MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Teratologi
yang dibina oleh Dra. Amy Tenzer, M.Si
Oleh:
Kelompok 3/Offering G-GHK
Affan Wudy Alifianto (160342606222)
Anisya Purnamasari (160342606219)
Dymas Ambarwati (160342606289)
Ratri Arum Apsari (160342606243)
BAB II
BAHASAN
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul
sejak kehidupan hasil peleburan sel telur. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum
ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah
kelahiran bayi. Terdapat beberapa penyebab kelainan kongenital walaupun perlu dicatat bahwa
hingga 50% dari semua kasus kelainan kongenital belum dapat dijelaskanpenyebabnya secara
pasti (Dewi dan Indriati, 2013).
1.1 Faktor Eksternal Penyebab Kelainan Perkembangan
Faktor eksternal penyebab kelainan perkembangan biasa disebut dengan teratogen.
Teratogen adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan normal embriologi atau
janin. Sifat teratogenik suatu zat tergantung pada beberapa faktor antara lain: dosis obat/zat
kimia, infeksi ibu, radiasi, defisiensi dan yang terpenting adalah periode kritis perkembangan
yaitu ketika janin dalam fase organogenesis (Kumolosasi dkk, 2004).
3. Cerebral Palsy
Disebut juga kelumpuhan otak besar, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
buruknya disfungsi otot dan tidak bersifat progresif (semakin memburuk) (Swaiman, 1998).
Penggunaan kokain adalah salah satu sumber efek yang merugikan dan seringkali sulit untuk
menentukan apakah itu merupakan salah satu penyebab, ketika suatu penyakit terdiagnosa di
kemudian hari. Kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kecacatan organ dan komplikasi–
komplikasi pembuluh darah, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur, adalah efek dari
penyalahgunaan kokain. Kokain selain dapat menyebabkan CP, juga diduga menyebabkan
autisme pada anak. (Stanley et al., 2000).
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah. Berat badan lahir
rendah dan prematuritas adalah faktor risiko utama CP. Kebiasaan merokok pada ibu hamil,
merupakan suatu variabel yang biasanya sulit terukur pada penelitian–penelitian sebelumnya.
(Stanley et al., 2000).
4. Bibir Sumbing (Cleft Lip) dan Sumbing Langit-langit Mulut (Cleft Palate)
Merupakan kelainan kongenital pada bibir bayi yang terjadi jika bibir bayi tidak terbentuk
sempurna, sehingga bibir dan langit-langit mulut tidak menutup sempurna. Thalidomide
merupakan suatu obat sedative hipnotik yang dikembangkan di Jerman Barat sekitar tahun 1954
untuk mengatasi insomnia. Namun dalam perjalanannya obat ini banyak disalahresepkan pada ibu
hamil untuk mengatasi gejala mual dan muntah. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pada
saat hamil mengkonsumsi thalidomide ditemukan cacat baik dalam bentuk Amelia (tidak
memiliki tangan dan kaki), fokomelia (lengan dan kaki tidak lengkap), bibir sumbing
(labioschisis), tanpa langit-langit (palatoschisis), tanpa mata (anophtalmus), tanpa telinga (anotia),
tanpa tempurung kepala (anencephali), hingga abnormalitas berbagai organ tubuh. Bibir sumbing
umumnya terjadi antara minggu keempat sampai minggu ketujuh selama masa kehamilan.
Sedangkan langit-langit mulut sumbing umumnya terjadi antara minggu keenam hingga minggu
kesembilan selama masa kehamilan.
Teratogen bekerja dengan cara mengganggu proses-proses patogenetik spesifik yang
menyebabkan kematian sel, perubahan pertumbuhan jaringan, kelainan diferensiasi sel, atau
gangguan terhadap perkembangan normal. Sebagian teratogen mengganggu mekanisme
teratogenisitas yang sudah dipastikan adalah gangguan metabolisme asam folat dan pembentukan
zat antara oksidatif.
2) Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi yang sangat penting baik di Indonesia maupun di
dunia karena infeksi pada ibu hamil dapat menimbulkan abortus (keguguran), lahir mati atau
kecacatan jasmani, kemunduran mental, dan kebutaan pada bayi yang dilahirkannya. Penelitian
darah pada wanita usia subur di Jakarta Selatan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa lebih dari
90% perempuan yang diperiksa menunjukkan serum dengan antibodi yang positif terhadap
Toxoplasma gondii (Salma, 2002).
Infeksi toksoplasma pada ibu menyebabkan 20% janin yang dikandung juga mengalami
infeksi pada trimester pertama dan meningkat menjadi 75% pada trimester kedua dan ketiga.
Vaksin toksoplasmosis belum tersedia hingga kini. Jika seorang wanita terpapar toksoplasma
pada saat hamil, kondisi janin dapat dilihat dengan memeriksa antibodi IgM pada sampel darah
janin. Kelainan perkembangan yang mungkin terjadi adalah hidrosephalus, retardasi mental,
korioretinitis, mikrosephalus, atau mikrothalmia (Dewi & Rahayu, 2013).
Gambar: Hidrosefalus toksoplasmosis congenital
(Sumber: http://www.austincc.edu)
a. Infeksi Toxoplasma
Penularan Toxoplasma di uterus hanya terjadi pada infeksi primer pada ibu hamil, yang
menyebabkan terjadinya parasitemia di dalam plasenta yang kemudian akan menyebabkan
terjadinya infeksi pada janin. Seorang perempuan yang terpapar Toxoplasma 4-6 bulan sebelum
hamil akan mendapatkan kekebalan yang cukup terhadap infeksi parasit ini di kemudian hari.
Pada manusia, risiko terjadinya infeksi Toxoplasma pada janin akan meningkat dengan
bertambahnya umur kehamilan; pada trimester pertama 10-25% dan pada trimester ketiga 60-
90%. Akan tetapi kecacatan kongenital yang terjadi lebih berat jika infeksi Toxoplasma terjadi
pada kehamilan yang lebih muda (Samuel, et al., 2015).
Sekitar 10% infeksi toksoplasmosis kongenital pada janin menyebabkan terjadinya
keguguran (abortus) atau kematian janin. Pada saat terjadinya persalinan, 10-23% tanda-tanda
infeksi kongenital dapat terlihat, misalnya berupa hidrosefalus, hepatosplenomegali, mikrosefali,
atau ukuran bayi yang lahir lebih kecil dari ukuran normal. Sebagian tanda-tanda ini bisa
ditemukan melalui pemeriksaan ultrasonografi prenatal. Sekitar 67-80% tanda-tanda klinik
infeksi toksoplasmosis kongenital tidak terlihat pada waktu bayi dilahirkan. Pada anak dengan
infeksi toksoplasmosis kongenital sepertiga diantaranya menunjukkan adanya toksoplasmosis
mata (Basri, 2017).
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di nasofaring dan
di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah
terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat menular ke setiap orang yang
berada di ruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–
21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan (onset) ruam
(rash). Pada episode ini, Virus rubella sangat menular (Matuscak, 1990).
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat. Dalam rembihan
(secret) tekak (faring) dan air kemih (urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah
banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS
dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran (Banatvala &
Brown, 2005).
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat virus
rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu,
menyebabkan daerah (area) nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel
endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan
(indikasikan) bahwa virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin
sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan
kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan
gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai
tanda peradangan (Banatvala & Brown, 2005).
