Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Ovulasi


Dalam kehidupan seorang wanita, diperkirakan ovarium mengandung 300.000
sel germinal yang akan menjadi folikel dan hanya sekitar 400-500 folikel yang akan
mengalami ovulasi sampai usia menopause. Perkembangan folikel merupakan proses
yang dinamik yang berlangsung mulai dari menarke sampai menopause. Untuk
terjadinya ovulasi, folikel berkembang dari folikel primer, sekunder dan terakhir
menjadi folikel de Graaf. Untuk pertumbuhan dan pematangan folikel serta terjadinya
ovulasi, diperlukan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone
(LH). Dari hipotalamus dikeluarkan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang
akan merangsang sintesis maupun sekresi FSH dan LH di hipofisis.7,8
Pada awal setiap siklus menstruasi, terjadi pemilihan folikel dan FSH akan
menstimulasi perkembangan folikel pada kedua ovarium. Pada hari ke-6 atau ke-7
siklus ovulatorik, sebuah folikel terseleksi untuk menjadi folikel dominan.
Pertumbuhan folikel dominan tersebut berlanjut disertai replikasi sel granulosa
akumulasi cairan dalam folikel dan peningkatan produksi estradiol, yang semuanya
dipengaruhi oleh FSH. Folikel lain yang tidak terseleksi mengalami degenerasi FSH
akan memicu pematangan folikel sampai menjadi folikel de Graaf. Estrogen yang
tinggi akan merangsang pengeluaran LH, yang pada lukisan grafik dikenal sebagai
puncak LH. Puncak LH terjadi akibat adanya rangsangan hormon estrogen terhadap
hipofisis.8
Untuk terjadinya ovulasi diperlukan gonadotropin dan estrogen. Ovulasi baru
dapat terjadi bila cairan folikel tersebut mengandung kadar estrogen yang tinggi.
Sinyal untuk terjadinya ovulasi justru datangnya dari folikel itu sendiri dengan
adanya rangsangan estrogen terhadap hipofisis. Gonadotropin hanya memicu proses
pembentukan estrogen, dan estrogen inilah yang kelak menentukan perlunya ovulasi

3
atau tidak. Estrogen akan memberikan sinyal kepada hipofisis untuk segera
mengeluarkan LH.8,9
Perkembangan folikel sangat tergantung pada rasio FSH/LH di dalam folikel
itu sendiri. Jika FSH lebih tinggi daripada LH, folikel dapat terus tumbuh, karena
FSH dapat mengubah androgen menjadi estrogen melalui enzim aromatase. FSH
yang rendah tidak dapat mengubah androgen menjadi estrogen, sehingga kadar
androgen dalam cairan folikel meningkat. Jika LH lebih tinggi daripada FSH, maka
LH yang tinggi ini akan memicu sintesis androgen di sel-sel teka, sehingga
ditemukan kadar androgen yang relatif tinggi di dalam cairan folikel. Androgen yang
tinggi ini akan menghambat pematangan folikel yang pada akhirnya menyebabkan
folikel menjadi atresia.9,10
Tiga hari setelah ovulasi, terbentuklah organ endokrin baru yang disebut
korpus luteum. Korpus luteum merupakan organ tempat sintesis progesteron. Sintesis
progesteron ini dipicu oleh LH. Pembentukan progesteron mencapai puncaknya pada
hari ke-22 sampai ke-23 siklus haid.Siklus menstruasi wanita normal antara 21-35
hari, terdiri dari fase folikuler selama lebih kurang 10-14 hari dan fase luteal sekitar
14 hari. Wanita dengan siklus menstruasi yang teratur umumnya terjadi siklus yang
berovulasi.8
Syarat utama dari berhasilnya konsepsi adalah ovulasi, maka terjadinya
ovulasi harus diketahui sebagai bagian dari dasar pengelolaan penderita infertil.
Untuk mengetahui terjadinya ovulasi terdapat beberapa cara yaitu: pengukuran suhu
basal badan, menilai kadar progesteron serum pada pertengahan fase luteal,
memantau Luteinizing Hormone, biopsi endometrium serta pemantauan dengan
ultrasonografi.10,11
Pengukuran suhu basal badan masih memegang peranan penting dalam klinik
untuk menilai fungsi ovarium dan merupakan metode yang paling murah dan
sederhana dalam mendeteksi ovulasi. Pengukuran suhu basal badan dilakukan setiap
pagi saat terjaga dari tidur dan belum melakukan aktivitas. Peningkatan suhu
sekurang-kurangnya 0,4°C menandakan terjadinya siklus ovulatorik. Peningkatan

