Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KEPERAWATAN KOMPLEMENTER
TERAPI PSIKORELIGIUS PADA KLIEN DENGAN PENYAKIT KRONIK
(DIABETES MELLITUS)

Pembimbing : Dr. Hanik Endang Nihayati, S.Kep. Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
1) Vania Pangestika Purwaningrum (131711123047)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Diabetes melitus merupakan sebuah penyakit yang masih menjadi masalah
kesehatan dunia, terutama di Indonesia. Diabetes mellitus, ditandai dengan
peningkatan kadar gula darah yang dapat meningkatkan risiko kerusakan
makrovaskular dan mikrovaskular sehingga menurunkan kualitas hidup penderita.
Komplikasi diabetes adalah ulkus yang terjadi akibat berkurangnya sensasi nyeri
karena neuropati. Neuropati perifer menyebabkan hilangnya sensasi daerah distal kaki
yang bis berakibat amputasi yang menyebabkan beberapa penderita mengalami
kecemasah hingga depresi maupun kematian (Fitria, Eka., dkk 2017).
Prevalensi penderita Ulkus Diabetik di Indonesia sekitar 15% dengan risiko
amputasi sebesar 30%, angka mortalitas 32% dan Ulkus Diabetik merupakan
penyebab terbesar perawatan di rumah sakit yakni sebanyak 80%. Penderita Ulkus
Diabetik di Indonesia kurang lebih memerlukan biaya perawatan sebesar 1,3 juta
sampai 1,6 juta rupiah setiap bulannya dan sekitar Rp 43,5 juta per tahun (Ridwan,
2011 dalam Suryanti, 2016).
Dampak dari penyakit diabetes yang dialami penderita DM sangat
mempengaruhi kesejahteraan psikologis pasien. Pengobatan secara farmakologi
maupun non farmakologi tentunya sudah diberikan kepada penderita, antara lain: obat
diabetes, senam kaki diabetes, diit rendah gula, perawatan luka diabetes dan lain
sebagainya. Namun, pada penderita kurang diberikan intervensi yang berhubungan
mengenai kesejahteraan psikologis yang berfokus pada ibadah, pada makalah ini
penulis akan membahas mengenai terapi komplementer psikoreligius (sholat, berdoa,
dan berdzikir) yang dapat diintervensikan kepada pasien yang mengalami penyakit
kronik.
2. Rumusan masalah
Bagaimanakah terapi komplementer psikoreligius (sholat, berdoa, dan berdzikir) yang
dapat diberikan pada pasien dengan penyakit kronik?
3. Tujuan penulisan
a. Menjelaskan mengenai definisi terapi psikoreligius.
b. Menjelaskan unsur-unsur dari terapi psikoreligius
c. Menjelaskan pengaruh do’a, sholat dan berdzikir terhadap penyakit yang
mempengaruhi kesejahteran.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Psikoreligius


Terapi psikoreligius merupakan suatu terapi dengan pendekatan keagamaan melalui
doa dan dzikir yang merupakan unsur penyembuh penyakit atau sebagai psikoterapeutik
yang mendalam, yang mana memiliki tujuan untuk membangkitkan rasa percaya diri dan
optimisme yang paling penting selain obat dan tindakan medis (Rozalino R, 2009).
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dalam dunia
kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang
sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual dalam
menghadapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep dalam Hawari, 2007).
Terapi psikoreligius merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang
mengkombinasikan pendekatan kesehatan jiwa modern dan pendekatan aspek
religius/keagamaan. Terapi ini bertujuan meningkatkan mekanisme koping (mengatasi
masalah) individu terhadap gangguan ansietas klien. Kegiatan-kegiatan terapi
psikoreligius dalam agama islam meliputi sholat, doa, dzikir, dan membaca kitap suci.
Terapi ini merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi dari pada psikoterapi biasa.
Hal ini dikarenakan terapi psikoreligius mengandung unsur spiritual (kerohaniaan/
keagamaan) yang dapat membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self
confidence) dan keimanan (faith) pada diri seseorang (Yosep, 2010 dalam Hawari,
2007). Salah satunya adalah penggunaan doa sebagai terapi. Terapi doa merupakan suatu
bentuk aplikasi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk memberikan pengobatan
untuk kesembuhan seseorang.
Doa merupakan suatu media komunikasi antara seseorang dengan sang Khalik (tuhan)
dalam rangka memohon dan meminta hajat hidup di dunia maupun di akhirat, mengeluh,
dan mengadu atas permasalahan hidup yang dihadapi, atau bentuk ketergantungan
seseorang hamba yang lemah dan hina kepada Allah SWT (Tuhan yang Mahaperkasa dan
Mahamulia). Dalam doa terkandung juga unsur dzikir dan memiliki pengaruh terapi
terhadap jiwa seperti yang diuraikan oleh DR. Hanna.