Infeksi virus rubella berbahaya apabila infeksi terjadi pada awal kehamilan. Virus dapat
berdampak di semua organ dan menyebabkan berbagai kelainan bawaan. Janin yang terinfeksi
rubella berisiko besar meninggal dalam kandungan, lahir prematur, abortus sertamerta (spontan)
dan mengalami malabentuk (malformasi) sistem organ. Berat ringannya infeksi virus rubella di
janin bergantung pada lama umur kehamilan saat infeksi terjadi. Apabila infeksi terjadi pada
trimester I kehamilan, maka 80–90% akan menimbulkan kerusakan janin. Risiko infeksi akan
menurun 10–20% apabila infeksi terjadi pada trimester II kehamilan (Gnansia, 2006).
Virus ini juga menyebabkan defek jantung berupa PDA dan stenosis arteri pulmonalis
perifer. Infeksi rubella kongenital dapat dicegah melalui program imunisasi MMR (measles,
mumps, rubella) pada masa kanak-kanak dan vaksin rubella pada wanita dewasa muda. Kelainan
perkembangan yang mungkin terjadi adalah katarak, kelainan pada sistem pendengaran
(ketulian) dan kelainan jantung bawaan (Dewi & Rahayu, 2013).
4) Herpes Simpleks Genitalis
Infeksi herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan
virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2). Tipe 1 biasa ditemukan di daerah
mulut (herpes oral) dan tipe 2 disebut herpes genital. Sebagian besar terjadi setelah kontak
seksual secara orogenital (Marques, 2008).
Infeksi HSV sering terjadi pada wanita usia reproduktif dan dapat ditransmisikan kepada
fetus pada saat kehamilan, persalinan maupun sesudah persalinan. Herpes simplex virus
merupakan penyebab penting infeksi pada neonatus dan dapat menyebabkan kematian atau
kecacatan pada bayi yang baru dilahirkan (Sauerbrei & Wutzler, 2007).
Herpes Simplex Virus juga didapat melalui kontak seksual dengan sesorang yang terinfeksi
melalui mulut, vagina atau oral seks. Virus ini bisa menyebar meskipun penderita tidak
merasakan ada gejala (asymptomatic) dan bisa ditularkan melalui ibu yang sedang mengandung,
namun kejadian ini sangat langka. Pada infeksi awal, HSV memasuki tubuh melalui permukaan
kulit atau mukosa dan mengalami replikasi sistolitik di sel epitel yang dimasuki virus. Virion
dalam sel epitel terlihat secara histologist sebagai intranuclear inklusi, dan HSV menginduksi sel
untuk memadukan dan membentuk sel-sel raksasa berinti. Kerusakan sel di kulit menyebabkan
sel-sel epitel untuk melepaskan lepuhan berisi cairan yang mengandung debris seluler, sel-sel
iflamasi, dan virion progeny. Respon inflamasi terjadi saat HSV menembus melalui dermis dan
masuk ke ujung saraf sensori perifer.
Ibu yang sedang mengandung dan pertama kali terkena HSV memberikan resiko yang
lebih besar untuk menularkan virus ke bayinya dibanding ibu yang recurrent terhadap HSV..
Selain itu ibu hamil yang pertama terkena virus herpes tidak mempunyai kekebalan tubuh yang
optimal untuk perlindungan bayi. Padahal ketika melahirkan tubuh bayi akan bersinggungan
dengan alat kelamin ibu yang dapat membuatnya tertular. Penyakit herpes pada ibu hamil akan
berisiko meningkatkan keguguran. Kondisi dimana virus herpes akan masuk ke dalam saluran
plasenta dan menyebabkan keguguran meskipun demikian kasus terjadinya keguguran pada ibu
yang mengalami herpes jarang terjadi. Ibu hamil yang mengalami herpes harus dilakukan
pemeriksaan secara rutin untuk mengamati perkembangan herpes dan juga diberikan antivirus.
Terlebih ketika ibu hamil melakukan persalinan normal melalui jalan lahir. Bayi akan tertular
menyebabkan virus yang serius ketika bayi bertumbuh dewasa. Tanda-tanda infeksi pada bayi
muncul saat usia dua hingga tiga minggu, berupa vesikula kulit, demam, kejang, pneumonitis,
dll. Virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama
proses persalinan berlangsung dapat menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguang
penglihatan atau pendengaran, serta kematian bayi (Dewi & Rahayu, 2013).