4
suhu tersebut terjadi segera setelah ovulasi disebabkan oleh pengaruh termogenik dari
progesteron terhadap pusat pengaturan panas di hipotalamus dengan perantaraan
meningkatnya sekresi norepinefrin yang terjadi sekunder akibat meningkatnya kadar
progesteron plasma yang mencapai nilai >4 ng/ml. Siklus haid ovulatorik ditandai
dengan kurve bifasik, sedangkan anovulatorik ditandai dengan kurve monofasik

2.2 Induksi Ovulasi

Induksi ovulasi merupakan suatu cara untuk memacu ovarium supaya


menghasilkan ovum yang lebih baik dan diharapkan dapat menghasilkan oosit lebih
banyak. Induksi ovulasi selain dilakukan pada program teknologi reproduksi bantuan,
juga dilakukan pada kasus unexplained infertility dan gangguan ovulasi yang
biasanya telah dicoba dengan program senggama terencana terlebih dahulu sebelum
dilanjutkan program teknologi reproduksi bantuan. Keadaan lain seperti gangguan
ovarium karena hiperprolaktinemia dan defek fase luteal seringkali memerlukan
induksi ovulasi untuk mengatasinya.10

Beberapa preparat digunakan untuk induksi ovulasi. Diantaranya klomifen


sitrat, tamoxifen, dan hormone gonadotropin. Klomifen sitrat merupakan obat tahap
awal untuk induksi ovulasi. Preparat ini sudah digunakan lebih 40 tahun dan banyak
digunakan dalam praktek sehari-hari. Mulamula klomifen sitrat digunakan untuk
gangguan ovulasi, sekarang klomifen sitrat juga digunakan untuk pengobatan
infertilitas yang tak terjelaskan bersama-sama dilakukan inseminasi intra uterin.10

Tamoxifen adalah antiestrogen nonsteroid yang struktur kimianya serupa


dengan dietil stilbestrol dan klomifen sitrat. Keuntungannya dibandingkan klomifen
sitrat adalah dapat digunakan untuk defek fase luteal dan untuk lendir serviks yang
abnormal. Hormon gonadotropin yang tersedia dalam bentuk FSH, hMG dan hCG
serta rekombinannya mempunyai cara kerja langsung memicu ovuarium. FSH murni
dan hMG berfungsi memicu pertumbuhan folikel, sedangkan hCG yang berkhasiat
menyerupai LH berfungsi memicu pelepasan ovum serta luteotropik. Induksi ovulasi

5
tidak hanya digunakan untuk stimulasi pertumbuhan folikel saja, namun juga untuk
inisiasi terjadinya ovulasi dan mensuport fase luteal.10

2.3 Sindroma hiperstimulasi ovarium (ovarian hyperstimulation Syndrome-


OHSS)

Sindroma hiperstimulasi ovarium (ovarian hyperstimulation Syndrome-


OHSS) adalah respon berlebihan terhadap induksi ovulasi dan merupakan suatu
komplikasi serius yang dapat menyebabkan kegagalan fungsi organ. OHSS biasanya
berhubungan dengan stimulasi gonadotropin eksogen pada program invitro
fertilization (IVF). Klinisi yang memberikan obat gonadrotropin untuk pemicu
ovulasi harus mengenali dan mampu melakukan penatalaksanaan OHSS.3-6

