Disusun Oleh:
Indra Rizal Rasyid,S.Ked
10542 0210 10
Pembimbing:
DR. dr. Sitti Musafirah, Sp.KK
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pembimbing
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, rahmat, kesehatan,
dan keselamatan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan laporan kasus ini dengan
judul Kusta Tipe Tuberkoloid. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas laporan kasus ini. Namun berkat
bantuan, saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman sehingga tugas ini
dapat terselesaikan.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam
kepada DR. dr. Sitti Musafirah, Sp.KK selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan
waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama
proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa laporan kasusini masih memiliki kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan laporan kasus ini.Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat
memberi manfaat kepada semua orang.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan
penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra
merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India,
kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 18741
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat
sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi
sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi
kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga
gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma
terhadap penyakit kusta2 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan
mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan
lepra masih terus diteliti.2
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan
target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan
subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia,
India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak
dimulai adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jaa Barat,
Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.1,2
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan
2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi.
Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra
dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak dengan affected armadillos3.
Kusta pada umumnya memberikan morfologi yang khas yaitu lesi yang diawali
dengan bercak putih, bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan
meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita akan mengeluh kesemutan/ baal pada bagian
tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota badan yang berlanjut pada kekakuan sendi.
Rambut alis pun dapat rontok.4
Berikut akan dilaporkan kasus mengenai Kusta pada pasien yang berobat ke Balai
Pengobatan Kulit, Kelamin, dan Kosmetika Makassar :
BAB II
LAPORAN KASUS
Resume :
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun diantar oleh ibunya ke Balai Pengobatan
Kulit dan Kelamin dengan keluhan timbul bercak-bercak putih di lengan kanan atas (1 lesi )
dan lengan kiri atas (2 lesi ) yang berbatas tegas dan berukuran dari lentikular sampai
numular. Bercak putih tersebut muncul sejak pasien berusia 5 tahun. Dari pengamatan ibunya
bahwa awalnya bercak putih tersebut muncul di lengan kanan atas dan berukuran kurang dari
1 cm tetapi lama kelamaan bercak putih tersebut bertambah lebar dan juga muncul di lengan
kiri atas (2 lesi ). Pasien tidak merasakan gatal. Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
Pasien tidak mempunyai alergi makanan apapun. Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan
yang sama (+) yaitu nenek yang tinggal serumah dengan pasien.
Status Presens :
Pemeriksaan Penunjang :
Diagnosis banding
1. Vitiligo
2. Pitiriasis Versikolor
3. Piritiasis Alba
Diagnosis
1. Terapi sistemik
Minum di depan petugas :
R/ Rifampicin 450 mg tab / Bulan (300 mg + 150 mg )
∫ 1 dd I 1/2
R/ Dapson 50 mg tab No I
∫ 1 dd I
Yang di bawah pulang :
R/ Dapson 50 mg tab No XXVIII
∫ 1 dd I
Prognosis :
PEMBAHASAN
Kusta atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kuman penyebab adalah Mycobacterium
leprae yang ditemukan oleh G.A.HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia 2
Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro ,
berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 -8μm x 0,5μm, bersifat tahan asam dan
alkohol.Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di Sel Schwann menstimulasi cell-mediated imun responses , yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik.5
Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa sesuai dengan tipe tuberkoloid ( TT ) yaitu
lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa dengan ukuran 3-
30 cm, dapat berupa makula atau plakat,batas jelas dan pada bagian tengah dapat di temukan
lesi yang regresi atau central healing.13 Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Dapat di sertai penebalan saraf
perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Anestesi atau hiperestesi
merupakan karakteristik mayor pada tipe ini. Keterlibatan saraf perifer sering terjadi. Pada
tipe tuberkoloid, BTA tidak di temukan tetapi dapat di temukan dalam jumlah kecil dengan
biopsi pada tepi lesi yang aktif. 13
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya.12 Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. 5,12
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan
penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut
terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh,
meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.5. Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan
sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid
dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa. 5
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput
lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah
tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Lesi awal yang paling umum adalah daerah mati
rasa pada kulit,atau lesi kulit terlihat.10 Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana
imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian,
penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan
pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.5
Sampai saat ini untuk klasifikasi yang di pakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi
Ridley-Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis,bakteriologis,histopatologi, dan
mempunyai korelasi dengan tingkat imunlogis yaitu membagi penyakit kusta dalam 5 tipe
yaitu : tipe tuberkoloid (TT),tipe bordeline tuberkoloid (BT),tipe borderline (BB),tipe
borderline lepromatous (BL) dan tipe lepromatous (LL).
