Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju,dan

telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti

Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin meningkatnya penyakit-penyakit degeneratif serta

makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi

menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang

dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap

pertambahan umur lima tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah pasien

dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi

13,2 juta orang pada tahun 2050.1

Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena

awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu

pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada

awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal

yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya, penurunan fungsi kognitif terus akan

berlanjut sampai akhirnya mulai mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh

pada ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan

deteksi dini terhadap munculnya demensia,karena ternyata berbagai penelitian telah

menunjukkan bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat

1
dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar

tidak jatuh pada keadaan demensia.1,2

Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan fungsi kognitif

dan demensia awal,dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai peran yang besar dalam

deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan.

Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi,diabetes melitus,strok,riwayat

keluarga,dan lain-lain) berhubungan degan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada

sebagian orang usia lanjut,maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan

upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu,bila ditemukan

gejala awal penurunan fungsi kognitif pasien yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat

memperburuk fungsi kognitif pasien maka seprah dokter dapat merencanakan berbagai upaya

untuk memodifikasinya,baik secara farmakologis maupun non-farmakologis.3

Meskipun beberapa obat telah disetujui untuk pasien alzaimer, obat-obat tersebut memiliki

efek terbatas pada perkembangan penyakit dan gagal dalam pemulihan kapasitas kognitif setelah

penyakit telah berkembang. Salah satu pengobatan yang dapat dilakukan untuk membantu terapi

penyakit alzaimer adalah terapi oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik telah terbukti

memperbaiki fungsi neurologis dan kualitas hidup setelah insiden neurologis seperti stroke dan

cedera otak traumatis, dan untuk meningkatkan kinerja subjek yang sehat dalam mengerjakan

berbagai tugas.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi9,10

Penyakit Alzheimer adalah penyebab terbesar terjadinya demensia. Penyakit Alzheimer

adalah suatu penyakit degeneratif otak primer yang etiologinya tidak diketahui, dengan

gambaran neuropatologis dan neurokimiawi yang khas. Sebuah penyakit neurologis

progresif otak yang menyebabkan hilangnya neuron ireversibel dan demensia.

Dimana demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan

oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien

dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain

seperti berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis dan visuospasial. Defisit

yang terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara

bermakna.

2.2 Epidemiologi10,12

Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara epidemiologi terbagi

2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang 58 tahun disebut sebagai early

onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late

onset.

Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40

tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur:

4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka prevalensi

penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada

3
kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000

terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan

jumlah usia lanjut berkisar, 18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit

alzheimer belum diketahui dengan pasti.

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki.

Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari

beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin.

Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan

penyakit Alzheimer adalah hiperetensi,diabetes melitus,dislipidemia,serta berbagai faktor risiko

timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.1

Mutasi beberapa gen familial penyakit Alzheimer pada kromosom 21,koromosim 14,dan

kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5% pasien dengan penyakit Alzheimer. Sementara

riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien

dengan penyakit ini mengindikasikan adanya faktor genetik yang berperan pada munculnya

penyakit ini. Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama

mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer,walaupun sebagaian besar

pasien tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab

timbulnya demensianamun munculnya alel ini merupakan faktor utama yang mempermudah

seseorang menderita penyakit Alzheimer.

4
Gambar. 1 Penyakit Alzheimer10

2.3 Etiologi11,12

Penyebab yang pasti belum diketahui. Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan yang

sedang diteliti (APoE atau β Secretase). Berdasarkan hasil riset, menunjukan adanya hubungan

antara kelainan neurotransmitter dan enzim-enzim yang memetabolisme neurotransmitter

tersebut.

Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian

daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan

daya ingat secara progresif.

5
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian

selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh

adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal

bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik.

Penyakit alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan

bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor

non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus

faktor genetika. Faktor risiko terjadinya penyakit Alzheimer diantaranya yaitu usia lebih dari 65

tahun, faktor keluarga dan abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (APoE) terutama pada ras

kaukasian.

2.4 Patogenesis12,15,18,19

Pasien umumnya mengalami atrofi kortikal dan berkurangnya neuron secara signifikan

terutama saraf kolinergik. Kerusakan saraf kolinergik terjadi terutama pada daerah limbik otak

(terlibat dalam emosi) dan kortek (Memori dan pusat pikiran). Terjadi penurunan jumlah enzim

kolinesterasi di korteks serebral dan hippocampus sehingga terjadi penurunan sintesis asetilkolin

di otak.

Di otaknya juga dijumpai lesi yang disebut senile (amyloid) plaques dan neurofibrillary

tangles, yang terpusat pada daerah yang sama di mana terjadi defisit kolinergik sehingga plak

tersebut berisi deposit protein yang disebut ß-amyloid. Amyloid adalah istilah umum untuk

fragment protein yang diproduksi tubuh secara normal. Beta-amyloid adalah fragment protein

yang terpotong dari suatu protein yang disebut amyloid precursor protein (APP), yang dikatalisis

oleh β-secretase. Pada otak orang sehat, fragmen protein ini akan terdegradasi dan tereliminasi.

