Anda di halaman 1dari 7

Artikel Penelitian

Desain Primer PCR Secara Manual untuk


Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri
dengan Masalah Homologi Sekuens DNA

Sunarno,1 Harly Novriani2


1
Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Litbangkes, Jakarta
2
Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Litbangkes, Jakarta

Abstrak
Pendahuluan: Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pemeriksaan polymerase chain reaction
(PCR) adalah ketepatan susunan primer PCR yang digunakan. Beberapa software dapat digunakan untuk
merancang primer PCR secara cepat sesuai dengan kebutuhan.Namun, untuk beberapa kasus seperti adanya
masalah homologi sekuens DNA gen target dapat menjadi kendala tersendiri dalam desain primer. Salah
satu gen yang memiliki masalah homologi sekuens DNA adalah gen dtxatau tox yang merupakan penanda
toksigenisitas bakteri penyebab difteri. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan susunan primer PCR
yang tepat dalam identifikasi toksigenisitas bakteri penyebab difteri dengan PCR konvensional, termasuk
membedakan strain non-toxigenic tox gene bearing (NTTB) dari strain toksigenik.
Metode: Primer PCR didesain secara manual berdasarkan data sekuens DNA gen dtx dan ‘pseudo-
gene’bakteri penyebab difteri yang terdaftar di GeneBank atau dipubliksasi dalam jurnalilmiah.Sebanyak 26
sekuens gen dtx dan 10 ‘pseudogen’ di-align menggunakan program BioEdit. Penilaian terhadap daerah
yang berpotensi sebagai tempat penempelan primer dilakukan satu per satu. Kandidat primer yang diperoleh
diuji dengan program PerlPrimer untuk memprediksi kendala yang akan muncul.
Hasil: Analisis secara in silicomenunjukkan bahwa ada 3 pasang primer PCR yang dapat digunakan untuk
membedakan strain NTTB dari strain toksigenik,begitu juga strain non-toksigenikdari strain toksigenik
maupun NTTB. Ketiga pasang primer PCR tersebut diprediksi dapat diaplikasikan dalam sebuah reaksi
PCR multipleks. Strain NTTB akan menghasilkan 2 pita penanda, masing-masing 174 bp dan 517 bp atau
539 bp. Strain toksigenik akan menghasilkan 1 pita 174 bp sebagai penanda. Semntara itu, pada strain non-
toksigenik tidak tampak adanya pita 174 bp, 517 bp maupun 539 bp.
Kesimpulan: Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa primer baru untuk PCR konvensional yang
berhasil didesain dalam penelitian ini, secara Bioinformatika dapat digunakan untuk identifikasi toksigenisitas
bakteri penyebab difteri, termasuk membedakan strain NTTB dari strain toksigenik.
Kata Kunci: primer PCR, toksigenisitas, gen tox, difteri

Korespondensi: Sunarno
Email: no_nar@yahoo.com

544 J Indon Med Assoc, Volum: 66, Nomor: 12, Desember 2016
Desain Primer PCR Secara Manual untuk Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri

Manually PCR Primer Designto Amplify thedtx Gene of the


Bacteria Causing Diphtheria with DNA Sequences Homology Problem

Sunarno,1 Harly Novriani2


1
The Biomedical and Basic Health Tecnology, Health Research and
Development Centre, Jakarta
2
Resource Center and Balitbangkes Health Services, Jakarta

Abstract
Introduction: PCR primer sequences determine the successfulness of polymerase chain reaction
(PCR). Some software could be used for design of proper PCR primer sequences.Nevertheless, the
PCR primer design occasionally complicated by the sequences homology problem of target gene.
The dtxor tox gene that encoding diphtheria toxin synthesis is an example of thegene with DNA
sequences homology problem. This study targeted to get proper PCR primer for identification of
bacterial toxigenicity by conventional PCR, included non-toxigenic tox gene bearing (NTTB) and
toxigenic strains differentiation.
Methods: The PCR primer designed manually based on the sequences data of dtxgene and
‘pseudogene’of the bacteria causing diphtheria registered in GeneBank or the other scientific
publishing. Twenty six sequences of dtxgene and 10 sequences of ‘pseudogen’ alignedby BioEdit
program. PCR primer candidate tested in silico by PerlPrimer program to predict the
primerapplication onthe PCR processing.
Result: The study showed that 3 pairs of PCR primer could to distinguish NTTB strain from
toxigenic strain as well as non-toxsigenic strain distinguish from toxigenicand NTTB strains. The
3 pairs of PCR primer were predicted could beapplied on the conventional multiplex PCR. NTTB
strain marked by 2 bands (174 bp and 517 bp or 539 bp), whiletoxigenicstrain marked by 1 band
(174 bp). In other hand, non-toxigenicstrain marked by no band on 174 bp, 517 bp, or 539 bp.
Conclusions: The study was success to design 3 pairs of PCR primer for conventional multiplex
PCR application that could be used to identify the toxigenicity (toxigenic, non-toxigenic, and NTTB
differentiation) of bacteria causing diphtheria properly.
Keywords: PCR primer, toxigenicity, tox gene, diphtheria

