satu.
Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para ulama
sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang
mulia, Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan bahwasanya Rasulullah
Shallallahu `alaihi wa sallam pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan
mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di
sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Selesai shalat, beliau
Shallallahu `alaihi wa sallam mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan
memberitahukan alasan melepas sandal yaitu dikarenakan Jibril mengabarkan bahwa di
sandal beliau Shallallahu `alaihi wa sallam ada kotoran, dan beliau bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat
sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah
kemudian dipakai untuk shalat.” (HR. Al-Imam Ahmad dan berkata Asy-Syaikh Muqbil
Rahimahullah tentang hadits ini dalam karya beliau Al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish
Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para periwayatnya) adalah rijal
Shahih Al-Bukhari)
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma
yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua
orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam:
“Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya.” (HR. Al-
Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah najisnya kotoran dan kencing manusia ini –banyak ataupun sedikit– disepakati oleh
ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau berpendapat, jika didapati
kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di
atas, kencing manusia –baik banyak ataupun sedikit– adalah najis, dengan dalil yang jelas
dan terang, serta merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Al-Imam An-
kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan
pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarhil
Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud Azh-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Asy-
Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh Al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, di
antaranya Nailul Authar dan Ad-Daraari.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis,
kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang
menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu
yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti kita ketahui,
kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan ada riwayat dari Anas bin Malik
Radhiyallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam
memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam Ash-Shahihain
(Shahih Al-Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya:
“Sekelompok orang dari Bani ‘Akl (Bani ‘Urainah) datang menemui Nabi. Namun mereka
mla で untuim焀愀渀椀†䅩䉰〮ㄷ猀 戀甀Bb㈴㌀ra1ang4㕡䩂杩nah㈀渀愀愀渀最 琀椀愀戀椀⸀ 一愀洀甀渀 洀攀爀攀欀a
mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya dia mengerik lalu membasuhnya.
Kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 330,
331 dan Muslim no. 110)
Al-Imam Ash-Shan‘ani Rahimahullah di dalam Subulus Salam -setelah membawakan hadits di
atas-: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini
dan Al-Imam An-Nawawi menukilkan adanya ijma‘ dalam hal ini. Adapun darah nifas,
hukumnya sama dengan darah haidh.
5. Bangkai
Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana
dinyatakan Al-Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Al-Imam An-Nawawi dalam Al
Majmu’.
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim no. 105)
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga
bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka
tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut…” (Al-Maidah:
96)
Al-Imam Ath-Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tafsir dari ayat di
atas, yakni yang dimaksud dengan () adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup
dan () adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Shahih, HR. Ashabus Sunan dan dishahihkan