2.2 Unsur Terapi Psikoreligius


Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius adalah sebagai berikut
(Ilham A, 2008) :
2.21Doa – doa
Dalam dimensi psikoreligius, doa berarti permohonan penyembuhan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Terapi doa merupakan salah satu teknik pikiran-tubuh yang
berfokus pada Yang Maha Kuasa. Teknik ini menghasilkan emosi positif dan strategi
koping afektif yang dapat membantu mengubah cara pikir individu dalam
menghadapi masalah, melalui pengontrolan respon terhadap stres karena mereka
harus memaksakan kontrol reaksi dan perilakunya terhadap stres (Lorentz, 2006).
Terapi ini menggunakan aktivitas mental berulang dan menolak dengan sadar
terhadap pikiran-pikiran negatif dan menghasilkan stimuli kognitif menjadi positif.
Ketika stimuli kognitif positif diterima sistem saraf pusat, kemudian informasi
tersebut disampaikan melalui sistem hormonal kepada reseptor sel imun. Sel imum
memiliki reseptor molekul anti-ansietas. Jika reseptor ini menerima stimuli kognitif
positif, maka terjadi pengaturan aksi sistem imun di mana sistem imun ini
mempertahankan homesotasis tubuh yang dapat mempengaruhi limpa, kelenjar
limpa, dan limfoid sehingga meningkatkan autoimun. Selain itu, stimuli kognitif yang
merupakan hasil perbaikan pikiran menyebabkan respon relaksasi melalui produksi
gelombang alfa otak yang memicu kondisi sejahtera dan relaksasi. Hal ini
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan darah laktat yang sesuai dengan level
rendah ansietas. Selain itu, terjadi peningkatan aktivitas di sistem saraf simpatis yang
menyebabkan ketenangan dan ansietas rendah
2.22Dzikir
Dzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan baik
secara lisan maupun dalam hati segala kuasa-Nya.
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa dan
dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada
psikoterapi biasa (Ilham A, 2008).

2.3 Pengaruh Do’a, Sholat dan Berdzikir Terhadap Penyakit yang Mempengaruhi
Kesejahteraan Jiwa

Menurut mantan Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Psikosomatik pada Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. H. Aulia yang dikutip jdari Kitab
Zadu’ul Ma’ad oleh Majelis Pertimbangan dan Kesehatan RI dalam buku fatwanya no.,9
bernama: “Sumpah Dokter dan susila Kedokteran ditinjau dari segi hukum islam.”
Kutipan itu antara lain: “Hendaklah Dokter itu mempunyai pengetahuan tentang penyakit
pikiran dan jiwa serta obatnya. Itu adalah menjadi pokok utama dalam mengobati
manusia. Di antara obat-obat yang paling baik untuk penyakit adalah berbuat amal
kebajikan, berzikir, berdo’a serta memoho dan mendekatkan diri kepada Allah dan
bertaubat. Semua ini mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada obat-obat biasa
untuk menolak penyakit dan mendatangkan kesembuhan tetapi semua menurut kadar
kesediaan penerimaan batin serta kepercayaan akan obat kebatinan itu dan manfaatnya”.
Salah satu tindakankeagamaan yang penting adalah berdo’a, yakni memanjatkan
permohonan kepada Allah supaya memperoleh sesuatu kehendak yang diridhoi. Dari
masa ke masa pengaruh do’a tersebut terus menerus mendapat perhatian penting. Di
antaranya oleh A. Carrel pemenang hadiah Nobel tahun 1912 untuk ilmu kedokteran,
karena penemuannya di lapangan ilmu bedah. Bila do’a itu dibiasakan dan betul-betul
bersungguh- sungguh, maka pengaruhnya menjadi sangat jelas, ia merupakan perubahan
kejiwaan dan perubahan somatik. Ketentraman yang ditimbulkan oleh do’a itu
merupakan pertolongan yang besar pada pengobatan.
Pada akhir tahun 1957 di amerika serikat menurut pengumuman James C. Coleman
dalam bukunya abnormal psychology and modern life, sudah mencapai dua puluh juta.
Dari semua cabang ilmu kedokteran, maka cabang ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) dan
kesehatan jiwa (mental health) adalah paling dekatdengan agama; bahkan dalam
mencapai derajat kesehatan yang mengandung arti keadaan kesejahteraan (well being)
pada diri manusia, terdapat titik temu antara kedokteran jiwa/ kesehatan jiwa di satu
pihak dan agama di pihak lain (Dadang, 1997 : 19).
WHO telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu elemen
spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya
sehat dalam arti fisik, psikologik, dan sosial, tetapi juga dalam arti spiritual (agama)
sehingga dimensi sehat menjadi Biopsikososiospiritual. Perhatian ilmuwan di bidang
kedokteran tidak selamanya berhasil, seorang ilmuwan kedokteran sering berkata,
“dokter yang mengobati tetapi Tuhanlah yang menyembuhkan”. Pendapat ilmuwan
tersebut sesuai dengan hadis Nabi : “ setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tepat
mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit tersebut akan sembuh.” Sebagai
dampak modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, pola
hidup masyarakat negara maju telah berubah dimana nilai-nilai moral etika, agama, dan
tradisi lama ditinggalkan karena dianggap usang. Kemakmuran materi yang diperoleh
ternyata tidak selamanya membawa kepada kesejahteraan (well being). Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat negara maju telah kehilangan aspek spiritual yang merupakan
kebutuhan dasar bagi setiap manusia, apakah ia seorang yang beragama atau yang
sekuler sekalipun. Kekosongan spiritual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang
menimbulkan permasalahan psikososial di bidang kesehatan jiwa.
Kehausan spiritual, kerohanian, dan keagamaan ini nampak jelas pada awal tahun
1970 shingga sejak saat itu mulai muncul berbagai aliran spiritual atau pseudoagama
yang cukup laris merasuk Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah New Relogion
Movement (NRM). NRM ternyata banyak menimbulkan masalah psikososial sehingga
APA (American Psychiatric Association) membentuk task force untuk melakukan
penelitian.

