 20 tahun Crohn’s disease lebih banyak menyerang

usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohn’s disease

lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini

tidak diketahui.

6
Meskipun Crohn’s disease dapat menyerang setiap bagian dari

saluran cerna, namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun

anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus halus

bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30% dari

seluruh kasus Crohn’s disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal,

dan 33 – 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura

ani, abses perianal, dan fistula perianal.

D. Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga

banyak faktor risiko yang dapat menyebakan Crohn’s disease seperti

genetik, mikroba, imunologis, lingkungan, diet, vaskular dan faktor

psikososial seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral dan penggunaan

Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) (Thoreson, 2007).

Faktor Infeksi

Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga

merupakan penyebab potensial Crohn’s disease, namun terdapat dua agen

infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya

Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles. Infeksi lain yang

7
diperkirakan menjadi penyebab Crohn’s disease adalah Chlamydia,

Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus.

Faktor Imunologis

Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-

pasien dengan Crohn’s disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral

dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan

adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada

respons inflamasi saluran cerna pada Crohn’s disease mencakup sitokin-

sitokin, seperti interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting

factor). Peranan respons imun pada Crohn’s disease masih kontroversial,

dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan

merupakan penyebab penyakit.

Faktor Genetik

Pada bidang genetika telah ditemukan pada kromosom 16 (IBD

gen) yang diidentifikasi sebagai gen penyebab Crohn’s disease, yaitu

NOD2 gene (CARD15). Gen ini terlibat dalam system imunitas tubuh

manusia. Penelitian di Jerman dan Norwegia mengemukakan bahwa orang

yang memiliki gen alel CARD15 lebih berisiko terkena penyakit pada

ileum dan colon (Hampe et al, 2002).

Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam

patogenesis Crohn’s disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk

timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohn’s

8
disease. Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohn’s disease (20%) mempunyai

setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama. Pada

berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohn’s disease berhubungan

dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan DQw5.

Faktor-faktor Lain

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI

merupakan faktor proteksi terhadap timbulnya Crohn’s disease. Merokok

dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohn’s

disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan lamanya penggunaan.

9
Gambar . Berbagai faktor penyebab penyakit crohn

E. Patogenesis dan Patofisiologi

Inflamasi kronik yang disebabkan oleh aktivasi Sel T merupakan

pathogenesis dari Crohn’s disease. Zat yang menyebabkan inflamasi

seperti mikroba, virus, rokok dan dari diet akan dianggap sebagai antigen

dan dibawa oleh Antigen Presenting Cell (APC) menuju ke sel T helper 1.

Sel T helper akan mengeluarkan sitokin –sitokin pro inflamasi seperti (IL1

10
& TNF α) yang akan merangsang pengeluaran asam arachidonat, protease

dan radikal bebas secara local di bagian ileum terminal (Ghazi et al, 2013)

Pada beberapa orang yang secara genetik sudah diturunkan gen

CARD 15, bagian ileum dan colon lebih rentan terjadi ‘injury’, selanjutnya

akan terjadi inflamasi pada bagian kripte yang berupa inflamasi

granulomatosa. Inflamasi dengan infiltrasi sel limfoid akan meluas ke

seluruh dinding intestinal, mesentrium dan limfa nodi regional, inflamasi

ini disebut inflamasi transmural (Ghazi et al, 2013)

Inflamasi kronik akan menyebabkan terjadinya ulserasi di mukosa

superficial dan berlanjut ke profunda sehingga terbentuk ulkus, fisura dan

meluas sampai lapisan submukosa, muskularis bahkan sampai menembus

dinding luar intestinal sebagai fistula (Ghazi et al, 2013)

Pada kasus lanjut mukosa mempunyai penampilan “coblestone

appearance”. Hal ini terjadi akibat ulkus superficial mukosa bergabung

dengan agregasi sel-sel limfoid sehingga menimbulkan titik merah dan

lapisan yang bergelombang pada dinding intestinal (Ghazi et al, 2013)

11
Gambar . Patogenesis Penyakit Chron

F. Diagnosis

Diagnosis Crohn Disease ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang

didapat berikut ini :

1. Anamnesis

Gambaran klinis umum pada Crohn’s disease adalah demam,

nyeri abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri

abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan

perrectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat

nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah

abdomen. Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare

12
berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang

sering timbul adalah (Wilkins, 2011) :

a. Demam

b. Malaise

c. Mual muntah

d. Berat badan turun

e. Depresi dan cemas

f. Konstipasi dan obstipasi

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan

bawah abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien

juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED.

Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering

terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema

dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya

penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare

yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan

lumen usus.

Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses,

malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau

pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat

dari keterlibatan transmural dari penyakit ini

13
a) Tanda vital : normal, kadang takikardi dan demam

b) Gastrointestinal : nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan rektal

dapat ditemukan fistula, ulkus, abses, tonus sphincter abnormal,

mukosa rektal abnormal, hematochezia

c) Genitourinary : ditemukan fistula, abses dan ulkus pada region

perianal

d) Dermatologi : ulkus mukokutan, eritema nodosum, pioderma

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-

foto kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus

halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus

halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat

masalah dengan penggunaan kontras.

Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang

berguna dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan

aktivitas klinis penyakit.

a) Laboratorium

 Darah lengkap : anemia, leukositosis

 Elektrolit : hipoalbumin, penurunan serum Fe,

 Inflammatory marker : CRP meningkat

 Serologi : Antibodi sacromyces , antibody eschericia coli

14
b) Radiologi

 X – Foto

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s disease adalah

terbatas. Dua keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan

adanya obstruksi usus dan (2) untuk mengevaluasi adanya

pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis

lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau

batu ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita Crohn’s disease.

Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam

mendiagnosis penyakit inflamasi usus dan untuk membedakan antara

Crohn’s disease dengan colitis ulcerativa, khususnya pada tahap dini

penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohn’s disease tahap dini

ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai

bintik-bintik barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-

ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus yang normal dan

terlihat sebagai skip lesions.

15
Gambar 1.Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease
menunjukkan sejumlah ulkus aptosa

Gambar 2. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohn’s disease


menunjukkan ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon.

16
Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil

akan membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus

yang berbentuk seperti bintang, berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-

ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal disepanjang

perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohn’s

disease. Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan

muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu sama lain oleh edema pada

dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras terlihat gambaran

pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu pengisian kontras pada

lekukan ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang

radiolusen.

Gambar 3. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum


terminalis memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang
membentuk “cobblestone appearance”.

17
Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat

pengecilan diameter lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini

tampak sebagai “string sign”.

Gambar 4. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum


terminalis memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan
gambaran “string sign”.

Gambar 5. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum


terminalis memperlihatkan gambaran “string sign”.

18
Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema

pada 25 – 50% pasien dengan Crohn’s disease. Secara umum, didapatkan

hasil negatif palsu sebanyak 18 – 20% kasus. Akan tetepi, barium enema

mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan antara Crohn’s

disease dengan colitis ulserativa.

 CT-SCAN

Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohn’s disease telah

diterima secara luas. Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus

dan patologi ekstraluminal (misalnya, abses, obstruksi, fistula)

membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan CT

pada Crohn’s disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang

biasanya melibatkan usus halus bagian distal dan colon, meskipun setiap

segmen pada saluran cerna dapat terlibat. Biasanya, penebalan dinding

usus mencapai 5 – 15 mm .

Gambar 6. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohn’s disease, tampak


penebalan dinding ileum dan inflamasi mesenterium.

19
Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT.

dapat pula terlihat adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak

mesenterium, adenopati lokal, fistula, dan abses.

Gambar 7. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan

penebalan dinding usus halus, dan inflamasi dan adenopati pada mesenterium.

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan

peningkatan hilangnya densitas lemak, yang disebut “hazy fat” pada CT.

Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang lebih besar menimbulkan

menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang melintasi

mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas

campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini

pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal

terhadap dinding usus disepanjang sisi mesenterium.

Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat

atau oval dengan densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus.

Terlihatnya gambaran gelembung-gelembung gas menunjukkan adanya

20
hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari infeksi oleh

mikroorganisme yang menghasilkan gas.

Gambar 8. CT scan pada Crohn’s disease menunjukkan penebalan dinding colon


kanan dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan.

Gambar 9. CT scan pada Crohn’s disease fase kronis menunjukkan penebalan


dinding colon kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang
berhubungan, dan sejumlah besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan yang
memisahkan colon dari keseluruhan usus, sehingga disebut “creeping fat”.

21
CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada

pasien-pasien dengan gejala-gejala akut Crohn’s disease. Kemampuan CT

Scan dalam mencitrakan dinding usus, organ-organ abdomen yang

lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum

membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional

dengan kontras barium dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang

menyertai Crohn’s disease. CT Scan dapat secara langsung menunjukkan

penebalan dinding usus, edema mesenterika, limfadenopati, phlegmon dan

abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohn’s disease adalah sekitar 71%.

CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi

dapat pula digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur

CT-guided percutaneous abscess drainage, yang telah menampakkan hasil

yang sangat memuaskan.

 MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas

dalam pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak.

Dengan adanya peningkatan gradien dan pencitraan dengan menahan

napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen dan pelvis

pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan, untuk mencapai

pencitraan yang optimal dengan MRI seringkali membutuhkan

penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif atau negatif yang

diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau rectal.

22
Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat

men-toleransi pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi

distensi usus suboptimal, akan terjadi gangguan dalam mendeteksi

segmen-segmen usus yang ter-inflamasi.

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasi-

komplikasi anorectal Crohn’s disease dengan baik. MRI dengan teknik

regular fast spin-echo dapat mendeteksi adanya fistula, saluran sinus, dan

abses pada regio anorectal.

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada

pencitraan T1-weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena

kandungan cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal cairan dapat di-

intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-

weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi

dari daerah-daerah dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity

areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya pada fossa ischioanal.

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding,

proliferasi fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat

kontras gadolinium-based. Selama fase inflamasi aktif, enhancement

gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-weighted,

dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola

enhancement dideskripsikan oleh Koh et al sebagai “berlapis-lapis” dan

spesifik untuk Crohn’s disease.

23
Gambar 10. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s disease menunjukkan
penebalan dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada
pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisi
lemak intramural.

Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai

sensitivitas sekitar 85 – 89%, spesifisitas sekitar 96 – 94%, dan akurasi

sekitar 94 – 91% untuk mendeteksi penyakit akut. Sementara single-shot

fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 – 52%, spesifisitas

sekitar 98 – 96%, dan akurasi sekitar 83 – 84%. Hasil positif palsu paling

sering terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya

penebalan usus. Hasil negatif palsu paling sering terjadi jika terdapat

distensi usus yang suboptimal.

 USG

24
Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang

tergantung pada keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-

perubahan pada dinding usus.

USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi

manifestasi-manifestasi intra dan ekstra luminal dari Crohn’s disease.

Dinding saluran cerna yang normal terlihat sebagai 5 konsentris dari

lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran

ini dikenal sebagai “the gut signature”. Dinding saluran cerna yang normal

mempunyai ketebalan kurang dari 5 mm.

Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar

antara 5 mm hingga 2 cm dengan gambaran lapisan-lapisan yang

menghilang sebagian atau seluruhnya, yang merefleksikan adanya edema

transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang hebat,

dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic

ditengahnya yang berhubungan dengan penyempitan lumen. Gerakan

peristalsis menurun atau menghilang, dan segmen usus yang sakit tidak

dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra.

25
Gambar 11. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohn’s disease,
terlihat adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya “gut
signature”, dan garis hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen usus.

USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-segmen

yang tidak terlibat, yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil

pemeriksaan ini merefleksikan “skip lesions” pada Crohn’s disease.

Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan

berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus

yang hiperemis atau terinflamasi selama fase aktif penyakit.

26
Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis

dari mesenterium yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan

lemak mesenterium yang terlihat seperti jari-jari yang mencengkram

permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak sebagai

massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic

ileum terminal. Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran

ini akan terlihat lebih heterogen atau bahkan hypoechoic .

 RADIONUKLIR

Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau

indium-111 dapat digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada

inflammatory bowel disease. Dibandingkan dengan penanda 111In, penanda


99m
Tc HMPAO mempunyai karakteristik pencitraan yang lebih baik dan

dapat lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan tetapi,

biasanya pencitraan harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah


99m
injeksi leukosit berlabel Tc HMPAO sebagaimana telah terjadi ekskresi

normal ke usus, tidak seperti leukosit berlabel 111In, yang tidak mempunyai

ekskresi ke usus.

99m
Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel Tc

HMPAO pada Crohn’s disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1%

dan spesifisitas 91,0%, dan lebih baik dalam mendeteksi aktivitas

inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan, sementara CT Scan

lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi.

27
Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna,

tertelannya leukosit (misalnya, dari uptake yang berhubungan dengan

sinusitis atau nasogastric tubes), atau aktivitas yang berhubungan dengan

pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake leukosit tidak spesifik

untuk Crohn’s disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-proses

infeksius atau inflamasi usus .

G. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohn’s

disease antara lain :

 Cholangitis

 Colitis iskemik

 Colitis pseudomembranosa

 Diverticulitis colon

 Tuberculosis gastrointestinalis

 Colitis ulserativa

 Enteritis infeksiosa

 Colitis infeksiosa

28
H. TERAPI

Tujuan umum dari pengobatan Crohn’s Disease yang pertama

adalah mendapatkan hasil perbaikan klinis, laboratorium dan histologis

yang terbaik untuk mengontrol inflamasi dengan efek samping yang

minimal. Kedua, membuat pasien dapat beraktivitas senormal mungkin

dan yang ketiga adalah agar anak-anak dapat tumbuh dan mendapatkan

nutrisi yang adekuat. Berikut beberapa terapi pilihan untuk Crohn’s

Disease (Ghazi et al, 2013).

1. Farmakoterapi

a. Antidiare : loperamid, difenoksilate.

Pada pasien dengan Crohn’s disease terjadi inflamasi

dinding usus yang menyebabkan tidak dapat mengabsorbsi cairan

secara normal. Antidiare seperti difenoksilat dan loperamid bekerja

dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan

mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus (Robinson,

1997).

Dosis pemberian loperamide 2-4mg diberikan sampai 4x

sehari, difenoksilat 40-60 mg / hari. Obat dapat diberikan sampai

diare berhenti (Ghazi et al, 2013).

b. Derivate agen asam 5-aminosalisilat (5-ASA) : sulfasalazine,

mesalamine, balsalazide)

29
Pengobatan dengan menggunakan 5-ASA adalah pilihan

pertama untuk pasien Crohn’s Disease. 5-ASA bekerja sebagai

agen anti inflamasi. Obat ini dapat terus digunakan setelah

tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya inflamasi ulang

(Lim, 2010).

Dosis pemberian mesalamin 800 mg, diberikan 3x sehari.

Penggunaan derivate 5-ASA ini pada prinsipnya dalah pengobatan

jangka panjang untuk mencegah kambuhnya peradangan (Lim,

2010).

c. Kortikosteroid : prednisone, metilprednisolon, budesonide

Crohn’s disease dengan gejala sistemik sedang sampai berat

seperti timbul demam, mual-muntah, dan berat badan turun, dapat

menggunakan kortikosteroid. Prednisone biasa digunakan pada

inflamasi akut tanpa tanda-tanda infeksi. Dosis pemberian

prednisone adalah 40-60 mg/ hari Budenoside menginduksi

perbaikan sel-sel pada daerah inflamasi. Kombinasi antara

kortikosteroid dan antibiotik seperti ciprofloxaxin atau

metronidazole lebih menguntungkan dibanding penggunaan

tunggal (Ford et al, 2011)

Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk

pasien dengan gejala sedang sampai berat. Kortikosteroid tidak

diindikasikan untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi

pasien membaik, kortikosteroid dihentikan (Ford et al, 2011).

d. Agen imunosupresan: mercaptopurin, methotrexat (6-MP)

30
Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan

perbaikan, dapat digunakan agen imunosupresan. Azathioprine

dengan bahan aktif metabolit 6-MP dapat digunakan dengan

catatan dalam pengawasan 3-6 bulan. 6-MP bekerja dengan cara

menekan pembentukan sel-sel imun yang dalam jangka waktu

lama dapat mensupresi sumsum tulang (Turner, 2007).

Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan

diberikan selama 4 bulan kemudian dievaluasi kembali (Mcdonald,

2012).

2. Pengobatan biologis

Pengobatan secara biologis pada Crohn’s Disease yaitu dengan

cara memberikan antibodi monoklonal (anti-TNFα-antibodi) seperti ;

Infliximab, Adalimumab, Natalizumab .

a. Infliximab

Infliximab adalah antibodi monoclonal yang merupakan antagonis

TNFα. Bekerja pada permukaan sel makrofag dan sel T,

menghambat pembentukan TNFα (Lichteinstein, 2006).

Dosis pemberian 3-10 mg/kg/ hari, dapat diberikan sampai 6 tahun

lamanya dan dilihat perbaikan klinis pasien (D’Haens, 2011).

b. Adalimumab

Adalimumab adalah antibodi monoclonal immunoglobulin

rekombinan (igG1) yang cara kerjanya mengikat dengan afinitas

yang kuat dengan TNFα (Peyrin, 2007).

