Anda di halaman 1dari 17

Pengertian Good Governance

Istilah good and clean governance merupakan wacana baru dalam kosakata ilmu politik
dan muncul pada awal 1990-an. Secara umum, istilah good and clean governance memiliki
pengetian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat
mengarahkan, mengendalikan, atau mempengaruhi urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian good governancetidak sebatas pengelolaan
lembaga pemerintahan semata, tetapi menyangkut semua lembaga baik pemerintah maupun
nonpemerintah (lembaga swadya masyarakat) dengan istilah good corporate. Dalam praktiknya,
pemerintahan yang bersih adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan dan
bertanggung jawab.

B. Prinsip-prinsip Pokok Good and Clean Governance

Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar


pada prinsip-prinsip good governance. Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan
sembilan aspek fundamental (asas) dalam good governance yang harus diperhatikan, yiatu:

a) Partisipasi (Participation)

b) Penegakan hukum (rule of law)

c) Transparansi (transparency)

d) Responsif (responsive)

e) Oreintasi kesepakatan (consensus orientation)

f) Kesetaraan (equity)

g) Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)

h) Akuntabilitas (accountability)

i) Visi strategis (strategic vision)

a) Partisipasi

Asas partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam pengambilan


keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah yang mewakili
kepentingan mereka. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh aspek
pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial lainnya selain kegiatan politik,
maka regulasi birokrasi harus diminimalisasi.

b) Penegakan Hukum

Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus


didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi
wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk
menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Supremasi hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang
partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada
hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta
independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas
dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya).

b. Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa bernegara diatur oleh hukum yang
jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara suku dengan lainnya.

c. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi


masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.

d. Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku
untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang
memiliki integritas moral dan bertanggung jawan terhadap kebenaran hukum.

e. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa
atau kekuatan lainnya.

c) Transparansi

Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good and clean
governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, Indonesia telah terjerembab de dalam
kubangan korupsi yang sangat parah. Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang
harus dilakukan secara transparan, yaitu:

a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.

b. Kekayaan pejabat politik.

c. Pemberian penghargaan.

d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.

e. Kesehatan.

f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.

g. Keamanan dan ketertiban.

h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

Dalam hal penetapan posisi jabatan publik harus dilakukan melalui mekanismetest
and proper test (uji kelayakan) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang
dilakukan oleh lembaga legislatif maupun komisi independen, seperti komisi yudisial,
kepolisian dan pajak.

d) Responsif

Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip good and clean


governance bahwa pemerintah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat.
Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni etika
individual dan sosial. Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah
agar memiliki kriteria kapabilitas dan layolitas profesional. Adapun etik sosial menuntut
mereka agar memiliki sensitivitas terhadap berbagai kebutuhan publik.

e) Konsensus

Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui proses
musyawarah melalui konsensus. Cara pengambilan keputusan konsensus, selain dapat
memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat sebagian besar
komponen yang bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa terhadap semua yang
terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara


partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili.
Semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan
umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas pelaksanaannya
dapat semakin dipertanggungjawabkan.

f) Kesetaraan

Asas kesetaraan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas
kesetaraan ini mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku
adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin,
dan kelas sosial.

g) Efektivitas dan efisiensi

Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau
sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial.
adapun, asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk
kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk dalam kategori
pemerintahan yang efisien.

h) Akuntabilitas
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyakarat
yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat publik
dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun
netralitas sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas dalam
upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

i) Visi Strategis

Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang


akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi good and clean
governance.

C. Good and Clean Governance dan Kontrol Sosial

Partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan sari implementasi good and clean
governance. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip
pokokgood and clean governance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas
program, yakni:

1. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.

2. Kemandirian lembaga peradilan.

3. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah.

4. Penguatan partisipasi Masyarakat Madani.

5. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan


kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyakarat dalam
politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Pencapaian tingkat
kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat yang pada akhirnya akan mendorong
kemandirian masyarakat.

D. Good and Clean Governance dan Gerakan Anti Korupsi

Tindakan penyalahgunaan Anggaran Pembangunan dan Biaya Daerah (APBD) yang


dilakukan oleh pemda dan anggota legislatif (DPRD) oleh sejumlah lembaga, seakan belum cukup
untuk mengikis tindakan korupsi di kalangan pejabat negara. Menurut Badan Pengawas Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), korupsi merupakan tindakan yang merugikan kepentingan umum dan
masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Menurut data Indeks Persepsi Korupsi 2011 yang dilansir oleh situs resmi Transparansi
Internasional, dalam hal persepsi publik terhadap korupsi sektor publik Indonesia masuk urutan
ke-100 dunia dengan skor rendah (3). Sementara di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik-
Indonesia bertandang di urutan ke-20.

E. Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik

Pelayanan publik kepada masyarakat bisa diberikan secara cuma-cuma ataupun disertai
dengan pembayaran. Pelayanan publik yang bersifat cuma-cuma sebenarnya merupakan
kompensasi dari pajak yang telah dibayar oleh masyarakat itu sendiri. Adapun, pemberian
pelayanan publik yang disertai dengan penarikan bayaran, penentuan tarifnya didasarkan pada
harga pasar ataupun didasarkan menurut harga yang paling terjangkau bukan berdasarkan
ketentuan sepihak aparat atau instansi pemerintah.

Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai
pengembangan dan penerapangood and clean governance di Indonesia, yaitu:

1. Pelayanan publik selama ini menjadi area di mana negara yang diwakili pemerintah
berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan
mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi.

2. Pelayanan publik adalah wilayah di mana berbagai aspekgood and clean governance bisa
diartikulasikan secara lebih mudah.

3. Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsurgovernance, yaitu pemerintah,


maysarakat, dan mekanisme pasar.

Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitif yang menggambarkan tingkat
pencapaian sasaran atau tujuan yang telah didtetapkan dengan memperhitungkan elemen-
elemen indikator sebagai berikut:

1. Indikator masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu
menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumber daya manusia,
informasi, kebijakan, dan sebagainya.

2. Indikator proses, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan
kesesuaian anatar perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari
suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.

3. Indikator produk, yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang
berupa fisik ataupun nonfisik.

4. Indikator hasil adalah segala sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan
kegiatan.

5. Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
6. Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif pada setiap
tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.

1) Reformasi Birokrasi

a) Pengertian Reformasi Birokrasi

Reformasi merupakan proses upaya sistematis, terpadu, dan komprehensif,dengan


tujuan untuk merealisasikan tata pemerintahan yang baik. Goodgovernance (tata
pemerintahan yang baik) adalah sistem yang memungkinkan terjadinya mekanisme
penyelenggaraan pemerintahan negara yang efektif dan efisien dengan menjaga sinergi yang
konstruktif di antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

Birokrasi menurut pemahamannya sebagai berikut.

a. Birokrasi merupakan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan pegawai


negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b. Birokrasi adalah struktur organisasi yang digambarkan dengan hierarki yang pejabatnya
diangkat dan ditunjuk, garis tanggung jawab dan kewenangannya diatur oleh peraturan
yang diketahui (termasuk sebelumnya), dan justifikasi setiap keputusan membutuhkan
referensi untuk mengetahui kebijakan yang pengesahannya ditentukan oleh pemberi
mandat di luar struktur organisasi itu sendiri.

c. Birokrasi adalah organisasi yang memiliki jenjang diduduki oleh pejabat yang
ditunjuk/diangkat disertai aturan kewenangan dan tanggung jawabnya, dan setiap
kebijakan yang dibuat harus diketahui oleh pemberi mandat.

d. Birokrasi adalah suatu organisasi formal yang diselenggarakan berdasarkan aturan,


bagian, unsur, yang terdiri atas pakar yang terlatih. Wujud birokrasi berupa organisasi
formal yang besar, merupakan ciri nyata masyarakat modern dan bertujuan menjalankan
tugas pemerintahan serta mencapai keterampilan dalam bidang kehidupan. Reformasi
birokrasi adalah upaya pemerintah meningkatkan kinerja melalui berbagai cara dengan
tujuan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas.

Dengan demikian, reformasi birokrasi berarti:

a. perubahan cara berpikir (pola pikir, pola sikap, dan pola tindak);

b. perubahan penguasa menjadi pelayan;

c. mendahulukan peranan dari wewenang;

d. tidak berpikir hasil produksi tetapi hasil akhir;

e. perubahan manajemen kerja;


f. mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, transparan, dan profesional, bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), melalui penataan kelembagaan, penataan
ketatalaksanaan, penataan sumber daya manusia, akuntabilitas kinerja yang
berkualitas efisien, efektif, dan kondusif, serta pelayanan yang prima (konsisten dan
transparan).

b) Visi dan Misi Reformasi Birokrasi

 Visi

Terwujudnya pemerintahan yang amanah atau terwujudnya tata


pemerintahan yang baik.

 Misi

Mengembalikan cita dan citra birokrasi pemerintahan sebagai abdi


negara dan abdi masyarakat serta dapat menjadi suri teladan dan panutan
masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari hari.

c) Tujuan Reformasi Birokrasi

Secara umum tujuan reformasi birokrasi adalah mewujudkan


pemerintahanyang baik, didukung oleh penyelenggara negara yang profesional,
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat sehingga tercapai pelayanan prima.

d) Sasaran Reformasi Birokrasi

a. Terwujudnya birokrasi profesional, netral dan sejahtera, mampu menempatkan


diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan
masyarakat yang lebih baik.

b. Terwujudnya kelembagaan pemerintahan yang proporsional, fleksibel, efektif,


efisien di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah.

c. Terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih cepat tidak berbelit,


mudah, dan sesuai kebutuhan masyarakat.