6
Gambar 2 Patogenesis alzheimer19

Sejumlah patogenesis penyakit alzheimer yaitu:8,19

1. Faktor genetik

Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan

melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga

penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar

dibandingkan kelompok kontrol normal. Pemeriksaan genetika DNA pada penderita

7
alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio

proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan lokus pada

kromosom 19.

Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom

21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), ssenile plaque dan

penurunan. Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan

histopatolgi pada penderita alzheimer.

Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50%

adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor

genetik berperan dalam penyakit alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%),

beberapa penderitanya ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan

bahwa kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.

2. Faktor infeksi

Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita

alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya

antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat

yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-

Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer.

Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:

a. Manifestasi klinik yang sama

b. Tidak adanya respon imun yang spesifik

c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat

8
d. Timbulnya gejala mioklonus

e. Adanya gambaran spongioform

3. Faktor lingkungan

Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam

patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon,

mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat

yang ditemukan neurofibrillary tangles dan senile plaque.

Hal tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan

aluminum adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang

tindih. Pada penderita alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri,

nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang belum jelas.

Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui

reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-

influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan

dan kematian neuron.

4. Faktor imunologis

Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer

didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha

protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.

Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari

penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit

9
inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor

immunitas.

5. Faktor trauma

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan

trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik,

dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

6. Faktor neurotransmiter

Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai

peranan yang sangat penting seperti:

a. Asetilkolin

Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik

neurotransmiter dgncara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita

alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan

transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin.

Adanya defisit presinaptik dan postsynaptic kolinergik ini bersifat simetris pada

korteks frontalis, temporallis superior, nukleus basalis, hipokampus. Kelainan

neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan jenis

neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana pada jaringan otak/biopsinya

selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian

scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya

ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit

Alzheimer.

10
b. Noradrenalin

Kadar metabolisme norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan

otak penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang

merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan

defisit kortikal noradrenergik.

Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita

alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer

et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada

post dan ante-mortem penderita alzheimer.

c. Dopamin

Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter

region hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada

penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena

potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.

d. Serotonin

Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-

indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga

didapatkan pada nukleus basalis dari meynert. Penurunan serotonin pada subregio

hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus

sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.

Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan

diisi oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis

e. MAO (Monoamine Oksidase)

11
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas

normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin

dan sebagian kecil dopamin, sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin.

Pada penderita alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan

frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus

basalis dari meynert.

2.4 Gejala Klinik11,16,18

Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara progresif

yang mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi penurunan ingatan jangka pendek atau

kemampuan belajar atau menyimpan informasi, penurunan kemampuan berbahasa, kesulitan

menemukan kata atau kesulitan memahami pertanyaan atau petunjuk, ketidakmampuan

menggambar atau mengenal gambar dua-tiga dimensi, dan lain-lain.

Kategori Gejala pada Alzheimer11

12
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahan - lahan, sehingga pasien

dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat

beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:

 Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)

 Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired

 Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions

 Language : poor woordlist generation, anomia

 Personality : indifference,occasional irritability

 Psychiatry feature : sadness, or delution in some

 Motor system : normal

 EEG : normal

 CT/MRI : normal

 PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion

 Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)

 Memory : recent and remote recall more severely impaired

 Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions

 Language : fluent aphasia

 Calculation : acalculation

 Personality : indifference, irritability

 Psychiatry feature : delution in some

 Motor system : restlessness, pacing

13
 EEG : slow background rhythm

 CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent

 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

 Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)

 Intelectual function : severely deteriorated

 Motor system : limb rigidity and flexion poeture

 Sphincter control : urinary and fecal

 EEG : diffusely slow

 CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent

 PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

Gambar. 3 Penyakit Alzheimer18

14
2.5 Diagnosa10,17

Menegakkan penyakit Alzheimer harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat. Untuk diagnosis klinis

penyakit Alzheimer diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological and

Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer’s Disease and Related

Disorders Association (ADRDA). (Tabel 1)

a. Anamnesis10

Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),lamanya,dan bagaimana laju progresi

penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori yang

berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir

75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori,tetapi gejala awal juga dapat

meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti perintah,menemukan kata,atau

mengemudi. Perubahan kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan atau obsesi terhadap

makanan mengarah pada fronto-temporal dementia (FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada

pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang

terjadi adalah penyakit Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya.

Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia,maka anamnesis harus diarahkan pula

pada berbagai faktor risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat

sifilis, konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta

penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus

selalu menjadi bagian dari evaluasi, mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer terdapat

kecenderungan familial.

15
b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis10,19

Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motork kecuali pada

tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus,

atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy Body

(DLB), atau demensia multi-infark.

c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik10,19

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif

adalah the mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan untuk memantau

perjalanan penyakit. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori

episodik,category generation (menyebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit),dan

kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering

merupakan abnormalitas neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer,dan tugas

yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah

jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer.

Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak

kelainan terhadap memori pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian, berpakaian,dan makan.

Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur

pendekatan terapi dengan keluarga.

16
Tabel 1. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer

17
Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:

- Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the

mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau pemeriksaan sejenis,dan dikonfirmasi oleh

tes neuropsikologis

- Defisit pada dua atau lebih area kognitif

- Tidak ada gangguan kesadaran

- Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun

- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit

progresif pada memori dan kognitif

Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:

- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan agnosia

- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku

- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah dikonfirmasi secara

neuropatologi

- Hasil laboratorium yang menunjukkan

- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar

Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti peningkatan atktivitas

slow-wave

- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh

pemeriksaan serial

Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer,setelah

mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:

- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)

- Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi,insomnia,inkontinensia,delusi,

halusinasi,verbal katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan

18
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit tahap

lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan melangkah

- Kejang pada penyakit yang lanjut

- Pemeriksaan CT normal untuk usianya

Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok

adalah:

- Onset yang mendadak dan apolectic

- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan sensorik,defisit lapang

pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal penyakit;dan kehang atau gangguan

melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit

Diagnosis possible penyakit Alzheimer:

- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan neurologis

psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan demensia,dan adandya variasi pada

awitan,gejala klinis,atau perjalanan penyakit

- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk

menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan merupakan penyabab

demensia

Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:

- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer

- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi

Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran

khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer,seperti:

- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama

- Awitan sebelum usia 65 tahun

- Adanya trisomi-21

19
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

d. Pemeriksaan Penunjang10,11,19

1. Neuropatologi

Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi

neuropatologi. Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat

otaknya berkisar 1000 gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi

lebih menonjol pada lobus temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital,

korteks motorik primer, sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937). Kelainan-

kelainan neuropatologi pada penyakit alzheimer terdiri dari:

Gambar : Atrofi kortikal dengan hidrosepalus pada penyakit Alzheimer

a. Neurofibrillary tangles (NFT)

Merupakan sitoplasma neuronal yang terbuat dari filamen-filamen abnormal yang

berisi protein neurofilamen, ubiquine, epitoque. NFT ini juga terdapat pada neokorteks,

20
hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus, dorsal raphe dari inti batang

otak.

Gbr. 5 Neurofibrillary tangles pada penyakit Alzheimer

NFT selain didapatkan pada penyakit alzheimer, juga ditemukan pada otak manula,

down syndrome, parkinson, SSPE, sindroma ektrapiramidal, supranuklear palsy.

Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.

b. Senile plaque (SP)

Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang berisi

filamen-filamen abnormal, serat amiloid ektraseluler, astrosit, mikroglia. Amloid

prekusor protein yang terdapat pada SP sangat berhubungan dengan kromosom 21.

Senile plaque ini terutama terdapat pada neokorteks, amygdala, hipokampus, korteks

piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer, korteks somatosensorik,

korteks visual, dan auditorik. Senile plaque ini juga terdapat pada jaringan perifer.

21
Perry (1987) mengatakan densitas Senile plaque berhubungan dengan penurunan

kolinergik. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plaque) merupakan

gambaran karakteristik untuk penderita penyakit alzheimer.

c. Degenerasi neuron

Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit

alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada

neuron piramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus,

amigdala, nukleus batang otak termasuk lokus serulues, raphe nukleus dan substanasia

nigra.

Kematian sel neuron kolinergik terutama pada nukleus basalis dari meynert, dan sel

noradrenergik terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada nukleus raphe

dorsalis, nukleus tegmentum dorsalis.

Telah ditemukan faktor pertumbuhan saraf pada neuron kolinergik yang

berdegenerasi pada lesi eksperimental binatang dan ini merupakan harapan dalam

pengobatan penyakit alzheimer.

d. Perubahan vakuoler

Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser

nukleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP

, perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdala dan insula.

Tidak pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus,

serebelum dan batang otak.

22
e. Lewy body

Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada enterhinal,

gyrus cingulate, korteks insula, dan amygdala. Sejumlah kecil pada korteks frontalis,

temporal, parietalis, oksipital. Lewy body kortikal ini sama dengan immunoreaktivitas

yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi penyakit

parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variant dari penyakit

alzheimer.

2. Pemeriksaan neuropsikologik

Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan

neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif

umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga

bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang

berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan

pengertian berbahasa.

Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi Alzheimer yang

penting karena:

a. Adanya Alzheimer kognisi yang berhubungan dgn demensia awal yang dapat

diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.

b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk

membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan deficit selektif yang

diakibatkan oleh disfungsi fokal, Alzhei Alzheimer, dan gangguan psikiatri

23
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh

demensia karena berbagai penyebab.