OHSS adalah suatu sindrom yang dapat mengalami remisi sendiri, perbaikan
secara spontan akan terjadi dalam 10-14, namun dapat menetap untuk waktu yang
lebih lama, terutama apabila terjadi kehamilan dan akan lebih berat bila terjadi
kehamilan multipel. Sindrom ini mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas,
dari ringan, hanya memerlukan observasi dan bisa berobat jalan sampai yang berat,
memerlukan perawatan di Rumah Sakit..
2.3.1 Patofisiologi
Gejala terjadinya OHSS adalah akibat peningkatan permeabilitas kapiler,
menyebabkan cairan berpindah dari intravaskuler ke ruang ketiga.Faktor-faktor yang
terlibat pada proses ini adalah :
-
Peningkatan sekresi dan eksudasi cairan yang kaya protein dari ovarium yang
membesar atau permukaan peritoneum,
- Peningkatan kadar prorenin dan renin dalam cairan folikel,
- Perubahan respon angiotensin terhadap permeabilitas kapiler.12,13,14
Vascular endothelial growth factor (VEGF), yang dikenal sebagai faktor
permeabilitas vaskuler, menjadi salah satu faktor yang paling berperan dalam
patofisiologi OHSS.15 VEGF adalah sitokin angiogenik yang merupakan stimulator

6
potensial dari endotel vaskuer dan berperan penting dalam pertumbuhan folikel,
fungsi korpus luteum, dan angiogenesis ovarium. Kadar VEGF berkorelasi dengan
beratnya OHSS,16 dan rekombinan VEGF memproduksi efek yang serupa dengan
OHSS yang dapat dihilangkan dengan antiserum spesifik.17
Studi yang baru-baru ini dilakukan, menemukan bahwa hCG meningkatkan
ekspresi VEGF dalam sel granulosa manusia dan meningkatkan konsentrasi serum
VEGF.17,18 Faktor lain yang mungkin terlibat baik langsung maupun tak langsung
melalui VEGF, termasuk angiotensin II, insulin like growth factor I (IGF-1),
epidermal growth factor (EGF), transforming growth factor (TGF) a dan b, basic
fibroblast growth factor (BFGF), platelet-derived growth factor (PDGF), interleukin-
1b (IL1b).15,19
2.3.2 Klasifikasi Klinis
Klasifikasi klinis yang sering dipakai adalah yang dikemukakan oleh Golan
dkk, yang menggabungkan dari temuan tanda dan gejala klinis, USG dan
laboratorium menjadi tiga tahap, dan lima tingkatan OHSS. Penderita yang diberikan
stimulasi ovulasi menggunakan FSH, 33% akan memperlihatkan gejala OHSS
tingkat satu, dan hal ini harus menjadi suatu tanda peringatan untuk mencegah
memberatnya hiperstimulasi ke tingkat yang lebih lanjut.
Kekurangan dari sistem klasifikasi Golan ini adalah pada keadaan yang berat
tidak dapat menjelaskan keadaan klinis penderita yang berhubungan dengan keadaan
yang mengancam jiwa.17

7
Klasifikasi Sindrom Hiperstimulasi Ovarium
Tahapan OHSS
Tingkat
Ringan Sedang Berat

1 Tegang di perut/tidak nyaman


2 Ditambah mual, muntah dan/
atau diare
Pembesaran ovarium 5-12 cm
3 Yang terdapat pada
tingkatan ringan
ditambah terbukti
secara USG adanya
asites
4 Yang terdapat pada
tingkatan sedang ditambah
asites dan/atau hidrothorax
atau kesulitan bernafas

5 Semua yang ada di atas


ditambah dengan perubahan
volume darah, peningkatan
viskositas karena
hemokonsentrasi,
abnormalitas koagulasi, dan
hilangnya fungsi dan perfusi
ginjal.

Dikutip dari : Golan A, 1989.24

2.3.3 Faktor Risiko


Faktor-faktor di bawah ini meningkatkan risiko terjadinya OHSS :19,0
- Usia muda < 30 tahun,
- Berat badan rendah,
- Sindroma ovarium polikistik,
- Gonadotropin eksogen dosis tinggi,

8
- Kadar serum estradiol yang tinggi atau peningkatan yang cepat (> 75% dari hari
sebelumnya),
- Riwayat OHSS sebelumnya,
- Pemberian hCG,
- Jumlah oosit > 20,
- Kehamilan multipel.

