Anda di halaman 1dari 28

FAKTOR-FAKTOR EKSTERNA PENYEBAB KELAINAN PERKEMBANGAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Teratologi
yang dibina oleh Dra. Amy Tenzer, M.Si

Oleh:
Kelompok 3/Offering G-GHK
Affan Wudy Alifianto (160342606222)
Anisya Purnamasari (160342606219)
Dymas Ambarwati (160342606289)
Ratri Arum Apsari (160342606243)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI BIOLOGI
Februari 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa kehamilan adalah salah satu peristiwa penting bagi setiap manusia yang telah
terikat pernikahan. Tetapi adakalanya peristiwa kehamilan mengalami gangguan sehingga
menyebabkan terjadinya kelainan perkembangan. Kelainan perkembangan ada dua macam, yakni
kelainan genetik dan kelainan sejaklahir. Kelainan genetik dikarenakan titik mutasi atau
penyimpangan kromosom dan akibat dari tidak ada atau tidak tepatnya produk genetik selama
meiosis atau tahap perkembangan. Sedangkan kelainan sejak lahir tidakdiwariskan melainkan
akibat dari faktor eksternal yang disebut teratogen (Sudarwati, dkk., 1990).
Teratogenesis merupakan proses yang mencakup gangguan perkembangan embrio atau
janin dalam uterus, yang mengakibatkan terjadinya kelainan maupun cacat bawaan bayi, baik
makroskopik maupun mikroskopik. Keadaan ini mencakup perubahan struktural maupun
fungsional (Donatus, 2001). Ilmu yang mempelajari tentang teratogenesis adalah teratologi.
Teratologi merupakan studi perkembangan janin abnormal dan malformasi kongenital yang
disebabkan oleh bahan kimia eksogen dan agen fisik (Haschek & Rousseau, 1991).
Terdapat beberapa penyebab kelainan kongenital walaupun perlu dicatat bahwa hingga
50% dari semua kasus kelainan kongenital belum dapat dijelaskan 13 penyebabnya secara pasti.
Teratogen adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan normal embriologi atau
janin. Potensi teratogenik pada beberapa teratogen tergantung pada dosis dan tahap
perkembangan janin pada saat terjadi paparan. Teratogen dapat berasal dari faktor interna dan
faktor eksterna. Efek yang ditimbulkan dapat berupa kematian (embriotoksik), cacat bawaan
(teratogenik), dan gangguan fungsional, maupun perlambatan pertumbuhan.
Ketidaknormalan yang sama mampu ditimbulkan berbeda bila diberikan selama periode
kritis yang sama. Mekanisme terjadinya teratogenesis dapat berupa gangguan asam nukleat,
penghambatan enzim, ketidaknormalan kromosom, mutagen, gangguan asam nukleat,
kekurangan nutrisi, kekurangan pasok energi, perubahan pada membran sel, perubahan
osmolaritas, dan gangguan osmosis (Hodgson & Levi, 2000).
Berdasarkan penjelasan mengenai teratogen, kami mengambil judul mengenai “Faktor-
faktor Eksterna Penyebab Kelainan Perkembangan” yang bertujuan untuk mengetahui
informasi mengenai faktor eksterna yang berfungsi sebagai teratogen pada perkembangan
embrio.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana faktor-faktor eksterna penyebab kelainan perkembangan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui faktor-faktor eksterna penyebab kelainan perkembangan.

BAB II
BAHASAN

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul
sejak kehidupan hasil peleburan sel telur. Kadang-kadang suatu kelainan kongenital belum
ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah
kelahiran bayi. Terdapat beberapa penyebab kelainan kongenital walaupun perlu dicatat bahwa
hingga 50% dari semua kasus kelainan kongenital belum dapat dijelaskanpenyebabnya secara
pasti (Dewi dan Indriati, 2013).
1.1 Faktor Eksternal Penyebab Kelainan Perkembangan
Faktor eksternal penyebab kelainan perkembangan biasa disebut dengan teratogen.
Teratogen adalah sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan normal embriologi atau
janin. Sifat teratogenik suatu zat tergantung pada beberapa faktor antara lain: dosis obat/zat
kimia, infeksi ibu, radiasi, defisiensi dan yang terpenting adalah periode kritis perkembangan
yaitu ketika janin dalam fase organogenesis (Kumolosasi dkk, 2004).

I. Obat dan Bahan Kimia


1.) Jenis zat asing yang termasuk dalam teratogen
Teratogen banyak terdapat di lingkungan sekitar, dan dapat memasuki tubuh kapan saja
di mana saja. Paparan teratogen sebagian besar berasal dari lingkungan, namun beberapa metode
pengobatan dan penggunaan obat juga diketahui memiliki efek teratogenik.
a. Zat kimia obat
 Aminopterin – merupakan kandungan dalam obat kemoterapi yang memiliki efek
samping menghambat kerja asam folat dan pertumbuhan sel dan DNA janin, serta dapat
menyebabkan gangguan perkembangan sel saraf pusat pada otak janin.
 Phenytoin, valporic acid dan trimethadione – merupakan kandungan obat antiepilepsi
yang diketahui memicu kelainan jantung dan mikrosefalus pada bayi.
 Warfarin – merupakan obat pengencer darah yang dapat mengganggu perkembangan
saraf otak dan penglihatan janin.
 Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) – adalah obat antidepresan yang diketahui
memicu gangguan tidak spesifik pada saluran pernapasan dan diare pada bayi setelah dilahirkan.
Meskipun demikian perlu dipahami bahwa manfaat antidepresan saat hamil lebih tinggi daripada
risikonya. Depresi selama kehamilan lebih berisiko menimbulkan masalah kesehatan bagi ibu
dan kehamilannya dibandingkan efek samping obatnya.
 Isotretinion – obat yang digunakan untuk mengatasi jerawat diketahui menyebabkan
gangguan perkembangan berbagai organ diantaranya kelainan jantung, bibir sumbing, dan cacat
tabung saraf.
 Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors – merupakan obat antihipertensi yang
diketahui dapat menghambat perkembangan janin secara keseluruhan serta gangguan pada ginjal
bayi, dan terkadang kematian.
 Hormon androgen dan progestin – dapat memicu kelainan organ reproduksi pada janin
perempuan sehingga memiliki fitur yang lebih maskulin seperti pembesaran klitoris dan rongga
genital yang menutup.
 Hormon estrogen – dalam bentuk diethylstilbestrol (DES) diketahui dapat memicu
perkembangan abnormal pada organ uterus, serviks dan vagina pada janin perempuan.