The Consortium to establish a Registry for Alzheimer Disease (CERALD)

menyajikan suatu prosedur penilaian neuropsikologis dengan mempergunakan alat

batrey yang bermanifestasi gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri

dari:

1. Verbal fluency animal category

2. Modified boston naming test

3. mini mental state

4. Word list memory

5. Constructional praxis

6. Word list recall

7. Word list recognition

Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada Alzheimer

3. CT Scan dan MRI

Merupakan metode non Alzheimer yang beresolusi tinggi untuk melihat

kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.

Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab

demensia lainnya selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal

menyeluruh dan pembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan

yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada

24
demensia lainnya seperti multiinfark, Alzheimer, binswanger sehingga kita sukar untuk

membedakan dengan penyakit Alzheimer.

Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan

beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan

peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn

pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain

didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal

seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan

fissura sylvii.

Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari

penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari

hipokampus.

(a) (b) (c)

25
(d) (e) (f)

Keterangan gambar :

(a) : Potongan coronal, T1-weighted MRI pada pasien dengan penyakit Alzheimer sedang. Gambaran otak

menunjukkan atrofi hipokampal, khususnya pada bagian kanan

(b) : Potongan aksial, T2-weighted MRI. Gambaran otak menunjukkan perubahan atrofi pada lobus temporal

(c) : Potongan aksial, T2-weighted MRI menunjukkan dilatasi fisura sylvian yang merupakan hasil dari atrofi

kortikal adjacent, khusunya pada bagian kanan.

(d) : Potongan aksial, T1-weighted MRI menunjukkan dilatasi fisura sylvian yang merupakan hasil dari atrofi

kortikal adjacent

(e) : Potongan aksial, T1-weighted MRI menunjukkan atrofi kortikal bilateral dengan

(f) : Potongan aksial, T1-weighted MRI menunjukkan dilatasi fisura sylvian yang merupakan hasil dari atrofi

kortikal adjacent

4. EEG

Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada

penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang

non spesifik.

26
5. PET (Positron Emission Tomography)

Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah,

metabolisma O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada

regional parietal, hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu

dan sesuai dengan hasil observasi penelitian neuropatologi

Gambar ; PET pada penyakit Alzheimer

6. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)

Aktivitas I. 123 terendah pada regio parietal penderita alzheimer. Kelainan ini

berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan

ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.

7. Laboratorium darah

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.

Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia

lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Fosfor, BSE, fungsi renal dan

27
hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan secara

selektif.

2.6 Penatalaksanaan20,21,22

Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan

patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya

memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan

E belum mempunyai efek yang menguntungkan.

Gambar Pengobatan Alzheimer

1. Inhibitor asetilkolinesterase

Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan

simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar

asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase

yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat

ini dikatakan dapat memperbaiki memori danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa

28
peneliti menatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual

pada orang normal dan penderita alzheimer.

 Donepezil HCL tablet 5 mg, 1x1 tablet/hari

 Rivastigmin tablet, interval titrasi 1 bulan, mulai dari 2 x 1,5 mg sampai maksimal 2 x 6

mg

 Galantamin tablet, interval titrasi 1 bulan, mulai dari 2x1,5 mg sampai maksimal 2 x 16

mg

Penyakit Alzheimer Ringan - Sedang

 Donepezil

Donepezil bermanfaat dalam terapi penurunan kognisi pada pasien DA, berdasar

pada 13 RCT dan 2 buah review sistematik. Donepezil 10 mg lebih efektif dibandingkan

dengan Donepezil 5 mg dan plasebo dalam hal perubahan dari dasar pada Alzheimer

disease Assessment Scale-Cognition (ADAS-Cog). Menggunakan skor MMSE,

perubahan dari dasar lebih baik pada Donepezil 10 mg dibandingkan plasebo. Pada RCT

lain, Donepezil memperbaiki skor MMSE 0,8 poin dibandingkan plasebo (95% CI 0.5 to

1.2, p < 0.0001).

 Rivastigmin

Bukti dari 3 buah review sistematik, 4 buah RCT (n=1940), rivastigmine

bermanfaat untuk DA pada dosis lebih tinggi (6–12 mg/hari). Meta analisis dari 2 buah

RCT (durasi 26 minggu) menunjukkan perbedaan signifikan untuk rivastigmine 6-12

mg/hari dibandingkan plasebo dengan menggunakan ADAS-cog. The Investigation of

transdermal Exelon in Alzheimers disease (IDEAL) study (n=1195) menemukan bahwa

29
rivastigmine patch 17.4 mg (20cm2/24 jam) dan 9.5 mg (10 cm2/24jam) menunjukan

efikasi yang sama dengan kapsul (6 mg dua kali sehari). Meski demikian target dosis

tidak tercapai pada sebagian besar pasien dan perbandingan dosis yang efektif adalah 9

mg/hari (kapsul). Pada studi ini semua grup rivastigmine bila dibandingkan dengan

plasebo menunjukkan perbaikan signifikan secara statistik pada ADAS-cog setelah 24

minggu. Bila dibandingkan dengan kapsul, Patch 9.5 mg hanya menghasilkan efek

samping 2/3 lebih sedikit berupa mual dan muntah. Meski demikian patch 17.4 mg

menunjukkan tolerabilitas yang sama dengan kapsul. Tolerabilitas kulit baik (>90% tidak

mengalami atau hanya iritasi kulit ringan).