Agar reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dan menunjukkan


cepatnya keberhasilan, faktor sukses penting yang perlu diperhatikan dalam
reformasi birokrasi adalah:

a. Faktor Komitmen pimpinan; karena masih kentalnya budaya paternalistik dalam


penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
b. Faktor kemauan diri sendiri; diperlukan kemauan dan keikhlasan penyelenggara
pemerintahan (birokrasi) untuk mereformasi diri sendiri.

c. Kesepahaman; ada persamaan persepsi terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi


terutama dari birokrat sendiri, sehingga tidak terjadi perbedaan pendapat yang
menghambat reformasi.

d. Konsistensi; reformasi birokrasi harus dilaksanakan berkelanjutan dan konsisten,


sehingga perlu ketaatan perencanaan dan pelaksanaan.

e) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi

Faktor-faktor yang memperngaruhi kinerja birokrasi antara lain : manajemen


organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi; budaya kerja
dan organisasi pada birokrasi; kualitas sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi;
dan kepemimpinan birokrasi yang efektif dan koordinasi kerja pada birokrasi. Faktor-
faktor ini akan menentukan lancar tidaknya suatu birokrasi dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Selain itu, kinerja birokrasi di masa depan akan dipengaruhi
oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Struktur birokrasi sebagai hubungan internal, yang berkaitan dengan fungsi yang
menjalankan aktivitas birokasi.

2. Kebijakan pengelolaan, berupa visi, misi, tujuan, sasaran, dan tujuan dalam
perencanaan strategis pada birokrasi.

3. Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas kerja dan kapasitas diri
untuk bekerja dan berkarya secara optimal.

4. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan


pengelolaan databasedalam kerangka mempertinggi kinerja birokrasi.

5. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggunaan


teknologi bagi penyelenggaraan birokrasi pada setiap aktivitas birokrasi.

Upaya Percepatan Reformasi Birokrasi

Sejalan dengan kebijakan presiden oleh menteri kesehatan telah melaksanakan upaya upaya
percepatan reformasi birokrasi dilingkungan kementerian kesehatan dengan berbagai cara dan
bentuk antara lain:

1. Disiplin kehadiran menggunakan absen pringer print, ditetapkan masuk 8.30 dan pulang kantor jam
17.00, maksudnya untuk mencegah pegawai melakukan korupsi waktu.
2. Setiap pegawai negeri Kemenkes harus mengisi Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), dan dievaluasi setiap
tahunnya, maksudnya agar setiap pegawai mempunyai tugas pokok dan fungsi yang jelas, dapat
diukur dan dipertanggungjawabkan kinerjanya.

3. Melakukan pelayanan kepada masyarakat yang lebih efisien dan efektif ramah dan santun,
diwujudkan dalam pelayanan prima.

4. Penandatanganan fakta integritas bagi setiap pelantikan pejabat di kementerian kesehatan,


maksudnya mewujudkan Wilayah Bebas Korupsi (WBK), Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani
(WBBM).

5. Terlaksananya Strategi Komunikasi pendidikan dan Budaya Anti Korupsi melalui sosialisasi dan
kampanye anti korupsi dilingkungan internal/seluruh satker, kementrian kesehatan

6. Sosialisasi tentang larangan melakukan Gratifikasi, sesuai dengan Pasal 12 b ayat (1) UU no.31 tahun
1999, menyatakan “Setiap gratifikasi kepada pegawai negri sipil atau penyelenggaraan Negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yag berlawanan kewajiban
atau tugasnya”

7. Pemberlakuan System Layanan Pengadaan Barang Dan Jasa Secara Elektronik (LPSE)

8. Layanan Publik Berbasis Teknologi Informasi seperti seleksi pendaftaran pegawai melalui online dan
rekrutan calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT)

9. Pelaksanaan LHKPN dilingkungan kementerian kesehatan didukung dengan surat keputusan menteri
kesehatan RI No.03.01/Menkes/066/1/2010. Tanggal 13 januari 2010.

10. Membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi berdasarka surta keputusan inspektorat jenderal
kementerian kesehatan No.01.TPS.17.04.215.10.3445, tanggal 30 juli 2010

11. Tampa Korupsi, Korupsi merampas hak masyarakat untuk sehat . Hri Gini Masih Terima Suap, dll

Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP).


