Anda di halaman 1dari 19

PENGARUH ROM EXERCISE DINI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR

EKSTREMITAS TERHADAP LAMA HARI RAWAT DIRUANG BEDAH RSUD


ABDOEL MOELOEK

SKRIPSI

LINDA SAFITRI

1614301043

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG


JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
PRODI DIPLOMA IV – NERS KEPERAWATAN
TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Fraktur dapat disebabkan oleh
pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi
otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh,
mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi,
ruptur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh yang
dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat
fragmen tulang.(Brunner dan Suddarth, 2001). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas
tulang rawan baik bersifat total maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitarnya.
Tulang akan menentukan apakah yang terjadi lengkap atau tidak lengkap.
Badan kesehatan WHO tahun 2010 menyebutkan bahwa terdapat lebih dari
7juta orang yang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan, dan sekitar 2juta orang
mengalami cacat fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang mengalami cacat fisik.
Slaah satu insiden kecelakaan yang memiliki pravalensi yang cukup tinggi adalah
insiden fraktur ektremitas bawah, yang sebanyak 46,2 % di dapat dari kecelakaan.
(Lukman dalam Lesmana, 2012). Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian
terbesar ketiga dibawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis. Menururt hasil
data riset kesehatan dasar tahun 2011, di Indonesia terjadi fraktur yang disebabkan
oleh cidera seperti terjatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam atau tumpul. Riset
kesehatan dasar 2011 menemukan ada sebannyak 45.987 peristiwa terjatuh yang
mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8 %). Kasus kecelakaan lalu lintas
sebanyak 20.829 kasus, dan yang mengalami fraktr sebanyak 1.770 orang (8,5 %),
dari 14.127 trauma bedah tajam atau tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236
orang (1,7 %). (Nurcahiriah dalam Lesmana, 2012).
Penanganan fraktur tidak stabil biasanya menggunakan metode operatif
internal fiksasi dan eksternal fiksasi (Apley, 1995 dalam Pamungkas 2008). Salah satu
prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada kasus fraktur adalah reduksi
terbuka dengan fiksasi interna (ORIF, Open Reduction and Internal Fixation)
(Brunner & Sudart, 2002). Tahapan penatalaksanaan metode operatif pertama adalah
reduksi/ manipulasi/ reposisi, selanjutnya retensi / immobilisasi yaitu
mempertahankan posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Tahap
terakhir adalah rehabilitasi menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi
(Smeltzer & Bere, 2002). Untuk menghindari efek negatif dari Immobilisasi, perlu
adanya pengkajian status neurovaskler seperti peredaran darah, nyeri, perabaan ,
gerakan harus dipntau. Ketidaknyamanan dikontrol dengan perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, latihan isometrik dan setting otot juga dilakukan untuk meningkatkan
peredaran darah. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai
batasan terapetika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.
Perawatan segera setelah operasi, harus dilakukan mobilisasi agar fungsi
kemandirian dapat dipertahankan. Manfaat dari mobilisasi yaitu untuk peningkatkan
sirkulasi darah yang dapat menyebabkan pengurangan rasa nyeri, mencegah
tromboflebitis, memberi nutrisi untuk penyembuhan luka, meningkatkan kelancaran
fungsi ginjal (Long, 1998 dalam Ningsih 2011). Mobilisasi merupakan kegiatan yang
