Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

IMPILKASI MENDASAR PERUBAHAN UUD 1945 TERHADAP PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

OLEH

MARIO WARU SADIPUN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WIDYA MANDIRA

KUPANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Adanya sebuah konstitusi merupakan pemikiran yang telah lama berkembang.
Hal ini menghendaki adanya ide terhadap pembatasan kekuasaan pemerintah.
Pembatasan tersebut agar dapat terlaksana dengan baik dan mendapatkan sebuah
kepastian maka harus berdasarkan oleh hukum. Hakikat konstitusi itu sendiri tidak lain
adalah pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan di satu pihak dan jaminan
terhadap hak-hak warga negara maupun setiap penduduk dipihak lain. Hak-hak ini
mencakup hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, mempunyai milik, kesejahteraan
(health), dan kebebasan.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2007) empat tahap perubahan UUD 1945 telah
merubah hampir keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan.
Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir
ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir
ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Menurut Moh. Mahfud, MD (2010), politik pembangunan sebagai pedoman
dalam pembangunan nasional memerlukan adanya tata nilai, struktur dan proses yang
merupakan himpunan usaha untuk mencapai efisiensi, daya guna dan hasil guna sebesar
mungkin dalam penggunaan sumber dana dan daya nasional. Guna mewujudkan tujuan
nasional, untuk itu diperlukan Sistem Manajemen Nasional. Sistem manajemen
nasional adalah suatu sistem yang berfungsi memadukan penyelenggaraan siklus
kegiatan berupa perumusan kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan, dan
pengendalian pelaksanaannya. Sistem manajemen nasional berfungsi memadukan
keseluruhan upaya manajerial yang berintikan tatanan pengambilan keputusan
berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara
untuk mewujudkan ketertiban sosial, ketertiban politik dan ketertiban administrasi.
Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan kewenangan
perwakilan politik, di tengah kuatnya desakan tuntutan politik demokratisasi, juga
cukup menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPR yang terjebak pada seremoni
prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya. Kendala politik demikian, membutuhkan
transformasi alat kelengkapan dan reposisi fraksi atau pengelompokkan
keanggotannya, agar dapat secara maksimal mendorong peran kelembagaannya yang
kondusif bagi produktivitas perannya dalam agenda nasional.
Di samping itu perubahan konfigurasi politik di DPR pada permulaan periode
Tahun 2014 yang turut mengubah susunan Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan, masih
menyisakan persoalan jumlah Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan yang belum
sama dengan jumlah Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan lainnya sehingga berjumlah
ganjil yang memudahkan dalam pengambilan keputusan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat diketahui hal yang hendak
dikaji dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang adalah perubahan UUD
1945 terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia.