Pendahuluan terjadinya proses amplifikasi DNA template pada proses PCR.


Sejak dikembangkan oleh Kary Banks Mullis tahun 1985, Selain untuk inisiasi, primer PCRjuga digunakan untuk
Polymerase Chain Reactin (PCR) telah menunjukkan membatasi proses amplifikasi sehingga bisa ditentukan
peranan yang sangat besar dalam perkembanganilmu seberapa panjang produk PCR (amplikon) yang dihasilkan.
pengetahuan, khususnya Biologi Molekular. Saat ini, Dengan demikian, setelah dilakukan elektroforesis, hasil
pemeriksaan PCR menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari amplifikasi dapat dibaca dengan benar. Untuk dapat mencapai
kegiatan rutin di laboratorium pelayanan maupun penelitian tujuan tersebut maka sekuens primer PCR harus spesifik dan
kesehatan. Serangkaian kelebihan yang dimiliki membuatnya terletak pada daerah lestari (tidak ada mutasi) atau conserve
menjadi pilihan utama atau alternatif pemeriksaan untuk sehingga tidak terjadi mismatch dan unmatch. Hibridisasi
diagnostik penyakit maupun tujuan lainnya. PCR cenderung dan amplifikasi harus terjadi pada semua variasi sekuens
banyak dipilih karena relatif lebih mudah dan cepat dengan DNA gen target dan sebaliknya tidak boleh terjadi hibridisasi
sensitifitas dan spesifitaspemeriksaan yang sangat tinggi.1,2 dan amplifikasi pada tempat yang tidak diinginkan (bukan
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan gen target).3,4
pemeriksaan PCR adalah ketepatan susunan primer PCR yang Primer PCR dapat didesain menggunakan bantuan pro-
digunakan karena akan menentukan sensitifitas dan gram komputer, baik online maupun offline, misalnya Primer
spesifisitas pemeriksaan. Primer PCR atau dikenal sebagai BLAST, IDT, PerlPrimer, Primer3 dan lain sebainya. Primer
oligomer merupakan sepasang potongan pendek DNA untai PCR juga bisa didesain secara manual dengan tetap mem-
tunggal (biasanya 18-30 bp), terdiri dari forward primer (F) perhatikan beberapa ketentuan yang berlaku. Penggunaan
dan reverse primer (R)yang digunakan untuk inisiasi program komputer dapat mempermudah kita dalam merancang

J Indon Med Assoc, Volum: 66, Nomor: 12, Desember 2016 545
Desain Primer PCR Secara Manual untuk Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri

primer secara cepat sesuai dengan kebutuhan, misalnya GC Setelah ditemukan lokasi yang dapat digunakan untuk
Clamp, Tm, panjang primer, panjang produk dan lain tempat penempelan primer, dilakukan desain kandidat primer
sebagainya. Akan tetapi, untuk beberapa kasus seperti pada PCR dengan menentukan panjang sekuens primer, panjang
gen dengan karakteristik khusus, misalnya homologi sekuens amplikon dan mengubah salah satu primer dengan sekuens
DNA yang sangat tinggi antar atau interspesies dan reverse transcript. Kandidat pasangan primer yang diperoleh
variasisekuens yang sangat tinggi intraspesies diuji dengan program perlPrimer untuk menghitung besarnya
(target)menjadi hambatan tersendiri. Dalam hal ini, desain ikatan primer dimer, adanya run, Tm primer dan lain
primer PCR secara manual bisa menjadi pilihan, kendatipada sebagainya.19 Hal yang sama dilakukan dalam desain primer
umumnya tetap membutuhkan bantuan program komputer untuk deteksi gen dtx secara umum. Pada akhirnya didapatkan
untuk analisis lebih lanjut.5,6,7,8 3 pasang primer PCR (3 forward dan 2 reverse) untuk
Salah satu gen yang memiliki karakteristik khusus adalah menentukan apakah bakteri yang diperiksa bersifat non-
gen tox/dtx, penyandi sintesis toksin difteri padabakteri toksigenik (tidak memiliki gen dtxdan tidak menghasilkan
penyebab difteri (potentially toxigenic Corynebacteria), toksin), toksigenik (memiliki gen dtx dan menghasilkan
meliputi C.diphtheriae, C.ulcerans dan C.pseudo- toksin), atau NTTB (memiliki gen dtx tapi tidak menghasilkan
tuberculosis.Gen dtx dikatakan spesial karena memiliki toksin).
sekuens DNA yang sangat bervariasidiantara ketiganya,
meskipun sama-sama mengkode sintesis toksin difteridan Hasil Penelitian
dapat menimbulkan gejala penyakit yang serupa.9,10 Selain Sebanyak 26 sekuens gen dtx dan 10 sekuens
itu, gen dtx memiliki kemiripan sekuens DNA dengan “pseudogene” bakteri penyebab difteri yang terdaftar di
“pseudogene”(gen dtxpada strain non-toxigenic tox gene GenBank maupun terpublikasi dalam jurnal berhasil
bearing atau NTTB) yang terbukti tidak mampu mengkode dikumpulkan. Berdasarkan analisis sekuens DNA gen dtx
sintesis toksin difteri, sebagaimana dikemukakan oleh Hall, dan “pseudogene” (data tidak ditampilkan), ada beberapa
et.al dan Zakikhany, et al.11,12Dalam hal ini, PCR untuk mutasi (substitusi dan delesi) basa nukleotida pada
pemeriksaan difteri biasanya tetap akan mendeteksi “pseudogene”. Mutasi-mutasi tersebut dapat dimanfaatkan
“pseudogene” tersebut sebagai gen dtx sehingga akan ada sebagai referensi untuk mendesain primer PCR yang dapat
perbedaan hasil antara pemeriksaan PCR yang berbasis membedakan gen dtx dari “pseudogene”dengan cara deteksi
genotip dan metode konvensional yang berbasis fenotip.13 gen dtx tanpa “pseudogene” atau sebaliknya. Ada2 delesi
Penelitian ini bertujuan untukmendapatkan susunan yang ditemukan pada “pseudogene”, masing-masing basa
primer PCR yang tepat dalam pemeriksaan toksigenisitas ke-25 dan ke-55. Delesi basa ke-25 terlihat pada 4 dari 10
bakteri penyebab difteri dengan PCR konvensional. Primer sekuens “pseudogene”,sementara delesi basa ke-55terlihat
PCR tersebut diharapkan dapat digunakan untuk pada 6yang lain dari 10 sekuens “pseudogene” yang
membedakan gen dtxatau tox dari “pseudogene”strain dianalisis. Mutasi berupa substitusi terlihat pada basa ke-60
NTTB.Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisasi (2 sekuens), ke-432 (1 sekuens), ke-651 (4 sekuens), ke-937 (4
perbedaan hasil PCR dengan metode konvensional sebagai sekuens), dan basa ke-1206 (4 sekuens).
gold standard. Diantara tempat yang sudah didapatkan tersebut, hanya
delesi basa ke-25 dan ke-55 yang paling memungkinkan untuk
Metode Penelitian
membedakan seluruh “pseudogene”dari gen dtx. Berdasarkan
Ada 3 pasang primer PCR (3 forward dan 2 reverse)yang kenyataan ini, basa ke-25 dan ke-55 dipilih untuk dijadikan
didesain pada penelitian ini untuk identifikasi toksigenisitas target penempelan ujung 3’ primer PCR. Permasalahan
bakteri penyebab difteri secara detil. Sepasang primer selanjutnya muncul karena jarak keduanya sangat dekat
digunakan untuk deteksi gen dtx atau tox (baik “true” sehingga sulit untuk mendapatkan sepasang primer (forward
maupun “pseudogene”)seperti halnya primer PCR yang dan reverse) dari kedua daerah tersebut. Selain itu, di sekitar
sudah digunakan selama ini.13-17 Dua pasang primer yang lokasi basa tersebut tidak didapatkan daerah yang 100%
lain digunakan untuk membedakan gen dtx dari lestari (conserve).
“pseudogene”. Primer PCR didesain secara manual Upaya yang paling memungkinkan untuk mendapatkan
berdasarkan data sekuens DNA gen dtxdan “pseudogene” pasangan primer PCR adalah menggunakan skema 2 forward
C.diphtheriae, C.ulcerans, dan C.pseudotuberculosis yang primer dan 1 reverse primer dengan panjang amplikon sedikit
terdaftar di GeneBank (www.ncbi.nlm.nih.gov) dan beberapa berbeda. Perbedaan panjang amplikon sekitar 30 bp dari 2
literatur lainnya.11,12Seluruh data yang dibutuhkan diunduh forward yang berbeda tersebut “disamarkan” dengan
melalui jaringan internet. Alignment sekueans DNA mendesain reverse primer yang terletak cukup jauh sehingga
dilakukan menggunakan program BioEdit.18 Daerah spesifik menghasilkan amplikon >500 bp. Perbedaan panjang amplikon
untuk “pseudogene” (beda dengan gen dtx) diamati satu 30 bp akan samar pada visualisasi hasil PCR di gel
per satu agar dapat mendesain primer spesifik yang agarose.Dalam hal ini, kelestarian sekuens tidak dijadikan
membedakannya dari gen dtx. prioritas pertama, dengan catatan masih bisa ditoleransi.