b. Substansi tertentu dan obat lainnya


 Alkohol – konsumsi alkohol dikenal sebagai penyebab utama fetal alcohol syndrome,
kelainan kongenital yang menyebabkan kerusakan otak dan masalah pertumbuhan pada janin
karena ibu minum alkohol saat hamil. Sedikit saja alkohol dapat menyebabkan gangguan
perkembangan pada tubuh bayi. Perwujudan cacat lahir terutama muncul pada bagian wajah,
lengan dan kaki. FAS juga menyebabkan gangguan saraf pusat, cacat jantung, dan
keterbelakangan mental.
 Rokok – dapat meningkatkan risiko perkembangan janin secara kesulurahan dan
mengalami berat lahir rendah ketika dilahirkan. Ibu hamil yang merokok dapat menyebabkan
bayi cacat lahir dengan kelainan jantung dan otak. Bayi yang terpapar asap rokok juga lebih
mungkin mengalami masalah motorik ketika lahir, seperti refleks kaget yang lambat dan
mengalami tremor. Semakin lama Anda merokok dan semakin banyak puntung rokok yang Anda
isap semakin meningkatkan risiko bayi lahir cacat
 Obat opioid – merupakan obat yang bekerja sebagai penghilang rasa sakit seperti morfin
dan diketahui dapat meningkatkan risiko berat lahir rendah dan kelahiran prematur.
 Ganja – menyebabkan efek perubahan kerja otak. Ibu yang mengisap ganja saat hamil
meningkatkan risiko bayi mengalami berat lahir rendah, gangguan gula darah, defisiensi kalsium,
serta perdarahan otak saat dilahirkan.
 Kokain – kokain dapat mengganggu perkembangan saraf pusat sekaligus perkembangan
organ janin selama dalam kandungan. Paparan kokain juga meningkatkan risiko anak mengalami
gangguan perilaku ketika ia lahir nanti.

c. Bahan kimia lainnya


 Merkuri – merupakan salah satu bahan kimia yang dapat menyebabkan cacat bawaan
seperti keterbelakangan mental dan cerebral palsy. Merkuri dapat berasal dari konsumsi seafood.
 Sinar-X – sinar-X saat rontgen dapat mengganggu perkembangan organ saraf pusat dan
organ anggota gerak seperti tangan dan kaki pada saat perkembangan janin. Hingga saat ini tidak
diketahui batas aman paparan sinar-X ketika rontgen saat hamil, namun penggunaan sinar-X
untuk membersihkan gigi dianggap aman untuk dilakukan meski sedang hamil.
 Radiasi dan kemoterapi – kedua metode pengobatan kanker ini tidak dianjurkan
dilakukan ketika hamil karena sangat berisiko mengganggu perkembangan bayi dalam
kandungan. Jika memungkinkan, prosedur ini sebaiknya ditunda hingga pascamelahirkan.
Namun jika tidak memungkinan, pengobatan ini harus tetap dilakukan untuk mempertahankan
peluang bertahan hidup ibu hamil.
SINDROM
1. Sindrom alkohol pada janin (fetal alcohol syndrome)

Ibu hamil yang mengkonsumsi/menyalahgunakan alkohol, akan menimbulkan efek


multisistem, yang dikenal dengan fetal alcohol syndrome. (Stanley et al., 2000). Sindrom alkohol
pada janin adalah gangguan fisik, mental, dan tumbuh kembang pada bayi yang terjadi akibat
sang ibu mengonsumsi minuman beralkohol saat hamil. Kelainan ini menyebabkan kerusakan
otak dan masalah pertumbuhan pada janin. Efek minuman keras dapat berlipat ganda pada janin
dibandingkan pada ibunya, terutama pada tiga bulan pertama usia kandungan. Alkohol dapat
merusak otak janin yang sedang berkembang (Gleason, 2001). Meningkatkan apoptosis dengan
terbentuknya radikal bebas oksigen (ROS) yang dapat merusak membran sel melalui proses lipid
peroxidation yang pada gilirannya menyebabkan kematian sel dan kecacatan pada janin yang
sedang berkembang (Chaudhuri, 2000; Dennery, 2007), juga kadar antioksidan seperti catalase
dan superoxide dismutase menjadi rendah pada sel yang terpapar alkohol. Penurunan kadar ini
sangat merugikan jaringan janin yang memang sudah kecil sekali kandungan antioksidannya.
Demikian juga neural crest cells yang merupakan precursors untuk pembentukan craniofacial
dan struktur visceral menjadi sangat rentan terhadap kerusakan oleh radikal bebas ini dan efek
toksik ini telah terbukti (Guerri et al., 1994).
Bayi dengan sindrom ini umumnya memiliki mata sipit dengan lipatan kulit atas mata
yang besar, rahang atas kecil, kepala kecil, dan bibir atas yang lebih tipis. Koordinasi anggota
tubuhnya buruk dan massa ototnya menyusut. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dengan
sindrom ini cenderung lambat, baik ketika masih berada di dalam kandungan, maupun setelah
lahir. Bayi dengan sindrom alkohol juga dapat menderita kelainan pada organ tubuhnya,
termasuk jantung, ginjal, tulang, dan telinga. Gangguan pada otak dan sistem saraf pusat bayi
biasanya ditunjukkan dengan koordinasi atau keseimbangan yang buruk serta proses belajar dan
perkembangan yang tertunda. Bayi juga cenderung memiliki daya ingat yang lemah, sulit
memahami sesuatu, dan kesulitan memecahkan masalah. Gejala lainnya yaitu hiperaktivitas dan
suasana hati berubah-ubah. Ketika bertambah besar, anak yang kena FAS punya kemungkinan
besar kesulitan dalam belajar di sekolah, bergaul dengan orang lain, serta beradaptasi.
Penyebab fetal alcohol syndrome
Alkohol akan memasuki aliran darah ibu. Dari aliran darah, alkohol akan diserap oleh
janin yang sedang berkembang melalui plasenta. Padahal, janin yang belum berkembang
sempurna belum bisa memproses alkohol dalam tubuhnya seperti orang dewasa. Selain itu,
alkohol dapat mengganggu pengiriman oksigen dan nutrisi yang optimal untuk bayi yang sedang
berkembang. Karena itulah paparan alkohol sebelum kelahiran dapat membahayakan
perkembangan jaringan dan organ tubuh serta menyebabkan kerusakan otak secara permanen
pada bayi.
Semakin banyak minum alkohol saat hamil, semakin besar juga risiko bayi mengalami
FAS. Apalagi kalau minum alkohol selama trimester pertama. Saat itulah janin berada dalam
tahap perkembangan utama. Namun, risikonya akan ada terus selama kehamilan.