C. TUJUAN PENULISAN’
Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik selain untuk bahan masukan
bagi pembuat RUU tentang Perubahan Kedua UU MD3, juga dapat berguna bagi pihak-
pihak yang berkepentingan. Naskah Akademik ini juga nantinya akan berguna sebagai
dokumen resmi penyusunan RUU tentang Perubahan Kedua UU MD3 yang akan
dibahas oleh Pemerintah dan DPR berdasarkan Prolegnas Prioritas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perubahan UUD 1945
1) Sejarah Perjalanan Amandemen UUD 1945
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) menjadi variabel bebas, yang menggerakkan konstruksi
politik sangat kondusif bagi bangkitnya demokratisasi politik tidak saja
menyangkut relasi antara badan legislatif terhadap kelembagaan
suprastruktur politik lainnya, terutama antara pihak DPR terhadap eksekutif,
tetapi juga hingga di tingkat internal kelembagaan perwakilan itu sendiri,
yaitu baik pada masing-masing alat kelengkapan dan fraksi, serta
masingmasing supporting system-nya.
‘Perjalanan lahirnya perangkat pengaturan kelembagaan politik dalam
konteks demokratisasi, diarahkan dalam rangka usaha menciptakan check
and balances. Check and balances mempunyai arti mendasar dalam
hubungan antarkelembagaan negara. Misalnya, untuk aspek legislasi, check
and balances mempunyai lima fungsi. Pertama, sebagai fungsi
penyelenggara pemerintahan, di mana eksekutif dan legislatif mempunyai
tugas dan tanggungjawab yang saling terkait dan saling memerlukan
konsultasi sehingga terkadang tampak tumpang tindih. Namun di sinilah
fungsi check and balances agar tidak ada satu lembaga negara lebih
dominan tanpa control dari lembaga lain. Kedua, sebagai fungsi pembagi
kekuasaan dalam lembaga legislatif sendiri, di mana melalui sistem
pemerintahan yang dianut, seperti halnya sistem presidensial di Indonesia,
diharapkan terjadi mekanisme control secara internal. Ketiga, fungsi
hirarkis antara pemerintah pusat dan daerah. Keempat, sebagai fungsi
akuntabilitas perwakilan dengan pemilihnya. Kelima, sebagai fungsi
kehadiran pemilih untuk menyuarakan aspirasinya.
Konstruksi prosedural politik yang menghambat pelaksanaan
kewenangan perwakilan politik, di tengah kuatnya desakan tuntutan politik
demokratisasi, juga cukup menempatkan peran kenegaraan MPR dan DPR
yang terjebak pada seremoni prosedural pelaksanaan fungsi-fungsinya.
Kendala politik demikian, membutuhkan transformasi alat kelengkapan dan
reposisi fraksi atau pengelompokkan keanggotannya, agar dapat secara
maksimal mendorong peran kelembagaannya yang kondusif bagi
produktivitas perannya dalam agenda nasional. Transformasi posisional alat
kelengkapan dan reposisi fraksi sebagai kepanjangan tangan kekuatan
politik partai tidak lain merupakan terjemahan dari proses konsolidasi
demokrasi yang tidak sekedar peningkatan kapasitas artikulasi aspirasi
dalam produk-produk yang dihasilkan, tetapi juga tetap mempunyai
kreatifitas untuk bergerak secara sangat dinamis sesuai aturan main dalam
koridor konstitusi yang digariskan.
Berbagai persoalan yang dihadapi tersebut kemudian dilakukan upaya
perbaikan dengan ditetapkannya UU No.17 Tahun 2014 tentang MD3.
Namun dalam perkembangannya, khususnya dalam kepemimpinan MPR
dan DPR dinilai kurang mencerminkan proporsionalitas yang didasarkan
pada mayoritas kursi di parlemen. Beberapa partai politik yang memiliki
kursi terbanyak justru tidak terwakili di dalam kepemimpinan MPR dan
DPR. Sehingga hal ini dinilai akan menghambat kinerja MPR dan DPR
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya khususnya dalam mewujudkan
sistem pemerintahan presidensial yang lebih efektif.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945, membawa implikasi dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945 melahirkan
lembaga-lembaga tinggi Negara baru (Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah) serta menghapus Dewan
Pertimbangan Agung. Perubahan UUD 1945 juga memangkas kewenangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, untuk selanjutnya disebut MPR. Pada
masa sebelum Perubahan UUD 1945, MPR memiliki kewenangan untuk (a)
Menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan
negara dan (b) Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Sesudah Perubahan UUD 1945, kewenangan MPR meliputi: (a) Mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar; (b) Melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden; dan (c) Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Implikasi lebih lanjut pemangkasan kewenangan MPR di atas, program
pembangunan yang pada awalnya tertuang dalam garis-garis besar daripada
haluan Negara tidak memperoleh tempat. Sebagai terobosan hukum,
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutnya disebut UU SPPN.
Sebagai tindak lanjut dari UU SPPN, diundangkanlah Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025, untuk selanjutnya disebut UU RPJPN 2005-
2025.
Proses politik yang melahirkan visi, misi dan program yang disampaikan
oleh calon Presiden/kepala daerah pada saat kampanye diolah kembali oleh
lembaga perencana melalui proses teknokratik yang nantinya akan menjadi
dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah sejalan dengan
proses yang ditetapkan oleh UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dari sisi jangka waktu,
perencanaan pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) mempunyai
kurun waktu 20 tahun, perencanaan pembangunan jangka menengah
(RPJM), dengan kurun waktu 5 tahun, dan rencana kerja pemerintah (RKP)
dengan kurun waktu 1 (satu) tahun.
2) Alasan Dilakukan Amendemen UUD 1945