546 J Indon Med Assoc, Volum: 66, Nomor: 12, Desember 2016
Desain Primer PCR Secara Manual untuk Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri

Kandidat pasang primer PCR yang diperoleh adalah sebagai


berikut:

F1pseudo: 5’-GCAGAAA(AG)CTGTTTGCGTCAT-3’
F2pseudo: 5’- GCGCTACTG(GT)GGATAGGGC-3’
Rpseudo : 5’-CTTAACGCTTTCGCCTGTTCC-3’

Pada sekuens gen dtx, ketiga primer tersebut barada


pada posisi basa ke-5 sampai dengan basa ke-25 untuk
F1pseudo, basa ke-37 sampai dengan basa ke-55 untuk
F2pseudo serta basa ke-554 sampai dengan basa ke-534
untuk Rpseudo. Panjang amplikon yang terbentuk adalah
517 bp dan 539 bp.
Dua pasang kandidat primer yang terdiri dari 3 buah
tersebut diuji menggunakan software PerlPrimeruntuk
memprediksi masalah yang akan timbul jika diaplikasikan
pada pemeriksaan. Ringkasan hasil analisis primer
“pseudogene” dapat dilihat pada Tabel 1yang menunjukkan
bahwa 2 pasangan primer ‘pseudogene’ cukup baik sebagai
kandidat primer PCR, meskipun salah satu GC content primer
63%(sebaiknya 40 % - 60 %). GC clampterdapatpada 5 basa
ujung 3’, panjang primer antara 18-30 bp, Tm antara 55 oC –
65 oC, panjang produk PCR 517 bp dan 539 bp yang
akan‘samar’ bila diseparasi dengan gel elektroforesis. Selain
itu, ikatan primer-dimer tertinggi adalah – 5,27 kcal/mol. Ikatan
tersebut tidak termasuk jenis 3’ extensible sehingga
diharapkan tidak mempengaruhi proses amplifikasi. Selain
itu,beberapa literatur juga menyebutkan bahwa ikatan atau
delta G sampai -7 kcal/mol, bahkan sampai -9 kcal/mol masih
bisa dipakai untuk menjalankan sebuah reaksi PCR.20,21

Tabel 1. Ringkasan Hasil Analisis Primer “pseudogene”


dengan Pearl Primer

Forward 1 : 21 basa GC 47 % Tm 62,83 oC


Forward 2 : 19 basa GC 63 % Tm 62,99 oC
Reverse : 21 basa GC 52% Tm 62,61 oC
Panjang Produk : 539 bp dan 517 bp
Ikatan Primer dimer : Extensible primer-dimers tertinggi
-4.30 kcal/mol
Non-extensible primer-dimers tertinggi
- 5.27 kcal/mol
Run> 4 : Tidak ditemukan Gambar 1. Analisis Pasang Primer ‘dtx’dengan PerlPrimer
Repeats> 3 : Tidak ditemukan