 Galantamin

Berdasarkan review sistematik terhadap 7 buah RCT, galantamine memberi

manfaat namun hanya sedikit perbaikan. Galantamine (24 mg) dibandingkan dengan

plasebo memberikan perbaikan pada ADAS-Cog.

 Memantin

Cochrane review, berdasarkan 3 RCT menunjukkan bahwa memantine (20 mg /

hari) memberikan sedikit perbaikan pada clinical impression of change (CIBIC-Plus)

(perubahan skor CIBIC-Plus 0.13 poin, 95% CI: 0.01, 0.25, p = 0.030) dan ADAS-Cog

(0.99 poin, 95%CI 0.2 to 1.8, p=0.01) untuk pasien dengan DA ringan – sedang setelah

24 minggu. Tidak ada perbedaan signifikan dalam jumlah pasien yang mengalami efek

samping (NNH=39). Pada sebuah RCT (n=403), memantine dibandingkan plasebo

memperbaiki fungsi kognitif pada DA ringan - sedang (-1.9 poin, 95%CI, -3.1 to -0.6)

pada ADAS-cog setelah 24 minggu. Memantin terdaftar hanya untuk digunakan pada

30
terapi DA sedang-berat.131 Meski demikian bila pasien tidak dapat mentolerasi AchEI,

memantine dapat diberikan.

Penyakit Alzheimer Sedang - Berat

 Donepezil

Cochrane review menunjukkan Donepezil efektif dalam memperbaiki fungsi

kognitif pada AD sedang-berat setelah 52 minggu terapi dengan dosis 10 mg/hari pada

ADAS-Cog. Manfaat bagi pasien dengan dosis 10 mg/hari lebih besar dari 5 mg/hari.

RCT lain melaporkan pasien yang diterapi dengan menggunakan Donepezil mengalami

perbaikan dalam Severe Impairment Battery (SIB) (rata-rata perbedaan Least square [LS]

= 5.5, 95%CI 1.5 - 9.8, p=0.008) dan penurunan yang lebih kecil pada Alzheimers

Disease Cooperative Study–Activities of Daily Living (ADCS-ADL) (LS= 1.7, 95%CI 0.2

- 3.2, p=0.03). Juga didaptkan perbaikan dalam skor MMSE setelah 6 bulan mendapat

terapi dibanding sebelum terapi, jika dibandingkan dengan kontrol (LS=1.4, 95%CI 0.4 -

24, p=0.009). Insidensi efek samping tidak jauh berbeda antara donepezil dengan

plasebo, dan kebanyakan bersifat sementara, dengan derajat ringan atau sedang. Lebih

banyak pasien menghentikan terapi karena efek samping pada grup Donepezil

dibandingkan plasebo. RCT lain menunjukkan donepezil superior dibandingkan plasebo

pada skor had found that donepezil was superior pada perubahan skor SIB (p< 0.0001).

Hal serupa didaptkan pada pemeriksaan CIBIC-Plus (p < 0.0473) dan MMSE (p<

0.0267). Laporan efek samping cukup konsisten dan sesuai dengan efek kolinergik

Donepezil. Profil keamanan Donepezil pada pasien denagn DA berat sama dengan DA

ringan – sedang.

31
 Rivastigmin

Ada sedikit keuntungan pada DA sedang-berat (MMSE 10 - 14), dalam hal skor

ADAS-Cog (99%CI -7.5 hingga -2.6) berdasarkan data ITT-LOCF pabrik pembuat dari

percobaan (n=232) selama 24 minggu. Meski demikan tidak ada bukti yang mendukung

penggunaan rivastigmine pada DA berat. (MMSE < 10).

 Galantamin

Untuk DA sedang-berat, ada sedikit keuntungan dalam skor ADASCog (-6.1poin,

99%CI -7.9 hingga -4.3) berdasarkan data ITTLOCF pabrik pembuat melalui percobaan

(n=340) selama 24 minggu. Studi SERAD (Safety and Efficacy of Reminyl in Alzheimers

disease) menemukan galantamine dapat digunakan dengan aman pada lanjut usia dengan

DA berat. Meski galantamine memperbaiki fungsi kognisi, ia gagal menunjukkan

perbaikan dalam aktivitas sehari-hari. Rata-rata total perbaikan skor SIB adalah 1,9 poin

(95%CI –0.1 - 3.9) dengan galantamine, dan menunjukkan perburukan 3,0 poin (95%CI –

5.6 hingga –0.5) dengan plasebo.