B. Implikasi Mendasar Perubahan UUD 1945 Terhadap Tata Peratutan Perundang-


undangan di Indonesia
Ketika arus gerakan reformasi berhasil menumbangkan sakralisasi UUD
1945, banyak pula tuntutan dari arus bawah untuk memperbaiki UUD agar ia
mampu membangun sitem politik dan ketatanegaraan yang demokratis.
Gagasan ini memiliki urgensi yang sangat kuat, mengingat dalam tiga periode
sistem politik ternyata di Indonesia tak pernah lahir sistem politik yang
demokratis sehingga selalu menimbulkan korupsi dalam berbagai bidang
kehidupan.
Ide yang muncul ketika itu adanya sistem dan mekanisme chekcs and
balances (saling kontrol dan mengawasi). Check and balances adalah sebuah
mekanisme untuk selalu melakukan pengawasan dan penyeimbangan oleh
kekuasaan negara yang ada sesuai dengan fungsi yang diamanatkan oleh
konstitusi. Dalam hal kekuasaan negara, penulis menggunakan teori yang
pernah dikemukaan oleh montesque dengan trias politikanya yang membagi
kekuasaan kedalam 3 bidang, yaitu;
a. kekuasaan eksekutif, pelaksana Undang-undang
b. kekuasaan legislatif, pembuat Undang-undang
c. kekuasaan yudikatif, pelaksana fungsi peradilan
Dalam hal pembuatan Undangundang, sebelum dilakukannya amandemen
terhadap konstitusi seluruh mekanisme didominasi oleh eksekutif, baik proses
inisiatif maupun proses pengesahannya. Pada saat itu hampir dipastikan tidak
ada RUU yang datangnya dari DPR yang notabennya sebagai representasi
rakyat. Bahkan pada masa orde baru, RUU yang semula berasal dari Presiden
pun pernah ditolak untuk disahkan oleh Presiden sendiri setelah disetujui oleh
DPR melalui pembahasan bersama pemerintah selama tak kurang dari 8 bulan.
Maka dengan adanya amandemen terhadap konstitusi, fungsi dan peran
eksekutif sebagai pembuat, pelaksana, dan penafsir sebuah Undang-undang
direduksi dan diberikan kepada lembaga lainnya untuk melaksanakan fungsi
pengawasan. Dalam hal pembentukan sebuah Undangundang DPR memiliki
peranaan yang sangat besar. Sebuah rancangan yang diajukan oleh pemerintah
harus melalui pembahasan bersama di DPR untuk mendapat persetujuan
bersama. Apabila tidak terjadi sebuah kesepakatan, maka rancangan undang-
undang yang di ajukan oleh pemerintah tadi tidak boleh diajukan kembali pada
sidang masa itu.
Jika pada masa orde baru presiden dpat membatalkan RUU yang telah
disetujui oleh DPR, maka hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan untuk
sekarang ini. Dalam hal ini, pasal 20 ayat 5 UUD 1945 menutup celah untuk
terjadinya kesalahan seperti dulu. Ketentuan yang terdapat dalam pasal 20
adalah apabila sebuah rancangan undangundang yang telah disetujui bersama
tidak disahkan oleh presiden, maka setelah 30 hari semenjak rancangan tersebut
disetujui, maka rancangan tersebut menjadi sah dan wajib untuk diundangkan.
Hal lainnya adalah Anggota DPR memiliki hak untuk mengajukan rancangan
Undangundang sama seperti hak yang dimiliki oleh presiden (pasal 5 dan pasal
21).
Dasar keberadaan Undang-Undang MD3, bahwa UUD 1945
mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, perlu diwujudkan lembaga permusyawaratan
rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang
mampu mengejawantahkan nilainilai demokrasi serta dapat menyerap dan
memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk kepentingan daerah, agar sesuai
dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik
bangsa, termasuk perkembangan dalam lembaga permusyawaratn rakyat,
lembaga perwakilan rakyat, lembaga perwakilan daerah, dan lembaga
perwakilan rakyat daerah telah diatur dalam suatu aturan yang bersifat khusus
dengan UndangUndang. Dalam sejarahnya telah terjadi pergantian undang
‘undang tentang MD3 sebanyak 3 kali, dan terakhir diatur dan ditetapkan
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagai bagaian akhir dari penulisan ini, penulis merumuskan kesimpulan adalah
Implikasi Sistem Perencanaan Nasional dengan tidak menggunakan GBHN setelah
Perubahan UUD 1945 menunjukan bahwa strategi Sistem perencanaan pembangunan
nasional dengan menggunakan GBHN sebelum amandemen UUD 1945 masih menjadi
harapan setiap penyelenggara negara, namun dengan tidak menggunakan GBHN atau
setelah Amandemen UUD 1945 mengisahkan persoalan dalam tataran implementasi antara
visi dan misi dari presiden terpilih dan setiap organ-organ negara baik secara horisontal dan
vertikal yakni Pertama, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif;
Kedua sistem perencanaan pembangunan di tingkat pemerintahan daerah seperti DPRD
Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota. dan Bupati/Walikota serta ditingkat
pemerintahan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Status hukum Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan menggunakan UU
No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPNJP 2005-2030
setelah adanya Perubahan UUD 1945 di Indonesia, sekalipun telah berjalan atau terlaksana
namun masih menjadi kendala besar dengan konsistensi proses demokrasi yang berada
ditingkat nasional dan tingkat lokal yang belum diberlakukan suatu standar operasional
mutu disetiap sektor pembangunan serta target pencapaian secara nasional sehingga antara
lembaga negara dan sektor wilayah secara nasional dan regional masing-masing mengejar
targetnya sendiri-sendiri.
B. SARAN
Sebagai saran atas penulisan ini, penulis merumuskan beberapa hal sebagai berikut :
1. NKRI telah memiliki tujuan negara yang dibuat secara tertulis dalam Pembukaan
UUD 1945 yang juga merupakan suatu kontrak sosial antara rakyat sebagai
pemegang kedaulatan negara secara konstitusi dengan penyelenggara negara
sehingga perlu adanya suatu standar operasional mutu dalam mencapai target tujuan
negara tersebut
2. Sekalipun para penyelenggaran negara tidak lagi bekerja sesuai GBHN seperti yang
terjadi sebelum Amandemen UUD 1945 namun kehadiran UU No.25/2004 tentang
SPPN dan UU No.17/2007 tentang RPNJP Tahun 2005-2030 menjadi haluan utama
untuk setiap para pemimpin menyusun kerangka kerja agar bisa menuju pada cita-
cita konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA

Fiat Justitia, Ilmu Hukum, Volume 3, Jakarta : Universitas Indonesia, 2013


Mahfud MD, Moh. 2009. Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali
Pers.
Sofia L. Rohi, Politika, Volume 4, Jakarta : Universitas Indonesia, 2013.

Anda mungkin juga menyukai