2. Sindrom fetal Hydantoin

Banyak wanita hamil penderita epilepsy yang memerlukan treatmen dengan


menggunakan obat-obatan anticonvulsants. Pada berbagai kasus pengobatan, sering digunakan
diphenylhydantoin. Običan S dan Scialli AR (2011) menulis dalam review mereka pada Am J
Med Genet Part C Semin Med Genet 157:150-69, bahwa pada ibu hamil yang mendapatkan
terapi fenitoin, sekitar 10% mengalami sindroma yang disebut fetal hydantoin syndrome.
Sindroma ini ditandai sekumpulan gejala berupa hidung yang pendek, tulang hidung yang
rendah/lebar, epicanthic fold, hipertelorismus, mikrosefali, telinga yang abnormal, mulut yang
lebar, sumbing pada mulut, hipoplasia pada jari, fingerlike thumb, webbed neck, serta gangguan
perkembangan mental dan motorik.

3. Cerebral Palsy

Disebut juga kelumpuhan otak besar, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
buruknya disfungsi otot dan tidak bersifat progresif (semakin memburuk) (Swaiman, 1998).
Penggunaan kokain adalah salah satu sumber efek yang merugikan dan seringkali sulit untuk
menentukan apakah itu merupakan salah satu penyebab, ketika suatu penyakit terdiagnosa di
kemudian hari. Kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kecacatan organ dan komplikasi–
komplikasi pembuluh darah, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur, adalah efek dari
penyalahgunaan kokain. Kokain selain dapat menyebabkan CP, juga diduga menyebabkan
autisme pada anak. (Stanley et al., 2000).
Kebiasaan merokok dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah. Berat badan lahir
rendah dan prematuritas adalah faktor risiko utama CP. Kebiasaan merokok pada ibu hamil,
merupakan suatu variabel yang biasanya sulit terukur pada penelitian–penelitian sebelumnya.
(Stanley et al., 2000).

4. Bibir Sumbing (Cleft Lip) dan Sumbing Langit-langit Mulut (Cleft Palate)
Merupakan kelainan kongenital pada bibir bayi yang terjadi jika bibir bayi tidak terbentuk
sempurna, sehingga bibir dan langit-langit mulut tidak menutup sempurna. Thalidomide
merupakan suatu obat sedative hipnotik yang dikembangkan di Jerman Barat sekitar tahun 1954
untuk mengatasi insomnia. Namun dalam perjalanannya obat ini banyak disalahresepkan pada ibu
hamil untuk mengatasi gejala mual dan muntah. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pada
saat hamil mengkonsumsi thalidomide ditemukan cacat baik dalam bentuk Amelia (tidak
memiliki tangan dan kaki), fokomelia (lengan dan kaki tidak lengkap), bibir sumbing
(labioschisis), tanpa langit-langit (palatoschisis), tanpa mata (anophtalmus), tanpa telinga (anotia),
tanpa tempurung kepala (anencephali), hingga abnormalitas berbagai organ tubuh. Bibir sumbing
umumnya terjadi antara minggu keempat sampai minggu ketujuh selama masa kehamilan.
Sedangkan langit-langit mulut sumbing umumnya terjadi antara minggu keenam hingga minggu
kesembilan selama masa kehamilan.
Teratogen bekerja dengan cara mengganggu proses-proses patogenetik spesifik yang
menyebabkan kematian sel, perubahan pertumbuhan jaringan, kelainan diferensiasi sel, atau
gangguan terhadap perkembangan normal. Sebagian teratogen mengganggu mekanisme
teratogenisitas yang sudah dipastikan adalah gangguan metabolisme asam folat dan pembentukan
zat antara oksidatif.

II. Infeksi Ibu


Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan perkembangan ialah infeksi yang terjadi pada
periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Infeksi pada trimester pertama
di samping dapat menimbulkan kelainan perkembangan dapat pula meningkatkan kemungkinan
terjadinya abortus (Ramelan dan Syahrun, 1994). Beberapa infeksi yang dapat menimbulkan
kelainan perkembangan antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis,
rubella, dan herpes genitalis (Dewi dan Indriati, 2013).
1) Cytomegalovirus (CMV)
CMV merupakan virus DNA yang termasuk dalam famili herpesviridae. Virus ini disebut
cytomegalovirus karena sel yang terinfeksi akan membesar hingga dua kali lipat dibandingkan
dengan ukuran sel yang tidak terinfeksi. CMV menginvasi sel inang dan kemudian
memperbanyak diri (replikasi). Struktur CMV terdiri dari bagian tegument, capsid, dan envelope
yang kaya akan lipid. CMV menginfeksi sel dengan cara berikatan dengan reseptor pada
permukaan sel inang, kemudian menembus membran sel dan masuk ke dalam vakuola di
sitoplasma, lalu selubung virus terlepas dan nucleocapsid dengan cepat menuju nukleus sel inang
(Kim, 2010).
Menurut Kim (2010), penyebaran CMV dapat terjadi secara horizontal (dari satu orang ke
orang yang lain) maupun vertikal (dari ibu ke janin). CMV ditransmisikan secara horizontal
terjadi melalui cairan tubuh dan membutuhkan kontak yang dekat dengan cairan tubuh yang telah
terkontaminasi CMV. CMV dapat ditemukan di dalam darah, urin, cairan semen, sekret serviks,
saliva, air susu ibu, dan organ yang ditransplantasi. Transmisi CMV terjadi secara vertikal
melalui cara sebagai berikut:
1. In utero: melalui jalur transplasenta dengan viremia CMV dalam sirkulasi maternal.
2. Intrapartum: paparan janin terhadap sekret serviks dan vagina yang mengandung CMV
saat proses persalinan.
3. Postnatal: ingesti air susu ibu yang mengandung CMV atau melalui transfusi darah yang
terkontaminasi CMV
Sebagian besar anak yang lahir dengan infeksi CMV kongenital tidak menunjukkan
gejala (asimptomatik) saat lahir. Anak yang menunjukkan gejala infeksi CMV kongenital saat
lahir hanya berkisar antara 7-10%. Jaundice (62%), petechiae (58%), dan hepatosplenomegali
(50%) adalah tiga manifestasi klinis yang sering ditemukan sehingga disebut juga trias infeksi
CMV congenital (Stehel & Sanchez, 2005).

Gambar 2. Gambaran klinis anak dengan infeksi CMV Kongenital.


Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan berupa Computed Tomography (CT) scan, MRI
(Magnetic Resonance Imaging), amniosentesis, dan USG (Ultrasonography) antenatal.