 Memantin

Memantine efektif dalam memperbaiki fungsi kognisi pada DA sedang – berat,

berdasar pada 2 review sistematik, 13 RCT (n=4200). Dua buah RCT (n=650)

menunjukkan fungsi kognisi lebih sedikit menurun setelah mendapat terapi memantine

dibandingkan dengan plasebo bila diukur dengan SIB. Rata-rata perubahan dari sebelum

terapi dengan analisis LOCF antara memantine dengan placebo adalah –4.0 dan –10.1

secara berurutan (p < 0.001). namun tidak ada perbedaan signifikan secara statistik pada

CIBIC, MMSE dan NPI. Sebuah Cochrane review, menunjukkan bahwa terapi dengan

memantine (20 mg/hari) pada pasien dengan DA sedang – berat memberikan sedikit

32
manfaat pada 2 dari 3 studi dengan durasi 6 bulan. Manfaat terlihat pada fungsi kognisi

dengan menggunakan SIB (2.9 poin, 95%CI 1.7 hingga 4.3, p < 0.00001), ADL (ADCS-

ADLsev) (1.3 poin, 95% CI 0.4 hingga 2.1, p=0.003), mood dan perilaku (NPI) (2.8 poin,

95%CI 0.9 - 4.6, p=0.004), dan CIBIC-Plus (0.28 poin, 95% CI 0.2 - 0.4, p< 0.0001).

33
Terapi Simptomatik

1. Gangguan Perilaku

 Depresi :

- Antidepresan golongan SSRI (pilihan utama) : sertraline tablet 1x50 mg,

flouxentine tablet 1x20 mg

- Golongan monoamine oxidase (MAO) inhibitors : Reversible MAO-A

inhibitors (RIMA) : moclobemide

 Delusi / halusinasi / agitasi :

- Neuroleptik atipikal : Risperidon tablet 1x0,5 mg – 2 mg/hari, Olanzapin,

Quetiapin tablet 2x25 mg – 100 mg

- Neuroleptik tipikal : Haloperidol tablet 1x0,5 mg – 2 mg/hari

34
35
Terapi oksigen hiperbarik

Terapi oksigen hiperbarik merupakan terapi medis menggunakan oksigen 100%, pada sebuah

ruangan dengan tekanan 1 ATA. Terapi oksigen hiperbarik telah digunakan di klinik untuk

berbagai kondisi medis. Salah satu mekanisme aksi utama terapi oksigen hiperbarik adalah

peningkatan tekanan parsial oksigen yang lebih efektif dalam darah dan jaringan dibandingkan

dengan suplementasi oksigen sederhana23. Terapi oksigen hiperbarik meningkatkan kinerja

subyek yang sehat baik dalam tugas-tugas tunggal motorik dan kognitif atau dalam multitasking

(kognitif dan motorik) dibandingkan dengan subyek di bawah kondisi normobaric. 24

Pada tingkat sel, terapi oksigen hiperbarik dapat memperbaiki mitokondria redoks, menjaga

integritas mitokondria, menghambat jalur apoptosis terkait mitokondria, mengurangi stres

oksidatif dan meningkatkan kadar neurotropin dan nitrit oksida melalui peningkatan fungsi

mitokondria baik pada neuron dan sel glial.25

Demikian pula, banyak penelitian telah menunjukkan efek neuroprotektif dari terapi oksigen

hiperbarik pada cedera otak iskemik dan cedera otak traumatis. Selain itu, terapi oksigen

hiperbarik telah terbukti secara signifikan meningkatkan fungsi neurologis dan kualitas hidup

pada pasien stroke, bahkan pada tahap akhir kronis, setelah stroke sudah terjadi26. Terapi

oksigen hiperbarik mengurangi beban amyloid pada tikus 3xTg dengan menurunkan jumlah dan

ukuran plak Aβ. Selanjutnya, Terapi oksigen hiperbarik mengurangi protein prekursor amiloid

abnormal (APP), yang mengarah pada pembentukan Aβ42 yang berlebihan dan pembentukan

plak Aβ. Secara khusus, Terapi oksigen hiperbarik mengurangi tingkat β-secretase 1 (BACE1)

dan presenilin 1 (komponen γ-secretase), yang mempromosikan pemrosesan APP amiloidogenik.

36
Pengamatan ini sesuai dengan bukti hipoksia yang memicu pembentukan Aβ dengan

memfasilitasi pembelahan β- dan γ-sekretase APP.27

Selain plak amyloid, Terapi oksigen hiperbarik juga mengurangi fosforilasi tau tanpa mengubah

tingkat total protein tau. Penurunan fosforilasi tau dikaitkan dengan peningkatan rasio glikogen

sintase kinase 3β (GSK3β) terfosforilasi di situs Ser9 terhadap total protein GSK3β, terutama

karena penurunan kadar total GSK3β (Gambar 1). Peningkatan kadar GSK3β telah dikaitkan

dengan peningkatan fosforilasi tau karena hipoksia.28

Hipoksia mengaktifkan mikroglia dan astroglia dan menginduksi sekresi sitokin proinflamasi.

Tikus 3xTg-alzaimer menunjukkan tingkat sitokin dan peradangan saraf yang tinggi .