2.4 Hubungan terapi psikoreligius (sholat, doa, dan dzikir) terhadap Ilmu Keperawatan
Sebagai makhluk bio, psiko, sosio, spiritual, tentunya kita mempercayai cerita yang
ada pada lingkungan kita tinggal, baik dari sisi budaya maupun agama. Sebagai umat
muslim, kerap kali kita mendengar cerita mengapa sepanjang rentang kehidupannya
Rasulullah jarang sekali mengalami sakit. Benarkah pelaksanaan shalat menjadi salah
satu rahasia kesehatannya. Adakah hubungan antara shalat dengan kesehatan kita.
2.4.1 Wudlhu sebelum shalat dan aspek personal hygine
Beberapa tahun yang lalu di kota Denver amerika, pernah terjadi wabah diare
yang sangat hebat. Menurut penelitian Badan Epidemiologi setempat, ternyata
penyebabnya adalah kebiasaan mereka dalam membersihkan diri dan bersuci dari
najis yang kurang sempurna.Mereka biasanya menggunakan tissue untuk
membersihkan bekas BAB (buang air besar).Setelah diadakan peninjaun cara-cara
bersucinya umat Islam dengan wudhu sebelum shalat dan thaharah (bersuci dari
hadast besar dan kecil) mereka akhirnya merubah pola kebersihannya dengan
menggunakan air.
Melalui wudhu minimal 5 kali sehari sebelum shalatumat Islam akan dijaga
kebersihannya dari najis dan kotoran. Dalam wudhu terkandung oral hygiene, vulva
hygiene, dan personal hygiene yang sangat lengkap. Sehingga memungkinkan untuk
mencegah penyakit infeksi yang disebabkan loeh 5 F (fingers, feaces, food, fly, and
fluid). Lebih jauh dengan cara berwudhu akan mencegah terjadinya penyakit tertentu
seperti yang pernah terjadi di daerah pertambangan Amerika Utara. Akibat
terakumulasinya timah hitam (plumbum) dan zat-zat Carsinogenic lainnya
menyebabkan tingginya angka kanker kulit, Sedangkan setelah diperbandingkan
dengan negar yang mayoritas penduduknya agama Islam angka tersebut sangat
kecil.Terutama karena dengan wudhu yang sempurna minimal 5 kali sehari
kebersihan kita dijaga dari akumulasi zat-zat toksik pada tubuh kita.Berwudhu
menjadi salah satu rahasia kesehatan Rasulullah sepanjang rentang hidupnya, bahkan
beliau sangat mewasiatkan untuk senantiasa tampil bersih, memakai wewangian,
bersiwak (gosok gigi) dengan sempurna
2.4.2 Pengaruh Gerakan Shalat pada Sistem Cardiovaskuler
Gerakan-gerakan dalam shalt merupakan gerakan-gerakan yang dilakukan
sedikitnya lima kali dalam satu hari satu malam, sehingga berdampak sebagai
olahraga yang teratur dalam siklus body biorytmic dan irama sirkadian, di dalamnya
terdapat unsur olahraga, relaksasi, latihan konsentrasi, reduksi stress, dan pencegahan
penyakit. Apalagi bila shalat tersebut dilakukan dengan tepat waktu. Gerakan berdiri,
rukuk, duduk, dan sujud akan mempengaruhi kelancaran system sirkulasi darah dan
cardovaskuler tubuh. Hal ini berkaitan dengan tekanan hydrostatic yang berpengaruh
terhadap tekanan arteri dan system vaskuler yang lain. Pada saat berdiri pompo vena
tidak bekerja dan pada saat bergerak akan terjadi kontraksi pada otot, vena tertekan
sehingga memompa darah dari vena untuk menjaga kelancaran sirkulasinya.
Beberapa pakar kesehatan dunia, juga menyoroti masalah shalat ditinjau dari
ilmu kesehatan. Prof. Dr. Vanschreber mengatakan bahwa gerakan shalat yang
merupakan salah satu ibadah rutin dalam agama Islam adalah suatu cara untuk
memperoleh kesehatan dalam arti yang seluas-luasnya dan dapat dibuktikan secara
ilmiah. Sementara itu Prof. Dr. Kohlrausch dan Prof. Dr. Leube mengatakan gerakan-
gerkan shalat dapat mengurangi dan bahkan bias mencegah penyakit jantung.
Menurut H. Ali Saboe, seorang profesor medis, apabila ditinjau dari segi
kesehatan, setiap gerakan, sikap serta setiap perubahan sikap dan gerak tubuh pada
saat seseorang melakukan shalat adalah suatu rangkaian dari butir-butir ritmic yang
mengandung nilai kesehatan yang tiada terhingga. Oleh karena itu, setiap
penyimpangan dari gerak shalat akan berubah pula fungsi dan manfaat shalat yang
diperoleh, dan secara ubudiyah hal itu tidak pula dibenarkan, karena Rasulullah tel;ah
bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat”. Itulah sebabnya Rasulullah
sepanjang hidupnya tetap sehat dan sangat jarang seklai sakit.
2.4.3 Shalat dan Latihan pada Musculosceletal
Pada saat Takbiratulihram (takbir di awal sholat sambil mengangkat tangan),
setiap shalat lima waktub sehari ditambah shalat-shalat sunat, puluhan otot tubuh
dilatih sedemikian rupa. Otot-otot utama yang mendapat pelatihan rutin pada saat
Takbiratulihram saja adalah M. Humerus (otot lengan atas), M. Radius dan Ulnaris
(lengan bawah), M. Manus, Carpol, Metacarpal (otot-otot yang membentuk jari dan
telapak tangan), M. Scapularis (otot belikat), M. Intercostalis (otot-ototbtulang