Gambar 3. Gambaran CT scan kepala pada infeksi CMV kongenital


Tatalaksana anak dengan infeksi CMV kongenital meliputi tatalaksana suportif.
Pemberian ASI harus diusahakan pada anak. Transfusi sel darah merah atau trombosit dapat
diberikan jika terjadi anemia berat atau trombositopenia berat. Anak dapat dirawat dalam ruang
perawatan intensif jika diperlukan. Evaluasi secara berkala dilakukan pada anak untuk
mengetahui perkembangan dari perjalanan penyakit infeksi CMV. Evaluasi yang dilakukan
meliputi pemeriksaan neuroimaging serta fungsi pendengaran dan penglihatan (Stehel &
Sanchez, 2005).

2) Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi yang sangat penting baik di Indonesia maupun di
dunia karena infeksi pada ibu hamil dapat menimbulkan abortus (keguguran), lahir mati atau
kecacatan jasmani, kemunduran mental, dan kebutaan pada bayi yang dilahirkannya. Penelitian
darah pada wanita usia subur di Jakarta Selatan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa lebih dari
90% perempuan yang diperiksa menunjukkan serum dengan antibodi yang positif terhadap
Toxoplasma gondii (Salma, 2002).
Infeksi toksoplasma pada ibu menyebabkan 20% janin yang dikandung juga mengalami
infeksi pada trimester pertama dan meningkat menjadi 75% pada trimester kedua dan ketiga.
Vaksin toksoplasmosis belum tersedia hingga kini. Jika seorang wanita terpapar toksoplasma
pada saat hamil, kondisi janin dapat dilihat dengan memeriksa antibodi IgM pada sampel darah
janin. Kelainan perkembangan yang mungkin terjadi adalah hidrosephalus, retardasi mental,
korioretinitis, mikrosephalus, atau mikrothalmia (Dewi & Rahayu, 2013).
Gambar: Hidrosefalus toksoplasmosis congenital
(Sumber: http://www.austincc.edu)
a. Infeksi Toxoplasma
Penularan Toxoplasma di uterus hanya terjadi pada infeksi primer pada ibu hamil, yang
menyebabkan terjadinya parasitemia di dalam plasenta yang kemudian akan menyebabkan
terjadinya infeksi pada janin. Seorang perempuan yang terpapar Toxoplasma 4-6 bulan sebelum
hamil akan mendapatkan kekebalan yang cukup terhadap infeksi parasit ini di kemudian hari.
Pada manusia, risiko terjadinya infeksi Toxoplasma pada janin akan meningkat dengan
bertambahnya umur kehamilan; pada trimester pertama 10-25% dan pada trimester ketiga 60-
90%. Akan tetapi kecacatan kongenital yang terjadi lebih berat jika infeksi Toxoplasma terjadi
pada kehamilan yang lebih muda (Samuel, et al., 2015).
Sekitar 10% infeksi toksoplasmosis kongenital pada janin menyebabkan terjadinya
keguguran (abortus) atau kematian janin. Pada saat terjadinya persalinan, 10-23% tanda-tanda
infeksi kongenital dapat terlihat, misalnya berupa hidrosefalus, hepatosplenomegali, mikrosefali,
atau ukuran bayi yang lahir lebih kecil dari ukuran normal. Sebagian tanda-tanda ini bisa
ditemukan melalui pemeriksaan ultrasonografi prenatal. Sekitar 67-80% tanda-tanda klinik
infeksi toksoplasmosis kongenital tidak terlihat pada waktu bayi dilahirkan. Pada anak dengan
infeksi toksoplasmosis kongenital sepertiga diantaranya menunjukkan adanya toksoplasmosis
mata (Basri, 2017).

Gambar 26. Mikroofalmia mata kiri penderita toksoplamosis congenital


(Sumber: USDA http://www.infonet-biovision.org/default/ct/670/animalDiseases)
Anak-anak yang menderita toksoplasmosis kongenital atau anak dan orang dewasa yang
terinfeksi toksoplasmosis sesudah dilahirkan dapat mengalami kekambuhan gejala penyakitnya,
misalnya penyakit matanya. Toksoplasmosis mata (ocular toxoplasmosis) umumnya terjadi pada
satu mata (unilateral) dan kelainan yang paling sering dialami penderita adalah retinochoroiditis
yang meninggalkan retinochoroidal scarring. Kelainan mata kongenital ini umumnya tidak
diketahui pada waktu bayi baru dilahirkan. Sekitar 20-80% toksoplasmosis mata baru tampak
gejalanya sesudah anak tumbuh menjadi orang dewasa (Samuel, et al., 2015).

Gambar 23. Mata anak menderita toksoplasmosis kongenital


(Sumber: http://www.gulfordeye.com/toxoplasmosis)
3) Rubella
Rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus Rubivirus, famili Togaviridae,
dengan jenis antigen tunggal yang tidak dapat bereaksi silang dengan sejumlah grup Togavirus
lainnya. Virus rubella memiliki 3 protein struktural utama yaitu 2 glycoprotein envelope, E1 dan
E2 dan 1 protein nukleokapsid. Virus Rubella (VR) terdiri atas dua subunit struktur besar, satu
berkaitan dengan envelope virus dan yang lainnya berkaitan dengan nucleoprotein core
(Matuscak, 1990).

Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di nasofaring dan
di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah
terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat menular ke setiap orang yang
berada di ruangan yang sama dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–
21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan (onset) ruam
(rash). Pada episode ini, Virus rubella sangat menular (Matuscak, 1990).
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat. Dalam rembihan
(secret) tekak (faring) dan air kemih (urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah
banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS
dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran (Banatvala &
Brown, 2005).
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat virus
rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu,
menyebabkan daerah (area) nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel
endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan
(indikasikan) bahwa virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin
sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya mengakibatkan infeksi dan
kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan
gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai
tanda peradangan (Banatvala & Brown, 2005).
Infeksi virus rubella berbahaya apabila infeksi terjadi pada awal kehamilan. Virus dapat
berdampak di semua organ dan menyebabkan berbagai kelainan bawaan. Janin yang terinfeksi
rubella berisiko besar meninggal dalam kandungan, lahir prematur, abortus sertamerta (spontan)
dan mengalami malabentuk (malformasi) sistem organ. Berat ringannya infeksi virus rubella di
janin bergantung pada lama umur kehamilan saat infeksi terjadi. Apabila infeksi terjadi pada
trimester I kehamilan, maka 80–90% akan menimbulkan kerusakan janin. Risiko infeksi akan
menurun 10–20% apabila infeksi terjadi pada trimester II kehamilan (Gnansia, 2006).
Virus ini juga menyebabkan defek jantung berupa PDA dan stenosis arteri pulmonalis
perifer. Infeksi rubella kongenital dapat dicegah melalui program imunisasi MMR (measles,
mumps, rubella) pada masa kanak-kanak dan vaksin rubella pada wanita dewasa muda. Kelainan
perkembangan yang mungkin terjadi adalah katarak, kelainan pada sistem pendengaran
(ketulian) dan kelainan jantung bawaan (Dewi & Rahayu, 2013).
4) Herpes Simpleks Genitalis
Infeksi herpes genital adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan
virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) atau tipe 2 (HSV-2). Tipe 1 biasa ditemukan di daerah
mulut (herpes oral) dan tipe 2 disebut herpes genital. Sebagian besar terjadi setelah kontak
seksual secara orogenital (Marques, 2008).