31
Dosis pemberian 160 mg/hari, ditrunkan menjadi 80mg/hari pada

minggu ke 2, diturunkan lagi menjadi 40 mg/hari pada minggu

selanjutnya (D’Haens, 2011).

c. Natalizumab

Natalizumab adalah antibodi monoclonal yang bekerja melawan

alpha4 integrin yang menghambat adhesi dan migrasi leukosit ke

area inflamasi (Sandborn et al, 2005).

Dosis pemberian natalizumab adalah 300mg setiap 4 minggu sekali

selama 1 tahun, kemudian di evaluasi kembali (Sandborn et al,

2005).

3. Tindakan pembedahan

Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohn’s Disease tidak

dapat menyembuhkan, namun berikut adalah keadaan-keadaan yang

direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan pada Crohn’s Disease

(ASCRS, 2007) :

a. Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis

b. Komplikasi : abses, fistula

c. Obstruksi : striktur colon

d. Inflamasi : kolitis, peritonitis

e. Hemoragik : perdarahan intra abdomen

32
f. Perforasi

g. Neoplasia

h. Hambatan tumbuh kembang

Intervensi pembedahan pada ileum terminal, ileocolon, dan colon

dapat dilakukan (ASCRS, 2007) :

a. Reseksi bagian intestinal yang terkena inflamasi

Tindakan pembedahan untuk membuang bagian intestinal yang

terkena inflamasi. Sebelumnya didahului dengan pemeriksaan

biopsi jaringan, untuk mengetahui daerah yang inflamasi.

33
Gambar 10. Reseksi Ileum, Ileocolon dan Colon

b. Ileostomi

Ileostomi berasal dari kata ‘Ileum’ dan ‘Stoma yang artinya adalah

tindakan operasi membuat mulut buatan di bagian ileum , untuk

membuang zat sisa tubuh, dikarenakan bagian distal ileum tidak

dapat bekerja normal (Cima, 2010).

34
Gambar 11. Ileostomy

35
c. Strikturplasti

Strikturplasti adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk

mengatasi jaringan parut yang terbentuk pada dinding intestinal

akibat kondisi inflamasi kronik pada Crohn’s Disease. Jaringan

parut menyebabkan striktur (penyempitan lumen intestinal).

Striktur dapat menyebabkan isi lumen masuk ke dalam ulkus dan

fisura yang dapat memperburuk peradangan pada Crohn’s Disease.

Tindakan strikturplasti yaitu membuat pasase intestinal lancar

tanpa membuang segmen menyempit (reseksi usus). Segmen usus

yang menyempit diinsisi kemudian dilebarkan dengan membuat

potongan memanjang sepanjang satu sisi usus, kemudian dijahit

(Jobanputra, 2007).

36
Gambar 12. Strikturplasti

d. Dilatasi Balon Endoskopi

Dilatasi Balon Endoskopi adalah pilihan terapi non bedah

untuk penanganan striktur pada Crohn’s Disease. Komplikasi yang

mungkin terjadi adalah risiko perforasi dan striktur rekurens.

Striktur didefinisikan sebagai penyempitan yang menghalangi

pasase usus sebesar 14 mm atau kurang. Teknik ini dilakukan

melalui colonoskopi, mencari bagian yang striktur kemudian

dilakukan dilatasi melalui balon-endoskopi. Antibiotic diberikan

selama pengerjaan dan 7 hari setelah tindakan (Ajlouni, 2007).

37
Gambar 13. Dilatasi Balon Endoskopi

e. Manajemen Fistula

Komplikasi dari Crohn’s Disease adalah terjadinya fistula.

Fistula dapat terjadi antara intestinal (ileoileal, ileocecal,

ileosigmoid, enterovesica, enterocutaneus, cologastric,

coloduodenal) (Strong, 2007).

Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencegah dan

mengatasi infeksi dengan menggunakan antibiotik seperti

38
metronidazole atau ciprofloxaxin. Kemudian memperbaiki

keseimbangan cairan dan elektrolit, mengusahakan perbaikan gizi

serta merawat kulit di sekitar fistel (Sjamsuhidajat, 2003).

Keputusan diambilnya tindakan bedah ditunggu sekurang-

kurangnya 3-4 minggu. Fistula dapat terjadi penutupan spontan

biasanya sekitar minggu keempat. Bila setelah itu fistula masih

tetap ada, penanganan sepsis sudah dilakukan cukup baik, maka

tindakan bedah harus segera dilakukan (Sjamsuhidajat, 2003).