dada), dan sebagainya. Puluhan otot seperti yang dicontohkan di atas akan bersinergi
bersama pembuluh-pembuluh darah, jutaan serabut syaraf dan pergerakan sendi-
sendi.
Ketika Rukuk. Sujud, duduk I’tidal sampai salam terakhir ribuan otot tubuh
akan bekerja dalam suatu bentuk gerakan yang terkoordinir dan teratur serta sabgat
fisiologis karena yang mengatur gerakannya adalah Allah SWT desainer sekaligus
arsitektur tubuh kita sendiri. Dia Maha Tahu seperti apa gerakan-gerakan yang
sangat dibutuhkan manusia untuk kesehatannya. Melalui Rasul-Nya, Allah
memberikan petunjuk teknis pelatihan tubuh yang maha lengkap dibanding pelatihan
kebugaran manapun di dunia ini.
Shalat akan mencegah terbentuknya jaringan fibrotic pada sendi. Karena
secara fisiologis apabila sendi-sendi manusia tidak digerakkan secara optimal
melebihi 7 hari maka akan terbentuk jaringan fibrotic dan sendi menjadi kaku yang
dikenal dengan istilah kontraktur sendi. Rasulullah adalah orang yang sehat dan kuat
otot-ototnya meskipun ia selalu berhadapan dengan peperangan dan tantangan yang
maha dahsyat.
2.4.4 Bacaan dan Dzikir dalam Shalat serta Dampaknya Terhadap Sistem Imunitas
Tubuh
Dzikir dan bacaan dalam shalat membuat hati seseorang menjadi
tenang.Keadaan tenang dan rileks mempengaruhi kerja system syaraf dan endokrin.
Pada orang yang stres dan tegang, cortex adrenal akan terangsang untuk mensekresi
cortisol secara berlebihan sehingga terjadi peningkatan metabolism tubuh secara
mandadak. Apabila hal ini berlangsung lama akan menurunkan system imunitas
tubuh. Dengan bacaan do’a dan berdzikir orang akan menyerahkan segala
permasalahan yang dihadapinya kepada Yang Maha Penolong sehingga beban stress
yang menghimpitnya mengalami penurunan. Selanjutnya seseorang akan menjadi
tenag hatinya sehingga sekresi hormon cortisol akan terkontrol sesuai dengan
kebutuhan. Hasil riset Hawari menyimpulkan bahwa keadaan psikologis yang tenang
serta motivasi hidsup yang tinggi memiliki kontribusi sampai 50% untuk mendukung
kesembuhan pasien yang sakit.
Dalam menelusuri hikmat ritual shalat, uraian Murtadha Muthahhari dan
S.M.H. Thabathaba’i menunjukkan bahwa shalat membawa seseorang yang beriman
kepada situasi kejiwaan yang khas. Situasi ini meresap ke dalam dirirnya sebagai
suatu pengalaman akan kenyatan adanya Tuhan. Dalam keadaan yang intens,
pengalaman ini tiada terbatas pada waktu shalat saja. Pengaruh pengalaman ini akan
terus terasa setelah shalat itu, untuk situasi kejiwaan yang disebutkan Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 38: “Barang siapa mengikuti petunjukku niscaya ia tidakakan takut
dan tidak akan berduka cita”. Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan, bahwa
sesungguhnya shalat itu disamping sebagai bukti kepercayaan kepada Allah SWT
adalah sebagai pengokohan keyakinan itu sendiri, sebab keyakinan iman itu ternyata
dapat bertambah besar tetapi dapat pula mengecil bahkan dapat hilang atau
dicabut.Ibnu Taimiah berkata, “Keyakinan itu adalah iman dan amal, karena itu dia
dapat bertambah dan berkurang”.
Dengan hikmah shalat diharapkan kepercayaan kita semakin membaja,
sehingga membuahkan rasa kemerdekaan dan kebebasan jiwa, terhindar dari perasaan
takut,susah, dan khawatir dari pengaruh kekuatan, kehebatan, kebesaran dari benda-
benda, makhluk-makhluk di jagat raya ini karena kita hanya tunduk kepada Allah
SWT.
Shalat berisi pernyataan pengakuan seorang hamba akan adanya Tuhan, ke-
Esaan-Nya dan segala sifat-sifat kesempurnaan, yang mengatur dan memelihara
dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya. Karena itu Dia-lah tempat insan
manusia bergantung dan mengadukan segala problemanya.Dia-Lah yang paling patut
disembah oleh hamba-Nya. Shalat merupakan pengakuan seorang hamba, bahwa ia
adalah makhluk Allah yang kecil, yang lemah, yang hina, dan sebagainya, yang
sangat memerlukan petunjuk-Nya, bantuan-Nya, dan perlindungan-Nya, yang harus
patuh pada segala peraturannya kalau ingin selamat dan bahagia di dunia apalagi di
akhirat nanti.
2.4.5 Rukuk dan Sujud serta Aspek Kesehatannya
Rukuk dan sujud yang berulang-ulang pada saat shalat akan sangat membantu
dalam menjaga kesehatan paru-paru kita. Pada saat sujud lobus paru-paru bagian
bawah posisinya akan berada di atas, sehingga akan mendorong zat-zat yang tidak
berguna keluar bersama sputum (dahak). Pada saat sujud sel-sel yang mati dan selaput
mucosa yang rusak dari tractus respiratory akan didorong keluar dari paru- paru. Hal
ini mendasari dan mengilhami proses pelaksanaan postural drainage (pengaturan
