Anda di halaman 1dari 11

BAB III

PEMBAHASAN

II.1 Congestive Heart Failure (Gagal Jantung)


A. Pengertian
Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan patologis di mana
kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan jantung memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan
dengan meningkatkan tekanan pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015).
Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung kiri, kanan,
dan kombinasi atau kongestif.Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan paru,
hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi
jaringan.Gagal jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites dan
peningkatan tekanan vena jugularis.Gagal jantung kongestif adalah gabungan dari
kedua gambaran tersebut.Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun
kanan sering terjadi secara bersamaan (McPhee, 2010)
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif adalah suatu
kondisi jantung mengalami kegagalan dalam memompa darah dalam mencukupi
kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat.
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal (Mansjoer, 2007).
B. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (2000) penyebab kegagalan jantung yaitu:
1. Disritmia, seperti: brakikardi, takikardi dan kontraksi premature yang sering
dapat menurunkan curah jantung.
2. Malfungsi katub dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan
beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang, seperti
stenosis katub aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban
volume yang menunjukkan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
3. Abnormalitas Otot Jantung: Menyebabkan kegagalan ventrikel meliputi
infark miokard, aneurisma ventrikel, fibrosis miokard luas (biasanya dari
aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi lama), fibrosis endokardium,
penyakit miokard primer (kardiomiopati), atau hipertrofi luas karena
hipertensi pulmonal, stenosis aorta atau hipertensi sistemik.
4. Ruptur Miokard: terjadi sebagai awitan dramatik dan sering membahayakan
kegagalan pompa dan dihubungkan dengan mortalitas tinggi. Ini biasa
terjadi selama 8 hari pertama setelah infark.

C. Klasifikasi Gagal Jantung


Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
dalam Gray (2002), terbagi dalam 4 kelas yaitu:


1. NYHA I: Timbul sesak pada aktifitas fisik berat

2. NYHA II: Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang

3. NYHA III: Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan


4. NYHA IV:Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan atau istirahat

D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif


Menurut Hudak dan Gallo (2000),
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti gagal
jantung kanan dan terjadinya di dada karena peningkatan kebutuhan oksigen.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif
biasanya terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitral.
a. Gagal Jantung Kiri

1. Gelisah dan cemas 


2. Kongesti vaskuler pulmonal 


3. Edema 


4. Penurunan curah jantung 


5. Gallop atrial (S3) 


6. Gallop ventrikel (S4) 


7. Crackles paru 


8. Disritmia 


9. Bunyi nafas mengi 



10. Pulsus alternans 


11. Pernafasan cheyne-stokes 


12. Bukti-bukti radiologi tentang 
 kongesti pulmonal 


13. Dyspneu
14. Batuk
15. Mudah lelah
b. Gagal Jantung Kanan

1. Peningkatan JVP


2. Edema


3. Curah jantung rendah

4. Disritmia

5. S3 dan S4


6. Hiperresonan pada perkusi

7. Pitting edema


 8. Hepatomegali


9. Anoreksia


10. Nokturia


11. Kelemahan

E. Penatalaksanaan Gagal Jantung Kongestif


Terapi non farmakologi
1. Diet
Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas
harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan
berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau <
2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi
1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.
2. Merokok : Harus dihentikan.
3. Aktivitas fisik
Olah raga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan
untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan
intensitas yang nyaman bagi pasien.
4. Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.
5. Bepergian
Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas
atau lembab (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).

F. Tahapan perawatan pada pasien CHF


Tahap 1: Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III)
Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif untuk
memperpanjang kelangsungan hidup, kontrol gejala, pendidikan pasien dan
pengasuh, dan didukung manajemen diri Pasien diberi penjelasan yang jelas tentang
kondisi mereka termasuk nama, etiologi, pengobatan, dan prognosisnya
Pemantauan reguler dan peninjauan yang tepat sesuai dengan pedoman nasional
dan protokol local.
Tahap 2: fase perawatan suportif dan paliatif: (NYHA III – IV)
Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini Seorang profesional
kunci diidentifikasi di masyarakat untuk mengkoordinasikan perawatan dan bekerja
sama dengan spesialis gagal jantung, perawatan paliatif, dan layanan lainnya
Tujuan perawatan bergeser untuk mempertahankan kontrol gejala dan kualitas
hidup yang optimal Sebuah penilaian holistik dan multidisipliner terhadap
kebutuhan pasien dan perawat dilakukan Kesempatan untuk mendiskusikan
prognosis dan kemungkinan penyakit yang diderita secara lebih rinci disediakan
oleh para profesional, termasuk rekomendasi untuk menyelesaikan rencana
perawatan lanjutan Layanan di luar jam kerja didokumentasikan dalam rencana
perawatan jika terjadi kerusakan akut
Tahap 3: fase perawatan Terminal
Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan
ginjal, hipotensi, edema persisten, kelelahan, anoreksia Pengobatan gagal jantung
untuk kontrol gejala dilanjutkan dan status resusitasi diklarifikasi,
didokumentasikan, dan dikomunikasikan kepada semua penyedia perawatan Jalur
perawatan terpadu untuk orang yang sekarat dapat diperkenalkan untuk menyusun
perencanaan perawatan Peningkatan dukungan praktis dan emosional untuk
pengasuh disediakan, terus mendukung berkabung Penyediaan dan akses ke tingkat
yang sama perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di semua pengaturan
perawatan sesuai dengan kebutuhan mereka (Jaarsma, 2009)
G. Patofisiologi
Menurut Price (2005) beban pengisian preload dan beban tahanan afterload
pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan adanya
peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga curah jantung
meningkat. Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis sehingga
kadar katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan
meningkatkan curah jantung.
Pembebanan jantung yang berlebihan dapat meningkatkan curah jantung
menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui
pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk
memperbesar aliran balik vena ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan
akhir diastolik dan menaikan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi,
dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan curah jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila
semua kemampuan makanisme kompensasi jantung tersebut di atas sudah
dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan belum juga terpenuhi
maka terjadilah keadaan gagal jantung.
Sedangkan menurut Smeltzer (2002), gagal jantung kiri atau gagal jantung
ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri
sehingga curah jantung kiri menurun dengan akibat tekanan akhir diastol dalam
ventrikel kiri dan volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan
ini merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada
waktu diastolik, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium
kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi ini menyebabkan hambatan aliran
masuknya darah dari vena-vena pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut maka
bendungan akan terjadi juga dalam paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru
dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang
meninggi.
Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang
menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel
kanan itu terus bertambah, maka akan merangsang ventrikel kanan untuk
melakukan kompensasi dengan mengalami hipertrofi dan dilatasi sampai batas
kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal
jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri- kanan.
Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada
daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului
oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan
dan volume akhir diastol ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban
atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastol, dengan
akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium
kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam
vena kafa superior dan inferior kedalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan
dan adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada vena
jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut, maka
terjadi bendungan sistemik yang berat dengan akibat timbulnya edema tumit dan
tungkai bawah dan asites.

H. Pemeriksaan Diagnostik

Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk


menegakkan diagnosa CHF yaitu:

1. Elektro kardiogram (EKG) Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis,


iskemia, disritmia, takikardi, fibrilasi atrial
2. Scan jantung
 Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergeraka
dinding
 dinding.

3. Sonogram
 (echokardiogram doppler)
 Dapat menunjukkan dimensi pembesaran
bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau area penurunan kontraktilitas
ventricular.
4. Kateterisasi jantung 
 Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu
membedakan gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri dan stenosis katub atau
insufisiensi. 

5. Rongent Dada
 Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan
dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal 


6. Elektrolit
 Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal,


terapi diuretik 


7. Oksimetri Nadi
 Saturasi oksigen mungkin rendah terutama jika gagal jantung
kongestif akut menjadi kronis. 


8. Analisa Gas Darah (AGD)
 Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis
respiratori ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir) 


9. Pemeriksaan Tiroid
 Peningkatan aktivitas tiroid menunjukkan hiperaktivitas


tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung kongestif 


I. Komplikasi

Menurut Smeltzer (2002), komplikasi dari CHF adalah :

1. Edema pulmoner akut 



2. Hiperkalemia: akibat penurunan 
 ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme
dan masukan diit berlebih. 

3. Perikarditis: Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat. 

4. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron. 

5. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.

J. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif


1. Mendengarkan Murrotal
Melalui terapi pembacaan Al Quran terjadi perubahan arus listrik di otot,
perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung dan kadar darah pada kulit
(Asman, 2008). Perubahan tersebut menunjukan adanya penurunan ketegangan
saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodi-latasi dan peningkatan
kadar darah dalam kulit, diiringi dengan penurunan frekuensi detak jantung.
Pemberian Terapi bacaan Al Quran terbukti mengaktifan sel-sel tubuh dengan
mengubah getaran suara menjadi gelombang yang ditangkap oleh tubuh,
menurunkan rangsangan reseptor nyeri sehingga otak mengeluarkan opioid
natural endogen. Opioid ini bersifat permanen untuk memblokade nociceptor
nyeri.
Gelombang suara dari pembacaan ayat Al Quran akan masuk melalui
telinga, kemudian menggetarkan gendang telinga, mengguncang cairan di
telinga dalam serta menggetarkan sel-sel berambut di dalam Koklea.
Selanjutnya melalui saraf Koklearis menuju ke otak. Tiga jaras Retikuler yang
berperan dalam gelombang suara yaitu jaras retikuler-talamus, hipotalamus.
Gelombang suara diterima langsung oleh Talamus yaitu suatu bagian
otak yang mengatur emosi, sensasi, dan perasaan, tanpa terlebih dahulu dicerna
oleh bagian otak yang berpikir mengenai baik-buruk maupun intelegensia.
Kemudian melalui Hipotalamus memengaruhi struktur basal forebrain
termasuk sistem limbik. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yang
mengatur fungsi perna-pasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot
usus, fungsi endokrin, memori, dan lain-lain. Selanjutnya, melalui akson neuron
berdifusi mempersarafi neo-korteks (Qadri, 2003).
Zulkurnaini, Kadir, Murat, & Isa (2012) mengung-kapkan bahwa
mendegarkan bacaan ayat suci Al-quran memiliki pengaruh yang signifikan
dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif, dan hasil ini tercatat dan
terukur secara kuantitatif dan kualitatif oleh sebuah alat berbasis komputer.
Adapun pengaruh yang terjadi berupa adanya perubahan arus listrik di otot,
perubahan daya tangkap kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada
sirkulasi darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit. Perubahan
tersebut menunjukkan adanya relaksasi atau penurunan ketegangan urat saraf
reflektif yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi dan penambahan kadar
darah dalam kulit, diiringi dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan
frekuensi denyut jantung.
Kemajuan tehnologi telah mendeteksi secara akurat bahwa
mendengarkan ayat-ayat Al Quran dapat merelaksasi saraf reflektif,
memfungsikan organ tubuh, serta memberikan aura positif pada tubuh manusia.
Bacaan Al-Quran berefek pada sel-sel dan dapat mengembalikan
keseimbangan. Otak merupakan organ yang mengontrol tubuh, dan darinya
muncul perintah untuk relaksasi tubuh, khususnya sistem imunitas (Rilla, 2014)

K. Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan Paliatif


Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran perawat
paliatif meliputi :
1. Praktik di Klinik
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan
mengevaluasi keluhan serta nyeri. Perawat dan anggota tim berbagai
keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana perawatan
secara menyeluruh. Perawat mengidentifikasikan pendekatan baru untuk
mengatasi nyeri yang dikembangkanberdasarkan standar perawatan di
rumah sakit untuk melaksanakan tindakan. Dengankemajuan ilmu
pengetahuan keperawatan, maka keluhan sindroma nyeri yangkomplek
dapat perawat praktikan dengan melakukan pengukuran tingkat
kenyamanan disertai dengan memanfaatkan inovasi, etik dan berdasarkan
keilmuannya
2. Pendidik
Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi
tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik,mengkaji pasien dan
keluarganya serta semua anggota tim menerima hasil yang positif. Perawat
memperlihatkan dasarkeilmuan/pendidikannya yang meliputi mengatasi
nyeri neuropatik,berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita,
dan resiko kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite
dan ahli farmasi, berdasarkan pedoman dari tim perawatan paliatif maka
memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam menggunakan obat-
obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah
diatasi.
3. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui
pertanyaanpertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang
ditunjukan padapertanyaan-pertanyaan penelitian. Perawat dapat meneliti
dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
4. Bekerja sama (collaborator)
Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-psiko-
sosialspiritual dan penatalaksanaannya. Perawat membangun dan
mempertahankan hubungan kolaborasi dan mengidentifikasi sumber dan
kesempatan bekerja dengan tim perawatan paliatif,perawat memfasilitasi
dalam mengembangkan dan mengimplementasikan anggota dalam
pelayanan, kolaborasi perawat/dokter dan komite penasihat. Perawat
memperlihatkan nilai-nilai kolaborasi dengan pasien dan
keluarganya,dengan tim antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan lainnya
dalam memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.

5. Penasihat (Consultan)
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan
paliatif dan komite untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam
pertemuan/rapat tentang kebutuhan-kebutuhan pasien dan keluarganya.
Dalam memahami peran perawat dalam proses penatalaksanaan perawatan
paliatif sangat penting untuk mengetahui proses asuhan keperawatan dalam
perawtan paliatif.
Asuhan keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau
rangkaian kegiatan praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada
pasien paliatif dengan menggunakan pendekatan metodologi proses
keperawatan berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etika profesi
dalam lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat yang mencakup
seluruh proses kehidupan, dengan pendekatan yang holistic mencakup
pelayanan biopsikososiospiritual yang komprehensif, dan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (Ilmi, 2016)
L. ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS :

Anda mungkin juga menyukai