Negara kesatuan Republik Indonesia tidak akan pernah berdiri tegak, seandainya
perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan tidak didukung oleh rakyat di desa-desa dan
diseluruh tanah air. Maka dari itu, meminjam pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H 1,
Desa dan kehidupan masyarakat desa adalah fondasi atau tiang utama kehidupan bernegara
Indonesia.
Sebagai sebuah entitas yang memiliki hak otonomi asli dan bersifat istimewa2,
Keberadaan Desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki keistimewaan tersendiri yang
tidak bisa disamakan dengan keistimewaan kesatuan pemerintahan daerah (Provinsi Aceh,
DKI jakarta atau Yogyakarta). Hal ini dikarenakan Desa mempunyai Otonomi asli, bulat dan
utuh yang ke-otonomi-annya bukan merupakan pemberian ataupun penyerahan wewenang
dari pemerintah, melainkan berasalkan dari asal-usul dan adat istiadatnya yang
keberadaannya jauh lebih dulu ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri
terbentuk.
Mengenai bentuk dan konsep otonomi desa itu sendiri, ada baiknya jika diketahui
terlebih dahulu, pengertian atau apa yang dimaksud sebagai desa. Menurut Soetardjo
kartohadikusoemo3, desa merupakan suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal
suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Sementara itu
menurut Prof. Dr. Hazairin, S.H.4, bahwa desa di jawa dan di madura, nagari diminangkabau
merupakan masyarakat hukum adat, yang merupakan kesatuan-kesatuan kemasyarakatan
yang memiliki kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu memiliki
1
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta Barat; PT.
BHUANA ILMU POPULER, hlm.49
2
Lihat penjelasan pasal 18 pada Penjelasan UUD NRI 1945 sebelum perubahan, pada point II berbunyi “Dalam
territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan
“Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah
istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak
asal usul daerah tersebut”.
3
Soetardjo kartohadikusoemo, 1953, Desa, Yogyakarta. Hlm. 2
4
Hazairin, 1970, Demokrasi Pancasila, Jakarta; Tintamas, Hlm. 44
kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
sesama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Adapun sejarah perjalanan peraturan yang mengatur terkait pengaturan desa, baik
sebelum Indonesia merdeka dan berdaulat maupun setelah Indonesia merdeka, merupakan
suatu proses kristalisasi norma yang bisa dibilang cukup lama seiring dengan kompleksitas
dan keberagaman jenis desa yang di Indonesia. hal ini bisa dilihat pada sejarah
perkembangan pengaturan terkait desa, yang sangat dinamis dan kompleks, yang
kebanyakan dari pengaturan tersebut, sangat jarang ditemukan dalam suatu peraturan
Undang-Undang khusus atau Undang-Undang tersendiri yang mengatur secara ekslusif
mengenai Desa. Kebanyakan sari peraturan tersebut di selipkan pada pengaturan mengenai
Pemerintahan Desa, seperti pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang
Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang
Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dan kemudian Lalu setelah amandemen kedua UUD NRI
1945 pada tahun 20005, pengaturan mengenai Desa diatur pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5
Dalam amandemen tersebut, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (keberadaan desa)
dipertegas dalam UUD NRI 1945 dengan penambahan pasal pada pasal 18, yaitu pasal 18B ayat (2) yang
berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah
Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa
Kembali pada pembahasan mengenai bentuk dan otonomi desa, jika kita lihat pada
keseluruhan pengaturan peraturan Undang-Undang terkait desa, baik yang diselipkan di
dalam pengaturan terkait pemerintah, maupun di atur secara khusus dalam suatu Undang-
Undang tertentu, bisa kita lihat seperti apa bentuk dan otonomi bentuk yang diakui oleh
Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Desa.
6
Penjelasan pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya
Sendiri
dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, digantikan oleh beberapa peraturan perundang-
undangan berupa Undang-Undang setelahnya secara berangsur, seperti yang dimulai pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah,
terlihat seperti adanya upaya pengkaburan susunan asli dan otonomi yang dimiliki desa,
berupa upaya yang terlihat seperti “pemaksaan” untuk mengubah bentuk desa yang berupa
daerah yang berdasar hukum adat-istiadat menjadi daerah administratif yang
diperistilahkan dengan daerah tingkat III dibawah daerah tingkat I (provinsi) dan daerah
tingkat II (kabupaten)7, apalagi setelah di keluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa yang semakin menjadikan nasib dan susunan keaslian
Desa semakin dramatis8. Kedramatisan itu bisa terlihat pada ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, hendak melakukan
Unifikasi Hukum atau penyeragaman terhadap desa di Indonesia yang sejatinya beraneka
ragam, tentunya jika diperhatikan, hal ini sangat bertentangan dengan semangat yang
dibangun pada pasal 18 UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) yang hendak membiarkan
desa, gempong, huta nagari, marga, dan sebagainya dapat tumbuh dan berkembang dalam
suasan keanekaragaman atau kebhinekaan9.