posisipasien dimana kepala lebih rtendah dari badan) yang menjadi salah satu prinsip
keperawatan.
2.4.6 Aspek Psikoreligius Terapi pada Shalat
Menurut Ancok (1985; 1989), Ancok dan Suroso (1994) ada beberapa aspek
terapeutik yang terdapat dalam shalat, antar alain aspek olahraga, aspek meditasi,
aspek auto-sugesti, dan aspek kebersamaan.Di samping itu shalat juga mengandung
unsur relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (Haryanto, 2001).
 Aspek Olahraga
Jika diperhatikan gerakan-gerakan di dalam shalat, maka terlihat mengandung unsur
gerakan-gerakan olahraga, mulai dari takbir, berdiri, ruku’, sujud, duduk di antara
dua sujud, duduk akhir, sampai mengucapkan salam. H.A. Saboe (1986)
berpendapat bahwa hikmah yang diperoleh dari gerakan-gerakan shalat tidak sedikit
artinya bagi kesehatan jasmaniah, dan dengan sendirinya akan membawa efek pula
pada kesehatan ruhaniah atau kesehatan mental/jiwa seseorang. Selanjutnya
dijelaskan bila ditinjau dari sudut ilmu kesehatan, setiap gerakan, setiap sikap, serta
setiap perubahan dalam gerak dan sikap tubuh pada waktu melaksanakan shalat,
adalah yang paling sempurna dalam memelihara kondisi kesehatan tubuh.
 Aspek Relaksasi Otot
Shalat juga mempunyai efek seperti relaksasi otot, yaitu kontraksi otot, pijatan dan
tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat.Menurut
Walker dkk.(1981) bahw relaksasi otot ini ternyata dapat mengurangi kecemasan
dan tidak dapat tidur (insomnia).
 Aspek Relaksasi Kesadaran Indera
Relaksasi kesadaran indera ini telah diteliti oleh Amerika Psychological Association,
Washington DC.Dalam hal ini seseorang biasanya diminta untuk membayangkan
pada tempat-tempat yang mengenakkan.Padasaat shalat seseorang seolah-olah
terbang ke atas menghadapkapada Allah secara langsung tanpa ada perantara. Setiap
bacaan dn gerakan senantiasa dihayati dan dimengerti dan ingatannya senantiasa
kepada Allah. Aspek Auto-sugesti
Bacaan-bacaan dalam shalat berisi hal-hal yang baik, berupa pujian, mohon ampun,
do’a maupunpermohonan yang lain. Hal ini sesuai dengan arti shalat itu sendiri,
yaitu shalat berasal dari bahasa Arab berarti do’a mohon kebajikkan dan pujian.
Menurut Thoules (1992) auto-sugesti adalah suatu upaya untuk membimbing diri
pribadi melalui proses pengulangan suatu rangkaian ucapan secara rahasia kepada
diri sendiri yang menyatakan suatu keyakinan atau perbuatan.
 Aspek Katarsis atau Pengakuan dan Penyaluran
Setiap orang membutuhkan sarana untuk berkomunikasi, baik dengan diri sendiri,
dengan orang lain, dengan alam maupun dengan Tuhannya. Komunikasi akan lebih
dibutuhkan tatkala seseorang mengalami masalah atau gangguan kejiwaan. Shalat
dapat dipandang sebagai proses pengakuan dan penyaluran,proses katarsis atau
kanalisasi terhadap hal-hal yang tersimpan dalam dirinya.
 Sarana Pembentukan Kepribadian
Kepribadian seseorang senantiasa perlu dibentuk sepanjang hayatnya, dan
pembentukannya bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Shalat merupakan
kegiatan harian, kegiatan mingguan, kegiatan bulanan, atau kegiatan amalan tahunan
(shalat idul fitri, idul adha) dapat sebagai sarana pembentukan kepribadian, yaitu
manusia yang bercirikan disiplin, taat waktu, bekerja keras, mencintai kebersihan,
senantiasa berkata yang baik, membentuk pribadi “Allahuakbar”.
 Terapi Air (Hydroterapy)
Seseorang yang akan menjalankan shalat harus bersih dari hadast besar dan kecil,
sehingga ia harus mensucikan dirinya dengan berwudhu apabila memiliki hadast kecil
dan mandi jika memiliki hadast besar atau junub. Menurut Adi (1985) dan Efendi
(1987) wudhu ternyata memiliki refreshing, penyegaran, membersihkan badan dan
jiwa, serta pemulihan tenaga. Ditambah oleh Ustman Najaati (1985) bahwa wudhu
disamping sebagai persiapan untuj shalat, bukan hanya sekedar membersihkan tubuh
dari kotoran tetap, membersihkan jiwa dari kotoran.
2.4.7
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi psikoreligius merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang
mengkombinasikan pendekatan kesehatan jiwa modern dan pendekatan aspek
religius/keagamaan. Terapi ini bertujuan meningkatkan mekanisme koping (mengatasi
masalah) individu terhadap gangguan ansietas klien. Kegiatan-kegiatan terapi
psikoreligius dalam agama islam meliputi sholat, doa, dzikir, dan membaca kitap
suci. Terapi ini merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi dari pada
psikoterapi biasa. Hal ini dikarenakan terapi psikoreligius mengandung unsur
spiritual (kerohaniaan/ keagamaan) yang dapat membangkitkan harapan (hope), rasa
percaya diri (self confidence) dan keimanan (faith) pada diri seseorang.