Risiko meningkat dengan bertambahnya jumlah folikel ovarium, dan jumlah


oosit yang didapat dalam siklus assisted reproductive technology (ART).21 Risiko
akan lebih meningkat pada penggunaan hCG eksogen dosis tinggi untuk induksi
ovulasi atau dipakai berulang untuk luteal phase support dan menurun jika digunakan
progesteron eksogen untuk luteal phase support. Kehamilan terutama bila kehamilan
multipel akan meningkatkan kemungkinan terjadinya OHSS, baik durasi maupun
beratnya gejala.22
2.3.4 Gejala Klinis
Secara umum OHSS diklasifikasikan dalam bentuk ringan, sedang, dan berat.
Meskipun demikian, gejala klinis OHSS menunjukkan suatu rangkaian kesatuan dari
meluasnya penyakit. OHSS dikatakan berat, apabila terjadi :
 peningkatan berat badan progresif,
 asites yang menyebabkan dinding perut tegang,
 hemodinamik yang tidak stabil (hipotensi ortostatik, takikardia),
 kesulitan bernafas (takipnea),
 oliguri progresif,
 hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal.

Hipotensi disebabkan oleh ekstravasasi cairan yang kaya protein, dapat


menimbulkan terjadinya oliguri/anuri akibat perfusi ginjal yang menurun
disebabkan menurunnya volume vaskuler yang progresif, asites yang masif dapat
menyebabkan gangguan paru-paru akibat gangguan pada gerakkan diafragma. Risiko

9
tromboemboli meningkat sebagai akibat dari hemokonsentrasi, menghilangnya aliran
darah perifer, dan berkurangnya aktifitas yang disebabkan oleh distensi abdomen dan
nyeri. Komplikasi OHSS yang mengancam kehidupan adalah gagal ginjal, adult
respiratory distress syndrome (ARDS), perdarahan akibat ruptur ovarium, dan
tromboemboli.19,23,24
2.3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Pasien Rawat Jalan
Pasien OHSS dengan manifestasi ringan dapat diterapi rawat jalan. Terapi
biasanya hanya membutuhkan analgesik oral dan konseling sehubungan dengan
keluhan dan gejala dari penyakit. Koitus sebaiknya dihindari karena menyebabkan
rasa nyeri dan dapat meningkatkan risiko ruptur ovarium.
Terapi pada OHSS yang makin berat biasanya membutuhkan antiemetik dan
analgesik yang lebih kuat. Sebagian besar pasien masih dapat dipantau dan diobati
sebagai pasien rawat jalan, namun mereka membutuhkan evaluasi yang lebih hati-hati
meliputi pemeriksaan fisik dan USG serial untuk mendeteksi penambahan cairan
asites, penimbangan berat badan tiap hari, dan pemeriksaan hematokrit, elektrolit dan
serum kreatinin secara serial sangat direkomendasikan sesuai dengan perkembangan
gejala klinis. Pemantauan yang cermat sangat penting, meliputi paling tidak konseling
dan berkomunikasi tiap hari, jika tidak dilakukan pemeriksaan tiap hari untuk
mengetahui adanya perkembangan penyakit menjadi lebih berat.
Rekomendasi untuk penatalaksanaan OHSS rawat jalan, meliputi :
 Asupan cairan oral harus lebih dari 1 liter per hari. Minuman dengan tambahan
elektrolit lebih baik,
 Aktivitas fisik yang berlebihan harus dihindari karena dapat meningkatkan risiko
torsi ovarium. Aktivitas fisik ringan dapat dilakukan. Tirah baring yang terlalu
ketat tidak perlu dilakukan dan dapat meningkatkan risiko tromboemboli,
 Berat badan harus dicatat tiap hari, juga frekuensi dan/atau volume urin.
Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg per hari atau menurunnya frekuensi urin

10
membutuhkan pemeriksaan fisik, USG dan evaluasi laboratorium (hematokrit,
elektrolit, dan kreatinin serum) berulang,
 Pasien yang hamil dengan OHSS harus dimonitor lebih cermat karena risiko
berkembangnya penyakit menjadi OHSS derajat berat meningkat akibat
konsentrasi hCG meningkat progresif,
 Dalam siklus ART, penting untuk mempertimbangkan cryopreserving semua
embrio dan menunda transfer pada siklus berikutnya setelah semua gejala
menghilang. Meskipun angka kehamilan pada frozen embryo transfer lebih
rendah dari fresh embryo transfer, namun pendekatan ini dapat menurunkan
risiko berkembangnya penyakit menjadi OHSS derajat berat tanpa menurunkan
angka kehamilan per siklus.25-27
Perawatan di Rumah Sakit
Semakin berkembangnya gejala dan penyulit yang timbul, dipertimbangkan
untuk melakukan perawatan di rumah sakit bila terjadi satu atau lebih keadaan
sebagai berikut :
 Nyeri abdomen yang berat atau gejala rangsang peritoneal,
 Mual dan muntah hebat yang mengakibatkan asupan makanan dan cairan
berkurang,
 Oliguri dan/atau anuri,
 Asites yang menyebabkan diding perut semakin tegang,
 Dispnea atau takipnea,
 Hipotensi (relatif terhadap tekanan darah rata-rata), pusing atau sinkop,
 Ketidakseimbangan elektrolit (hiponatremi, hipokalemi),
 Hemokonsentrasi,
 Tes fungsi hati yang abnormal.