Menariknya, terapi oksigen hiperbarik mengurangi microgliosis, astrogliosis, dan sekresi sitokin

proinflamasi, seperti interleukin (IL) -1β dan tumor necrosis factor alpha (TNFα), dan

meningkatkan produksi sitokin anti-inflamasi, seperti IL-4 dan IL- 10 dalam 3xTg tikus (Gambar

1). Selain itu, terapi oksigen hiperbarik menginduksi perubahan morfologi dalam mikroglia

dekat plak ke keadaan yang lebih bercabang, dan meningkatkan ekspresi mikroglial reseptor A

dan arginase 1, yang diketahui memediasi klirens Aβ. 29


Hasil ini menunjukkan bahwa terapi

oksigen hiperbarik melemahkan neuroinflammation dan merepresi mediator inflamasi (Gambar

1). Modulasi sistem kekebalan oleh terapi oksigen hiperbarik ini konsisten dengan penelitian

sebelumnya yang menyelidiki efek perawatan ini pada kondisi neurologis lainnya, seperti cedera

otak traumatis, stroke, dan iskemia otak.

Hipoksia merupakan penyebab utama untuk pembentukan ROS, peroksidasi lipid membran sel,

pembelahan DNA, oksidasi protein, dan disfungsi mitokondria. Itu sebelumnya menunjukkan

bahwa peningkatan oksigen di otak model tikus dengan penyakit alzaimer dengan terapi oksigen

37
hiperbarik meningkatkan aktivitas enzim antioksidan dan menyebabkan penekanan kerusakan

oksidatif dan penurunan degenerasi neuronal, sehingga berkontribusi terhadap efek perlindungan

pada penyakit alzaimer. 30,31

Implikasi untuk pengobatan pasien alzaimer :

Pemahaman yang berkembang tentang pentingnya oksigen dalam fungsi otak di bawah kondisi

normal dan penyakit menandainya sebagai pemain kunci dalam perawatan penyakit alzaimer.

38
Dengan demikian, terapi oksigen hiperbarik muncul sebagai platform yang ditoleransi dengan

baik, aman dan efektif untuk meningkatkan oksigenasi otak. Karena efek neuroprotektifnya,

terapi oksigen hiperbarik digunakan untuk mengobati berbagai kondisi neurologis yang

berhubungan dengan hipoksia (seperti stroke, iskemia, dan cedera otak traumatis).

Namun, ketika penyakit alzaimer didiagnosis secara klinis, pasien sudah mengalami atrofi otak

yang signifikan, yang berarti kehilangan jaringan signifikan yang tidak dapat dipulihkan. Selain

itu, pasien alzaimer memiliki pola patologis dan keparahan yang berbeda. Oleh karena itu, salah

satu tantangan paling penting dalam penerapan terapi oksigen hiperbarik ke pengaturan klinis

adalah untuk mengidentifikasi subpopulasi pasien yang akan mendapat manfaat paling banyak

dari perawatan. Kandidat klasik untuk oksigen hiperbarik akan menjadi pasien pada tahap awal

penyakit alzaimer. Oleh karena itu, biomarker awal untuk penyakit alzaimer harus dicari (darah,

cairan tulang belakang otak, pencitraan, dan indikasi kognitif) dan diukur secara rutin. Ketika

kerusakan pada langkah-langkah ini terdeteksi sebelum penurunan fungsi yang signifikan, terapi

oksigen hiperbarik harus diterapkan.

2.7 Prognosis

Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai prognostik

tergantung pada 3 faktor yaitu:

1. Derajat beratnya penyakit

2. Variabilitas gambaran klinis

3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin

Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi

prognostik penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan

39
hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi

sekunder.

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejala - gejala klinik tanpa

dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi, neuropsikologis, MRI, SPECT,

PET. Sampai saat ini penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor genetik sangat

menentukan (riwayat keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai pencetus ekspresi

genetik. Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang memuaskan, hanya dilakukan

secara empiris, simptomatik dan suportif untuk menyenangkan penderita atau keluarganya.

Diagnosis dini penyakit alzaimer akan memungkinkan pengobatan ketika kerusakan permanen

masih minim, sehingga memaksimalkan efek terapi oksigen hiperbarik. Secara khusus,

perawatan yang optimal atau ideal harus ditentukan dengan memperhatikan tekanan oksigen,

waktu perawatan, dan kesinambungan perawatan. diharapkan bahwa mirip dengan gangguan

neurologis lainnya, terapi oksigen hiperbarik akan menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam

pengobatan penyakit alzaimer

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Gilroy, John Basic Neurology, Mc Graw Hill. USA, 1997 Hauser,Stephen,L (ed).