3.2 Saran
Diharapkan untuk para praktisi kesehatan menerapkan terapi psikoreligius
kepada klien guna memenuhi kesejahteraan psikologis klien, terutama pada klien
yang mengalami penyakit kronik, nyeri, dsb.
DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto D. 2006. Psikoterapi dengan Doa. Jurnal Suhuf vol XVIII no 1.

Fitria, Eka., dkk. 2017. Karakteristik ulkus diabetikum pada enderita diabetes mellitus di
RSUD dr. Zainal Abidin dan RSUD Meuraxa Banda Aceh. Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 45 No. 3 September 2017

Hawari, D. 2007. Al-Quran Ilmu Kedokteran jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Dana Bakti
Primayasa.

Kuswardani, Istiana. 2009. Terapi Kultural dan Spiritual Penyakit Jantung Koroner.
Psikohumanika: Jurnal Ilmiah Psikologi.

Lorentz, Madeline M. 2006. Stress And Psychoneuroimunology Revisited: Using Mind-Body


Intervention To Reduce Stress. Alternative Journal Of Nursing, Issue 11.

Suryanti. 2016. Pengaruh terapi psikoreligius terhadap penurunan tingkat depresi pada
lansia. jurnal terpadu ilmu kesehatan, vol. 5 No. 2 November 2016
Lampiran

1. SOP Terapi Dzikir

Topik Penerapan terapi modalitas berupa terapi spiritual dzikir pada


pasien

Pengertian Terapi yang menggunakan media dzikir mengingat Allah yang


bertujuan untuk memfokuskan pikiran. Dengan bacaan do’a
dan dzikir orang akan menyerahkan segala permasalahan
kepada Allah, sehingga beban stress yang dihimpitnya
mengalami penurunan. (Fanada, 2012 dikutip Indri W, 2014)

Tujuan 1. Dzikir dapat mengusir, menundukkan dan membakar

setan, karena dzikir bagaikan benteng yang sangat kokoh

yang mampu melindungi seorang hamba dari serangan

musuh-musuhnya.

2. Dzikir dapat menghilangkan kesedihan, kegundahan, dan

depresi, dan dapat mendatangkan ketenangan,

kebahagiaan dan kelapangan hidup. Karena dzikir

mengandung psikoterapeutik yang mengandung kekuatan

spiritual atau kerohanian yang dapat membangkitkan rasa

percaya diri dan rasa optimisme yang kuat dalam diri

orang yang berdzikir.