I. KOMPLIKASI

Manifestasi ekstraintestinal Crohn’s disease mencakup aptosa oral,

ulkus, eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari

malabsorpsi kronis; osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis;

pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang

menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal

sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi

sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine;

pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan

manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi

tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer.

o Abses

39
Abses terbentuk pada sekitar 15 – 20% pasien dengan Crohn’s

disease sebagai akibat dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai

komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di mesenterium, cavum

peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi

tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral,

dan regio iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber

abses. Abses merupakan salah satu penyebab utama kematian pada

Crohn’s disease .

o Obstruksi

Obstruksi terjadi pada 20 – 30% pasien dengan Crohn’s disease.

Pada awal perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel

dan hilang timbul pada saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema

dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini akan

secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur lumen

akibat fibrostenotik.

o Fistula

Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari

Crohn’s disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau

penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi pada pasien dengan

40
Crohn’s disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah untuk

mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum

dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi

untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa

sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat berakibat

perforasi usus spontan pada 1 – 2% pasien.

o Keganasan

Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian

pada Crohn’s disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-

daerah dimana terjadi penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker

yang berhubungan dengan Crohn’s disease tidak terdeteksi hingga tahap

lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran

cerna, keganasan ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada

pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan

limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga terbukti lebih sering terjadi pada

pasien-pasien dengan Crohn’s disease.

J. PROGNOSIS

Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohn’s

disease yang sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 – 30%.

Komplikasi bedah yang paling sering terjadi adalah infeksi luka operasi,

41
pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran anastomosis.

Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami

kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan

85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis ditandai

dengan berulangnya gejala-gejala Crohn’s disease. Sekitar ⅓ pasien

membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang

pertama.

Prognosis Crohn’s Disease dikarakteristikkan dalam periode

perbaikan dan kekambuhan. Pada tahun pertama setelah diagnosis, angka

kekambuhan mencapai 50% dengan 10% masuk kategori kronik. 5 tahun

setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 49%. 10 tahun

setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 62%. 15 tahun

setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah mencapai 70%

(Munkohlm, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

42
Ajlouni, Y. Iser, J.H and Gibson, P.R. Endoscopic balloon dilatation of intestinal
strictures in Crohn’s Disease : safe alternative to surgery. J Gastroenterol
Hepatol. Melbourne, Australia. 2007 Apr;22(4):486-90
ASCRS (The American Society of Colon and Rectal Surgeons) ; Strong SA,
Koltun WA, Hyman NH, Buie WD, for the Standards Practice Task Force
Practice parameters for the surgical management of Crohn’s disease. Dis
Colon Rectum. 2007;50(11):1735-46.

Ford AC, Bernstein CN, Khan KJ, Abreu MT, Marshall JK, Talley NJ, et al.
Glucocorticosteroid therapy in inflammatory bowel disease: systematic
review and meta-analysis. Am J Gastroenterol. Apr 2011;106(4):590-9.
Hampe J, Grebe J, Nikolaus S, Solberg C, Croucher PJ, Mascheretti S, et al.
Association of NOD2 (CARD 15) genotype with clinical course of Crohn's
disease: a cohort study. Lancet. May 11 2002;359(9318):1661-5.

Kidd R, Mezwa DG, Ralls PW, Balfe DM, Bree RL, DiSantis DJ, et al. Imaging
recommendations for patients with newly suspected Crohn's disease, and in
patients with known Crohn's disease and acute exacerbation or suspected
complications. American College of Radiology. ACR Appropriateness
Criteria. Radiology. Jun 2000;215 Suppl:181-92.

Leighton JA, Shen B, Baron TH, Adler DG, Davila R, Egan JV, et al. ASGE
guideline: endoscopy in the diagnosis and treatment of inflammatory bowel
disease. Gastrointest Endosc. Apr 2006;63(4):558-65.

Lichtenstein GR, Abreu MT, Cohen R, Tremaine W. American


Gastroenterological Association Institute medical position statement on
corticosteroids, immunomodulators, and infliximab in inflammatory bowel
disease. Gastroenterology. Mar 2006;130(3):935-9.
Lim WC, Hanauer S. Aminosalicylates for induction of remission or response in
Crohn's disease. Cochrane Database Syst Rev. Dec 8 2010;CD008870.

Loftus EV Jr. Clinical epidemiology of inflammatory bowel disease: Incidence,


prevalence, and environmental influences. Gastroenterology. May
2004;126(6):1504-17.

43

Anda mungkin juga menyukai