Infeksi HSV sering terjadi pada wanita usia reproduktif dan dapat ditransmisikan kepada
fetus pada saat kehamilan, persalinan maupun sesudah persalinan. Herpes simplex virus
merupakan penyebab penting infeksi pada neonatus dan dapat menyebabkan kematian atau
kecacatan pada bayi yang baru dilahirkan (Sauerbrei & Wutzler, 2007).
Herpes Simplex Virus juga didapat melalui kontak seksual dengan sesorang yang terinfeksi
melalui mulut, vagina atau oral seks. Virus ini bisa menyebar meskipun penderita tidak
merasakan ada gejala (asymptomatic) dan bisa ditularkan melalui ibu yang sedang mengandung,
namun kejadian ini sangat langka. Pada infeksi awal, HSV memasuki tubuh melalui permukaan
kulit atau mukosa dan mengalami replikasi sistolitik di sel epitel yang dimasuki virus. Virion
dalam sel epitel terlihat secara histologist sebagai intranuclear inklusi, dan HSV menginduksi sel
untuk memadukan dan membentuk sel-sel raksasa berinti. Kerusakan sel di kulit menyebabkan
sel-sel epitel untuk melepaskan lepuhan berisi cairan yang mengandung debris seluler, sel-sel
iflamasi, dan virion progeny. Respon inflamasi terjadi saat HSV menembus melalui dermis dan
masuk ke ujung saraf sensori perifer.
Ibu yang sedang mengandung dan pertama kali terkena HSV memberikan resiko yang
lebih besar untuk menularkan virus ke bayinya dibanding ibu yang recurrent terhadap HSV..
Selain itu ibu hamil yang pertama terkena virus herpes tidak mempunyai kekebalan tubuh yang
optimal untuk perlindungan bayi. Padahal ketika melahirkan tubuh bayi akan bersinggungan
dengan alat kelamin ibu yang dapat membuatnya tertular. Penyakit herpes pada ibu hamil akan
berisiko meningkatkan keguguran. Kondisi dimana virus herpes akan masuk ke dalam saluran
plasenta dan menyebabkan keguguran meskipun demikian kasus terjadinya keguguran pada ibu
yang mengalami herpes jarang terjadi. Ibu hamil yang mengalami herpes harus dilakukan
pemeriksaan secara rutin untuk mengamati perkembangan herpes dan juga diberikan antivirus.
Terlebih ketika ibu hamil melakukan persalinan normal melalui jalan lahir. Bayi akan tertular
menyebabkan virus yang serius ketika bayi bertumbuh dewasa. Tanda-tanda infeksi pada bayi
muncul saat usia dua hingga tiga minggu, berupa vesikula kulit, demam, kejang, pneumonitis,
dll. Virus herpes genitalis pada ibu hamil, jika ditularkan kepada bayinya sebelum atau selama
proses persalinan berlangsung dapat menyebabkan kerusakan otak, cerebral palsy, gangguang
penglihatan atau pendengaran, serta kematian bayi (Dewi & Rahayu, 2013).

Gambar. Bayi yang terkena kelainan pada mata “Mikrothalmia”


Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya kelainan perkembangan, yaitu:
Infeksi Efek
Virus
Cytomegalovirus Korioretinitis; ketulian; mikrosefalus
Herpes simplex Mikrosefalus; mikrothalmia
Rubella Mikrosefalus; katarak; retinitis; defek jantung
Varicell zooster Mikrosefalus; korioretinitis; defek kulit
Bakteri
Sifilis Hidrosefalus; osteitis; rhinitis
Parasit
Taxoplasmosis Hidrosefalus; mikrosefalus; katarak; korioretinitis; ketulian

Mikrosefalus Katarak

III. Radiasi
Efek radiasi pada fetus mempunyai mekanisme yang secara umum sama dengan efek
pada orang dewasa. Kematian sel akan menimbulkan efek deterministik. Sedangkan kerusakan
pada DNA yang tidak dapat diperbaiki atau mengalami perbaikan yang salah akan menimbulkan
efek stokastik. Pada efek deterministik, seperti retardasi mental, terdapat dosis ambang, dan
semakin besar dosis semakin parah efek yang terjadi. Efek deterministik akibat pajanan radiasi
selama kehamilan antara lain kematian, abnormalitas sistem syaraf pusat, katarak, retardasi
pertumbuhan, malformasi, dan bahkan kelainan tingkah laku. Karena sistem syaraf fetus adalah
palingsensitif dan mempunyai periode perkembangan yang paling panjang, abnormalitas yang
terjadi akibat radiasi jarang terjadi pada manusia tanpa disertai dengan neuropathology.
Sedangkan pada efek stokastik seperti induksi leukemia, tidak terdapat dosis ambang, dan
semakin besar dosis semakin besar kemungkinan timbulnya efek ini. Keparahan efek stokastik
tidak bergantung pada dosis radiasi yang diterima (Alatas, 2005).
Pajanan radiasi pengion dapat menyebabkan efek sangat parah pada embrio dan janin.
Efek radiasi pada janin dalam kandungan sangat bergantung pada umur kehamilan pada saat
terpapar radiasi, dosis dan juga laju dosis yang diterima. Perkembangan janin dalam kandungan
dapat dibagi atas 3 tahap. Tahap pertama yaitu preimplantasi dan implantasi yang dimulai sejak
proses pembuahan sampai menempelnya zigot pada dinding rahim yang terjadi sampai umur
kehamilan 2 minggu. Tahap kedua adalah organogenesis pada masa kehamilan 2 – 7 minggu.
Tahap ketiga adalah tahap fetus pada usia kehamilan 8 – 40 minggu. Dosis ambang yang dapat
menimbulkan efek pada janin adalah 0,05 Gy (Alatas, 2005).