Temuan hasil laboratorium pada wanita dengan penyakit yang serius akibat
OHSS meliputi :19,28,29
 hemokonsentrasi (hematokrit > 45%),

11
 lekosit > 15.000 /mm3,
 ketidakseimbangan elektrolit (hiponatremi <135 mEq/L, hiperkalemi >5,0
mEq/L),
 meningkatnya enzim hati,
 meningkatnya serum kreatinin (serum kreatinin > 1,2).

Rekomendasi untuk evaluasi dan pemantauan pasien yang dirawat dengan


OHSS meliputi :
 tanda-tanda vital tiap 2-8 jam berdasarkan keadaan klinis,
 berat badan dicatat tiap hari,
 pemeriksaan fisik lengkap tiap hari, hindari pemeriksaan bimanual ovarium untuk
mencegah terjadinya ruptur ovarium,
 lingkar perut setinggi umbilikus diukur tiap hari,
 monitor pemasukan dan pengeluaran cairan tiap hari atau lebih sering sesuai
kebutuhan,
 pemeriksaan USG (asites, ukuran ovarium), diulang jika perlu untuk kebutuhan
terapi atau parasentesis,
 foto toraks dan ekokardiogram jika dicurigai terjadi efusi pleura atau perikardium,
 pulse oxymetry untuk pasien dengan gangguan pernafasan,
 pemeriksaan darah lengkap tiap hari atau lebih sering jika diperlukan untuk
panduan pemberian cairan,
 pemeriksaan elektrolit tiap hari,
 serum kreatinin, kreatinin klirens, berat jenis urin, diulang jika perlu,
 enzim hati, diulang jika perlu,
 paling penting memantau kadar albumin plasma.

Evaluasi berulang dan cermat pada pasien yang dirawat dengan OHSS sangat
penting. Keluhan nyeri perut yang bertambah berat dan adanya distensi membutuhkan

12
perhatian segera, mengingat hal tersebut dapat menyamarkan gejala ruptur ovarium
dan perdarahan intraabdominal akut.

Terapi Cairan
Pasien yang dirawat membutuhkan terapi cairan intravena untuk memenuhi
kebutuhan volume cairan intra vaskuler yang hilang, dengan mempertimbangkan
peningkatan permeabilitas vaskuler yang menyertai OHSS derajat berat. Fungsi ginjal
dan paru harus dimonitor secara hati-hati. Pemberian cairan dilakukan sebagai
berikut:14,28,29
 monitoring ketat pemasukan cairan dan pengeluaran urin, hal tersebut penting
sampai gejala membaik atau diuresis menjadi normal,
 asupan cairan oral harus dicatat dan dibatasi sejumlah yang diperlukan,
 hidrasi yang cepat dicapai dengan pemberian cairan per infus (500-1000 mL).
Cairan diberikan secara hati-hati sesuai volume yang dibutuhkan untuk
mempertahankan pengeluaran urin yang adekuat (> 20-30 mL/jam). Dekstrose
5% dan larutan NaCl lebih baik daripada cairan ringer laktat,
 Infus albumin 25% dalam dosis 50-100 gram diberikan di atas 4 jam, diulang
dengan interval 4-12 jam jika perlu. Albumin diberikan bila cairan NaCL gagal
mempertahankan stabilitas hemodinamik dan output urin yang adekuat,
 Terapi diuretik (furosemid 20 mg IV) dapat dipertimbangkan setelah volume
intravaskuler tercapai (hematokrit < 38%). Penggunaan diuretik yang terlalu dini
dan berlebihan dapat menyebabkan hipovolemi dan hemokonsentrasi, yang dapat
menyebabkan tromboemboli,
 Pemberian cairan IV harus dibatasi dan asupan cairan oral ditingkatkan jika
terdapat bukti bahwa gejala klinis membaik yang ditandai dengan membaiknya
gejala dan diuresis,