Beberapa daerah lestari yang cukup panjang untuk tempat


Setelah primer untuk membedakan gen tox dan penempelan primer, seperti basa ke-757 sampai dengan ke-
‘pseudogene’ diperoleh, desain primer PCR dilanjutkan untuk 784 dan basa ke-1141 sampai ke-1169 tidak memenuhi syarat
deteksi gen dtx secara keseluruhan. Dalam hal ini termasuk sebagai tempat penempelan kandidat primer PCR yang baik.
‘pseudogene’yang akan dideteksi karena titik perbedaan Hal ini dikarenakan pada daerah tersebut terdapat run dan
kedua gen telah digunakan pada desain primer sebelumnya. GC content sangat rendah.
Desain primer yang kedua ini bertujuan untuk membedakan Dua daerah yang pada akhirnya dipilih sebagai tempat
antara strain non-toksigenik dengan strain toksigenik penempelan kandidat primer adalah basa ke-1263 sampai
maupun NTTB. Alignment sekuens DNA gen dtx dan dengan ke-1287 untuk forward primer dan basa ke-1436
‘pseudogene’sebagaimana terlihat pada Gambar 1 sampai dengan basa ke-1410 untuk reverse primerdengan
menunjukkan bahwa sangat sulit mendapatkan daerah yang panjang amplikon 174 bp. Pada daerah tersebut terdapat
100% lestari diantara 3 spesies bakteri penyebab difteri. mutasi (substitusi) basa, namun masih dapat ditoleransi.

J Indon Med Assoc, Volum: 66, Nomor: 12, Desember 2016 547
Desain Primer PCR Secara Manual untuk Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri

Sekuens kandidat primer untuk deteksi gen dtx dan Pembahasan


‘pseudogene’ secara keseluruhan adalah sebagai berikut : Gen dtx merupakan penyandi produksi toksin difteri
pada 3 spesies bakteri penyebab difteri yang dikenal dengan
Fdtx : 5’-CAGTTGGAACACTGTTGAAGATTCG-3’
potentially toxigenic Corynebacteria. Gen ini dibawa oleh
Rdtx : 5’-CCATTTACGGAAATATGAGTCTTGGAC-3’
Corynephage yang masuk (terinsersi) ke dalam materi genetik
bakteri. Pada Corynephage, tempat khusus untuk
Gambaran analisis pasang primer ‘dtx’dengan software
bergabungnya meteri genetik ini disebut dengan attP site,
PerlPrimer dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar 1
sedangkan pada bakteri disebut attB site. Dalam 1 strain
menunjukkan bahwa kedua primer tersebut cukup baik untuk
bakteri dapat diinsersi oleh lebih dari 1 faga dan tidak semua
diaplikasikan dalam pemeriksaan. Hal ini terlihat dari Tm
faga tersebut membawa gen tox. Faga yang membawa gen
primer yang berdekatan, panjang primer 18-30 basa, dan GC
tox disebut phage tox+ dan yang tidak membawa gen tox
content 40-60 %. Risiko ikatan primer-dimer juga tidak ada
disebut phage tox-.22,23 Dalam menjalankan perannya, gen
yang lebih dari negatif dari -7 kcal/mol dan tidak ditemukan
dtx diregulasi oleh gen lain dalam kromosom bakteri yang
adanya run serta repeats.
dikenal dengan gen dtxR dengan Fe sebagai ko-faktor.Fe
Tiga pasang (5 buah) primer PCR yang berhasil didesain
akan berikatan dengan protein dtxR yang akan menghambat
dapat diuji coba dalam aplikasi PCR konvensional untuk
sintesis toksin pada proses transkripsi. Meskipun demikian,
identifikasi toksigenisitas bakteri penyebab difteri dengan
kadar Fe bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi
teknik PCR multipleks.Gambaran interpretasi hasil
produksi toksin difteri.Faktor lain, diantaranya kultur berulang
pemeriksaan PCR multipleks dapat dilihat pada Gambar 2.
di laboratorium, mutasi gen dan beberapa hal yang belum
jelas mekanismenya terbukti dapat mempengaruhi produksi
1 kbp toksin difteri.24-26
Penemuan ‘pseudogene’pada 4 isolat C.diphtheriae di
Jepang oleh Hall, et.al. menjadi menarik. Hal ini karena
keempatnya memiliki sekuens DNA yang sangat mirip dengan
900 bp gen dtx, namunbersifat nontoksigenik.11Sebaliknya, meskipun
beberapa sekuens gen dtx C.diphtheriae, C.ulcerans dan
800 bp C.pseudotuberculosis bervariasi, sebagaimana terlihat pada
Gambar 1, ketiganya mampu memproduksi toksin difteri
700 bp (toksigenik).27-29 Oleh karena itu, desain primer PCR untuk
539 bp amplifikasi seluruh variasi gen dtx dari ke-3 spesies poten-
600 bp tially toxigenic Corynebacteriatersebut tanpa amplifikasi
517 bp ‘pseudogene’ cukup rumit. Selain variasi antar ke-3 spesies
500 bp yang cukup tinggi, variasi antar strain dalam masing-masing
spesies juga harus diperhatikan.
400 bp Beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam
desain primer PCR antara lain GC content 40 %-60%, Tm 55-
300 bp
65oC, GC Clamp pada 5 basa ujung 3’, panjang primer 18 – 30
bp, tidak ada hairpindan pengulangan (run dan repeat) lebih
200 bp
M 1 2 3 4 dari 4 basa.3,4 Khusus untuk PCR multipleks, panjang masing-
masing produk PCR harus dibuat sedemikian rupa sehingga
Gambar 2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan PCR Multipleks:
bisa dibedakan satu sama lain. Ada beberapa masalah yang
Marker 100 bp (M), Strain NTTB (1), Strain NTTB harus diperhatikan dengan kandidat primer ’pseudogene’
(2), Strain Toksigenik (3), dan Strain Non-toksi- yang diperoleh bila menggunakan sekuens asli yang sama
genik (4). dengan sekuens “pseudogene”. Pada primer ’F1pseudo’
terdapat daerah palindromik yang berrisiko membentuk hair-
Gambar 2 menunjukkan adanya 4 interpretasi hasil dari pin dan dapat mengganggu proses hibridisasi.
aplikasi 3 pasang kandidat primer yang berhasil didesain. Selain itu pada primer tersebut terdapat run (AAAA)
Pada strain NTTB akan terdeteksi 2 target primer PCR yang sebaiknya dihindari pada desain primer PCR. Kedua
(pseudogene) di lokasi yang berbeda. Pada strain toksigenik masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan modifikasi
akan terdeteksi 1 target primer PCR (gen dtx). Pada strain sekuens dengan mengganti basa A menjadi basa G seperti
non-toksigenik tidak terdeteksi gen target. Dengan demikian terlihat dalam kurung. Pada primer ’F2pseudo’ juga terdapat
dapat dibedakan ketiga jenis toksigenisitas bakteri tersebut run (GGGG) dan GC content sangat tinggi. Hal ini dapat
dengan pemeriksaan PCR. menyebabkan terjadinya penempelan primer tidak pada

548 J Indon Med Assoc, Volum: 66, Nomor: 12, Desember 2016
Desain Primer PCR Secara Manual untuk Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri

tempatnya (mismatch). Oleh karena itu salah satu basa G bacterium ulcerans isolatesfrom the same hospital: ribotype,
toxigenicity and serum antitoxin totre. JMM. 2010;59:1497-
dimodifikasi menjadi basa T seperti terlihat dalam kurung.
1504.
Pada sekuens DNA yang menjadi tempat penempelan ketiga 11. Hall AJ, Cassiday PK, Bernard KA, Bolt F, Steigerwalt AG, Bixler
pasang primer didapatkan beberapa mutasi basa, dengan kata D, Pawloski LC, et.al. Novel Corynebacterium diphtheriae in
lain bahwa daerah tersebut kurang conserve. Namun demikian, Domestic Cats. Emerg Infect Dis. 2010; 16(4):688-691.
12. Zakikhany K, Neal S, and Efstratiou. Emergence and molecular
mutasi tersebut masih bisa ditoleransi karena umumnya hanya
characterization of non-toxigenic tox gene-bearing Corynebac-
1 basa dan tidak terletak pada ujung 3’ primer. Mutasi pada terium diphtheriae biovar mitis in the United Kingdom, 2003-
ujung 3’ primer akan menyebabkan kegagalan amplifikasi 2012. Euro Surveill. 2014;19(22):1-8.
sekuens karena tidak terjadi elongasi atau pemanjangan.30 13. Efstratiou A, Engler KH, Dawes CS, and Sesardic D. Comparison
of Phenotypic and Genotypic Methods for Detection of Diph-
theria Toxin among Isolates of Pathogenic Corynebacteria. J.Clin.
Kesimpulan dan Saran
Microbiol.1998;36(11):3173-3177.
Penelitian ini berhasil mendesain primer baru untuk PCR 14. Torres LdeF. Ribeiro D, Hirata Jr R, Pacheco LG, Souza MC, dos
konvensional yang secara Bioinformatika dapat digunakan Santos LS, dos Santos LS, Salah M, Costa MM, Ribeiro MG, Selim
SA, Azevedo VA, Mattos-Guaraldi AL. Multiplex polymerase
untuk identifikasi toksigenisitas bakteri penyebab difteri,
chain reaction to identify and determine the toxygenicity of
termasuk membedakan strain NTTB dari strain toksigenik.Uji Corynebacterium spp with zoonotic potenticl and an overview
yang dilakukan baru sebatas perhitungan dengan software of human and animal infections. Mem Inst Oswaldo Cruz.
Bioinformatika (in silico)sehingga masih membutuhkan uji 2013;108(3):272-279.
15. Sunarno, Sariadji K, Wibowo HA. Potensi Gen dtx dan dtxR
lebih lanjut untuk aplikasi langsung di mesin PCR. Aplikasi
Sebagai Marker untuk Deteksi dan Pemeriksaan Toksigenisitas
PCR dengan primer baru membutuhkan optimasi prosedur Corynebacterium diphtheriae. Bul.Penelit. Kesehat. 2013;41(1):1-
yang disesuaikan dengan reagen maupun mesin yang 10.
digunakan. 16. Pimenta FP, Hirata R, Rosa ACP, Milagres LG and Mattos-Guaraldi
AL. A multiplex PCR assay for simultaneous detection of Coryne-
bacterium diphtheriae and differentiation between non-toxigenic
Ucapan Terima Kasih
and toxigenic isolates. JMM.2008:1438-1439.
Ungkapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh 17. Schuhegger R, Lindermayer M, and Kugler R. Detection of toxi-
pihak yang telah berperan dalam penelitian dan publikasi ini. genic Corynebacterium diphtheriae and Corynebacterium ulcerans
strains by a Novel Real-Time PCR.J Clin Microbiol.
2008;46(8):2822-2823.
Daftar Pustaka 18. Hall T. BioEdit: An important software for molecular biology.
1. Budiarto BR. Polymerase Chain Reaction (PCR): Perkembangan GERF Bulletin of Biosciences. 2011;2(1):60-61.
dan perannya dalam diagnostik kesehatan. BioTrends. 2015; 19. Marshall OJ. PerlPrimer: cross-platform, graphical primer de-
6(2):29-38. sign for standard, bisulphate and real-time PCR. Bioinformatics
2. Sing A, Berger A, Schneider-Brachert W, Holzmann T, Reischl U. Appl Note. 2004;20(15):2471-1472.
Rapid detection and molecular differentiation of toxigenic 20. Abu-Almaali HM, Alkhatabi HA, Nasr-Allah HA, and Al-Khafaji
Corynebacterium diphtheriae and Corynebacterium ulcerans ZM. Duplex PCR primer for detection of Helicobacter pylori