Gambar 1. Efek radiasi in utero sebagai fungsi usia kehamilan


Pajanan pada embrio selama tahap preimplantasi paling banyak menyebabkan kematian
prenatal. Ini kemungkinan berhubungan dengan kenyataan bahwa embrio tersusun dari sejumlah
kecil sel, dan kehilangan sel tersebut meski hanya sebuah sel berpotensi menyebabkan kematian.
Malformasi bawaan jarang terjadi akibat irradiasi pada tahap ini. Ketika jumlah sel dalam
konseptus sedikit dan belum terdiferensiasi, efek kerusakan pada sel tersebut terutama adalah
kegagalan transplantasi atau kematian konseptus yang tidak terdeteksi, sedangkan malformasi
nampaknya tidak atau jarang terjadi. Selama preimplantasi, kerusakan radiasi berupa kematian
zigot (sel telur yang telah dibuahi) atau zigot tetap dapat bertahan hidup tanpa efek yang dapat
dideteksi, yang dikenal dengan istilah all or none effect (Alatas, 2005).
Irradiasi selama organogenesis adalah periode yang menjadi perhatian. IUGR,
malformasi bawaan, mikrocepali, dan retardasi mental adalah efek yang dominan akibat pajanan
radiasi dengan dosis > 0,5 Gy. Dosis ambang retardasi pertumbuhan adalah di bawah 1 Gy
(masih jauh di atas kisaran diagnostik) dan bergantung pada tahap kehamilan dan laju dosis.
Kerusakan akibat radiasi pada sistem saraf pusat manusia pertama kali terjadi pada akhir
organogenesis, sekitar 8 minggu kehamilan, dan terus sampai periode fetus. Selama periode
organogenesis, sekitar minggu ke 3 setelah pembuahan, malformasi dapat terjadi khususnya pada
organ yang sedang mengalami perkembangan pada saat terpapar radiasi. Efek ini mempunyai
dosis ambang 100 - 200 mGy atau lebih. Dosis ini lebih besar dari dosis pada prosedur radiologi
diagnostik atau kedokteran nuklir diagnostik, tetapi terdapat kemungkinan dari terapi radiasi dan
pajanan radiasi dosis tinggi baik akibat kerja atau kecelakaan. Efek yang mungkin timbul pada
tahap organogenesis berupa malformasi tubuh dan kematian neonatal (Alatas, 2005).
Kejadian malformasi meningkat sepanjang organogenesis awal. Semua sistem organ
mulai terbentuk, tetapi diferensiasi sel untuk membentuk suatu organ tubuh tertentu dimulai pada
hari yang tertentu pula, sehingga menyebabkan abnormalitas yang spesifik pula. Kejadian
kematian prenatal berkurang pada saat organogenesis, tetapi terdapat peningkatan kematian
perinatal (kematian yang terjadi pada atau sekitar menjelang lahir), khususnya pada dosis lebih
tinggi. Kejadian malformasi yang relatif tinggi akan menurun drastis dengan bertambahnya
perkembangan organogenesis. Anomali pertumbuhan yang paling umum terinduksi oleh radiasi
adalah kerusakan pada sistem saraf pusat (mikrocepali dan retardasi mental), sistem skeletal,
organ perasa, dan pertumbuhan yang terhambat. Terjadinya malformasi spesifik dihubungkan
dengan terjadinya irradiasi padawaktu tertentu dalam periode organogenesis (Alatas, 2005).
Efek radiasi pada tahap fetus berupa retardasi pertumbuhan yang permanen, retardasi
mental dan risiko terjadinya leukemia pada masa anak-anak. Tahap fetus paling sensitif terhadap
efek karsinogenik jika dibandingkan dengan tahap prenatal lainnya. Data korban bom atom
menunjukkan bahwa mikrocepali diinduksi oleh radiasi dengan dosis di udara sebesar 100-190
mGy. Kemunduran mental diduga terjadi karena salah sambung sel syaraf di otak yang
menyebabkan penurunan nilai intelligence quotient (IQ) (Alatas, 2005).

1.) Retardasi Mental


Kejadian normal retardasi mental pada populasi bergantung pada definisi retardasi mental
yang telah digunakan. Umumnya retardasi mental didefinisikan dengan nilai IQ di bawah 70.
Kejadian latar individu dengan nilai IQ di bawah 70 adalah sekitar 3%. Dengan kata lain, tanpa
pajanan radiasi, 3 dari 100 kehamilan akan melahirkan anak dengan retardasi mental. Retardasi
mental parah (ketika seorang individu tidak mampu mengurus dirinya sendiri) terjadi secara
spontan adalah sekitar 1 dalam 200 (0,5%) kelahiran (Alatas, 2005).
Selama periode minggu 8–25 pasca konsepsi, sistem saraf pusat sangat sensitif terhadap
radiasi. Dosis fetus lebih dari 100 mGy menimbulkan penurunan IQ. Selama organogenesis,
dosis fetus dalam rentang 1 Gy menyebabkan probabilitas tinggi terjadinya retardasi mental yang
parah. Efek radiasi terjadi sebagai akibat dari kematian sel syaraf dan perubahan diferensiasi
seluler dan migrasi neuron pada sistem syaraf pusat yang sedang berkembang (Alatas, 2005).

2) Resiko Leukimia dan Kanker pada Anak-anak


Hasil studi epidemiologi menunjukkan adanya peningkatkan nyata risiko kanker pada
masa anak-anak yang ibunya pernah menerima tindakan radiodiagnostik dengan dosis 10 mGy
atau lebih. Risiko kanker pada individu terpapar in utero karena prosedur rontgen (rerata dosis
fetus 0,6 cGy) diperkirakan menjadi 4,6 x 10-4 per 1 cGy. Risiko kematian paling tinggi akibat
kanker solid dimaifestasikan oleh individu yang terpapar mulai dalam periode prenatal atau pada
usia di bawah 5 tahun. Faktor yang memodifikasi laju mortalitas kanker solid adalah usia saat
pertama terpapar radiasi. Semakin muda usia saat terpapar, semakin besar risiko mortalitas
kanker (Alatas, 2005).