Mikrosefalus Katarak
III. Radiasi
Efek radiasi pada fetus mempunyai mekanisme yang secara umum sama dengan efek
pada orang dewasa. Kematian sel akan menimbulkan efek deterministik. Sedangkan kerusakan
pada DNA yang tidak dapat diperbaiki atau mengalami perbaikan yang salah akan menimbulkan
efek stokastik. Pada efek deterministik, seperti retardasi mental, terdapat dosis ambang, dan
semakin besar dosis semakin parah efek yang terjadi. Efek deterministik akibat pajanan radiasi
selama kehamilan antara lain kematian, abnormalitas sistem syaraf pusat, katarak, retardasi
pertumbuhan, malformasi, dan bahkan kelainan tingkah laku. Karena sistem syaraf fetus adalah
palingsensitif dan mempunyai periode perkembangan yang paling panjang, abnormalitas yang
terjadi akibat radiasi jarang terjadi pada manusia tanpa disertai dengan neuropathology.
Sedangkan pada efek stokastik seperti induksi leukemia, tidak terdapat dosis ambang, dan
semakin besar dosis semakin besar kemungkinan timbulnya efek ini. Keparahan efek stokastik
tidak bergantung pada dosis radiasi yang diterima (Alatas, 2005).
Pajanan radiasi pengion dapat menyebabkan efek sangat parah pada embrio dan janin.
Efek radiasi pada janin dalam kandungan sangat bergantung pada umur kehamilan pada saat
terpapar radiasi, dosis dan juga laju dosis yang diterima. Perkembangan janin dalam kandungan
dapat dibagi atas 3 tahap. Tahap pertama yaitu preimplantasi dan implantasi yang dimulai sejak
proses pembuahan sampai menempelnya zigot pada dinding rahim yang terjadi sampai umur
kehamilan 2 minggu. Tahap kedua adalah organogenesis pada masa kehamilan 2 – 7 minggu.
Tahap ketiga adalah tahap fetus pada usia kehamilan 8 – 40 minggu. Dosis ambang yang dapat
menimbulkan efek pada janin adalah 0,05 Gy (Alatas, 2005).
IV. Difisiensi
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan
selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat
badan normal. Dengan kata lain bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu
sebelum dan selama hamil (Zhulaida, 2011). Defisiasi (Gizi salah) adalah kesalahan pangan
terutama terletak dalam ketidak seimbangan komposisi hidangan penyediaan makanan. (Akhmad
Djaeni, 2004).
Malnutrisi merupakan kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolute untuk
periode tertentu. (Bachyar Bakri, 2002) ,Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat
asupan gizi yang cukup, malnutrisi dapat juga disebut keadaaan yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk
mempertahankan kesehatan. Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu sedikit ataupun
pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, kekurangan gizi dalam tubuh juga
berakibat terjadinya malabsorpsi makanan atau kegagalan metabolik (Oxford medical dictionary,
2007).
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein
energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh Pengertian lainnya
malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh mengalami gangguan dalam penggunaan zat gizi
untuk pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas. Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya
asupan makanan maupun adanya gangguan terhadap absorbsi, pencernaan dan penggunaan zat
gizi dalam tubuh. Selain itu, malnutrisi bisa disebabkan apabila asupan kalori yang berlebih dari
kebutuhan harian, dan mengakibatkan penyimpangan energi dalam bentuk bertambahnya
jaringan adipose.
Menurut Departemen Kesehatan RI, 2017 menyatakan bahwa malnutrisi adalah keadaan
kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam keadaan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi dalam angka kecukupan gizi.
Gizi ibu hamil yang buruk mempengaruhi terjadinya abnormali kehamilan maupun pada
waktu sedang hamil, lebih sering menyebabkan bayi BBLR (berat badan lahir rendah) atau lahir
mati dan jarang menyebabkan cacat bawaan. Disamping itu dapat pula menyebabkan hambatan
pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir, mudah terkena infeksi, abortus, dan
sebagainya.
Pada periode embrio pasca implantasi pada saat kehamilan, terjadi nya penerimaan nutrisi
dari ibu ke janin, yang tadi nya saat pra implant tasi janin menerima nutrisi dari ibu melalui
kelenjar oviduk ( uterus milk), perubahan terjadi ketika pasca implantasi, janin memperoleh
nutrisi melalui plasenta yang terhubung dengan ibu, nutrisi yang di terima janin, melalui darah.
Plasenta berhubungan dengan embrio melalui tali
pusat (korda umbilikalis). Di dalam tali pusat terdapat
pembuluh darah (vena dan arteri umbilikalis yang
dibentuk dari mesoderm alantois) yang berhubungan
dengan pembuluh-pembuluh darah intra-embrio. Pada
dinding villi korion terjadi pertukaran materi antara darah
maternal dan darah fetal. Zat-zat nutrisi dan O2 dari darah
maternal memasuki pembuluh-pembuluh darah plasenta
lalu diangkut oleh vena umbilikalis memasuki tubuh fetus, masuk ke dalam jantung dan
diedarkan ke seluruh tubuh. Darah yang sedikit kadar O2 dan mengandung zat-zat ekskresi dari
tubuh fetus diangkut oleh arteri umbilikalis menuju ke pembuluh darah plasenta dan dilepaskan
ke dalam darah maternal. Pada semua tipe plasenta tidak pernah terjadi percampuran antara darah
maternal dan darah fetal.
3.1 Simpulan
Faktor-faktor eksterna penyebab terjadinya kelainan perkembangan antara lain:
1. Obat dan bahan kimia
Penggunaan obat dan bahan kimia juga dapat memiliki efek teratogenik, yang
nantinya akan berakibat pada munculnya penyakit, seperti fetal alcohol syndrome,
fetal hydantoin syndrome, cerebral palsy, cleft lip dan cleft palate.
2. Infeksi Ibu
Beberapa infeksi yang dapat menimbulkan kelainan perkembangan antara lain ialah
infeksi virus cytomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, rubella, dan herpes genitalis.
3. Radiasi
Efek radiasi akan menyebabkan efek sangat parah pada embrio dan janin. Seperti
kerusakan pada materi DNA, mengalami perbaikan yang salah, retardasi mental,
malformasi tubuh dan kematian neonatal.
4. Defisiensi
Akibat dari defisiensi adalah terjadinya malnutrisi yang nnantinya akan
menimbulkan penyakit: kurang energi dan protein (KEP), kurang vitamin A (KVA),
gizi buruk, stunting, dan abortus.
Daftar Rujukan
Alatas, Z. 2005. Efek Teratogenik Radiasi Pengion. Iptek Ilmiah Populer. Volume 6 Nomor 3,
April 2005, 133-142.
Anzivino E, Fioriti D, Mischitelli M, Bellizzi A, Barucca V, Chiarini F,et al. 2009. Herpes
simplex virus infection in pregnancy and in neonate: status of art of epidemiology,
diagnosis, therapy and prevention. J Virology; 6: 40.
Banatvala, J. E. & Brown, D. W. G. 2005. Rubella. Prosiding Scientific Book (Compilation)
Additional Torch Infections Articles. PDS-PATKLIN Temu Ilmiah Surabaya (The
Indonesian Association of Clinical Pathologists): 7-14.
Basri, S. 2017. Toksoplasmosis Okular Kongenital. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol. 17.
Nomer 2. Aceh: universitas syiah kuala.
Chaundhuri, J.D. 2000. Alcohol and the developing fetus- a review. Med. Sci. Monit. 6:1031
1041.
Dennery, P.A. 2007. Effects of oxidative stress on embryonic development. Birth Defects Res. C
Embryo Today 81:155-162
Dewi, S. R. & Rahayu, I. D. 2013. Modul Pembelajaran Kelainan Kongenital. Malang: Fakultas
Kedokteran Brawijaya.
Djaeni, Achmad. 2006. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat
Donates, I. A. 2001. Toksikologi Dasar. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
Ganansia, E. R. 2004. Congenital Rubella Syndrome. (Online), (http://www.
orpha.net/data/patho/GB/uk-rubella.pdf), diakses 11 Februari 2019.
Guerri C, Montoliu C, Renau-Piqueras J. Involvement of free radical mechanism in the toxic
effects of alcohol: implications for fetal alcohol syndrome. Adv Exp Med
Biol. 1994;366:291–305
Hodgson, E. & Levi, P. E. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. New York: Mc Graw-Hill
Companies, Inc. 207-210.
Kementerian Kesehatan. 2017. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Penjelasannya Tahun
2016. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Kementrian Keehatan Republik Indonesia. 2017. Permasalahan Kesehatan di Indonesia.
Kim, C. S. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection. Korean Journal of
Pediatric. Vol (1): 14-20.
Krisnansari. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Jurnal Mandala of Health, 4(1): 60-68.
Kumolosasi, E. Dkk. 2004. “Efek Teratogenik Ekstrak Etanol Kulit Batang Pule
(AlstoniaScholaris R.Br) pada Tikus Wistar”. Jurnal Matematika danSains. Vol 9 No 2 :
223-227.
Marques, A. R. & Straus, S. E. Herpes Simplex. In: Wolff K, In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S,
Gilchrest B, Paller A, Leffell, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
7th. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1873–85.
Martin, E.A. 2007. Oxford Concise Colour Medical Dictionary, edisi ke-4. UK: Oxford
University Press
Matuscak, R. Rubella Virus Infection and Serology. In: Clinical Immunology Principles and
Laboratory Diagnosis. Philadelphia, JB Lipincott Co: 215-23.
Munthoifah. 2008. Hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dengan status gizi
anak balita di Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.pada hari selasa 23 April
2012].
Samuel, L. H. et al., 2015. Patterns of Hydrocephalus Caused by Congenital Toxoplasma gondii.
Infection Associate With Parasite Genetics. (Online).
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4657535/), diakses 11 Februari 2019.
Sauerbrei, A. & Wutzler, P. Herpes simplex and varicella-zoster virus infection during
pregnancy : current concept of prevention, diagnosis and therapy. Part 1: Herpes simplex
virus infection. J Med Microbiol Immunol 2007; 196: 89-94.
Stanley F, Blair E, Alberman. 2000. Cerebral Palsies : Epidemiology and Causal Pathway.
Clinics in Developmental Medicine No.151. Mac Keith Press. Distributed by Cambrige
University Press.
Stehel, E. K. & Sanchez, P. J. 2005. Cytomegalovirus Infection in the Fetus and Neonate.
Neoreview 6: 38-45.
Straface G, Selmin A, Zanardo V, Santis Marco de, Ercoli A, Scambia G. 2012. Herpes simplex
virus infection in pregnancy. Infection diseases in obstetrics and gynecology; 1-6.
Sudarwati, dkk. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan Hewan. Bandung: Penerbit ITB.
Supariasa, I Dea Nyoman, Bachyar Bakri dan Ibnu Fajar. 2002, penilaian status gizi, Penerbit
Buku Kedokteran EGG, Jakarta
Swaiman, K. F., and Russman, B. S., Cerebral Palsy in Pediatric Neurology, Principle and
Practice. Mosby 1994 : 471 – 86.
TNP2K. 2017. 100 Kabupaten/ Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta.
Zulhaida. 2011. Gizi Masa Kehamilan. (Online), (Zulhaida@.telkom.net), diakses 11 Februari
2019.