Pada pemeriksaan saraf tepi di dapatkan bahwa ada pelebaran saraf tepi yaitu N. ulnaris
dekstra. Pada pemeriksaan fungsi saraf yaitu berupa rasa raba dengan menggunakan sebuah
kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien kemudian kapas
disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit
yang disinggung dengan mata terbuka , di dapatkan hasil yaitu berupa anaetesi/hipoanestesi
pada lesi tersebut. Pada pemeriksaan bakteriologik yang terpenting adalah perhitungan Indeks
Bakteriologik (IB) dan Indeks Morfologi (IM ). IB yaitu angka yang menunjukan banyaknya
kuman M.Leprae pada tiap satuan lapangan tertentu,baik kuman yang mati maupun kuman
yang hidup. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yag di buat sediaan. IB berguna
untuk membantu menentukan klasifikasi kusta,membantu menilai berat ringannya infeksi
pada kulit,membantu mencurigai terjadinya resistensi obat , untuk mengetahui prognosis
penyakit selama pengobatan dan untuk monitoring perjalanan penyakit. IM adalah angka
yang menunjukan presentase basil kusta utuh (solid ) dalam semua basil yang di hitung. IM
berguna untuk menilai kemajuan pengobatan/efektif obat kusta dan membantu menetukan
kemungkinan resistensi obat.13
Pada kasus ini, pada pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium di dapatkan bahwa
BTA +1 yang artinya bahwa di temukan 1-10 basil/100 LP. Hal ini sesuai dengan
kepustakann bahwa pada pemeriksaan bakterilogik dengan perhitungan Indeks Bakteriologi
(IB) menurut Logaritma ridley 1+ artinya bahwa di temukan kuman M.leprae sebanyak 1-10
basil/100 LP. Pada kasus ini juga pengambilan lesi dalam pemeriksaan mikroskop ini hanya
di lakukan pada lesi yang aktif saja sehingga sangat sulit di hitung nilai dari Indeks
Morfologi.
Diagnosis banding pada kasus ini lebih mengarah kepada vitiligo, ptiriasis versikolor,
dan pitiriasis alba. Di bedakan dengan kusta bahwa pada vitiligo berupa makula berwarna
putih dengan diameter beberapa milimeter sampai beberapa centimeter,bulat atau lonjong
dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis yang lain dan tidak ada anatesi. Kadang-
kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula apigmentasi.2
Pada pitiriasis versikolor kelainan kulit sangat superfisial dan di temukan terutama di
badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni bentuk tidak teratur,batas
jelas sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila di lihat dengan lampu
wood.Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya
asimtomatik sehingga ada kalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia menderita penyakit
tersebut.Kadang-kandang penderita merasakan gatal ringan yang merupakan alasan berobat.2
Pada pitirasis alba sering di jumpai kelainan kulit biasanya pada anak-anak berumur 3-
16 tahun. (30-40 %). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat,oval atau plakat
yang tidak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama yang halus.
Setelah eritma menghilang, lesi yang di jumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus.
Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½ -2 cm. Pada anak-anak
lokasi kelainan pada muka (50-60 % ), paling sering di mulut dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat
juga di jumpai pada ektremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong,paha atas,pungung,
dan ekstensor lengan tanpa keluhan.2
Regimen pengobatan pada pasien ini disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi Pausi Basiler
(PB) dan Multi Basiler (MB)
Pada pasien ini (PB) di berikan terapi MDT dengan 2 jenis obat yaitu Rifampicin dan
Dapson. Obat yang di minum di depan petugas yaitu Rifampisin 450 mg/bulan dan dapson 50
mg/bulan. Sedangkan obat yang di bawa pulang dan di konsumsi di rumah yaitu dapson 50
mg/ hari. PB dengan lesi 2 – 5, Lama pengobatan dosis ini diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum
obat. Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada
subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.
Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia
hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.4
Pengobatan antibakteri untuk kusta sangat efektif, dengan tingkat kambuhan yang rendah
sehingga perlu di lakukan selama berbulan-bulan.10
Identitas Pasien
Nama : N.A
Umur : 7 tahun
Berat badan : 15 kg
Agama : Islam
Anamnesis : Alloanamnesis
Keluhan utama : Timbul bercak putih di lengan atas kanan dan kiri
Anamnesis terpimpin :
Seorang anak perempuan berusia 7 tahun diantar oleh ibunya ke Balai pengobatan
kulit dengan keluhan timbul bercak-bercak putih di lengan kanan atas (1 lesi ) dan lengan
kiri atas (2 lesi ) yang berbatas tegas dan berukuran dari lentikular sampai numular. Bercak
putih tersebut muncul sejak pasien berusia 5 tahun. Dari pengamatan ibunya bahwa awalnya
bercak putih tersebut muncul di lengan kanan atas dan berukuran kurang dari 1 cm tetapi
lama kelamaan bercak putih tersebut bertambah lebar dan juga muncul di lengan kiri atas (2
lesi ). Pasien tidak merasakan gatal. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Pasien tidak
mempunyai alergi makanan apapun. Riwayat penyakit keluarga dengan keluhan yang sama
(+) yaitu nenek yang tinggal serumah dengan pasien. Dari pemeriksaan penunjang di
dapatkan bahwa bercak putih hipopigmentasi berjumlah 3 lesi, kelainan kulit yang mati rasa
(+), penebalan saraf ulnaris kanan (+),gangguan fungsi saraf (-),pemeriksaan Bakteri Tahan
Asam (+).
DAFTAR PUSTAKA