7
Seperti yang terlihat pada beberapa ketentuan didalam peraturan perundang-undang berupa Undang-
Undang yang menyinggung persoalan desa didalam Undang-Undang pemerintahan desa, seperti pada
penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu pada pasal 4 ayat 2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang membuka peluang pembentukan
daerah administratif desa sebagai kecamatan, dan pada pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah yang menegaskan bentuk pemerintahan desa sebagai kecamatan melalui pembentukan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
8
Pada pasal 1 Undang-Undang ini menjelaskan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, yang tentunya dengan pendefinisian ini, terjadi
kerancuan dan percampuradukan makna antara makna desa yang sesungguhnya dan daerah administratif yang
dibuat oleh negara.
9
Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 495.
pengertian Desa yang menjadi sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di Daerah Kabupaten10. Selain itu juga didalam Undang-Undang ini di
atur juga mengenai Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat
Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa11. Selain itu ditetapkannya juga
kewenangan Desa didalam Undang-undang ini yang antara lain mencakup12;
Kemudian diatur juga mengenai kewenangan mengadakan kerja sama dalam lingkup
antar desa untuk kepentingan Desa13 yang sebagaimana kita jika lihat, ketentuan ini belum
pernah diatur sama sekali oleh Undang-Undang sebelumnya yang mengatur terkait Desa.
10 Lihat bunyi pasal 1 huruf O Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, “Desa atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.”
11
Lihat pasal 104 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
12
Lihat pasal 99 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
13
Lihat pasal109 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa.
Terhadap kewenangan yang dapat diadakan oleh Desa, yang semula pada Undang-
undang sebelumnya hanya terbatas pada kerjasama antardesa, diperluas dengan
dimungkinkannya diadakan kerjasama dengan pihak ketiga. Namun, apa yang kemudian
dimaksud dengan pihak ketiga ini dalam Undang-undang ini, tidak terdapat penjelasan lebih
lanjut, baik itu didalam ketentuan pasal terkait kerjasama ini maupun didalam penjelasan
terhadap Undang-Undang ini.
14
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
15
Pasal 18
16
Pasal 19
Kemudian ada juga ditetapkan kewenangan yang menjadi kewenangan desa adat
dalam Undang-Undang ini, berdasar pada hak asal usul dan prinsip keberagaman,
kewenangan desa adat meliputi17;
Lalu mengenai kerjasama yang dapat diadakan desa, pada undang-undang ini juga
mengatur hal itu, baik kerjasama antar desa, dan dengan pihak ketiga. Namun
perbedaan yang menjadi pembeda dengan undang-undang sebelumnya, jika pada
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah mengatur
kerja sama antar desa yang prosesi kesepakatannya diatur dengan keputusan
bersama dan diberitahukan kepada camat18, dan pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur hubungan kerja sama, baik
antar desa maupun kepada pihak ketiga, prosesi keputusannya di putuskan bersama
kemudian dilaporkan kepada bupati/walikota melalui camat19, pada Undang-undang
Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, mengatur hubungan kerja sama baik itu terhadap
kerja sama antar-desa maupun kerjasama kepada pihak ketiga, tidak diatur adanya
ketentuan khusus seperti pada undang-undang sebelumnya seperti mengenai
pelaporan khusus ke bupati/walikota maupun camat untuk kesepakatannya. Adapun
17
Pasal 103
18
Pasal 109 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
19
Pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
kesepakatan yang diatur pada undang-undang terbaru ini, jika kerja sama tersebut
diadakan antar desa, disepakati berdasarkan kesepakatan musyawarah antar-desa20,
dan jika diadakan bersama pihak ketiga, disepakati berdasarkan kesepakatan
musyawarah desa21.
20
Pasal 92 ayat 2 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa
21
Pasal 93 ayat 2