13
 Hiperkalemi berhubungan dengan risiko disritmia jantung. Hal ini dapat
dilakukan dengan pemberian sodium bikarbonat, dan kalsium glukonat atau obat
lain sesuai kebutuhan.
Parasentesis
Indikasi parasentesis bila terjadi asites berat, gangguan fungsi pernafasan,
dan oliguri atau anuri yang tidak membaik dengan pemberian cairan yang adekuat.
Parasentesis dapat dilakukan perabdominam atau pervaginam dengan bantuan
USG.30,31 Cairan diambil secara bertahap, mengingat pengambilan cairan yang
terlalu banyak dapat memicu kompensasi berpindahnya cairan dari intravaskuler ke
rongga ketiga, pengambilan cairan harus hati-hati sampai efek yang diinginkan
tercapai.
Parasentesis serial dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi ginjal dan paru.
Asites berat dapat menyebabkan hydrothorax, terutama pada paru kanan, sebagai
akibat dari transfer cairan abdominal ke paru-paru melalui thoracic duct. Parasentesis
efektif untuk mengobati hydrothorax pada penderita yang mengalami efusi pleura
berat yang menetap.24,32
Thromboemboli adalah komplikasi OHSS derajat berat yang mengancam
kehidupan, dan perhitungan profilaksis dibutuhkan. Terapi heparin profilaksis (5.000
IU SC, tiap 12 jam) perlu di pertimbangkan.
Perawatan intensif mungkin dibutuhkan untuk penatalaksanaan komplikasi
tromboemboli, gagal ginjal atau gangguan paru-paru yang tidak berespon terhadap
terapi suportif dan parasentesis. Gagal ginjal sering berespon terhadap terapi dopamin
dosis rendah (0,18 mg/kg/jam) yang akan mendilatasi pembuluh darah ginjal dan
meningkatkan aliran darah ginjal.33 Kadang dibutuhkan monitoring invasif dengan
central venous pressure (CVP) atau pulmonary capilary wedge pressure dan dialisis.
Perawatan paru intensif meliputi suplementasi oksigen, torakosentesis, dan bantuan
pernafasan jika penatalaksanaan konservatif gagal. Pasien dengan OHSS berat yang
membutuhkan operasi karena ruptur kista ovarium dengan perdarahan, torsi atau

14
kehamilan ektopik memberikan tantangan bagi ahli anestesi yang tidak familiar
dengan patofisiologi OHSS dan harus mempunyai pengetahuan cepat untuk
meminimalisasi risiko komplikasi tambahan yang timbul.
Pencegahan
Kunci untuk mencegah OHSS adalah terapi induksi ovulasi secara hati-hati
dan pengenalan faktor risiko OHSS. Regimen induksi ovulasi harus diberikan secara
individual, dimonitor ketat, dan menggunakan dosis rendah yang masih efektif untuk
menghasilkan oosit yang cukup. Perlu diperhatikan beberapa tanda peningkatan risiko
OHSS seperti :
 Kadar serum estradiol meningkat cepat,
 Konsentrasi estradiol lebih dari > 2.500 pg/ml,
 Timbulnya folikel ukuran intermediate yang banyak (10-14mm).

Risiko OHSS dapat diturunkan dengan penghentian stimulasi gonadotropin


lebih lanjut (coasting) dan penundaan pemberian hCG sampai kadar estradiol
menetap atau menurun. Hal tersebut terbukti tidak berefek buruk pada hasil fertilisasi
in vitro.34-36
Terdapat bukti bahwa hCG berperan penting dalam terjadinya OHSS. Pada
pasien dengan risiko tinggi OHSS, diberikan hCG dalam dosis rendah (5.000 IU).19
Sebagai alternatif, GnRH agonis (leuprolide 0,5 – 1,0 mg SC) dapat digunakan untuk
menstimulasi LH surge endogen untuk maturasi oosit final dan induksi ovulasi.37 Hal
ini hanya dapat dilakukan pada siklus tanpa down-regulation jangka panjang, atau
siklus dengan GnRH antagonis.
Penggunaan progesteron eksogen (50 mg IM progesteron dalam larutan
minyak atau 100 mg progesteron vaginal, atau 8% progesteron gel) dapat mengurangi
risiko terjadinya OHSS.22 Jika gejala OHSS timbul sebelum pemberian hCG,
pembatalan siklus dan stimulasi yang kurang agresif pada siklus selanjutnya harus
dipertimbangkan.