Strains by LightCycler PCR. J Clin Microbiol. 2011;49(7):2485- DNA directly from gastric biopsy samples. Kerbala J Phar Sci
2489. 2012;3:201-211.
3. Yuryev A. Editor. Methods in Molecular Biology: PCR Primer 21. Dwivedi B, Schmieder R, Goldsmith DB, Edwars RA, and Breitbart
Design. 2007; New Jersey: Hummana Press. M. PhiSiGns: an online tool to identify signature genes in phages
4. Garibyan L & Avashia N. Research techniques made simple: Poly- and design PCR primers for examining phage diversity. BMC
merase Chain Reaction (PCR). J Invest Dermatol. 2013;133(3): Bioinformatic. 2012;13:37.
e6.doi:10.1038/jid.2013.1 22. Sangal V & Hoskisson PA. Corynephages: Infections of the In-
5. Ye J, Coulouris G, Zaretskaya I, Cutcutache I, Rozen S and Mad- fector. In: Burkovski A, Editor. Corynebacterium diphtheriae
den TL. Primer-BLAST: A tool to design target-specific primers and Related Toxigenic Species. 2014. Springer. http://libgen.org/
for polymerase chain reaction. BMC Bioinformatics 2012, (Accessed 27 February 2015).
13:134 23. Seto Y, Komiya T, Iwaki M, Kohda T, Mukamoto M, Takahashi
6. Patel NK & Prakash N. Principle and tools for primer design. M and Kozaki S. Properties of Corynephage Attachment site and
Atmiya Spandan. 2013;1(1):79-95 molecular epidemiology of Corynebacterium ulcerans isolated
7. Nakamura S, Masuda T, Mochizuki A, Konishi K, Tokumaru S, from humans and animals in Japan. Jpn. J. Infect. Dis.
Ueno K and Yamaguchi T. Primer Design for Identifying eco- 2008;61:116-122.
nomically Important Liriomyza Spesies (Deptera: Agromyzidae) 24. Mercant AT & Spatafora GA. A role for the DtxR family of
by Multiplex PCR. Mol. Eco. Resources. 2013;13:96-102. metalloregulators in gram-positive pathogenesis. Molecular Oral
8. Srivastava GP, Hanumappa M, Kushwaha G, Nguyen HT and Microbiology. 2014;29:1-10.
Dong X. Homolog-specific PCR Primer Design for Profiling 25. Tao D’Aquino JA, Tetenbaum-Novatt J, White A, Berkovitch,
Splice variants. Nucleic Acid Research. 2011;1-11. and Ringe D. Mechanism of metal ion activation of the diphthe-
9. Sekizuka T, Yamamoto A, Komiya T, Kenri T, Takeuchi F, ria toxin repressor dtxR. PNAS. 2005;102(51):18408-18413.
Shibayama K, Takahashi M, Kuroda M, and Iwaki M.Coryne- 26. Holmes RK. Biology and Molecular Epidemiology of Diphtheria
bacterium ulcerans 0102 carries the gene encoding diphtheria Toxin and the tox Gene. JID. 2000;181(Suppl 1)1:S156–S167.
toxin on a prophage different from the C. diphtheriae NCTC 27. Wagner KS, White JM, Lucenko I, Mercer D, Crowcroft NS,
13129 prophage. BMC Microbiology. 2012;12:72 Neal S, and Efstratiou A. Diphtheria in the Postepidemic Period,
10. Komiya T, Seto Y, De Zoysa A, Iwaki M, Hatanaka A, Tsunoda Europe, 2000-2009. EID. 2012;18(2):217-225.
A, Arakawa Y, Kozaki S, and Takahashi M. Two Japanese Coryne- 28. Dias AASO, Santos LS, Sabbadini PS, Santos CS, Silva FCJr,

J Indon Med Assoc, Volum: 66, Nomor: 12, Desember 2016 549
Desain Primer PCR Secara Manual untuk Amplifikasi Gen dtx Bakteri Penyebab Difteri

Napoleao F, Nagao PE, Villas-Boas MHS, Hirata RJr, Guaraldi Corynebacterium pseudotuberculosis. Saudi J Biol Sci.
ALM. Corynebacterium ulcerans diphtheria: an emerging zoonosis 2016;23(2):282-287.
in Brazil andworldwide. Rev Saude Publica. 2011;45(6):1-16. 30. Lorenz TC. Polymerase Chain Reaction: Basic protocol plus
29. Selim SA, Mohamed FH, Hessain AM, and Moussa IM. Immuno- troubleshooting and optimization strategies. J Vis Exp.
logical characterization of diphtheria toxin recovered from 2012;e3998,doi:10.3791/3998.

550 J Indon Med Assoc, Volum: 66, Nomor: 12, Desember 2016

Anda mungkin juga menyukai