3. Dzikir dapat menghidupkan hati

4. Dzikir dapat menghapus dosa dan menyelamatkannya dari

adzab Allah, karena dengan berdzikir dosa akan menjadi

suatu kebaikan yang besar, sedang kebaikan dapat


menghapus dan menghilangkan dosa.

Waktu Setelah melaksanakan kegiatan shalat 5 waktu

Pelaksana Mahasiswa profesi

Prosedur A. Persiapan Alat dan Lingkungan


Penatalaksanaan 1. Persiapan perlengkapan ibadah (seperti tasbih, sajadah,
Terapi Spiritual
dsb)
Dzikir
2. Lingkungan yang hening sehingga dapat berkonsentrasi

secara penuh

B. Langkah-langkah
Langkah-langkah respon rileksasi menurut Dr.dr Samsuridjal

Djauzi, SpPD., KAI (2008) antara lain :

1. Pilihlah kalimat spiritual yang akan digunakan

2. Duduklah dengan santai

3. Tutup mata

4. Kendurkan otot-otot

5. Bernapaslah sacara alami dan mulai mengucapkan

kalimat spiritual yang dibaca secara berulang-ulang

6. Bila ada pikiran yang mengganggu, kembalilah fokuskan

pikiran

7. Lakukan selama 10 menit

8. Jika sudah selesai, jangan langsung berdiri duduklah

dulu dan beristirahat, buka pikiran kembali, barulah

berdiri dan melakukan kegiatan kembali.

C. Kriteria Evaluasi

1. Mengkaji proses dan hasil dari terapi spiritual


menggunakan catatan aktivitas terapi yang telah

dilakukan.

2. Menganalisis sesi yang telah dilakukan untuk melihat

kefektifan terapi.

3. Menganalisis hasil dan catatan terapi sehingga perawat

dapat mengetahui progres teknik yang dilakukan klien

dalam mengembangkan sesi.

2. Prosedur Terapi Do’a


Berikut tahap-tahap psikoterapi doa (Kuswardani, 2009).
1. Tahap kesadaran sebagai hamba
Inti dari terapi ini adalah pembangkitan kesadaran, kesadaran terhadap kehambaan
dan kesadaran akan kelemahan sebagai manusia. Bentuk kesadaran ini akan
menghantarkan seseorang yang berdoa berada pada keadaan lemah. Tanpa adanya
kesadaran akan kelemahan diri ini maka kesungguhan dalam berdoa sulit dicapai.
Hakikat berdoa adalah meminta, yang meminta derajatnya harus lebih rendah dari
pada yang dimintai. Untuk itu sebelum seseorang berdoa diharuskan untuk
merendahkan diri dihadapan Allah. Bentuk kesadaran diri ini dapat dilakukan dengan
melihat kepada diri sendiri misalnya melihat jantung bahwa jantung itu bergerak
bukan kita yang menggerakkan, darah yang mengalir bukan atas kehendak kita, atau
juga dapat melihat masalah yang sedang dihadapi, ketidakberdayaan,
ketidakmampuan mengatasi hal ini dimunculkan dalam kesadaran sehingga bukan
nantinya dapat menimbulkan sikap menerima dan sikap pasrah. Pada tahap ini
seseorang juga disadarkan akan gangguan kejiwaan atau penyakit yang dialami.
Penyakit tersebut bukan ditolak namun diterima sebagai bagian dari diri kemudian
dimintakan sembuh
kepada Allah.
2. Tahap penyadaran akan kekuasaan kepada Allah
Selanjutnya setelah diri sadar akan segala kelemahan dan segala ketidakmampuan diri
maka pengisian dilakukan yaitu dengan menyadari kebesaran Allah kasih sayang
dan terutama adalah maha penyembuhnya. Allah. Tahap ini juga menimbulkan
pemahaman tentang hakikat sakit yang dialami bahwa sakit berasal dari Allah dan
yang akan menyembuhkan adalah Allah. Penyadaran akan kekuasaan Allah ini dapat
dilakukan dengan melihat bagaimana Allah menggerakkan segala sesuatu,
menghidupkan segala sesuatu. Tahap ini juga dapat menumbuhkan keyakinan kita
kepada Allah atas kemampuan Allah dalam menyembuhkan. Bagaimana seseorang
dapat berdoa kalau dirinya tidak mengenal atau meyakini bahwa Sang Penyembuh
tidak dapat menyembuhkan. Yakin juga merupakan syarat mutlak dari suatu doa
karena Allah sesuai dengan prasangka hambanya, jika hambanya menyangka baik
maka Allah baik demikian pula sebaliknya. Kegagalan utama terhadap jawaban Allah
atas doa yang kita panjatkan kepada Allah
adalah keraguan kita. Seringkali ketika berdoa namun hati mengatakan “dikabulkan
tidak ya” atau mengatakan “mudah-mudahan dikabulkan”, kalimat ini maksudnya
tidak ingin mendahului Allah tapi sebenarnya adalah meragukan Allah dalam
mengabulkan doa kita. Ada perbedaan antara mendahului kehendak Allah dengan
keyakinan yang ditujukan kepada Allah. Jika mendahului biasanya menggunakan kata
seharusnya begini, harus begini, tapi jika yakin kita optimisme akan kehendak Allah
dan tidak masuk pada kehendak Allah. Sebagai contoh bila kita berdoa “Ya Allah
hilangkan kesedihan hati saya”, maka kita yakin kepada Allah bahwa Allah
memberikan kesembuhan. Hal yang penting juga adalah afirmasi terhadap doa yang
kita panjatkan kalau berdoa harus yakin dikabulkan tidak ada alasan lain untuk tidak
yakin selain dikabulkan. Sebab Allah akan mengabulkan apa yang kita yakini dari
pada apa yang kita baca dalam doa kita.
3. Tahap Komunikasi
Setelah sadar akan kelemahan dan penyakit yang dialami, dan sadar akan kebesaran
Allah maka selanjutnya adalah berkomunikasi dengan Allah sebagai bagian penting
dari proses terapi.
4. Permohonan doa kesembuhan terhadap apa yang dialami
Permohonan doa bukanlah permintaan yang memaksa Allah untuk mengabulkan.
Untuk itu doa yang dipanjatkan harus disertai dengan kerendahan hati, dengan
segenap sikap butuh kepada Allah. Posisi hamba yang berdoa adalah meminta dia
tidak berhak untuk memaksa, hamba tadi hanya diberi wewenang untuk meyakini
bahwa doanya dikabulkan bukan memaksa Allah untuk mengabulkan, dan
5. Tahap menunggu diam namun hati tetap mengadakan permohonan kepada Allah
Doa merupakan bentuk komunikasi antara yang meminta dan yang memberi. Ketika
proses permintaan sudah disampaikan maka proses pemberian (dijawabnya doa) harus
ditunggu karena pemberian atau dijawabnya bersifat langsung. Syarat untuk dapat
menerima jawaban ini adalah dengan sikap rendah diri, terbuka, dan tenang (tidak
tergesa-gesa). Sikap ini akan dapat menangkap kalam Allah (jawaban doa) yang tidak
berbentuk ucapan tidak berbentuk huruf tapi berbentuk pemahaman pencerahan,
ilham (enlightment), atau berbentuk perubahan perubahan emosi dari tidak tenang
menjadi tenang, dari sedih menjadi hilang kesedihannya.Tahap ini merupakan tahap
respon yang diberikan oleh Allah kepada kita sebagai jawaban doa yang kita
panjatkan. Tahap ini juga
disertai dengan sikap pasrah total kepada Allah mengikuti apa maunya Allah dan apa
kehendak Allah, sikap ini akan dapat menangkap jawaban Allah (Purwanto, 2007).
Prosedur kerja terapi do’a:
1. Persiapan
a) Persiapan perawat
1) Lakukan pengkajian: baca catatan keperawatan dan medis
2) Rumuskan diagnosa terkait
3) Buat perencanaan tindakan
4) Kaji kebutuhan tenaga perawat, minta perawat lain membantu jika perlu
5) Cuci tangan dan siapkan alat
b) Persiapan klien
1) Pastikan identitas klien
2) Kaji kondisi klien
3) Jelaskan maksud dan tujuan
4) Jaga privasi klien
5) Pasien dipersilahkan duduk
2. Cara kerja
a) Tumbuhkan niat dalam diri untuk minta disembuhkan oleh Tuhan
b) Rilekskan tubuh, kendorkan dari mulai kaki hingga kepala, jangan ada ketegangan
otot
c) Lakukan tahap kesadaran sebagai hamba: sadari keluhan yang dirasakan, amati
keluhan itu, ikuti dengan kesadaran bahwa kita lemah, tidak berdaya dan tidak
memiliki kemampuan apa-apa
d) Lakukan tahap penyadaran akan kekuasaan Tuhan: sadari kebesaran Tuhan, lihat
alam semesta, bagaimana Tuhan menggerakkan alam ini, menghidupkan alam ini,
Tuhan yang memberi hidup dan memberi mati, Tuhan yang memberi sembuh dan
memberi sakit
e) Lakukan tahap komunikasi sebagai bagian penting dari proses terapi, tahap ini
dapat berbentuk:
1) Ungkapkan seluruh keluhan yang dirasakan kepada Tuhan
2) Ungkapkan segala yang dipikirkan dan apa yang menjadi kekhawatiran kepada
Tuhan
3) Memohon kesembuhan kepada Tuhan
4) Tetap relaks dan masih pada posisi memohon kepada Tuhan
5) Pasrah kepada Tuhan disertai dengan keyakinan bahwa Tuhan menjawab doa
yang dipanjatkan
6) (Menunggu jawaban doa, diam namun tetap ingat memohon kepada Tuhan)
3. Evaluasi
a) Evaluasi respon pasien
b) Simpulkan hasil kegiatan
c) Berikan reinforcement positif
d) Lakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya
e) Akhiri kegiatan dengan cara yang baik

Anda mungkin juga menyukai