IV. Difisiensi
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan
selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat
badan normal. Dengan kata lain bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu
sebelum dan selama hamil (Zhulaida, 2011). Defisiasi (Gizi salah) adalah kesalahan pangan
terutama terletak dalam ketidak seimbangan komposisi hidangan penyediaan makanan. (Akhmad
Djaeni, 2004).
Malnutrisi merupakan kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolute untuk
periode tertentu. (Bachyar Bakri, 2002) ,Malnutrisi adalah keadaan dimana tubuh tidak mendapat
asupan gizi yang cukup, malnutrisi dapat juga disebut keadaaan yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan di antara pengambilan makanan dengan kebutuhan gizi untuk
mempertahankan kesehatan. Ini bisa terjadi karena asupan makan terlalu sedikit ataupun
pengambilan makanan yang tidak seimbang. Selain itu, kekurangan gizi dalam tubuh juga
berakibat terjadinya malabsorpsi makanan atau kegagalan metabolik (Oxford medical dictionary,
2007).
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein
energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh Pengertian lainnya
malnutrisi adalah suatu keadaan di mana tubuh mengalami gangguan dalam penggunaan zat gizi
untuk pertumbuhan, perkembangan dan aktivitas. Malnutrisi dapat disebabkan oleh kurangnya
asupan makanan maupun adanya gangguan terhadap absorbsi, pencernaan dan penggunaan zat
gizi dalam tubuh. Selain itu, malnutrisi bisa disebabkan apabila asupan kalori yang berlebih dari
kebutuhan harian, dan mengakibatkan penyimpangan energi dalam bentuk bertambahnya
jaringan adipose.
Menurut Departemen Kesehatan RI, 2017 menyatakan bahwa malnutrisi adalah keadaan
kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam keadaan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi dalam angka kecukupan gizi.
Gizi ibu hamil yang buruk mempengaruhi terjadinya abnormali kehamilan maupun pada
waktu sedang hamil, lebih sering menyebabkan bayi BBLR (berat badan lahir rendah) atau lahir
mati dan jarang menyebabkan cacat bawaan. Disamping itu dapat pula menyebabkan hambatan
pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir, mudah terkena infeksi, abortus, dan
sebagainya.
Pada periode embrio pasca implantasi pada saat kehamilan, terjadi nya penerimaan nutrisi
dari ibu ke janin, yang tadi nya saat pra implant tasi janin menerima nutrisi dari ibu melalui
kelenjar oviduk ( uterus milk), perubahan terjadi ketika pasca implantasi, janin memperoleh
nutrisi melalui plasenta yang terhubung dengan ibu, nutrisi yang di terima janin, melalui darah.
Plasenta berhubungan dengan embrio melalui tali
pusat (korda umbilikalis). Di dalam tali pusat terdapat
pembuluh darah (vena dan arteri umbilikalis yang
dibentuk dari mesoderm alantois) yang berhubungan
dengan pembuluh-pembuluh darah intra-embrio. Pada
dinding villi korion terjadi pertukaran materi antara darah
maternal dan darah fetal. Zat-zat nutrisi dan O2 dari darah
maternal memasuki pembuluh-pembuluh darah plasenta
lalu diangkut oleh vena umbilikalis memasuki tubuh fetus, masuk ke dalam jantung dan
diedarkan ke seluruh tubuh. Darah yang sedikit kadar O2 dan mengandung zat-zat ekskresi dari
tubuh fetus diangkut oleh arteri umbilikalis menuju ke pembuluh darah plasenta dan dilepaskan
ke dalam darah maternal. Pada semua tipe plasenta tidak pernah terjadi percampuran antara darah
maternal dan darah fetal.

a. Penyakit yang berhubungan denngan malnutrisi


1. Kurang Energi dan Protein (KEP)
Kurang Energi dan Protein (KEP) terjadi karena ketidak seimbangan antara asupan
karbohidrat dan protein dengan kebutuhan energi (kekurangan makan sumber energi secara
umum dan sumber protein). Pada anak-anak KEP dapat menghambat pertumbuhan,
menyebabkan rentan terhadap penyakit(terutama penyakit infeksi), dan menyebabkan
rendahnya tingkat kecerdasan. Pada orang dewasa, KEP dapat menurunkan produktivitas
kerja serta derajat kesehatan seseorang sehingga menyebabkan rentan terhadap penyakit.
2. Kekurangan Vitamin A (KVA)
Kekurangan Vitamin A (KVA) disebabkan karena kekurangan asupan vitamin A dalam
tubuh. Fungsi vitamin A mencakup tiga fungsi, yaitu fungsi dalam proses melihat, proses
metabolisme, dan proses reproduksi. Gejala dari Kva yang terlihat antara lain; kekeringan
epitel biji mata dan kornea karena sekresi kelenjar air mata (lacrimalis) menurun, selaput
bola mata keriput dan kusam bila biji mata tidak bergerak, fungsi mata berkurang menjadi
rabun senja, tidak sanggup melihat pada cahaya remang-remang hingga pada stadium lanjut
mata mengoreng karena sel-selnya menjadi lunak (keratomalasia) dan dapat menimbulkan
kebutaan.
KVA dapat menyebabkan kebutaan, mengurangi daya tahan tubuh sehingga mudah
terserang infeksi yang sering menyebabkan kematian pada anak-anak. Faktor yang
menyebabkan masalah KVA adalah faktor kemiskinan dan kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang gizi.
3. Gizi Buruk
Gizi buruk atau yang dikenal sebagai kwashiorkor dalam dunia medis merupakan salah
satu bentuk malnutrisi. Malnutrisi dapat dipahami sebagai kesalahan dalam pemberian
nutrisi. Kesalahan bisa berupa kekurangan maupun kelebihan nutrisi. Pada dasarnya gizi
buruk bisa diartikan sebagai kondisi dimana seseorang kekurangan asupan yang mengandung
energi dan protein (Kementerian Kesehatan, 2017). Seperti yang diketahui protein adalah
komponen yang dibutuhkan tubuh dalam proses pembentukan sel baru. Selain itu, asupan
protein juga turut membantu proses perbaikan sel yang rusak (Kementerian Kesehatan,
2017).
Komplikasi akibat gizi buruk sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak. Bila komplikasi terjadi, anak dapat mengalami tahap perkembangan yang lebih lambat
dibandingkan anak normal yang seusia. Selain itu anak juga dapat mengalami kesulitan
belajar, mudah terserang penyakit berat, gangguan berbagai macam organ, dan dapat terjadi
kematian (Krisnansari, 2010).
Untuk mengatasi gizi buruk dibutuhkan asupan nutrisi berupa kalori dan protein yang
mencukupi. Namun pemberian nutrisi tersebut harus dilakukan secara bertahap. Pada tahap
awal harus diberikan asupan kalori untuk memenuhi kebutuhan energinya tanpa melibatkan
asupan protein terlebih dahulu (Munthoifah, 2008). Jika kebutuhan kalori sudah tercukupi,
barulah asupan protein bisa mulai diberikan. Pemberian protein dapat dilakukan dari kadar
rendah yang secara bertahap terus ditambah (Munthoifah, 2008). Selain itu pemberian asupan
makanan yang memenuhi asupan nutrisi seperti menu makanan 4 sehat 5 sempurna juga
dapat digunakan sebagai solusi gizi buruk.
4. Stunting (Balita Pendek)
Stunting merupakan kondisis gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima tahun)
akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usiannya. Kondisi stunting
baru Nampak setelah usia bayi 2 tahun (TNP2K, 2017).

Gambar: Anak normal dan anak stunting (TNP2K, 2017)


5. Kematian janin (Abortus)
Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan
dapat menimbulkan kegururan , abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan,
anemia pada bayi, asfiksia intra partum (mati dalam kandungan), lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR).
Beberapa kasus defisiasi adalah kekurangan zat besi yang terbilang paling sering
dialami saat hamil. Gangguan ini membuat ibu mengalami anemia atau kekurangan sel darah
merah. Selain dari suplemen, juga dari bahan makanan yang disantapnya. ibu hamil tak
dianjurkan mengonsumsi suplemen multivitamin karena kelebihan vitamin A dan D dosis
tinggi dalam tubuh justru dapat menimbulkan penumpukan yang berefek negative bahkan
kematian janin.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Faktor-faktor eksterna penyebab terjadinya kelainan perkembangan antara lain:
1. Obat dan bahan kimia
Penggunaan obat dan bahan kimia juga dapat memiliki efek teratogenik, yang
nantinya akan berakibat pada munculnya penyakit, seperti fetal alcohol syndrome,
fetal hydantoin syndrome, cerebral palsy, cleft lip dan cleft palate.
2. Infeksi Ibu
Beberapa infeksi yang dapat menimbulkan kelainan perkembangan antara lain ialah
infeksi virus cytomegalovirus, infeksi toksoplasmosis, rubella, dan herpes genitalis.
3. Radiasi
Efek radiasi akan menyebabkan efek sangat parah pada embrio dan janin. Seperti
kerusakan pada materi DNA, mengalami perbaikan yang salah, retardasi mental,
malformasi tubuh dan kematian neonatal.
4. Defisiensi
Akibat dari defisiensi adalah terjadinya malnutrisi yang nnantinya akan
menimbulkan penyakit: kurang energi dan protein (KEP), kurang vitamin A (KVA),
gizi buruk, stunting, dan abortus.
Daftar Rujukan

Alatas, Z. 2005. Efek Teratogenik Radiasi Pengion. Iptek Ilmiah Populer. Volume 6 Nomor 3,
April 2005, 133-142.
Anzivino E, Fioriti D, Mischitelli M, Bellizzi A, Barucca V, Chiarini F,et al. 2009. Herpes
simplex virus infection in pregnancy and in neonate: status of art of epidemiology,
diagnosis, therapy and prevention. J Virology; 6: 40.
Banatvala, J. E. & Brown, D. W. G. 2005. Rubella. Prosiding Scientific Book (Compilation)
Additional Torch Infections Articles. PDS-PATKLIN Temu Ilmiah Surabaya (The
Indonesian Association of Clinical Pathologists): 7-14.
Basri, S. 2017. Toksoplasmosis Okular Kongenital. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol. 17.
Nomer 2. Aceh: universitas syiah kuala.
Chaundhuri, J.D. 2000. Alcohol and the developing fetus- a review. Med. Sci. Monit. 6:1031
1041.
Dennery, P.A. 2007. Effects of oxidative stress on embryonic development. Birth Defects Res. C
Embryo Today 81:155-162
Dewi, S. R. & Rahayu, I. D. 2013. Modul Pembelajaran Kelainan Kongenital. Malang: Fakultas
Kedokteran Brawijaya.
Djaeni, Achmad. 2006. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat
Donates, I. A. 2001. Toksikologi Dasar. Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi.
Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
Ganansia, E. R. 2004. Congenital Rubella Syndrome. (Online), (http://www.
orpha.net/data/patho/GB/uk-rubella.pdf), diakses 11 Februari 2019.
Guerri C, Montoliu C, Renau-Piqueras J. Involvement of free radical mechanism in the toxic
effects of alcohol: implications for fetal alcohol syndrome. Adv Exp Med
Biol. 1994;366:291–305
Hodgson, E. & Levi, P. E. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. New York: Mc Graw-Hill
Companies, Inc. 207-210.
Kementerian Kesehatan. 2017. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) dan Penjelasannya Tahun
2016. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.
Kementrian Keehatan Republik Indonesia. 2017. Permasalahan Kesehatan di Indonesia.
Kim, C. S. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection. Korean Journal of
Pediatric. Vol (1): 14-20.
Krisnansari. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Jurnal Mandala of Health, 4(1): 60-68.
Kumolosasi, E. Dkk. 2004. “Efek Teratogenik Ekstrak Etanol Kulit Batang Pule
(AlstoniaScholaris R.Br) pada Tikus Wistar”. Jurnal Matematika danSains. Vol 9 No 2 :
223-227.
Marques, A. R. & Straus, S. E. Herpes Simplex. In: Wolff K, In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S,
Gilchrest B, Paller A, Leffell, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
7th. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1873–85.
Martin, E.A. 2007. Oxford Concise Colour Medical Dictionary, edisi ke-4. UK: Oxford
University Press
Matuscak, R. Rubella Virus Infection and Serology. In: Clinical Immunology Principles and
Laboratory Diagnosis. Philadelphia, JB Lipincott Co: 215-23.
Munthoifah. 2008. Hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dengan status gizi
anak balita di Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.pada hari selasa 23 April
2012].
Samuel, L. H. et al., 2015. Patterns of Hydrocephalus Caused by Congenital Toxoplasma gondii.
Infection Associate With Parasite Genetics. (Online).
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4657535/), diakses 11 Februari 2019.
Sauerbrei, A. & Wutzler, P. Herpes simplex and varicella-zoster virus infection during
pregnancy : current concept of prevention, diagnosis and therapy. Part 1: Herpes simplex
virus infection. J Med Microbiol Immunol 2007; 196: 89-94.
Stanley F, Blair E, Alberman. 2000. Cerebral Palsies : Epidemiology and Causal Pathway.
Clinics in Developmental Medicine No.151. Mac Keith Press. Distributed by Cambrige
University Press.
Stehel, E. K. & Sanchez, P. J. 2005. Cytomegalovirus Infection in the Fetus and Neonate.
Neoreview 6: 38-45.
Straface G, Selmin A, Zanardo V, Santis Marco de, Ercoli A, Scambia G. 2012. Herpes simplex
virus infection in pregnancy. Infection diseases in obstetrics and gynecology; 1-6.
Sudarwati, dkk. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan Hewan. Bandung: Penerbit ITB.
Supariasa, I Dea Nyoman, Bachyar Bakri dan Ibnu Fajar. 2002, penilaian status gizi, Penerbit
Buku Kedokteran EGG, Jakarta
Swaiman, K. F., and Russman, B. S., Cerebral Palsy in Pediatric Neurology, Principle and
Practice. Mosby 1994 : 471 – 86.
TNP2K. 2017. 100 Kabupaten/ Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta.
Zulhaida. 2011. Gizi Masa Kehamilan. (Online), (Zulhaida@.telkom.net), diakses 11 Februari
2019.

Anda mungkin juga menyukai