penting dalam pemulihan post operasi untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Selam
24 sampai 48 jm pertama, perhatian ditujukan pada pemberian peredaan nyeri dan
pencegahan komplikasi pasca operasi fraktur (Smeltzer, 2001). Untuk
mempertahankan dan meningkatkan gerakan sendi, latihan gerak harus dimulai segera
mungkin setelah pembedahan, lebih baik dalam 24 jam pertama dan dilakukan
dibawah pengawasan untuk memastikan bahwa mobilisasi yang dilakukan tepat serta
dengan cara yang aman (Smeltzer & Bare, 2002).
Menurut Saryono (2008) keterbatasan mobilisasi akan menyebabkan otot
kehilangan daya tahan tubuh, penurunan masa otot dan penurunan masa otot dan
penurunan stabilitas. Pengaruh penurunan kondisi otot akibat penurunan aktivitas fisik
akan terlihat jelas dalam beberapa hari. Masa tubuh yang membentuk sebagian otot
mulai menurun akibat peningkatan pemecahan protein. Pada ndividu normal dengan
tirah baring akan mengalami penurunan kekuatan otot rata-rata sekitar 3% sehari.
Atropi difuse sering terjadi akibat imobilisasi pada pemkaian gips, trauma, dan
kerusakan saraf lokal. Istilah atrofi difuse digunakan untuk menggambarkan
pengurangan ukuran normal serat otot secara patologis setelah inaktifitas yang lama
akibat tirah baring, trauma, pemakaian gips, atau kerusakan saraf lokal (Perry &
Potter, 2006). Bila individu tidak mampu melakukan latihan dan menggerakkan sendi
melalui rentang gerak penuh, kontraktur dapat terjadi. Kontraktur adalah
pemendekkan otot dan tendon menimbulkan deformitas. Kontraktur dapat membatasi
gerakan sendi. Bila sendi yang mengalami kontraktur digerakkan, pasien akan
mengalami nyeri (smeltzer & Bare, 2002).
Aktifitas sehari-hari membutuhkan kerja otot dan membantu mempertahankan
tonus/kekuatan otot. Pada kondisi sakit dimana seseorang tidak mampu melakukan
aktivitas karena keterbatasan gerak, maka kekuatan otot dapat dipertahankan melalui
penggunaan otot yang terus-menerus, salah satunya melalui mobilisasi persendian
dengan latihan rentang gerak sendi atau Range of Motion (ROM) (Potter & Perry,
2005). Tujuan dari range of motion untuk mengurangi resiko kontraktur dan
mencegah pembentukan trombus (Perry & Potter, 2006). Menurut penelitian
Rahmasari (2008) membuktikkan bahwa ROM diperlukan untuk pemuihan activity
daily living (ADL) pasien post operasi fraktur femur.
Lama hari rawat pasien pasca operasi adalah hari rawat pasien sejak menjalani
operasi sampai pada saat pasien dipulangkan. Apabila terjadi komplikasi khususnya
komplikasi setelah operasi perlu mendapat perhatian yang besar karena beberapa
komplikasi dapat terjadi setelah operasi dan apabila tidak ditangani dengan baik,
maka lama hari rawat pasien akan menjadi panjang yang akhirnya dapat
menyebabkan dampak pada peningkatan biaya perawatan.
Rumah Sakit Abdoel Moelok adalah rumah sakit rujukan tertinggi di provinsi
lampung, merupakan salah satu rumah sakit yang mempunya dr ahli bedah tulang dan
mempunyai fasilitas yang lengkap untuk bedah tulang, sehingga angka kejadian bedah
fraktur dirumah sakit Abdoel Moeloek Bandar Lampung cukup tinggi. Pada tahun
2010 angka kejadian fraktur sebanyak 280, pada tahun 2011 meningkat sebanyak 361
orang. Hampir semua kasus fraktur ini ditangani dengan tindakan pembedahan dan
eksterna fiksasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ROM Exercise dini pada
pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah terhadap lama hari rawat di Ruang
Bedah RSUD Abdoel Moeloek. Jika nilai p value > 0,05 (α) maka Ho diterima dan
jika nilai p value <0,05 (α) maka Ho ditolak yang artinya ada pengaruh ROM
Exercise dini pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah terhadap lama hari
rawat di Ruang Bedah RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneilti merumuskan masalah penelitian


