Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

POST PARTUM DENGAN SECTIO CAESARIA

A. PENGERTIAN
a. Pengertian Nifas dan Sectio caesaria
Masa nifas atau masa puerperium adalah masa setelah partus selesai dan
berkahir setelah kira-kira 6 minggu (Kapita Selekta Kedokteran,2001).
Masa puerpenium (nifas) adalah masa setelah partus selesai dan berakhir kira-
kira 6-8 minggu. Akan tetapi seluruh alat genetal baru pulih kembali seperti
sebelumnya ada kehamilan dalam waktu 3 bulan. (Ilmu Kebidanan,2007).
Jadi masa nifas adalah masa setelah melahirkan sampai alat kandungan
kembali seperti semula atau seperti sebelum hamil.
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan
diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh (Gulardi &
Wiknjosastro, 2006).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002).

b. Masa nifas atau peurpenium dibagi dalam 3 periode :


1. Puerpenium dini : kepullihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan
berjalan-jalan.
2. Puerpenium intermedial : kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang
lamanya 6-8 minggu.
3. Remote puerpenium : waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi . Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan
atau tahunan.
c. Perubahan-perubahan yang penting pada masa nifas
Adaptasi Fisiologi
Adaptasi atau perubahan yang terjadi pada ibu post partum normal, yaitu :
1. System reproduksi
a. Involusi uterus
Proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil setelah melahirkan
disebut involusi. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar akibat
kontraksi otot-otot polos uterus. Dalam waktu 12 jam, tinggi fundus
mencapai kurang lebih 1 cm diatas umbilicus. Dalam beberapa hari
kemudian, perubahan involusi berlangsung dengan cepat. Fundus turun
kira-kira 1 sampai 2 cm setiap 24 jam. Pada hari pascapartum keenam
fundus normal akan berada dipertengahan antara umbilicus dan simpisis
pubis. Uterus tidak bisa dipalpasi pada abdomen pada hari ke-9
pascapartum.
b. Kontraksi
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi
lahir, diduga terjadi sebagai respons terhadap penurunan volume
intrauterine yang sangat besar. Hemostasis pascapartum dicapai terutama
akibat kompresi pembuluh darah intramiometrium, bukan oleh agregasi
trombosit dan pembentukan bekuan. Hormone oksigen yang dilepas
kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus,
mengkompresi pembuluh darah, dan membantu hemostasis. Selama 1
sampai 2 jam pertama pascapartum intensitas kontraksi uterus bisa
berkurang dan menjadi tidak teratur.
c. Afterpains
Pada primipara, tonus uterus meningkat sehingga fundus pada umumnya
tetap kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami
multipara dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang masa awal
puerperium.
d. Lokia
Pengeluaran darah dan jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus
selama masa nifas disebut lokia. Lokia ini terdiri dari lokia rubra (1-4 hari)
jumlahnya sedang berwarna merah dan terutama darah, lokia serosa (4- 8
hari) jumlahnya berkurang dan berwarna merah muda (hemoserosa), lokia
alba (8-14 hari) jumlahnya sedikit, berwarna putih atau hampir tidak
berwarna.
e. Serviks
Servik mengalami involusi bersama-sama uterus. Setelah persalinan
,ostium eksterna dapat dimasuki oleh dua hingga tiga jari tangan; setelah 6
minggu postnatal, serviks menutup.
f. Vulva dan vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat
besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama
setelah proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam keadaan
kendur. Setelah 3 minggu, vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak
hamil dan rugae dalam vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan
rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali
sementara labia menjadi lebih menonjol.
g. Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya
teregang oleh karena tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pada
postnatal hari ke 5, perineum sudah mendapat kembali sebagian besar
tonusnya sekalipun tetap lebih kendur dari pada keadaan sebelum
melahirkan.
h. Payudara
Payudara mencapai maturasi yang penuh selama masa nifas kecuali jika
laktasi disupresi, payudara akan menjadi lebih besar, lebih kencang dan
mula – mula lebih nyeri tekan sebagai reaksi terhadap perubahan status
hormonal serta dimulainya laktasi.
i. Traktus urinarius
Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama. Kemungkinan terdapat
spasme (kontraksi otot yang mendadak diluar kemaluan) sfingter dan
edema leher buli – buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara
kepala janin dan tulang pubis selama persalinan. Urin dalam jumlah yang
besar akan dihasilkan dalam waktu 12 – 36 jam sesudah melahirkan.
Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormone estrogen yang bersifat