15
Pemberian profilaksis IV albumin 25% (20-50 gr) pada saat pengambilan
oosit dapat menurunkan risiko OHSS, jika kadar E2 meningkat progresif atau jika
terdapat riwayat OHSS sebelumnya. Metaanalisis terbaru dari lima randomized
controlled trial menunjukkan bahwa pemberian albumin profilaksis secara signifikan
menurunkan risiko terjadinya OHSS.

2.4 Stimulasi Ovarium dan hubungannya dengan Terjadinya Menopause

Menopause merupakan suatu proses alamiah yang akan dialami oleh setiap
perempuan dan umumnya terjadi pada usia 50 tahun (rentang usia 40-60 tahun).1
Sekitar 1% perempuan mencapai menopause sebelum usia 40 tahun yang disebut
dengan menopause prekoks, sementara berhentinya haid antara usia 40 sampai 45
tahun disebut dengan menopause dini (early menopause) yang terjadi pada 10 %
perempuan.39,40

Saat ini dengan angka harapan hidup yang semakin tinggi, hampir sepertiga
kehidupan perempuan berada pada usia menopause. Penelitian menunjukkan bahwa
usia menopause yang terjadi lebih awal akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular, miokard infark, episode depresi, kejadian osteoporosis, serta
meningkatkan angka mortalitas. Usia terjadinya menopause dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain usia menars, paritas, kontrasepsi, merokok, genetik, dan
kerusakan pada ovarium akibat radioterapi, kemo terapi atau operasi.39

Faktor lain yang diduga juga berperan dalam mempengaruhi usia terjadinya
menopause adalah tindakan stimulasi ovarium. Semakin meningkatnya perempuan
yang menunda pernikahan dan kehamilan oleh karena pekerjaan dan pendidikan
menyebabkan semakin tingginya tindakan stimulasi ovarium dan program fertilisasi
in vitro.41 Stimulasi ovarium merupakan bagian dalam tatalaksana infertilitas. Pada
stimulasi ovarium digunakan medikamentosa untuk memperbaiki ovulasi dan
menstimulasi perkembangan folikel. Tindakan untuk stimulasi ovarium sendiri telah

16
dilakukan sejak 50 tahun yang lalu, dengan angka yang semakin meningkat setiap
tahunnya. Saat ini data di Amerika Serikat menunjukkan sekitar 15% perempuan
yang berada pada usia reproduksi pernah mendapatkan terapi infertilitas dengan
stimulasi ovarium.41

Pines dkk (2002) menyatakan bahwa perempuan yang mendapat stimulasi


ovarium memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk terjadinya menopause sebelum usia
50 tahun. Hipotesis yang mendasari hal ini adalah bahwa pada saat janin terdapat
sejumlah tertentu oosit yang dibentuk dan kemudian hanya sebagian saja yang dapat
berkembang menjadi folikel matur selama usia reproduksi, sehingga suatu stimulasi
ovarium yang menimbulkan terjadinya hiperstimulasi ovarium dapat menyebabkan
terjadinya penurunan jumlah folikel di ovarium dan terjadi menopause yang lebih
dini.42 Di lain pihak terdapat literatur yang menyatakan bahwa secara fisiologi
stimulasi ovarium berpengaruh pada folikel antral yang gonadotropin dependent
sehingga tidak mempengaruhi jumlah folikel yang berada pada resting pool dan hal
ini tidak akan mempercepat penurunan jumlah folikel di ovarium.

Pada saat menopause terjadi defisit estrogen yang dapat menyebabkan


terjadinya gejala klinis yang disebut sindroma menopause. Gejala ini tidak hanya
mempengaruhi kondisi fisik namun juga psikologi dan sosial yang berakibat
menurunnya kualitas hidup seseorang. Chedraui P dkk (2007) membagi gejala
menopause ini ke dalam tiga kategori yaitu gangguan somatik, psikologis, dan
masalah urogenital-seksual. Gangguan somatik terdiri dari semburan panas, berdebar
dan nyeri punggung atau sendi, gangguan urogenital seksual antara lain vagina
kering, nyeri senggama, gangguan berkemih, dan penurunan libido sedangkan
gangguan psikologis terdiri atas cepat lelah, mudah tersinggung dan insomnia. Pada
perempuan yang mengalami menopause lebih cepat maka gejala sindroma menopause
ini akan timbul lebih cepat sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidupnya.43

17
Pada penelitian ini semua subjek berada pada masa postmenopause sehingga
keluhan tersebut telah dirasakan oleh seluruh subjek. Keluhan sindroma menopause
terbanyak adalah nyeri punggung di mana kelompok kasus sebesar 48,9%, dan
kelompok kontrol sebanyak 57 %. Hal ini berkaitan dengan kejadian osteoporosis di
mana osteoporosis merupakan penyakit degeneratif yang dapat timbul akibat
menopause. Suatu survei terhadap densitas mineral tulang pada perempuan berusia di
atas 50 tahun yang dilakukan di Amerika menunjukkan angka 50-68%. Setiap
tahunnya terdapat sekitar 1,5 juta kasus fraktur yang diakibatkan oleh osteoporosis.44

Bruin dkk (2001) di mana didapatkan hasil wanita dengan riwayat keluarga
menopause dini memiliki risiko untuk terjadi menopause dini dan kegagalan
reproduksi yang lebih dini.44 Van Asselt KM dkk (4004) mendapatkan hasil adanya
heritabilitas sebesar 44% terhadap usia menopause dari ibu dan anak perempuan.
Namun sampai saat ini sulit dibuktikan gen apa yang berperan terhadap usia
menopause ini, teori yang disampaikan oleh van Asselt dkk adalah adanya
kemungkinan faktor genetik ini diturunkan secara hukum Mendel.45

Faktor lain yang sejalan dengan terjadinya penurunan jumlah folikel adalah
ooforektomi unilateral yang meningkatkan terjadinya menopause dini sebanyak
empat kali. Selain ooforektomi, operasi lainnya seperti histerektomi dan ligasi tuba
dapat merupakan faktor predisposisi untuk keadaan hipoestrogenik kemungkinan
disebabkan karena adanya gangguan pada sirkulasi utero-ovarium. Pada penelitian
riwayat operasi tersebut dimasukkan ke dalam kriteria penolakan sehingga tidak
dinilai.42

de Boer EJ dkk (2002) di mana didapatkan hasil perempuan yang memiliki jumlah
oosit sedikit saat tindakan IVF pertama kali (0-3 oosit) memiliki risiko relatif sebesar
11,6 (IK 95%; 3,9-34,7).46 Sedangkan untuk banyaknya jumlah pemicuan juga
didapatkan hasil yang tidak bermakna. Rasio prevalensi terhadap hubungan antara
stimulasi ovarium dengan usia terjadinya menopause (menopause dini) didapatkan

18
hasil sebesar 2,13 (IK 95% 1,04-4,34) yang berarti terdapat risiko untuk terjadi
menopause dini sebesar 2,13 kali pada subjek yang pernah mendapatkan stimulasi
ovarium. Hasil ini sesuai dengan penelitian Pines dkk (2002) yaitu perempuan yang
mendapat terapi hormonal untuk infertilitas dikatakan mempunyai risiko 5 kali lebih
besar untuk terjadi menopause dini dibandingkan dengan yang tidak pernah
mendapatkan terapi sebelumnya.42

Usia menopause rata-rata pada kelompok usia yang dilakukan pemicuan pertama kali
usia ≤ 35 tahun adalah 47,81 tahun, sedangkan yang mendapat pemicuan pertama kali
pada usia > 35 tahun adalah 48,31 tahun. Namun, pada uji statistik tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Hasil ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pines dkk (2002) dimana pada kelompok stimulasi
ovarium sebelum usia 35 tahun rata-rata usia menopause adalah 43,8 ± 5 tahun.42

19

Anda mungkin juga menyukai