A. penerapan sistem pengendalian internal pemerintah (SPIP)
Pelaksanan SPIP adalah amanat PP 60 tahun 2008 yang mengamatkan bahwa pelaksanan
kebijakan/program dilakukan secara integral antara tindakan dan kegiatan yang di lakukan secara
terus menerus 0leh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan kenyakinan memadai atas
tercapainya tujuan organisasi melaluikegiatan yang efektifdan efesien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan asset Negara,dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

Dengan penerapan pelaksanaan SPI pada setiap unit kerja,di harap kan dapat mendorong
seluruh unit kerja/satuan kerja untuk melaksanakan seluruh kebijakan/program yang elah di tetapkan
yang bermuara terhadap tercapai nya sasaran dan tujuan organisasi.di samping itu satuan kerja di
harapkan dapat melakukan identifikasi kemungkinan terjadinya deviasi/penyimpangan dalam
pelaksanaan kegiatan dengan membandingkan anatara perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
tersebut,sebagai umpan balik untuk melaksanakan tindakan koreksi atau perbaikan bagi pimpinan
dalam mencapai tujuan organisasi.
Dengan di berlakukan nya PP 60 tahun 2008 ini,pimpinan instasi atau unit kerja aan
bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan kebijakan/program yang terurai beberapa kegiatan
demi tercapainya tujuan organisasi yang di mulai dengan pelaksanaan kegiatan,dan
plaporan/pertanggung jawaban keuangan yang akuntable .

B. PROGRAM KEMENTRIAN KESEHATAN DALAM UPAYA PENCEGAHAN

KORUPSI

Strategi nasional (Stranas) pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan Peraturan

Presiden No 55 Tahun 2012 tentang strategi nasional (strana) pencegahan dan

pemberantasan korupsi (PPK), diimplementasikan ke dalam 6 (enam) strategi nasional yang

telah dirumuskan yakni:

1. Melaksanakan upaya-upaya pencegahan

2. Melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang penegakan hukum

3. Melaksanakan upaya-upaya harmonisasi penyusunan peraturan perundang-undangan

di bidang pemberantasan korupsi dan sektor terkait lainnya.

4. Melaksanakan kerja sama Internasional dan penyelamatan aset hasil Tipikor

5. Meningkatkan upaya pendidikan dan budaya anti korupsi

6. Meningkatkan koordinasi dalam rangka mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya

pemberantasan korupsi.

Peraturan presiden republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 tentang strategi nasional

pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan jangka

menengah tahun 2012-2014.

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:

1. Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun

2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 yang selanjutnya disebut Stranas

PPK adalah dokumen yang memuat visi, misi, sasaran, strategi, dan fokus kegiatan

prioritas

2. pencegahan dan pemberantasan korupsi jangka panjang tahun 2012-2025 dan jangka

menengah tahun 2012-2014, serta peranti anti korupsi

3. Aksi PPK adalah kegiatan atau program yang dijabarkan dari Stranas PPK untuk

dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.


4. Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat, atau

Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi.

5. Hasil pelaksanaan Stranas PPK meliputi hasil pemantauan, evaluasi, dan laporan

capaian Aksi PPK, serta hasil evaluasi Stranas PPK.

Pasal 2

Stranas PPK sebagaimana terlampir merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak

terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

Pasal 3

Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah menjabarkan dan melaksanakan Stranas PPK

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, melalui Aksi PPK yang ditetapkan setiap 1 (satu)

tahun.

Pasal 4

Dalam menetapkan Aksi PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kementerian/Lembaga

melakukan koordinasi dengan Kementerian/Badan yang membidangi urusan perencanaan

pembangunan nasional.

Pasal 5

1. Dalam menetapkan Aksi PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah

Daerah melakukan koordinasi dengan Kementerian yang membidangi urusan

pemerintahan dalam negeri.

GERAKAN ANTI KORUPSI


Gerakan di Indonesia sudah berlangsung lama. Berbagai upaya pemberantasan korupsipun sudah
dilakukan sejak tahun-tahun awal setelah kemerdekaan. Berbagai perundangan tentang
pemberantasan juga sudah dibuat. Demikian juga berbagai institusi pemberantasan korupsi silih
berganti didirikan, mulai dari Tim pemberantasan korupsi tahun 1967 sampai denganpendirian
KPK pada tahun 2003. Namun demikian harus diakui bahwa upaya pemberantasan korupsi yang
dilakukan selama ini belum menunjukan hasil maksimal. Hal ini antara lain terlihat dari masih
rendahnya angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia.
Berdasarkan UU No.30 tahun 2002, pemberantasan tindak pidana korupsi dirumuskan sebagai
serangkaian tindakanuntuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang
pengadilan dengan peran serta masyarakat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Rumusan undang-undang tersebut menyiratkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak akan
pernah berhasil tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Dengan demikian dalam strategi
pemberantasan korupsi terdapa 3 unsur utama yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta
masyarakat.
Salah satu upaya memberantas korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu gerakan anti
korupsi di masyarakat. Gerakan ini adalah upaya bersama yang bertujuan untuk menumbuhkan
budaya anti korupsi di masyarakat. Dengan tumbuhnya budaya anti korupsi di masyarakat
diharapkan dapat mencegah munculnya perilaku koruptif. Gerakan anti korupsi adalah suatu
gerakan jangka panjang yang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait,
yaiitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam kontaks inilah peran mahasiswa sebagai salah
satu bagian penting dalam masyarakat sangat diharapkan.

Pada dasarnya korupsi itu terjadi jika ada pertemuan antara ke 3 faktor utama, yaitu: niat,
kesempatan dan kewenangan. Meskipun muncul niat dan kesempatan pun terbuka tetapi tidak
diikuti oleh kewenangan, maka korupsi tidak akan terjadi. Dengan demikian, korupsi tidaka akan
terjadi jika ketiga faktor tersebut, yaitu niat, kesempatan, dan kewenangan tidak ada dan tidak
bertemu. Sehingga upaya memerangi korupsi pada dasarnya adalah upaya untuk menghilangkan
atau setidaknya meminimalkan ketiga faktor tersebut.

Gerakan anti korupsi pada dasarnya adalah upaya bersama seluruh komponen bangsa untuk
mencegah peluang terjadinya perilaku koruptif. Dengan kata lain gerakan anti korupsi adalah
suatu gerakan yang memperbaiki perilaku individu dan sistemuntuk mencegah terjadinya
perilaku koruptif. Diyakini bahwa upaya perbaikan sistem dan perbaikan perilaku manusia dapat
menghilangkan, atau setidaknya memperkecil peluang bagi berkembangnya korupsi di negeri ini.

Upaya untuk memperbaiki perilaku manusia antara lain dapat dimulai denagan menanamkan
nilai-nilai yang mendukung yang mendukung terciptanya perilaku anti koruptif. Nilai-nilai yang
dimaksud antara lain adalah kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggungjawab,
kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Penanaman nilai-nilai kepada masyarakat
dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kebutuhan. Penanaman nilai-nilai ini
juga penting dilakukan kepada mahasiswa. Pendidikan anti korupsi bagi mahasiswa dapat
diberikan dalam berbagai bentuk, antara lain kegiatan sosialisasi, seminar, kampanye atau
bentuk-bentuk kegiatan ekstra kurikuler lainya. Pendidikan anti korupsi juga dapat diberikan
dalam bentuk perkuliahan, baik dalam mata kulia wajib maupun pilihan.

Upaya perbaikan sistem antara lain dapat dilakukan dengan memperbaiki peraturan
perundang-undangan yang berlaku, memperbaiki tata kelola pemerintahan, reformasi birokrasi,
menciptakan lingkungan kerja yang anti korupsi, menerapkan prinsip-
prinsipclean and good govermance, pemanfaatan teknologi untuk transparansi, dan lain-lain.
Tentu saja upaya perbaikan sistem ini tidak hanya merupakan tanggungjawab pemerintah saja,
tetapi juga harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan termasuk mahasiswa.
Pengetahuan tentang upaya perbaikan sistem ini juga penting diberikan kepada mahasiswa agar
dapat lebih memahami upaya memerangi korupsi.

B. PERAN MAHASISWA
Dalam sejarah perjalanan bangsa indonesia tercatat bahwa mahasiswa mempunyai peranan yang
sangat penting. Peranan tersebut tercatat dalam peristiwa-peristiwa besar yang dimulai dari
Kebangkitan Nasional ahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan NKRI
tahun 1945,lahirnya Orde baru tahun 1996, dan Reformasi ahun1998. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil di depan sebagai motor
penggerak dengan berbaga gagasan, semangat dan idealisme yang mereka miliki.
Peran penting mahasiswa tersebut tidak dapat dipaksakan dari karakteristik yang mereka
miliki yaitu intelektualitas, jiwa muda, dan idealisme. Dengan kemampuan intelektual yang tinggi,
jiwa muda yang penuh semangat, dan idealisme yang murni telah terbukti bahwa mahasiswa
selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Dalam beberapa peristiwa
besar perjalanan bangsa ini telah terbukti bahwa mahasiswa bereran sangat penting sebagai agen
perubahan (agent of change)

Dalam konteks gerakan anti-korupsi mahasiswa juga diharapkan dapat tampil di depan
menjadi motor penggerak. Mahasiswa didukung oleh kompetensi dasar yang mereka miliki, yaitu
intelegensia, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian unuk menyatakan kebenaran. Dengan
kompetensi yang mereka miliki tersebut diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu
menyuarakan kepentingan rakyat, mampu megkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, damamu
menjadi watch dog lembaga-lembaga negara dan penegak hukum.

C. KETERLIBATAN MAHASISWA
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
empat wilayah, yaitu: di lingkungan keluarga, di lingkungan kampus, di masyarakat sekitar, dan
di tingkat lokal/nasional. Lingkungan keluarga dipercaya dapat menjadi tolok ukur yang pertama
dan utama bagi mahasiswa untuk menguji apakah proses internalisasi anti korupsi di dalam diri
mereka sudah terjadi. keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi di lingkungan kampus
tidak bisa dilepaskan dari status mahasiswa sebagai peserta didik yang mempunyai kewajiban
ikut menjalankan visi dan misi kampusnya. Sedangkan keterlibatan mahasiswa dalam gerakan
anti korupsi di masyarakat dan di tingkat lokal/nasional terkait dengan status mahasiswa sebagai
seorang warga negara yang memunya hak dan kewajiban ang sama dengan masyarakat lainnya.

1. DI LINGKUNGAN KELUARGA

Internalisasi karakter anti korupsi di dalam diri mahasiswa dapat dimulai dari lingkungan keluarga.
Kegiatan tersebut dapat berupa melakukan pengamatan terhadap perilaku keseharian anggota
keluarga misalnya :

 Apakah dalam mengendarai kendaraabermotor bersama ayahnya atau anggota keluarga


yang lain,peraturan lain dipatuhi? Misalnya: tidak berbelok/berputar, ditempat dimana
ada tanda larangan berbelok/berputar, tidak menghentikan kendaraan melewati batas
marka jalan tandaberhenti di saat lampu lalu lintas berwarna merah, tidak
memarkir/menghentikan kendaraan ditempat dimana terdapat tanda dilarang
parkir/berhenti dan sebagainya.

 Apakah ketika berboncengan motor bersama kakanya atau anggota keluarga lainnya, tidak
menjalankan motornya diatas pedestrian dan mengambil hak pejalan kaki?tidak
mengendarai motor berlawanan arah?tidak mengendarai motor melebihi
kapasitas(misalnya 1 motor berpenumpang 3 atau 4 orang).

 Apakah pnghasilan orang tua tidak berasa dari tindak korpsi?apakah ra tua tidak
menyalagunakan fasilitas kantoryang menjadi haknya?

 Apakah ada diantara anggota keluarga yang menggunakan produk-produk bajakan


(lagu,film,softwart,tas,sepatu dll)
Pelajaran yang dapa diambil dari lingkungan keluarga ini adalah tingkat ketaatn seseorang
terhadap aturan/tata tertib yang berlaku. Substansi dari dilanggarnya aturan/tata tertib
adalah dirugikannya orang lain karena haknya terampas. Terampasnya hak orang
lainmerupakan cikal bakal dari tindakan korupsi.

Tahapan proses internalisasi karakter anti-korupsi di dalam diri mahasiswa yang diawali
dari lingkungan keluarga sangat sulit untuk dilakuka. Jusru anggota keluarga adalah orang-
orang terdekat,yang setiap saat bertemu dan berkumpul, maka pengamatan terhadap adanya
peilaku korupsi yang dilakukan di dalam keluarga seringkali menjadi biasa. Bagaimana
mungkin seorang anak berani menegur ayahnya ketika sang ayah kerap kali melanggar
peraturan lalu lintas?apakah anak berani untuk bertanya tentamg asal usul penghasilan orang
tuanya? Apakah anak memiliki keberanian untuk menegur anggota keluarga yang lain karena
menggunakan barag-barang bajakan? Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua epada anak-
anaknya bermula dari ligkngan keluarga dan pada kenyataanya nilai-nilai tersebut akan
terbawa selama hidupnya. Jadi, ketika seorang mahasiswa berhasil melewati masa yang sult
ini, maka dapat diharapkan ketika terjun ke masyarakat mahasiswa tersebut akan selamat
melewati berbagai rintangan mengarak kepada tindak korupsi. Paling tidak, ada satu orang
generasi mudayang toiak tergiur untuk melakukan tindak korupsi. Jia pendidikan Anti-korupsi
diikuti oleh banyak perguruan tinggi, makaakan diperoleh cukup banyak generasi muda yang
dapat menjadi benteng anti-korupsi di indonesia.

2. Di Lingkungan Kampus

Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti-korupsi di lingkungan kampus dapat dibagi ke dalam dua
wilayah yaitu: untuk individu mahasiswanya sendiri dan untuk komunitas mahasiswa. Untuk konteks
individu, seorang mahasiswa diharapkan dapat mencegah agar dirinya sendiri tidak berperilaku
koruptif dan tidak korupsi. Sedangkan untuk konteks komunitas, seorang mahasiswa diharapkan
dapat mencegah agar rekan-rekannya sesama mahasiswa dan organisasi mahasiswa di kampus tidak
berperilaku koruptif dan tidak korupsi.

Agar seorang mahasiswa dapat berperan dengan baik dalam gerakan anti-korupsi maka pertama-
pertama mahasiswa tersebut harus berperilaku anti-koruptif dan tidak korupsi dalam berbagai
tingkatan. Dengan demikian mahasiswa tersebut harus mempunyai nilai-nilai anti-korupsi dan
memahami korupsi dan memahami korupsi dan prinsip-prinsip anti-korupsi. Kedua hal ini dapat
diperoleh dari mengikuti kegiatan sosialisasi, kampanye, seminar dan kuliah pendidikan anti-korupsi.
Nilai-nilai dan pengetahuan yang diperoleh tersebut harus diimplimentasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan kata lain seorang mahasiswa harus mampu mendemonstrasikan bahwa dirinya
bersih dan jauh dari perbuatan korupsi.
1.
1. Pengertian dan Sistem Pembuktian Berdasarkan KUHAP
Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo berarti “memberi dasar-dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan”.[7]
Sistem pembuktian dalam sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada
beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori
pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat. Secara garis besar teori pembuktian
atau bewijstheorieada empat, yaitu:
1. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief weetelijk bewijstheorie) yang
mana hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang.
2. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim (conviction intime) yang berarti keyakinan semata.
3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee).
4. Teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie), yang
secara umum dianut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dasar pembuktian menurut
keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif. Secara tegas
dasar pembuktian ini dinyatakan dalam Pasal 183 KUHAP.[8]
Oleh karena itu, sistem pembuktian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dalam ketentuan Pasal 183 mengandung makna sebagai berikut: (a) sekurang-kurangnya
ada dua alat bukti yang sah; (b) dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa: (1)
tindak pidana telah terjadi; dan (2) terdakwa telah bersalah.

Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, yang memberikan limitatif dari bukti yang minimum, yang
harus disampaikan pada acara pembuktian. Alat bukti yang sah tersebut terdapat dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP, yaitu: (1) keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat; (4) petunjuk; (5)
keterangan terdakwa.

Berkaitan dengan scientific evidence, yang perlu mendapat atensi adalah mengenai alat bukti yang
diatur dalam KUHAP dan revisi pembuktian yang diatur UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Justru dalam penegakan hukum yang berkaitan dengan
pembuktian adalah menemukan pola dan mekanisme yang sedemikian rupa sehingga persoalan
pembuktian dapat menjadi sarana pemicu solutif yang beralasan, misalnya dengan cara: (1)
memperluas alat bukti “surat” mengganti alat bukti “petunjuk” yang dapat diadoptir melalui Pasal 26 A
dari UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
akan dihapus dalam Rancangan KUHAP; (2) memperluas kewenangan penyidikan termasuk dalam
masalah wiretaping (penyadapan) sebagaimana diatur pada Penjelasan Pasal 26 UU No. 31 Tahun
1999; ataupun (3) dengan mekanisme yang lain, yaitu dengan menerapkan asas Pembalikan Beban
Pembuktian atau the reversal burden of proof (omkering van het bewijslast).[9]
Pasal 26 A yang mengatur alat bukti “petunjuk” pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP, khususnya untuk
tindak pidana korupsi diperluas, yang juga dapat diperoleh dari: (a) alat bukti lain yang berupa
informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terrekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau
perforasi yang memiliki makna.[10]
2. Pengertian Sistem Pembuktian Terbalik
Pengertian sistem pembuktian terbalik menurut para ahli dapat diuraikan, sebagai berikut:

1. Menurut Andi Hamzah:[11] “bahwa beban pembuktian terbalik menyangkut perampasan harta benda
terdakwa yang diperoleh setelah melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan. Jadi, harta benda
yang diperoleh sesudah melakukan perbuatan korupsi, dianggap diperoleh juga dari perbuatan
korupsi sampai dibuktikan sebaliknya”.[12]
2. Darwan Prinst[13] mengemukakan pendapatnya mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut: “Pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dilahirkan
suatu sistem pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk tindak pidana korupsi.”
3. Menurut Indriyanto Seno Adji:[14] Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem
pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang
universal.
Pengertian sistem pembuktian terbalik menurut para ahli adalah sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 37 jo. Pasal 12 B ayat (1) jo. Pasal 38 A dan 38 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Gambaran sistem pembuktian terbalik dalam hukum acara
pidana korupsi kita, dapat dibaca norma Pasal 37 jo. Pasal 12 B ayat (1) jo. Pasal 38 A dan 38 B,
rinciannya adalah: (a) Pasal 37 merupakan dasar hukum sistem pembuktian terbalik; (b) Pasal 12 B
ayat (1) huruf a dan Pasal 38 B merupakan ketentuan mengenai tindak pidana korupsi (obyeknya)
yang beban pembuktiannya dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik.[15]
3. Sistem Pembuktian Terbalik dalam UU No. 31 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah dan
Ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001
Pada hakikatnya, sistem pembuktian diatur dalam ketentuan Pasal 12 B ayat (1), 37 dan 37 A, 38 B,
38 C UU No. 20 Tahun 2001. Akan tetapi, apabila diperbandingkan dengan UU No. 31 Tahun 1999,
ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 tidak menyebabkan terjadinya penerapan “pembalikan beban
pembuktian” secara signifikan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 20 Tahun 2001, tetapi hanya perubahan terhadap
beban pembuktian dan aspek gratifikasi yang berhubungan dengan suap (Pasal 12 B ayat (1) huruf
a), harta benda yang belum didakwakan (Pasal 38 B), serta harta benda milik terpidana yang diduga
atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk
negara yang perkara pokoknya telah memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap (Pasal 38 C)
kemudian adanya beban pembuktian masing-masing pada terdakwa dan Penuntut Umum secara
mutlak. Tegasnya, berdasarkan ketentuan Pasal 37, 37 A menganut beban pembuktian terbalik
secara terbatas dan berimbang. Untuk jelasnya, ketentuan Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

 Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
 Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi,
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan
tidak terbukti.[16]
Sedangkan ketentuan Pasal 37 A dengan tegas, menyebutkan bahwa:

 Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan.
 Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi.
 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 Undang-Undang ini, sehingga Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.

4. Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik


Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan
eksepsional (khusus). Dari pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti
“Terbatas” atau “Khusus” dari penerapan Sistem Pembuktian Terbalik (di Indonesia nantinya) adalah:

1. Bahwa Sistem Pembuktian Terbalik hanya terbatas dilakukan terhadap delik “gratification”
(pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap), dan tindak pidana atau perkara pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31 Tahun 1999; Pasal 5 sampai
dengan Pasal 12, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.
2. Bahwa Sistem Pembuktian Terbalik hanya terbatas dilakukan terhadap “perampasan” dari delik-delik
yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU
No. 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan pula bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran
pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut
Umum. Hanya saja, apabila Terdakwa berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti
melakukan pelanggaran salah satu dari delik-delik tersebut dan dikenakan perampasan terhadap
harta bendanya. Terdakwa wajib membuktikan (berdasarkan Sistem Pembuktian Terbalik) bahwa
harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
3. Bahwa Sistem Pembuktian Terbalik hanya terbatas penerapan asas Lex Temporis-nya, artinya sistem
ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif (berlaku surut) karena potensiel terjadinya
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran terhadap asas legalitas, dan menimbulkan apa
yang dinamakan asas Lex Talionis (balas dendam).
4. Bahwa Sistem Pembuktian Terbalik hanya terbatas dan tidak diperkenankan menyimpang dari asas
“Daad-daderstrafrecht”. KUHPidana yang direncanakan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan
monodualistik, dalam arti memperhatikan keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu, artinya Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek
dari perbuatan (daad) dan segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini,
Sistem Pembuktian Terbalik sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak
prinsipiel dari pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan Sistem Pembuktian Terbalik
ini sebagai realitas yang tidak dapat dihindari, khususya jika terjadi minimalisasi hak-hak dari “dader”
yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination” dan “presumption of innocence”, namun demikian
adanya suatu minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak
tersebut, dan apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa Sistem Pembuktian Terbalik adalah
potensiel terjadinya pelanggaran HAM.[17]
5. Sistem Pembuktian Terbalik diterapkan dalam tindak pidana narkotika. Dalam tindak pidana
narkotika dikenal adanya pembuktian dari pihak terdakwa terhadap asal-usul harta benda yang
dimiliki. Ditegaskan bahwa dalam penyidikan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka
atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri
atau suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahui atau yang diduga mempunyai
hubungan dengan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan tersangka atau
terdakwa.[18]
6. Proses Pembuktian Terbalik sebagai amanat Pasal 35 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang adalah bersifat imperatif karena pasal ketentuan ini jelas tegas menyatakan “…,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
Seseorang seharusnya diberikan hak untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil dari tindak pidana bukan dari perbuatan melawan hukum. Sebagaimana telah
diuraikan diatas, apabila seseorang terbukti tidak mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan
terbukti melanggar Pasal 3 maupun Pasal 6 UU No. 25 Tahun 2003. Sebagaimana amanat undang-
undang, proses pembuktian terbalik ini imperatif sifatnya yang seharusnya dilakukan pada saat
sebelum proses pemeriksaan saksi-saksi, hal inilah yang tidak dipahami oleh semua pihak yang
terlibat dalam proses persidangan terhadap orang tersebut.[19]

Anda mungkin juga menyukai