menahan air akan mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan ini
menyebabkan diuresis. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam
tempo 6 minggu.
2. Tanda – tanda vital
Suhu pada hari pertama (24 jam pertama) setelah melahirkan
meningkat menjadi 38oC sebagai akibat pemakaian tenaga saat melahirkan
dehidrasi maupun karena terjadinya perubahan hormonal, bila diatas 380C dan
selama dua hari dalam sepuluh dari pertama post partum perlu dipikirkan
adanya infeksi saluran kemih, endometriosis dan sebagainya. Pembengkakan
buah dada pada hari ke 2 atau 3 setelah melahirkan dapat menyebabkan
kenaikan suhu atau tidak.
3. System kardiovaskuler
a. Tekanan darah
Tekanan darah sedikit berubah atau tetap. Hipotensi ortostatik, yang
diindikasikan oleh rasa pusing dan seakan ingin pingsan segera berdiri,
dapat timbul dalam 48 jam pertama.
b. Denyut nadi
Nadi umumnya 60 – 80 denyut permenit dan segera setelah partus dapat
terjadi takikardi. Bila terdapat takikardi dan badan tidak panas mungkin
ada perdarahan berlebihan atau ada penyakit jantung. Pada masa nifas
umumnya denyut nadi lebih labil dibanding suhu. Pada minggu ke 8
sampai ke 10 setelah melahirkan, denyut nadi kembali ke frekuensi
sebelum hamil.
c. Komponen darah
Hemoglobin, hematokrit dan eritrosit akan kembali kekeadaan semula
sebelum melahirkan.
4. System endokrin
Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormone –
hormone yang diproduksi oleh organ tersebut. Kadar estrogen dan
progesterone menurun secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar
terendahnya tercapai kira – kira satu minggu pascapartum. Pada wanita yang
tidak menyusui kadar estrogen mulai meningkat pada minggu kedua setelah
melahirkan dan lebih tinggi dari pada wanita yang menyusui pada
pascapartum hari ke 17 (bowes ,1991). Kadar prolaktin meningkat secara
progresif sepanjang masa hamil. Pada wanita menyusui, kadar prolaktin tetap
meningkat sampai minggu keenam setelah melahirkan (Bowes, 1991). Kadar
prolaktin serum dipengaruhi oleh kekerapan menyusui, lama setiap kali
menyusui, dan banyak makanan tambahan yang diberikan.
5. System perkemihan
Perubahan hormonal pada masa hamil (kadar steroid yang tinggi) turut
menyebabkan peningkatan fungsi ginjal, sedangkan penurunan kadar steroid
setelah wanita melahirkan sebagian menjelaskan sebab penurunan fungsi
ginjal selama masa pascapartum. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu
satu bulan setelah wanita melahirkan. Diperlukan kira – kira 2 sampai 8
minggu supaya hipotonia pada kehamilan dan dilatasi ureter serta pelvis ginjal
kembali kekeadaan sebelum hamil. (Cunningham, dkk; 1993) pada sebagian
kecil wanita, dilatasi traktus urinarius bisa menetap selama tiga bulan.
6. System gastrointestinal
Ibu biasanya lapar setelah melahirkan, sehingga ia boleh
mengkonsumsi makan – makanan ringan. penurunan tonus dan mortilitas otot
traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan
analgesia dan anestesi bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas
keadaan normal. Buang air besar secara spontan bisa tertunda selama dua
sampai tiga hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini bisa disebabkan karena
tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan pada awal masa
pascapartum, diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang
makan atau dehidrasi. Ibu sering kali sudah menduga nyeri saat defekasi
karena nyeri yang dirasakannya diperineum akibat episiotomy, laserasi atau
hemoroid.
7. System muskuloskletal
Adaptasi ini mencakup hal – hal yang membantu relaksasi dan
hipermobilitas sendi dan perubahan pusat berat ibu akibat pembesaran rahim.
Stabilisasi sendi lengkap pada minggu keenam sampai ke 8 setelah wanita
melahirkan.
8. System integument
Kloasma yang muncul pada masa kehamilan biasanya menghilang saat
kehamilan berakhir. Hiperpigmentasi diareola dan linea nigra tidak
menghilang seluruhnya. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha
dan panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya.
 Adaptasi psikologis
Rubin (1961) membagi menjadi 3 fase :
1. Fase taking in yaitu fase ketergantungan, hari pertama sampai dengan
hari ketiga post partum, fokus pada diri sendiri, berperilaku pasif dan
ketergantungan, menyatakan ingin makan dan tidur, sulit membuat
keputusan.
2. Fase taking hold yaitu fase transisi dari ketergantungan kemandiri,
dari ketiga sampai dengan kesepuluh post partum, fokus sudah ke
bayi, mandiri dalam perawatan diri, mulai memperhatikan fungsi
tubuh sendiri dan bayi, mulai terbuka dalam menerima pendidikan
kesehatan.
3. Fase letting go yaitu fase dimana sudah mengambil tanggung jawab
peran yang baru, hari kesepuluh sampai dengan enam minggu post
partum, ibu sudah melaksanakan fungsinya, ayah berperan sebagai
ayah dan berinteraksi dengan bayi.