Harrison’s, Neurology in Clinical Medicine . Mc Graw Hill, Philadelphia, 2005

2. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran UI. 2000

3. Cummings, MD Jeffrey L. Dementia a clinical approach.2nd ed. Butter worth: 43-93

4. Fratiglioni L. Clinical diagnosis of alzheimer disease and other dementia in population

survey. Arc.Neurol. 1992

5. Kathleen A. Neuropsycological assessment of alzheimer disease. Neurology 1997

(Michael Gold. Plasma and red blood a cell thiamin defisiency in patiens with dementia

of type alzheimer disease. Arc Neurol. 1995

6. Morh Gautier. Guide to clinical neurology 1st ed. New York: Churchill, 1995

7. Bird TD,Miller BL.Alzheimer’s disease and other dementias.Dalam: Kasper

DL,Braunwald E,Fauci AS,Hauser SL,Longo DL,penyunting. Harrison’s Principles of

Internal Medicine,Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing

Division;2005

8. Cummings JL. Alzheimer’s disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67

9. Rochmach W,Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A,Setiyohadi B,Alwi I,Setiati S,

penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4.Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006

41
10. Anderson HS. Alzheimer Disease. USA. [Online] May 04, 2016 [Cited 24 June 2016].

Available from : URL: http://emedicine.medscape.com/article/1134817-overview

11. Ramachandran TS. Alzheimer Disease Imaging. USA. [Online] May 15, 2016 [Cited 24

June 2016]. Available from : URL: http://emedicine.medscape.com/article/336281-

overview

12. Japardi I. Penyakit alzheimer. Bagian bedah FK USU. 2002

13. Hidayaty DF. Hubungan aktivitas fisik dan aktivitas kognitif terhadap kejadian demensia

pada lansia di kelurahan Sukabumi Selatan tahun 2012. (Skripsi). Jakarta : Universitas

Islam Negeri Syarif Hidatullah. 2012

14. Primaniar PS. Cholinesterase inhibotors sebagai terapi dementia tipe alzheimer.

Bagian/SMF Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit

Umum Pusat Sanglah

15. Pattni KAM. Beta-Amyloid sebagai pathogenesis pada penyakit Alzheimer. Bagian /

SMF Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah / Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana

16. Rizzi L, Rosset I, Roriz-cruz M. Global epidemiology of dementia : Alzheimer’s and

Vascular types. Hindawi Publishing Corporation BioMed Research International. Volume

2014, Article ID 908915. 2014

17. Korolev IO. Alzheimer’s disease: A clinical and basic sciene review. Medical Student

Research Journal. VOL: 04. 2014

18. Solmon A. Mangialasche F. Andrieu S. Bennett A, Breteler M, et al. Advances in the

prevention of alzheimer’s disease. Journal of internal medicine. doi: 10.1111/joim.12178.

2014

42
19. T Susmiarsih. Dinamika mitokondria pada penyakit neurodegenerasi (Alzheimer,

hungtington, dan parkinson). Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2009 Vol.1, No.2

20. Fungsi Luhur. Standar Pelayanan Medik (SPM). PERDOSSI

21. Japardi I. Penyakit Alzheimer. Bagian Bedah FK USU. 2002

22. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktik klinik diagnosis dan

penatalaksanaan demensia. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2015

23. Calvert JW, Cahill J, Zhang JH. Hyperbaric oxygen and cerebral physiology. Neurol Res.

2007;29:132–141

24. Vadas D, Kalichman L, Hadanny A, Efrati S. Hyperbaric oxygen environment can

enhance brain activity and multitasking performance. Front Integr Neurosci. 2017;11:25

25. Huang L, Obenaus A. Hyperbaric oxygen therapy for traumatic brain injury. Med Gas

Res. 2011;1:21.

26. Efrati S, Fishlev G, Bechor Y, Volkov O, Bergan J, Kliakhandler K, Kamiager I, Gal N,

Friedman M, Ben-Jacob E, Golan H. Hyperbaric oxygen induces late neuroplasticity in

post stroke patients--randomized, prospective trial. PLoS One. 2013;8:e53716.

27. Li L, Zhang X, Yang D, Luo G, Chen S, Le W. Hypoxia increases Abeta generation by

altering beta- and gamma-cleavage of APP. Neurobiol Aging. 2009;30:1091–1098

28. Zhang X, Le W. Pathological role of hypoxia in Alzheimer’s disease. Exp Neurol.

2010;223:299–303

29. Frenkel D, Wilkinson K, Zhao L, Hickman SE, Means TK, Puckett L, Farfara D, Kingery

ND, Weiner HL, El Khoury J. Scara1 deficiency impairs clearance of soluble amyloid-

beta by mononuclear phagocytes and accelerates Alzheimer’s-like disease progression.

Nat Commun. 2013;4:2030

43
30. Tian X, Wang J, Dai J, Yang L, Zhang L, Shen S, Huang P. Hyperbaric oxygen and

Ginkgo Biloba extract inhibit Abeta25-35-induced toxicity and oxidative stress in vivo: a

potential role in Alzheimer’s disease. Int J Neurosci. 2012;122:563–569

31. Zhao B, Pan Y, Wang Z, Xu H, Song X. Hyperbaric oxygen pretreatment improves

cognition and reduces hippocampal damage via p38 mitogen-activated protein kinase in a

rat model. Yonsei Med J. 2017;58:131–138.

44

Anda mungkin juga menyukai