ini adalah apakah ada pengaruhnya pengaruh ROM Exercise dini pada pasien post
operasi fraktur ekstremitas terhadap lama hari rawat diruang bedah RSUD
ABDOEL MOELOEK

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ROM
Exercise dini pada pasien post operasi fraktur ekstremitas terhadap lama hari
rawat diruang bedah RSUD ABDOEL MOELOEK

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
a. Diketahui pengaruh ROM Exercise dini pada pasien post
operasi fraktur ekstremitas terhadap lama hari rawat

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi
bagi mahasiswa keperawatan atau perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien pasca operasi dengan general anestesi dengan
melakukan batuk efektif dan aromaterapi menthol.

1.4.2 Manfaat Aplikatif


Penelitian ini dapat menjadi masukan yang bisa digunakan untuk
merancang kebijakan pelayanan keperawatan khususnya pada pasien pasca
operasi sehingga dapat mengurangi resiko kejadian komplikasi akibat post
operasi fraktur dengan menjadikan ROM Exercise dini sebagai salah satu
metode untuk mencegah lama hari rawat pada pasien pasca operasi di
ruang rawat inap bedah.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian iini mengenai pengaruh pengaruh ROM


Exercise dini pada pasien post operasi fraktur ekstremitas terhadap lama
hari rawat diruang bedah RSUD Abdoel Moeloek Provinsi Lampung 2019.
Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah pasien post operasi fraktur
ektremitas bawah di Ruang Rawat Inap Bedah Bedah RSUD Abdoel
Moeloek Provinsi Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret
tahun 2019. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN KONSEP FRAKTUR

2.3.1 Pengertian Fraktur

Menurut Black J.M & Hawks J.H (2014). Faktur adalah gangguan dari
kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika terjadi fraktur, maka
jaringan lunak disekitarnya juga sering terganggu. Radiografi dapat
menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan
otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang
pecah yang dapat menjadi komplikasi pemulihan klien.

Menurut Pierce A. Grace dan Neil R. Borley (2002) fraktur adalah


terputusnya koninuitas tulang.

2.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Menurut Black J.M & Hawks J.H. (2014) fraktur terjadi karena kelebihan
beban mekanisme pada suatu tulang saat tekanan yang diberikan pada
terlalu banyak dibandingkan yang mampu ditanggungnya, selain itu
kerapuhan tulang dan penurunan kemampuan akan kekuatan tulang dalam
menahan juga dapat menyebabkan terjadinya fraktur. Dua tipe tulang
merespon beban dengan cara berbeda. Tulang kortikal, lapisan luar yang
ringkas dan mampu menoleransi beban disepanjang sumbunya
(longitudinal) lebih kuat dibandingkan jika beban menembus tulang.
Tulang kanselus atau spons (cancellous spongy) merupakan materi tulang
bagian dalam yang lebih padat. Tulang ini mengandung bentuk-bentuk
serta rongga seperti sarang laba-laba yang terisi oleh sumsum merah yang
membuatnya mampu menyerap gaya lebih baik dibandingkan tulang
kortikal. Predisposisi fraktur antara lain berasal dari kondisi biologis
seperti osteoponia, neoplasma, kehilangan esterogen pascamonopause dan
malnutrisi protein. Resiko ini bisa terjadi jika pasiennya memiliki aktivitas
atau hobi dengan kegiatan seperti, bermain papan seluncur, panjat tebing
dan lain sebagainya.

Menurut Pierce A. Grace dan Neil R. Borley (2002) fraktur terjadi ketika
tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang
pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis

2.3.3 Patofisiologi

Menurut Black J.M & Hawks J.H (2014) keparahan dari fraktur
bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Fraktur menjadi
semakin parah atau tidaknya bergantung pada gaya, jika ambang fraktur
suatu tulang hanya sedikit terlewati maka tulang mungkin hanya akan
retak saja dan bukan patah. Dan sebaliknya jika gaya nya ekstrim maka
tulang dapat berkeping-keping. Saat terjadi fraktur otot akan melekat pada
ujung tulang dapat terganggu, otot dapat mengalami spasme dan menarik
fragmen dan fraktur dapat keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat
menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang
besar. Selain itu, periosteum dan pembuluh darah dikorteks serta sumsum
dari tulang yang patah terganggu. Sering terjadi cedera jaringan lunak.
Pendarahan terjadi karena cidera jaringan lunak. Pada saluran sumsum,
hematoma terjadi diatara fragmen- fragmen tulang dan dibawah
periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respons peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi,
edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta
infiltrasi sel darah putih. Respons patofisiologis ini juga merupakan tahap
awal dari penyembuhan tulang. Keparahan dari fraktur biasanya
bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur tersebut. Jika ambang
fraktur tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang hanya retak dan bukan
patah. Jika gayanya ekstrem , tulang akan hancur berkeping-keping. Jika
tulang patah sehingga ada fragmen fraktur yang menembus keluar kulit,
fraktur ini disebut fraktur terbuka, fraktur ini umumnya serius karena
dapat terjadi infeksi diluka dan tulang.

Menurut Black J.M. & Hawks J.H. (2014) metode klasifikasi paling
sederhana adalah berdasarkan pada apakah fraktur tertutup atau terbuka.
Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera,
sedangkan fraktur terbuka adalh robeknya kulit diatas cedera tulang.
Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka yang dibagi
berdasarkan keparahannya:

a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1cm, kontaminasi minimal


b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1cm; kontaminasi sedang
c. Derajat 3 : Luka melebihi 6-8 cm ; ada kerusakan luas pada jaringan
lunak, saraf, dan tendon ; dan kontaminasi banyak

Menurut Wijaya & Putri dalam Fitria A.I (2017) Fraktur gangguan pada
tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya dalam
tubuh, yaitu stress gangguan fisik, gangguan metabolik, patologik.
Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
yang tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi
perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edema lokal maka penumpukan didalam tubuh. Fraktur
terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu, dapat mengenai
tulang dan dapat terjadi neurovaskuler, neurovaskuler yang menimbulkan
nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Fraktur adalah patah
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik, patologik
yang terjadi itu terbuka maupun tertutup akan dilakukan imobilitas yang
bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap
pada tempatnya sampai sembuh.

2.3.4 Penyembuhan Tulang


Menurut Black J.M & Hawks J.H (2014) hanya ada beberapa jarinngan
dalam tubuh manusia yang dapat sembuh melalui regenerasi, dan bukan
pembentukan jaringan parut. Tulang adalah salah satunya. Perbaikan
fraktur terjadi melalui proses yang sama dengan pembentukan tulang saat
fase pertumbuhan normal, dengan mineralisasi dari matriks tulang baru
yang kemudian diikuti oleh remodelisasi menuju tulang matur.
Penyembuhan fraktur terjadi dalam lima tahap. Jika ada gangguan diantara
lima tahap itu, sering terjadi permasalahan dengan penyatuan tulang.

2.3.5 Tahapan Penyembuhan Tulang

Menurut Brunner & Sudadart (2001) ada beberapa tahapan dalam


penyembuhan tulang, yaitu:

1. Inflamasi : dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respons


yang sama dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi
pendarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembetukan
hematoma pada tempat tulang patah. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera
kemudian akan dinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang
akan membersihkan daerah tersebut. Tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari dan hilang dengan berkurang pembenngkakan dan nyeri.
2. Proliferasi sel : dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami
organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendela darah ,
membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibriblast dan
osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel
endotel dan sel peristeum) akan menghasilkan kolagen dan proteglikan
sebagai matriks kolagen pada patah tulang. Terbentuk jaringan ikat
fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum, tampak
pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh
gerakan minimal pada tempat patah tulang. Tetapi, gerakan yang
berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif
tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.
3. Pembentukan kalus : pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran
tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume
yang dibutuhkan untuk menghubungkan efek secara langsung
berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu
waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang. Tergabung dalam
tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis fragmen tulang tak bisa
lagi digerakkan.
4. Osifikasi : pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2
sampai 3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondial.
Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah
bersatu keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada
patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan
waktu 3 sampai 4 bulan.
5. Remodelling menjadi tulang dewasa : tahap ahir perbaikan patah
tulang meiputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru
ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu
berbulan-bulan sampai bertahun tahun tergantung beratnya modifikasi
tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan pada kasus yang
melibatkan tulang kompak dan kanselus stres fungsional pada tulang-
tulang konselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat
dari pada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kontak
langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan permukaan patah
tulang tidak lagi negatif

Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan seri


sinar-x. Imobilisasi harus memadai sampai tampak tanda-tanda adanya
kalus pada gambaran sinar-x. Kemajuan program tetapi( dalam hal ini
pemasangan gips pada pasien yang mengalami patah tulang femur
telah ditinggalkan dan diimobilisasi dengan traksi skelet) ditentukan
dengan adanya bukti penyembuhan pada tulang.

2.3.7 Manisfetasi Klinis


Menurut Black J.M & Hawks J.H (2014) mendiagnosis fraktur harus
berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan
temuan radiologis. Pengkajian fisik dapat menemukan beberapa hal
berikut:
a. Deformitas : pembengkakan dari pendarahan lokal dapat
menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat
menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau
angulasi
b. Pembengkakan. Edema muncul sebagai akibat dari akumulasi
cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke
jaringan sekitar.
c. Memar (ekimosis). Memar terjadi karena pendarahan subkutan
pada lokasi fraktur.
d. Nyeri. Nyeri terus-menerus meningkat jika fraktur tidak
diimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur
yang bertindihan, atau cedera pada struktur sekitarnya.
e. Ketegangan. Ketegangan disebabkan oleh cedera yang terjadi.
f. Kehilangan fungsi. Terjadi karena nyeri yang disebabkan
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
g. Perubahan neurovaskuler. Terjadi akibat kerusakan saraf perifer
atau struktur vaskuler yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa
kebas, kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari
fraktur.
h. Spasme otot. Spasme otot involunter berfungsi untuk mengurangi
gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
i. Gerakan abnormal dan krepitasi. Terjadi karena gerakan dari
bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur yang
menciptakan sensasi dan suaraa deritan
j. Syok. Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Pendarahan
besar atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.

2.3.8 Pemeriksaan penunjang

Menurut Black J.M & Hawks J.H (2014) pemeriksaan penunjang fraktur,
yaitu:

a. Radigrafi pada dua bidang (cari lusensi dan dikontinuitass pada korteks
tulang)
b. Tomografi, CT scan, MRI (jarang)
c. Ultrasosnografi dan scan tulang dengan radiosotop (scan tulang terutama
berguna ketika radiografi atau CT Scan memberikan hasil negatif pada
kecurigaan fraktur secara klinis)

2.2 TINJAUAN KONSEP Lama Hari Rawat


LOS (Length of Stay = Lama Hari Rawat ) adalah menunjukan berapa
hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu periode perawatan.
Satuan untuk lama rawat adalah hari, sedangkan cara menghitung lama
hari rawat adalah dengan menghitung selisih antara tanggal pulang
(keluar dari rumah sakit, baik hidup ataupun meninggal) dengan tanggal
masuk rumah sakit. Umumnya data tersebut tercantum dalam formulir
ringkasan masuk dan keluar di Rekam Medik.
Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan
pelayanan di Rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila sesorang
dirawat dirumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan
akan derajat kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis
maupun oleh penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada
seorang pun yang ingin berlama-lama dirumah sakit. Lama hari rawat
secara signifikan berkurang sejak adanya pengetahuan tentang hal-hal
yang berkaitan dengan diagnosa yang tepat. Untuk menetukan apakah
penurunan lama hari rawat itu meningkatkan efisiensi atau perawatan
yang tidak tepat, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut berhubungan
dengan keparahan atas penyakit dan hasil dari perawatan (Indradi,
2007).
Dalam perhitungan statistik pelayanan rawat inap dirumah sakit
dikenal dengan istilah yang lama rawat (LD) yang memiliki karakteristik
cara pencatatan, perhitungan, dan penggunaan yang berbeda. LD
menunjukan berapa hari lamanya seseorang pasien dirawat inap pada
satu episode perawatan. Satuan untuk LD adalah hari. Cara menghitung
LD yaitu dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari
rumah sakit, hidup maupun mati) dengan tanggal masuk masuk rumah
sakit. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk dan keluar pada hari yang
sama-lama dirawatnya dihitung lama dirawatnya (Indradi,2007, Fema
S,2009)
Fokus rumah sakit dalam pemberian pelayanan perawatn yang
berkualitas bertujuan untuk memulangkan pasien lebih awal dengan
aman kerumahnya. Hari rawat yang pendek akan memberi keuntungan
antara lain penghematan biaya dan sumber yang lebih sedikit terhadap
rumah sakit terutama bagi pasien sendiri (Imbalo S, 2007).
Beberapa istilah yang berkaitan dengan indikator LOS atau Lama
Hari Rawat antara lain ;
1. Penerimaan Pasien (Inpatient Admision)
Adalah penerimaan secara resmi seorang penderita oleh pihak rumah
sakit dimana yang bersangkutan diberi fasilitas lain dirumah sakit
dimaan penderita tersebut umumnya tinggal paling sedikit satu
malam.
2. Pemulangan Pasien
Pelepasan secara resmi seorang penderita oleh pihak rumah sakit
sebagai batas akhir waktu ia dirawat di rumah sakit.
3. Lama Hari Rawat Seorang Pasien (Length of stay for one patient)
Jumlah hari perawatan (sesuai dengan kalender) mulai saat
penerimaan sampai saat pemulangan pasien yang bersangkutan.
4. Diagnosa
Adalah suatu istilah dalam dunia kedokteran yang lazim digunakan
oleh tenaga medis untuk mengenal suatu penyakit yang diderita oleh
pasien, atau kondisi yang menyebabkan pasien menginginkan,
mencari atau menerima perawatan medis.

2.2..2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap LOS

Beberapa faktor baik yang berhubungan dengan keadaan klinis


pasien tindakan medis, pengolaan pasien diruangan mapun masalah
administrasi rumah sakit bisa mempengaruhi terjadinya penundaan pulang
pasien. Ini akan mempengaruhi LOS. Terutama untuk pasien yang
memerlukan tindakan medis atau pembedahan faktor-faktor yang
berpengaruh tersebut antar lain.

1. Komplikasi atau infeksi luka operasi


Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi dan komplikasi pada umumnya, yaitu (Razi, Fakhrul,
2011)
- Waktu /lama operasi
Makin lama waktu yang dibutuhkan untuk operasi maka
akan mempengaruhi terhadap penyembuhan luka operasi
dan juga akan mningkatkan terjadinya infeksi luka operasi,
sehingga lama hari rawat akan lebih panjang.
- Teknik operasi yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih
luas akan mempunya resiko terjadinya infeksi luka operasi
yang lebih besar.
2. Jenis Operasi
3. Pada
Pada jenis operasi elektif pasien dipersiapkan secara optimal,
sedangkan pada operasi yang berjenis cito persiapannya tidak
sebaik seperti pada operasi yang bersifat elektif, oleh karena
dengan ditundanya tindakan operasi akan membahayakan jiwa
pasien. Sehingga dengan persiapan yang kurang optimal
terutama pada operasi yang bersifat cito, resiko untuk
terjadinya infeksi luka operasi menjadi lebih besar (Erbaydar,
2004)
4. Jenis kasus atau penyakit
Kasus yang akut dan kronis akan memerlukan lama hari rawat
yang berbeda, dimana kasus yang kronis akan memerlukan
lama hari rawat lebih lama dari rawat lebih pendek dari pada
penyakit ganda pada satu penderita (Barbara J.,2008 ; Krzytof,
2011)
5. Tenaga dokter yang menangani atau pelaksana operasi
Faktor tenaga dokter yang menangani pasien cukup berperan
dalam menetukan memanjangnya lama hari rawat, dimana
perbedaan ketrampilan antar dokter akan mempengaruhi
kinerja dalam penanganan kasus, juga waktu memutuskan
untuk melakukan tindakan (Lacy, Antonio M., 2008)
6. Hari masuk rumah sakit
Pasien yang akan masuk rumah sakit menjelang hari sabtu dan
minggu akan mempepanjang lama hari rawat, hal ini
disebabkan kesibukan menjelang hari libur dimana
pemeriksaan oleh dokter dan pemeriksaan penunjang diundur
sampai hari kerja biasa dimana semua pegawai rumah sakit
sudah bekerja seperti biasa.

2.3 TINJAUAN KONSEP ROM

2.3.1 Pengertian ROM

Range Of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk

menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di

gunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan batas

gerakan sendi abnormal (HELMI, 2012).

Menurut (potter, 2010) Rentang gerak atau (Range Of Motion)

adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada sendi,

di salah satu dari tiga bdang yaitu: sagital, frontal, atau transversal.

Range Of Motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan

normal dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Range Of

Motion dibagi menjadi dua jenis yaitu ROM aktif dan ROM pasif.

(Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008)

Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang

memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien

menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik

secara aktif ataupun pasif. Tujuan ROM adalah : (1). Mempertahankan

atau memelihara kekuatan otot, (2). Memelihara mobilitas persendian,

(3) Merangsang sirkulasi darah, (4). Mencegah kelainan bentuk. (Potter

dan Perry (2006).


2.3.2 Klasifikasi ROM

Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008)

klasifikasi rom sebagai berikut:

1) ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien yang

mengalami kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan

pada tulang maupun sendi dimana klien tidak dapat melakukannya

sendiri, sehingga klien memerlukan bantuan perawat atau keluarga.

2) ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien

tanpa bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi

ROM aktif adalah semua pasien yang dirawat dan mampu

melakukan ROM sendii dan kooperatif.

2.3.1 Tujuan ROM

Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) sebagai

berikut:

1) Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas

ekstermitas yang sakit.

2) Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal.


3) Mencegah komplikasi vaskular akibat iobilitas.
4) Memudahkan kenyamanan.
Sedangkan tujuan ltihan Range Of Motion (ROM) menurut Suratun,
Heryati, Manurung, & Raenah (2008).
1) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
2) Memelihara mobilitas persendian.
3) Merangsang sirkulsi darah.

Anda mungkin juga menyukai