B. ETOLOGI
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri iminen,
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal
distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea
diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan jalan yang
harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk panggul yang
menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat menyebabkan kesulitan
dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan operasi.
Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi
asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan
oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan
infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan
perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah
penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi
eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan
dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini
adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran
kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran
satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak
lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan
adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat
pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam
teraba UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala
bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.

2) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang
terletak paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5
%.
3) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi
terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan
sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri.
Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong, presentasi
bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi
kaki (Saifuddin, 2002).

C. KLASIFIKASI
Jenis - Jenis Operasi Sectio Caesarea (SC)
a. Abdomen (SC Abdominalis)
1. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal : dengan insisi memanjang pada
corpus uteri y a n g m e m p u n ya i k e l e b i h a n m e n g e l u a r k a n j a n i n
l e b i h c e p a t , tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih
tertarik, dan sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal . Sedangkan
kekurangan dari cara ini adalah infeksi mudah menyebar secara intra
abdominal karena tidak ada reperitonealisasi yang baik danuntuk persalinan
berikutnya lebih sering terjadi ruptura uteri spontan.
2. Sectio caesarea profunda
Dengan insisi pada segmen bawah rahim dengan kelebihan penjahitan
luka lebih mudah, penutupan luka denganreperitonealisasi yang baik,
perdarahan kurang dan kemungkinan rupture uteri spontan kurang/lebih kecil.
Dan memiliki kekurangan luka dapat melebar kekiri, bawah, dan kanan
sehingga mengakibtakan pendarahan yang banyak serta keluhan pada kandung
kemih.
3. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan dengan
demikian tidak membuka kavum abdominalis.
b. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila :
1. Sayatan memanjang (longitudinal)
2. Sayatan melintang (tranversal)
3. Sayatan huruf T (T Insisian)
4. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira
10cm.
Kelebihan :
a. Mengeluarkan janin lebih memanjang
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonial yang baik.
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan.
c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka bekas
SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan, sedangkan pada luka
bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam persalinan.
d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya ibu yang
telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi. Sekurang -kurangnya
dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya adalah memberikan
kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk tujuan ini maka dipasang
akor sebelum menutup luka rahim.
5. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah
rahim kira-kira 10cm
Kelebihan :
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi uterus
ke rongga perineum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih
kecil
Kekurangan :
a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan yang
banyak.
b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

D. PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini
yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta
previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak
lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum baik dari
aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang informasi dan dari aspek
fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang
keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh
karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri
adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin
maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe
yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan
pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri
sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas
yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang
menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan
mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang menurun
maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan menumpuk dan
karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat beresiko terhadap
aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun
juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi. (Saifuddin, Mansjoer
& Prawirohardjo, 2002)
E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
1. TAND GEALA POST SC
Kejang parsial (fokal, lokal)
a. kejang parsial sederhana :
kesadaran tidak terganggu, dapat mcakup satu atau lebih hal berikut :
1. kejang partial sederhana :
- tanda-tanda matoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh,
umumnya gerakan setiap kejang sma.
2. Tanda dan gejala otonomi : muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi
pupil.
3. Gejla somato sensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa
seakan jatuh dari udara, parestesia.
4. Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik
b. Kejang parsial kompleks
1. Terdpat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang
parsial simpleks
2. Dapat mencakup otomatisme atau gangguan gerak otomatik : mengecap-
ngcapkan bibir, menguyah, gerakan menongkel yang berulang-ulang pada
tangan dan gerakan tangan lainnya.
3. Dapat tanpa otomtisme : tatapan terpaku
Kejang umum (konvulasi tau non konvulasi)
c. Kejang absens
1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurangdari
15 detik
3. Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan konsentrasi
penuh
d. Kejang mioklonik
1. Kedutan-kedutan involunter pada otot atau sekelompok oto yang terjadi
secara mendadak
2. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik berupa
kedutan-kedutan sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
3. Umumnya berlngsung kurang dari 5 detik dan terjai dalam kelompok
4. Kehilangan kesadran hanya sesaat
e. Kejang tonik klonik
1. Di awali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik,kaku umum pada
otot ekstermitas, batang tubuh an wajah yang berlangsun kurang dari 1
menit
2. Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3. Saat tonik diikuti klonik pada ekstermtas atas bawah
4. Latergi konvulsi, dan tidur dalam fase postical
f. Kejang atonik
1. Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak
mata turun, kepala menunduk, atau jatuh ketanah.
2. Singkat dan terjadi tanpa peringatan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit

H. PENATALAKSANAAN
a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah
sesuai kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman
dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi
1. Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
2. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
3. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
4. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan
diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
5. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
6. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari
ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.
e. Pemberian obat-obatan
1. Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
2. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1. Supositoria : ketopropen sup 2x/24 jam
2. Oral : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3. Injeksi : penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah
harus dibuka dan diganti
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.
h. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.(Manuaba, 1999)

I. KOMPLIKASI
a. Infeksi Puerpuralis
1. Ringan : dengan kenaikan suhu beberapa hari saja.
2. Sedang : dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi disertai dehidrasi atau
perut sedikit kembung
3. Berat : dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita
jumpai pada partus terlantar dimana sebelumnya telah terjadi infeksi
intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.
b. Pendarahan disebabkan karena :
1. Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka
2. Atonia Uteri
3. Pendarahan pada placenta bled
4. Luka pada kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila
reperitonalisasi terlalu tinggi.
5. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptura
uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio caesarea
klasik.
 Komplikasi lain menurut Sarwono, 1999 :
Komplikasi sectio caesarea mencakup periode masa nifas yang normal dan
komplikasi setiap prosedur pembedahan utama. Kompikasi sectio caesarea (Hecker,
2001 ; 341)
a. Perdarahan
Perdarahan primer kemungkinan terjadi akibat kegagalan mencapai hemostasis
ditempat insisi rahim atau akibat atonia uteri, yang dapat terjadi setelah pemanjangan
masa persalinan
b. Sepsis sesudah pembedahan
Frekuensi dan komplikasi ini jauh lebih besar bila sectio caesarea dilakukan selama
persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim. Antibiotik profilaksis selama 24 jam
diberikan untuk mengurangi sepsis.
c. Cedera pada sekeliling stuktur
Beberapa organ didalam abdomen seperti usus besar, kandung kemih, pembuluh
didalam ligamen yang lebar, dan ureter, terutama cenderung terjadi cedera. Hematuria
yang singkat dapat terjadi akibatterlalu antusias dalam menggunakan retraktor
didaerah dinding kandung kemih.

* Komplikasi Pada anak


Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan sectio caesarea
banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan sectio caesaria.
Menurut statistik di negara – negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang
baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4 dan 7 %.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
a. Identitas klien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam, alamat, status
perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik, yang mengirim,
cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara
d. Data Riwayat penyakit

1) Riwayat kesehatan sekarang.


Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit
dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan setelah pasien operasi.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang,
Maksudnya apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama (Plasenta
previa).
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada juga
mempunyai riwayat persalinan plasenta previa.
e. Keadaan klien meliputi :
1) Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi. Kemungkinan
kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 mL
2) Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan dan
atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita. Menunjukkan labilitas
emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
3) Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
4) Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal epidural.
5) Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah, distensi
kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
6) Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
7) Keamanan
8) Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
9) Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea sedang.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea)
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan / luka kering bekas
operasi
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur pembedahan,
penyembuhan dan perawatan post operasi
4. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan
pembedahan
5. Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

N Diagnosa Tujuan & Kriterian Hasil Intervensi Keperawatan


o Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah diberikan asuhan 1. Lakukan pengkajian secara komprehensif
berhubungan keperawatan selama ... x tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik,
dengan pelepasan 24 jam diharapkan nyeri durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
mediator nyeri klien berkurang / dan faktor presipitasi.
(histamin, terkontrol dengan 2. Observasi respon nonverbal dari
prostaglandin) kriteria hasil : ketidaknyamanan (misalnya wajah
akibat trauma 1. Klien melaporkan nyeri meringis) terutama ketidakmampuan untuk
jaringan dalam berkurang / terkontrol berkomunikasi secara efektif.
pembedahan 2. Wajah tidak tampak 3. Kaji efek pengalaman nyeri terhadap
(section caesarea) meringis kualitas hidup (ex: beraktivitas, tidur,
3. Klien tampak rileks, istirahat, rileks, kognisi, perasaan, dan
dapat berisitirahat, dan hubungan sosial)
beraktivitas sesuai 4. Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik
kemampuan (relaksasi progresif, latihan napas dalam,
imajinasi, sentuhan terapeutik.)
5. Kontrol faktor - faktor lingkungan yang
yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu,
cahaya, dan suara)
6. Kolaborasi untuk penggunaan kontrol
analgetik, jika perlu.

2. Risiko tinggi Setelah diberikan asuhan 1. Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko
terhadap infeksi keperawatan selama ... x 24 yang ada sebelumnya. Catat waktu pecah
berhubungan jam diharapkan klien ketuban.
dengan trauma tidak mengalami infeksi 2. Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor,
jaringan / luka dengan kriteria hasil : dolor, tumor, fungsio laesa)
bekas operasi 1. Tidak terjadi tanda - 3. Lakukan perawatan luka dengan teknik
(SC) tanda infeksi (kalor, aseptik
rubor, dolor, tumor, 4. Inspeksi balutan abdominal terhadap
fungsio laesea) eksudat / rembesan. Lepaskan balutan
2. Suhu dan nadi dalam sesuai indikasi
batas normal ( suhu = 5. Anjurkan klien dan keluarga untuk
36,5 -37,50 C, mencuci tangan sebelum / sesudah
frekuensi nadi = 60 - menyentuh luka
100x/ menit) 6. Pantau peningkatan suhu, nadi, dan
3. WBC dalam batas pemeriksaan laboratorium jumlah WBC /
normal (4,10-10,9 sel darah putih
10^3 / uL) 7. Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht.
Catat perkiraan kehilangan darah selama
prosedur pembedahan
8. Anjurkan intake nutrisi yang cukup
9. Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai
indikasi

3. Ansietas Setelah diberikan asuhan 1. Kaji respon psikologis terhadap kejadian


berhubungan keperawatan selama ... x dan ketersediaan sistem pendukung
dengan 6 jam diharapkan 2. Tetap bersama klien, bersikap tenang dan
kurangnya ansietas klien berkurang menunjukkan rasa empati
informasi tentang dengan kriteria hasil : 3. Observasi respon nonverbal klien
prosedur 1. Klien terlihat lebih (misalnya: gelisah) berkaitan dengan
pembedahan, tenang dan tidak ansietas yang dirasakan
penyembuhan, gelisah 4. Dukung dan arahkan kembali mekanisme
dan 2. Klien mengungkapkan koping
perawatan pos bahwa ansietasnya 5. Berikan informasi yang benar mengenai
operasi berkurang prosedur pembedahan, penyembuhan, dan
perawatan post operasi
6. Diskusikan pengalaman / harapan
kelahiran anak pada masa lalu
7. Evaluasi perubahan ansietas yang dialami
klien secara verba
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, I.J. 2001. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylinn. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta :
EGC
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Jilid 2. Jakarta : EGC
Sarwono, Prawiroharjo,. 2005. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT Gramedi
Sarwono, P. 2009. Ilmu Kebidanan . Jakarta: PT.Bina Pustaka.
Sofian, A. 2012. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri: Obstetri operatif Obstetri social. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai